Perlu diketahui, tuduhan yang mengatakan bahwa Syi’ah Imamiyah beranggapan bahwa Al Qur’an telah diubah atau dikurangi adalah tuduhan yang tidak berdasar dan salah. Disini kami ingin menyampaikan keterangan – keterangan ulama Syi’ah Imamiyah yang berkaitan dengan masalah ini, antara lain :
1. Syaikh Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Al Qummi
Di dalam risalahnya yang berjudul I’tiqaduna Fi Al Qur’an menyebutkan : “ Keyakinan kami tentang Al Qur’an ialah bahwa Al Qur’an yang sebenarnya adalah yang sekarang ada pada masyarakat dunia dan tidak lebih dari itu. Dan, orang yang menuduh bahwa Syi’ah Imamiyah mengatakan dan beranggapan lebih dari itu, ketahuilah bahwa ia adalah seorang pembohong”.
Al Qummi juga dengan tegas mengatakan bahwa “ Keyakinan dan anggapan seperti itu adalah anggapan seluruh Imamiyah dan mereka mengatakan bohong kepada orang yang menuduh adanya pengubahan ( tahrif ) pada Syi’ah ”
2. Syaikh Muhammad bin Hasan Al Thusi
Al Tibyan fi Tafsir Al Qur’an : “Anggapan bahwa Al Qur’an telah dikurangi dan ditambah sama sekali tidak layak diketengahkan oleh siapapun yang membahas persoalan ini, sebab adanya tambahan sudah di-ijma’- kan kebatilannya”
3. Abu Ali Al Fadhl Al Thabrasi
Penulis kitab Tafsir Majma’ Al Bayan mengatakan dalam salah satu mukadimah kitabnya : “ Anggapan tentang adanya penambahan Al Qur’an merupakan satu hal yang sudah jelas salah dan menyalahi ijma’ yang ada….”.
4. Syaikh Al Nabhani
Al Syaikh Bahauddin Muhammad bin Al Husain Al Amili berkata : “ Pendapat yang benar ialah bahwa Al Qur’an terjaga dari pengubahan baik berupa pengurangan maupun penambahan, berdasarkan firman Allah SWT : “ Dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya “ ( QS 15 : 9 ).
5. Al Muhaqqiq Al Tsani
Syaikh Ali bin Abdil Al Kharkhi yang dikenal dengan gelar Al Muhaqiq Al Tsani telah menulis sebuah buku tentang penolakan adanya pengurangan dan penambahan Al Qur’an berdasarkan ijma’.
6. Syaikh Ja’far Al Najafi
Syaikh Ja’far Al Najafi adalah seorang yang terkemuka pada zamannya dan ia adalah salah seorang ahli fiqih. Dalam mukadimah bukunya yang berjudul Kasyif Al Ghita’ , beliau menulis : “Tidak ragu lagi, Al Qur’an senantiasa terjaga dari kekurangan dengan penjagaan yang ketat dari Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan kesepakatan para ulama di setiap zaman. Pendapat beberapa orang yang menolak keterangan itu tidak perlu dirisaukan”
7. Al Sayyid Muhsin Al Muhaqqiq Al Baghdadi
Ia adalah salah satu tokoh terkemuka pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Syarh Al Waqifiyah , sebuah uraian mengenai ushul fiqih, ia menulis : “ Adanya ijma’ para ulama tentang tidak adanya tambahan di dalam Al Qur’an didukung oleh kebanyakan ulama. Begitu pula ulama kami, Syi’ah Imamiyah, mereka juga sepakat tentang tidak adanya kekurangan di dalam Al Qur’an”
Yang kami sebutkan di atas adalah nama ulama akhir – akhir ini atau yang sering kali disebut dengan ulama’ mutaakhkhirin . ( ‘Sunnah Syi’ah Dalam Ukhuwah Islamiyah, karya tokoh Syi’ah termuka, Husain Al Habsyi, halaman 98 – 102 ).
HADIST NAWADIR ATAU SYADZ (JARANG) YANG DIJADIKAN SANDARAN OLEH LAWAN –LAWAN SYIAH UNTUK MEMBUKTIKAN BAHWA AL-QURAN SYIAH BERBEDA DENGAN KAUM MUSLIMIN YANG LAIN
“ Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril AS kepada ( Nabi ) Muhammad SAW adalah 17 ribu ayat ”
Memang benar, hadis di atas diriwayatkan Syeikh al Kulaini (RH) dalam Kitab Al Kâfi pada Kitabu Fadhli Al Qur’an, Bab An Nawâdir. Namun, yang luput dari perhatian Ustad FAU ialah kenyataan bahwa hadis di atas adalah hadis Âhâd (bukan mutawâtir) yang tidak akan pernah ditemukan di bagian lain di dalam kitab Al Kâfi maupun kitab-kitab hadis Syi’ah lainnya dengan sanad di atas.
For your information, Ustad. Bahwa al Kulaini (RH) memasukkan hadis di atas dalam Bab An Nawâdir. Dan, tahukah anda apa yang kami maksudkan dengan An Nawadir , Ustad ?. Seperti disebutkan Syeikh Mufîd bahwa para ulama Syi’ah telah menetapkan bahwa hadis-hadis nawâdir adalah tidak dapat dijadikan pijakan dalam amalan, sebagaimana istilah nadir ( bentuk tunggal kata Nawâdir) sama dengan istilah Syâdz. Dan para Imam Syi’ah AS. telah memberikan sebuah kaidah dalam menimbang sebuah riwayat yaitu hadis syâdz harus ditinggalkan dan kita harus kembali kepada yang disepakati al Mujma’ ‘Alaih.
Imam Ja’far as. bersabda:
يَنْظُرُ إلَى ما كان مِن رِوَايَتِهِم عَناّ فِي ذلك الذي حَكَمَا بِه الْمُجْمَع عليه مِن أصحابِك فَيُؤْخَذُ بِه من حُكْمِنَا وَ يُتْرَكُ الشَّاذُّ الذي ليْسَ بِمَشْهُوْرٍ عند أصحابِكَ، فإنَّ الْمُجْمَعَ عليه لاَ رَيْبَ فيه.
َ“Perhatikan apa yang di riwayatkan oleh mereka dari kami yang jadi dasar keputusan mereka. Diantara riwayat riwayat itu, apa yang disepakati oleh sahabat-sahabatmu, ambillah ! . Adapun riwayat yang syâdz dan tidak masyhur di antara sahabat-sahabatmu tinggalkanlah !. Karena riwayat yang sudah disepakati itu tidak mengandung keraguan ” ( HR. Al Kâfi, Kitab Fadhli Al ‘Ilmi, Bab Ikhtilâf Al Hadîts, hadis no. 10 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar