judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Senin, 22 April 2013

DIALOG FATHIMAH AS DAN ABU BAKAR; Mengungkap kebohongan sebuah hadis politik.


By : Saleh Lapadi

Peristiwa Fadak banyak dianalisa oleh ahli sejarah. Beragam buku ditulis untuk menetapkan bahwa tanah Fadak milik Rasulullah saw dan telah diwariskan kepada anaknya Fathimah al-Zahra as. Dimulai dari analisa teks, sejarah, sosial, ekonomi sampai politik dapat ditemukan dalam buku-buku itu. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah Fadak bagi Syiah.


Namun, apakah sesungguhnya demikian?


Menilik khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as, ternyata dari keseluruhan khotbahnya tidak banyak menyinggung masalah Fadak. Terutama bila Abu Bakar, khalifah waktu itu, tidak menyela khotbah Sayyidah Fathimah as dan membawakan argumentasi mengapa ia mengambil Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as, maka khotbah tentang tanah FAdak semakin sedikit. Di samping itu, masalah Fadak dibawakan oleh Sayyidah Zahra pada bagian-bagian akhir dari khotbahnya.


Untuk lebih jelasnya apa sebenarnya yang terjadi dalam dialog keduanya, perlu untuk mengkaji kembali khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as. Hal ini akan memperjelas apa sebenarnya yang terjadi antara keduanya.

Sanad khotbah

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang dikenal oleh ulama Syiah dan Ahli Sunah. Mereka meriwayatkan khotbah Sayyidah Zahra as ini dengan sanad yang dapat dipercaya. Bagi Syiah, khotbah ini diriwayatkan dari berbagai sanad yang sampai kepada para Imam as atau dari Sayyidah Zainab as anak Imam Ali bin AbiThalib as. Sekalipun ini adalah khotbah, namun bagi Syiah menjadi sandaran dan dalil.|

Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari dalam bukunya “Saqifah dan Fadak” menukil sanad-sanad khotbah Sayyidah Fathiman as. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menyebutkan empat jalur sanad yang diriwayatkan oleh al-Jauhari:


1. Al-Jauhari dari Muhammad bin Zakaria dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari HAsan bin Saleh bin Hayy dari dua orang Ahlul Bait Bani Hasyim dari Zainab binti ali bin Abi Thalib as dari ibunya Sayyidah Fathimah as.

2. Al-Jauhari dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein as.

3. Al-Jauhari dari Utsman bin Imran al-Faji’i dari Nail bin Najih dari Umar bin Syimr dari Kabir Ja’fi dari Abu Ja;far Muhammad bin Ali (Imam Baqir as).

4. Al-Jauhari dari Ahmad bin Muhammad bin Yazid dari Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan sebutan Abdullah al-Mahdh bin Fathimah binti al-Husein dan ibnu al-Hasan al-Mutsanna.


Ali bin Isa al-Irbil salah seorang ulama Syiah menukil khotbah ini dari buku “Saqifah dan Fadak” milik Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Ia menyebutkan, “Saya menukil khotbah ini dari buku Saqifah dan Fadak karangan Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Sebuah buku dari naskah kuno yang telah dibaca dan di tashih oleh penulis pada tahun 322 hijriah dengan sanad yang berbeda-beda”.[1]


Mas’udi dalam bukunya Muruj al-Dzahab[2] mengisyaratkan mengenai khotbah ini.


Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir (lahir 204 H) ulama yang hidup pada zaman Ma’mun khalifah Bani Abbas dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ meriwayatkan khotbah ini dari beberapa jalur:

1. Perawi mengatakan, “Aku berada di sisi Abu al-Hasan Zaid bin Ali bin al-Husein as. Pada waktu itu aku sedang berdialog dengan Abu Bakar Mauqi’i tentang masalah Sayyidah Fathimah as dan bagaimana Fadak diambil darinya. Aku berkata, “Kebanyakan masyarakat punya pendapat tentang khotbah ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa khotbah ini milik Abu al-‘Anina dan bukan milik Sayyidah Fathimah as. Zaid menjawab, “Saya sendiri melihat tokoh-tokoh dari keluarga Abu Thalib yang menukil khotbah ini dari ayah-ayah mereka. Khotbah ini juga saya dapatkan dari ayah saya Ali bin al-Husein as. Lebih dari itu, tokoh-tokoh Syiah meriwayatkan khotbahini dan mengejarkannya sebelum kakek Abu al-‘Aina lahir ke dunia.

2. Khotbah ini dinukil oleh Hasan bin Alawan dari Athiyah al-Aufi dari Abdullah bin al-Hasan dari ayahnya.

3. Ja’far bin Muhammad berada di Mesir. Suatu hari aku melihatnya di Rafiqah dan berkata, “Ayah saya meriwayatkan hadis kepada saya dan berkata, “Musa bin Isa mengabarkan kepada kami dari Ubaidillah bin Yunus dari Ja’far al-Ahmar dari Zaid bin Ali bin al-Husein as dari bibinya Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir berkata, “Semua hadis ini saya lihat berada pada Abu Haffan.[3]

Tuntutan dan argumentasi Sayyidah Fathimah as

Untuk mengetahui secara detil apa sebenarnya yang terjadi dalam khotbah dan dialog antara Sayyidah Fathimah as dengan Abu Bakar sangat perlu untuk melihat langsung teks khotbah itu.[4]

Pada salah satu bagian dari khotbahnya Sayyidah Fathimah as menuntut haknya atas tanah Fadak:
Saat ini kalian menganggap bahwa kami tidak punya warisan!?

Apakah mereka menginginkan hukum jahiliah, padahal hukum mana yang lebih dari hukum Allah bagi mereka yang beriman.
Apakah mereka tidak tahu!?

Ya, kalian mengetahui bahwa aku adalah putri Nabi. Pengetahuan kalian bak sinar mentari, jelas.

Wahai kaum muslimin! Apakah pantas aku menjadi pecundang atas warisan ayahku!?

Wahai anak Abu Quhafah! Apakah ada dalam al-Quran ayat yang menyebutkan bahwa engkau mewarisi harta ayahmu, sementara aku tidak mewarisi harta ayahku!? Engkau telah membawa tuduhan yang aneh!

Apakah kalian secara sengaja meninggalkan al-Quran dan meletakkannya di punggung kalian ketika al-Quran mengatakan: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”[5].

Al-Quran menukil cerita Yahya bin Zakaria ketika berkata: “Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”.[6]

Dan Allah berfirman: “orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam Kitab Allah”.[7]

Dan allah berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.[8]

Dan Allah berfirman: “berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.[9]

Dan kalian menganggap aku tidak mewarisi sesuatu dari harta ayahku?

Apakah ada ayat yang turun kepada kalian yang mengecualikan ayahku?

Ataukah kalian akan mengatakan bahwa keduanya (aku dan ayahku) menganut agama yang berbeda sehingga tidak mewarisi?
Bukankah aku dan ayahku berasal dari agama yang satu?

Ataukah kalian merasa lebih tahu tentang al-Quran dari ayahku dan anak pamanku (Imam Ali bin Abi Thalib)?

Bila memang kalian mengklaim demikian, maka ambil dan rampaslah warisanku yang terlihat bak kendaraan yang telah siap sedia!? Tapi, ketahuilah! Ia akan menghadapimu di hari kiamat.

Sesunguhnya, sebaik-baik hukum adalah hukum Allah, sebaik-baik pemimpin adalah Muhammad dan sebaik-baik pengingat adalah hari kiamat.

Ketika hari kiamat tiba, orang-orang yang batil akan mengalami kerugian. Pada waktu itu penyesalan tidak lagi bermanfaat.


Setiap berita ada tempatnya dan kalian akan tahu siapa yang diazab sehingga hina dan senantiasa ia mendapat siksaan yang pedih!

Jawaban Abu Bakar

Setelah Sayyidah Fathimah as mengajukan tuntutan dan mengargumentasikan haknya, beliau kemudian menatap orang-orang Anshar dan mengingatkan siapa mereka dan betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga Islam. Namun, nilai dan kesempurnaan sesuatu akan dinilai pada akhirnya. Cinta terhadap kedudukan membuat mereka lupa menolong dan membantu putri Rasulullah saw. Dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa kalian punya potensi untuk menghadapi penguasa yang tidak sah dan zalim. Namun, ketika mereka tidak bangkit Sayyidah Zahra as tidak menerima alasan mereka. Upaya Sayyidah Zahra as untuk membangkitkan semangat kaum Anshar membela kebenaran kemudian diputus oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah waktu itu dengan jawabannya.


Abu Bakar menjawab tuntutan dan argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as dengan ucapannya:
Wahai putri Rasulullah saw! Ayahmu seorang yang lembut, pengasih dan dermawan atas orang-orang mukmin, sementara itu bila menghadapi orang-orang kafir ia sangat keras.
Bila dilihat dari sisi hubungan kekeluargaan, ia adalah ayahmu dan saudara ayahmu. Sementara tidak ada orang lain yang sepertimu.
Kami melihat bagaimana Nabi begitu memperhatikan suamimu lebih dari yang lain. Dalam setiap pekerjaan besar, suamimu pasti menjadi penolong Nabi. Hanya orang yang selamat saja yang mencintai kalian dan hanya orang celaka saja yang membenci kalian. Kalian adalah Itrah Rasulullah yang baik.
Kalian adalah penunjuk dan penuntun ke arah kebaikan dan surga.
Dan engkau adalah wanita terbaik dan putri terbaik dari para Nabi.
Engkau benar dalam ucapanmu dan akal dan pemahamanmu lebih cerdas dari yang lain.
Tidak ada yang dapat menghalangi hak Anda dan kebenaranmu tidak bisa ditutup-tutupi.
Demi allah! Aku tidak melanggar pendapat Rasulullah saw dan aku tidak berbuat kecuali dengan seizinnya. Seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.

Dalam masalah ini aku menjadikan Allah sebagai saksi dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Aku mendengar sendiri dari Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam. Kami hanya mewariskan al-Quran, al-Hikmah, al-Ilmu dan al-Nubuwah. Apa saja yang tertinggal dari kami, maka itu menjadi hak milik pemimpin setelah kami. Dan apa yang menjadi maslahat itu yang bakal diputuskan olehnya.

Apa yang engkau tuntut dari tanah Fadak, itu akan kami pakai untuk menyiapkan kuda dan senjata bagi para pejuang Islam untuk menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang jahat.
Masalah ini tidak aku putuskan sendiri, tetapi lewat kesepakatan seluruh kaum muslimin aku melakukan itu.
Ini kondisi dan apa yang saya miliki menjadi milik engkau.
Apa yang bisa saya lakukan akan saya lakukan dan saya tidak menyimpan apapun di hadapan engkau.
Engkau adalah panutan umat ayahmu dan pohon yang memiliki akar yang baik bagi keturunanmu.
Keutamaan yang engkau miliki tidak dapat dipungkiri oleh seorang pun.
Hak-hak engkau tidak akan dicampakkan begitu saja; baik masalah penting atau tidak.
Apa yang engkau perintahkan terkait dengan diri saya akan saya lakukan.
Apakah engkau merasa layak bahwa dalam masalah ini saya menentang aturan ayahmu?

Jawaban balik Sayyidah Fathimah as

Setelah mendengar jawaban dari Abu Bakar mengenai tuntutannya atas tanah Fadak, Sayyidah Fathimah as menjawab:
Subhanallah! Rasulullah saw tidak pernah memalingkan wajahnya dari al-Quran dan tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada di dalamnya.
Nabi senantiasa mengikuti al-Quran dan surat-suratnya.

Apakah engkau mulai mengeluarkan tipu dayamu dengan berbohong atas namanya mencoba mencari alasan atas perbuatanmu?

Tipu daya ini sama persis seperti yang dilakukan terhadapnya ketika Nabi masih hidup.

Ini adalah al-Quran, Kitab Allah yang menjadi juru adil, pemutus perkara dan berbicara atas nama kebenaran. Al-Quran mengatakan: “seorang putra yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” dan “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.

Allah telah membagi bagian para ahli waris sesuai dengan bagiannya secara gamblang sehingga tidak ada orang mencari-cari alasan di kemudian hari. Semestinya engkau mengamalkan yang seperti ini.

Namun engkau melakukan sesuatu yang lain karena hawa nafsu dan bisikan setan.

Dalam kondisi yang demikian, pilihan terbaik adalah bersabar karena kesabaran itu indah dan Allah adalah penolong dari apa yang kalian gambarkan.

Penjelasan terakhir Abu Bakar

Sanggahan terakhir Sayyidah Fathimah as membuat Abu Bakar tidak lagi menyangkal perbuatannya dengan hadis yang dipakai sebelumnya setelah dengan cerdik Sayyidah Fathimah as menjelaskan premis mayor bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. Setelah dihadapkan dengan ayat-ayat yang disebut itu, Abu Bakar menjawab:
Maha benar Allah, benar apa yang disabdakan Rasulullah dan benar juga apa yang diucapkan oleh putri Rasulullah saw.
Engkau adalah tambang kebijakan, pusat hidayah dan rahmat, tiang agama dan sumber kebenaran.

Aku tidak mengatakan apa yang engkau katakan adalah salah dan tidak mengingkari khotbahmu, namun mereka kaum muslimin sebagai juri yang menilai antara saya dengan engkau. Mereka memilih saya sebagai khalifah dan apa yang saya raih ini berkat kesepakatan mereka tanpa ada paksaan dan kesombongan dari diriku. Dalam hal ini mereka semua menjadi saksi.

Analisa argumentasi Abu Bakar

Bila dilihat secara teliti, sebenarnya Abu Bakar telah mengetahui bahwa bagaimana sebelumnya Sayyidah Fathimah as telah membawakan ayat-ayat yang menunjukkan bagaimana para Nabi mewariskan hartanya kepada anaknya. Jadi, hal ini sudah dipahami secara baik oleh Abu Bakar. Namun, untuk menjustifikasi perbuatannya ia perlu sebuah landasan berpijak yang kokoh. Tidak cukup hanya dengan alasan sebagai penguasa waktu itu, sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw, ia akan memanfaatkan tanah milik Rasulullah saw yang diwariskan kepada anaknya untuk mendanai angkatan perang. Artinya, menyita tanah Fadak milik putri Rasulullah saw tidak cukup dengan menyampaikan alasan kebijakan politik, tapi harus dengan bersandar pada ayat al-Quran atau sabda Nabi.


Sebagaimana telah disebutkan dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa yang paling mengetahui al-Quran adalah Nabi Muhammad saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Selain itu, Sayyidah Fatahimah as membacakan beberapa ayat al-Quran untuk memenangkan tuntutannya. Di sini Abu Bakar terpaksa memakai hadis yang disebutnya berasal dari Rasulullah saw. Hadis ini dipakainya untuk mematahkan klaim Sayyidah Fathimah as dan setelah itu baru ia menyebutkan alasan sebenarnya mengapa ia menyita tanah itu. Abu Bakar melihat bahwa tanah sebesar itu dapat mendanai angkatan perang untuk menghadapi musuh-musuh Islam


Sebenarnya, alasan itu juga yang dipakai untuk menyita paksa tanah Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as. Bila tanah itu tidak disita, maka kemungkinan besar pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as dapat melakukan perlawanan fisik bahkan bersenjata melawannya. Bila tanah itu dapat dipakai untuk mendanai angkatan bersenjatanya, maka hal yang sama dapat dipergunakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Itulah mengapa ketika Sayyidah Zahra as tengah berbicara mengenai masalah Fadak, Abu Bakar tidak melakukan protes dengan menjawab argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as. Tapi, ketika pembicaraan telah berpindah mengenai kaum Anshar, di mana Sayyidah Zahra as menjelaskan dengan terperinci posisi dan peran mereka dalam Islam dan setelah itu mengingatkan mereka dengan pesan-pesan Rasulullah saw mengenai Ahlul Baitnya serta apa akibatnya orang yang tahu kebenaran tapi tidak membela kebenaran, Abu Bakar lantas menjawab mengenai masalah Fadak yang telah disebutkan sebelumnya. Jelas, bila hal ini dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar kaum Anshar akan terpengaruh dengan ucapan anak semata wayang Rasulullah saw ini.


Dari sini jelas, jawaban Abu Bakar menjadi terlihat terburu-buru. Karena yang harus dilakukannya adalah membawa argumentasi yang lebih kuat lagi setelah mendengar Sayyidah Zahra as menyebutkan bagaimana para Nabi saling mewarisi. Ketika mendapat jawaban dari Sayyidah Zahra as yang terlebih dahulu menyebutkan bagaimana Rasulullah saw tidak pernah menentang hukum-hukum al-Quran, beliau kemudian mengulangi lagi dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sayyidah Fathimah as tidak saja mengulangi ayat-ayat tersebut, tapi juga menjelaskan bagaimana caranya menggabungkan ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang menjelaskan bagian-bagian yang didapatkan oleh ahli waris. Pada akhirnya, Sayyidah Fathimah as menjelaskan filsafat hukumnya mengapa bagian-bagian ahli waris disebutkan secara terperinci, karena dikemudikan hari tidak ada lagi kerancuan dan kebingungan dalam masalah ini.

Pesan dialog

Melihat porsi pembahasan tanah Fadak dalam khotbah Sayyidah Fathimah as bila dibandingkan dengan keseluruhan khotbah yang cukup panjang itu, dapat diamati bahwa tujuan Sayyidah Fathimah as lebih mulia dari sekedar yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka menganggap Sayyidah Fathimah as menuntut tanah Fadak karena beliau tidak berbeda dengan orang lain yang juga begitu menitikberatkan masalah materi. Bila tujuan Sayyidah Zahra as adalah sekadar memenuhi kebutuhan materi sekalipun dari jalan halal karena itu adalah miliknya, maka masalah Fadak akan menyita sebagian besar dari khotbah itu.

Bila dalam peristiwa Saqifah, Sayyidah Fathimah as datang ke sana dan menegaskan kepada mereka bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah sepeninggalnya. Mereka akan menjawab bahwa ini hanya masalah keluarga. Ia menginginkan agar suaminya menjadi pemimpin dan yang berkuasa.


Bila sejak awal, Sayyidah Zahra as menekankan masalah Fadak dan itu adalah miliknya, ia akan dituduh sebagai mata duitan dan kekuasaan. Karena ia ingin segalanya berada di tangannya dan tangan keluarga Nabi as. Pada akhirnya, mereka akan dituduh sebagai rasialis, karena tidak senang melihat pos-pos yang basah menjadi milik orang lain.


Masalah warisan dalam krisis tanah Fadak waktu itu dipergunakan dengan baik oleh Sayyidah Zahra as untuk menunjukkan bahwa mereka yang memerintah tidak memiliki kelayakan. Contoh yang akan ditampilkan adalah masalah tanah Fadak. Isu tanah Fadak dijadikan sarana oleh Sayyidah Fathimah as. Beliau ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa pengganti Rasulullah saw yang disebut sebagai khalifah Rasulullah saw tidak mengerti masalah peradilan. Khalifah yang tidak mengetahui bagaimana cara mengadili orang lain berdasarkan ajaran Islam tidak layak menjadi khalifah.


Sayyidah Zahra as ingin mengatakan bahwa khalifah yang dipilih ini tidak punya kelayakan karena dalam masalah warisan yang mudah saja ia tidak mampu menyelesaikannya. Permasalahan sebenarnya bisa terhenti di sini, tapi karena Abu Bakar bangkit dan menjawab khotbah Sayyidah Zahra as, masalah menjadi lebih menguntungkan Sayyidah Zahra as dan merugikan Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjawab tuntutan Sayyidah Zahra as dengan hadis yang berbunyi: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam”, Sayyidah Zahra as kemudian mengadu hadis itu dengan al-Quran. Namun, sebelum itu beliau memberikan tolok ukur bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad saw tidak pernah bertentangan dengan hukum-hukum al-Quran.


Pada kondisi yang seperti ini, Abu Bakar tidak dapat berbuat apa-apa, karena hadis yang dibawakannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Semua tentu masih ingat bagaimana Rasulullah saw bersabda bahwa setiap hadis yang bertentangan dengan al-Quran harus dilemparkan ke tembok. Artinya, tidak dipakai. Hadis itu bukan hadis Nabi. Lebih berat lagi, hadis itu adalah hadis palsu. Di sini, kasus tanah Fadak bukan saja menyingkap masalah ketidaklayakan seorang khalifah menyelesaikan sebuah masalah ringan tentang warisan, tapi telah dihadapkan pada penggunaan hadis palsu; sengaja atau tidak. Untuk menjatuhkan argumentasi Sayyidah Zahra as, Abu Bakar terpaksa mempergunakan hadis palsu. Namun, dengan membawakan dua ayat terbongkar juga masalah ini.


Tidak ada jalan lain, Abu Bakar terpaksa mengakui kelihaian Sayyidah Zahra as dan keluasan pengetahuannya. Abu Bakar akhirnya hanya dapat berargumentasi bahwa ia dipilih secara aklamasi oleh seluruh para sahabat tanpa paksaan dan kebijakan yang diambilnya adalah demikian. Lagi-lagi Abu Bakar terjerumus dengan menjadikan orang-orang sebagai tolok ukur dan bukan al-Quran.

Penutup

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang masyhur. Khotbah yang menunjukkan kefasihan, keberanian dan keluasan pengetahuan putri Rasulullah saw. Salah satu data sejarah paling autentik mengenai kondisi umat Islam generasi awal. Selain kajian sosial, hukum dan politik tidak lupa juga membahas masalah isu-isu keislaman seperti tauhid, keadilan ilahi, kenabian, imamah, hari akhir, filsafat hukum dan lain-lain.

Salah satu kajian yang menarik dari khotbah Sayyidah Zahra as adalah dialognya dengan Abu Bakar yang menjadi khalifah setelah terpilih di Saqifah. Dialog-dialog ini dapat memberikan nuansa baru untuk memahami polemik yang terjadi antara keduanya dalam masalah tanah Fadak.
Qom, 18 Juni 2007
________________________________________________________________________________________________
[1] . Kasyf al-Ghummah, jilid 2, hal 304. Menukil dari buku Syarhe Khutbeye Hazrate Zahra as, Ayatullah Sayyid Izzuddin Huseini Zanjani, Qom, 1375, cet 5, hal 17.
[2] . Cetakan Najaf, hal 12. Ibid.
[3] . Dinukil dari Syrahe Khutbeye Hazrate Zahra as, ibid.
[4] . Lihat http://islamalternatif.net/iph/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=1
[5] . Al-Naml: 16.
[6] . Maryam: 5-6.
[7] . Al-Anfal:75.
[8] . Al-Nisa’: 11.
[9] . Al-Baqarah: 180

ABU DZAR AL GHIFFARI (yang dikhabarkan Arrasul sawa sebagai Orang Paling Jujur setalah Ahlul Bait as) didepan Majelis Abu Bakar


oleh Tiara Satrie (Catatan) pada 4 November 2012 pukul 9:43


Didepan Majelis BAI'AH Abubakar Abu Dzar lantang berseru menyampaikan yang HAQ :

“Wahai umat yang bingung selepas Nabinya dikhianati..

Sesungguhnya Allah berfirman dalam Surah Ali al-Imran (3): 33-34
‘‘Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran ke atas sekalian alam. (Mereka itu) satu keturunan, sesetengahnya akan sesetengah yang lain dan Allah Maha Mendengar dan Maha mengetahui”

Maka Keluarga Muhammad adalah dari keturunan Nuh, Ibrahim dan Isma‘il..‘Itrah (keturunan) Nabi Muhammad Sawa. adalah Ahl Bait al-Nubuwwah, tempat turunnya perutusan dan tempat berkunjungnya para Malaikat.

Mereka seperti langit yang diangkat, gunung yang tersergam, Ka‘bah yang tersembunyi, mata yang bersih, bintang petunjuk dan pohon yang diberkati yang telah memancarkan cahayanya serta diberkati minyaknya oleh Muhammad, penutup segala nabi dan penghulu anak Adam.

Sementara Ali adalah wasi kepada segala wasi dan IMAM bagi orang yang BERTAQWA. Beliau adalah al-Siddiq al-Akbar, al-Faruq al-A‘zam, wasi Muhammad, pewaris ilmunya dan orang yang paling aula dengan al-Mukminin dari diri mereka sendiri sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Ahzab (33): 6 ‘‘Nabi adalah aula (dekat) dengan Mukminin dari diri mereka sendiri, manakala isteri-isterinya adalah ibu mereka dan kerabat pertalian darah sebahagian mereka lebih aula dari yang lain di dalam Kitab Allah”.

Lantaran itu DAHULUKANLAH mereka yang telah didahulukan oleh Allah dan kemudiankanlah mereka yang telah dikemudiankan oleh Allah. Jadikanlah wilayah, dan wirathah bagi orang yang dipilih oleh Allah SWT.

[Al-Syarif al-Radhi, Nahj al-Balaghah, hlm.162-3.Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi‘ al-Mawaddah, hlm. 124-125]

Abdullah bin Umar (Periwayat hadits terkemuka 'sebelah') Membantu Tentara Dajjal Yazid Menebar Prahara di Madinah.


oleh Tiara Satrie (Catatan) pada 6 Februari 2013 pukul 14:22

Setelah Pembantaian Imam Husain as dan Syi'ah beliau di Karbala pada 61 H, maka pada tahun 62 H sekelompok warga Madinah pergi ke Syam. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan perbuatan mungkar Yazid bin Muawiyah. Dari sinilah mereka sadar bahwa khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin adalah orang yang tidak mengenal agamanya. Setibanya di kota Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi di Syam kepada penduduk Madinah. Mereka mengutuk Yazid. Abdullah bin Handhalah ra yang juga ikut pegi ke Syam berkata, “Wahai penduduk Madinah, kami baru saja tiba dari Syam. Kami sempat bertemu dan bertatap muka langsung dengan Yazid. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang yang tidak mengenal agamanya. Dia adalah seorang yang meniduri ibu, anak dan saudara sekaligus. Yazid adalah seorang peminum khamar, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat dan bahkan membantai anak keturunan Nabi.”
.
Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.

Dan Perbuatn mereka semua itu atas dukungan Abdullah bin Umar, tercatat dalam Sejarah Abdullah bin Umar ini adalah Orang yang PALING KERAS MENOLAK Imam Ali as dan malah Mendukung Pergerakan Muawiyah dalam Merongrong Kekhalifahan yang Sah.

Dia juga membaiat Yazid bin Muawiyah seperti yang tercatat dalam Bukhari bahwa Abdullah bin Umar mengumpulkan anak anak dan pelayan pelayananna lalu berkata pada mereka : “kami telah membai’at Yazid berdasarkan bai’at Allah dan Rasul Nya. Saya sendiri pernah mendengar Nabi sawa bersabda bahwa pada hari kiamat bendera akan dipasangkan untuk seorang pengkhianat seraya mengatakan ; Ini tipu daya si fulan. Dan pengkhianatan terbesar setelah syirik pada Allah adalah orang yang berbai’at pada Allah dan Rasul Nya kemudian ia memutuskan bai’at nya itu. Karena itu janganlah kamu memutuskan bai’at mu pada Yazid dan janganlah berusaha untuk mendapatkan kekhalifahan ini karena ia akan menjadi pedang antara diriku dan dirnya”
(HR.Bukhari juz 1 halaman 166 dan Musnad Ahmad juz 2 halaman 96 )

Padahal Bukhari dan Muslim menulis dalam kitab shahih mereka bahwa Arrasul sawa bersabda, “Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya.”

Ga usah Heran Kenapa sampai Seorang seperti Abdullah bin Umar dapat Menjadi Perawi Andalan "Sebelah" (Urutan kedua dengan 2.630 hadits) sementara Abu Hurairoh (Urutan Pertama dengan 5374 hadits) juga Ikut dalam Pasukan Muslim bin Uthbah yang Meluluh lantakan Madinah selama 3 Hari itu.

Korban Peristiwa itu Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami.”

Hadits Palsu "Tentang Kafirnya Abu Thalib" tercatat dalam Shahih Bukhori, Piye Tho ?


oleh Tiara Satrie (Catatan) pada 19 Februari 2013 pukul 23:20
Bukhari dalam sahihnya mencatat, diriwayatkan oleh Musyaid:
Ketika kematian Abu Thalib mendekat, Rasulullah mendekatinya. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah telah berada di sana. Rasulullah bersabda, “Wahai paman, katakanlah, ‘Tiada yang patut disembah kecuali Allah sehingga aku dapat membelamu dengannya di hadapan Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib! Apakah engkau akan mengulang kembali ucapan agama Abdul Muthalib?” Lalu Nabi berkata, “Aku akan tetap memohonkan (kepada Allah) ampunan bagimu meski aku dilarang melakukannya.

Lalu turunlah Surah at-Taubah ayat 113, “Tiadalah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang yang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni Jahanam.”

Ayat di atas merupakan salah satu ayat dari surah at-Taubah. Beberapa hal mengenai ayat ini :
Pertama: Surah dari ayat ini turun di Madinah, kecuali dua ayat terakhir (192 dan 129).
Kedua: Ayat yang menjadi topik pembahasan adalah ayat 113;
Ketiga: Surah at-Taubah turun pada tahun 9 Hijriah. Surah ini berkisah tentang peristiwa yang terjadi selama kampanye Tabuk, yaitu pada bulan Rajab 9 H. Nabi Muhammad telah memerintahkan Abu Bakar untuk mengumumkan bagian pertama surah ini pada musim haji di tahun itu ketika Nabi mengutusnya sebagai Amirul Hajj. , Nabi Muhammad mengutusnya dan Memintanya untuk memberikan surah tersebut dan berkata, “Tiada seorangpun yang membawa surah ini kepada mereka kecuali salah satu dari Ahlulbaitku.” Lalu, Nabi Muhammad sawa mengutus Ali. [1]


Shahih al-Bukhari yang menyebutkan peristiwa yang serupa dengan hadis sebelumnya.
Diriwayatkan Musyaib:
Ketika Abu Thalib menjelang ajal, Nabi Muhammad menemuinya dan melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhammad berkata, “Wahai paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?” Nabi Muhammad terus memintanya mengucap kalimat syahadat sedangkan dua orang tadi mengulang-ulang kalimat mereka hingga Abu Thalib mengatakan kepada mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’ Nabi berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu meskipun dilarang (Allah)!”
Lalu Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untukn memohonkan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik.”
Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat menunjuki orang yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash : 56). [2]

Tetapi hal ini bertolak belakang dengan hadis yang disebutkan Bukhari dalam sahihnya, dan membuktikan bahwa surah at-Taubah adalah salah satu surah yang terakhir turun. Berikut ini hadisnya; dari riwayat Bara, “Surah terakhir yang turun adalah surah at-Taubah...” [3]

Padahal Ayat yang disebutkan dari surah al-Qashash, turun kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah, dan turun di Mekkah, sedang surah at-Taubah turun di Madinah.

Orang yang mau berfikir sejenak akan menemukan bahwa telah terjadi usaha yang sia-sia dan mudah membongkarnya ini jelas untuk mendiskreditkan Abu Thalib dan dengan menyatakanmbeliau sebagai orang kafir berarti telah menyerang Pribadi Ali bin Abi Tahalib (AS) dengan mematahkan dalil bahwa Orang suci lahir dari sulbi dan rahim suci , kebohongan mereka dan pemalsuan memalukan ini tidak memperhatikan tatanan turunnya al-Qur’an.

Mari kita Perhatikan Penafsir Sunni yang sangat dihormati , kebingungan hingga mengeluarkan pendapat yang aneh, Fakhruddin Razi dalam tafsirnya dengan sumber surah Qashash ayat 56. la menyebutkan ayat ini tentang Abu’ Thalib, ‘bukan’ karena pendapat pribadinya, tetapi dari beberapa ulama lainnya. Lihat anehnya, ia mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dikait-kaitkan kepada keimanan Abu Thalib. [4]

Lalu Bukhori sebagai Imam , Bagaimana dia sampai mengetahui kapan ayat 113 dari At Taubah itu turun ?


-------------------------------------------------------------------------------------
1. Shahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 183, jilid 5, hal. 275, 283; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jiiid 1, hal. 3,151, jilid 3, hal. 212, 283; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 526, hadis 946; Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 51; Khasaish al-Awiiya’, Nasa’i, hal. 20; Fadha’il al-Khamsah, jilid 2, hal. 343; Siratun Nabi, Syilbi Numani, jilid 2, hal. 239.
2. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Arab-Inggris, jilid 6, hal. 278-279, hadis 295.
3. Shahih al-Bukhari, Kitabul Tafsir, versi bahasa Inggris, jilid 6, hal. 102, hadis 129. Sumber hadis Sunni lainnya yang menegaskan bahwa surah at-Taubah adalah surah yang terakhir turun dan merupakan surah Madaniyah adalah Tafsir al-Kusysyaf, jilid 2, hal. 49; Tafsir, Qurthubi, jilid 8, haI. 273; Tafsir al-Itqan, jilid l, hal. 18; Tafsir, Syaukani, jilid 3, hal. 316.
4. Tafsir al-Kabir, jilid 25, hal. 3.

Rasulullah sawa bersabda : “Wahai Ali, KAMU ADALAH PEMBERI PETUNJUK ITU"

oleh Tiara Satrie (Catatan) pada 22 November 2012 pukul 11:05
Asbabun Nuzul ..

Surah Ar-Ra’d : 7

Mundzir dan Pemandu Kepada Kebenaran .

“Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan (mundzir), dan setiap kaum (pasti memiliki) seorang pemberi petunjuk”

Yang dimaksud dengan “penunjuk jalan” dalam ayat di atas adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Ibnu abbas meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun Rasulullah sawa meletakkan tangan di atas dadanya sambil bersabda: “Aku adalah mundzir”.

Dan ketika membaca: “Wa li kulli qaumin hād”, beliau menunjuk ke arah Imam Ali as seraya bersabda:
“Wahai Ali, kamu adalah pemberi petunjuk itu, dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk setelah aku (wafat), mereka mendapatkannya melalui (petunjukmu)”.


Hadis ini dan hadis-hadis lain yang searti dengannya dapat dilihat di dalam buku-buku referensi berikut:
1.Tafsir Ath-Thabari, juz 13, hal. 72 dan 108.
2.Tafsir An-Naisaburi (catatan pinggir) Tafsir Jāmi’ul Bayān, juz 13, hal. 78.
3.Tafsir Fathul Qadīr, karya Asy-Syaukani, tentang ayat ini.
4.Tafsir Fakhrur Razi, juz 5, hal. 271, cetakan Dar At-Thaba’ah Al-‘Amirah, Mesir; juz 3, hal. 14, cetakan yang lain.
5.Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 502.
6.Ad-Durrul Mantsūr, karya As-Suyuthi, juz 4, hal. 45.
7.Syawāhidut Tanzīl, karya Al-Hakim Al-Haskani, tentang ayat ini.
8.Manāqib Ibnu Syahra-asyub, juz 2, hal. 280.
9.Nūrul Abshār, Asy-Syablanji hal. 71, cetakan Al-‘Utsmaniyah; hal. 71, cetakan As-Sa’idiyah, Mesir.
10.Tarjamah Al-Imam Ali bin abu Thalib dalam Tarikh Dimasyq, karya oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i, juz 2, hal. 415, hadis ke: 913, 914, 915, 916.
11.Mustadrak Al-Hakim, juz 3, hal. 129-130.
12.Yanābī’ul Mawaddah, karya Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 115-121, cetakan Al-Haidariyah: hal. 99 dan 104, cetakan Islambul.
13.Rūhul Ma’āni, karya Al-Alusi, juz 13, hal. 97.
14.Zādul Mashīr, Ibnu Jauzi Al-Hanbali, juz 4, hal. 307.
15.Fathul Bayān, karya Shiddiq Hasan Khan, juz 5, hal. 75.
16.Ihqāqul Haqq, karya At-Tustari, juz 3, hal. 77-93.
17.Fadhā`ilul Khamsah minas Shihāhis Sittah, juz 1, hal. 266.
18.Farā`idus Simthain, juz 1, hal. 148.

Allahumma inni ataqarrabu ilaika bi wilayati Ali yabna Abi Thalib (as)

Imam Ali as dan al-Quran Karim


by : Jalaluddin Farsi


Allah swt berfirman:

لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ

“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”[1]

Pembahasan ini berkisar seputar Imam Ali as dan al-Quran. Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah sawa berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari curan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang diterima Nabi sawa.

Mereka yang beriman kepada Rasulullah sawa di Madinah tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di Makkah) dan terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama efidence turunnya ayat-ayat.

Berkenaan dengan sebab turunnya ayat yang telah dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari “udhunun wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari, Ibnu Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah sawa bersabda kepada Ali as:

إنّ اللّه أمرنى أن أدنيك و لا أقصيك و أن أعلّمك و أن تعي و حقّ لك أن تعي.

Maka turunlah ayat ini «لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan Abu Na’im dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan dengan nukilan hadis lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as: “فأنت أذن واعية لعلمي”

Demikian juga dalam tafsiran ayat ini, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang mana setelah turun ayat “وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ” Rasulullah sawa bersabda: “Aku berharap dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti demikian”. Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu dari Nabi saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini dari Abu Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal).

Dalam surat al-Haaqqah sebelum ayat ini, Allah swt menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap dan juga nabi-nabi terdahulu dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk menjangkau dan memahami serta menjaga perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah) pada sejarah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas potensial dan menyeluruh. Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik dari seluruh sahabat Rasulullah sawa dan mengajarkan kepada yang lain.

Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi berkeyakinan bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara itu Ibnu Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid Ibnu Abbas.

Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik dalam memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para sahabat dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.

Ibnu Abbas mengenai ayat suci “إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ” berkata : Allah swt telah mengumpulkan al-Quran di hati dan dada Ali as dan beliau as sepeninggal Rasulullah sawa mengumpulkan dan membukukannya selama 6 bulan.

Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan Khatib dalam “Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan : Ketika Nabi sawa meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menyingkapkan jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku melakukan hal tersebut.

Para ahli sejarah dan tafsir juga menyepakati bahwa hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum orang lain berfikir untuk mengumpulkan dan menyusunnya.

Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan bahwa Abu Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah sawa dan berdasarkan wasiat beliau sawa, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan membawanya ke hadapan kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada mereka. Ketika salah seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat kemarahan-kemarahan orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.

Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali as berkenaan dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar rumah sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini sendiri adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai al-Quran Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang ingin mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:

“إِنَّ كَثِيراً مِنَ الْأَحْبارِ وَ الرُّهْبانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوالَ النَّاسِ بِالْباطِلِ”

hingga ayat berikutnya yang berbunyi:
“وَ الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَ لا يُنْفِقُونَها فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَلِيمٍ"

ketika mereka ingin menghilangkan «واو» dari ujung «الّذين» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «الّذين» ini yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.

Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di rumah dan menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar manusia bahkan Nabi sawa, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa ayat-ayat diturunkan).

Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari Abdullah bin Umar.

Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga berkata, Imam Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku mengenai al-Quran sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan dengan siapa-siapa saja dan kapan.

Adapun untuk memahami urgensitas penjelasan urutan, kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua contoh; salah satunya berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi menyangkut sebab turun.

Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua ayat berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya nasikh (menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat nasikh berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat mansukh 240). Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu mengenal persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang mengetahui hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan al-Quran hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau posisi ayat-ayat kepada Nabi sawa.

Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu turun, malaikat wahyu berkata kepada Nabi sawa, letakkanlah ayat ini di ujung ayat ini. Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki urgensitas luar biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.

Contoh berikutnya mengenai sebab turunnya ayat. Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai bagaimana terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau sahabat lain Rasulullah sawa dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat 120 surat Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah engkau ikut serta dalam perang ini bersama kami.

Di antara kejadian-kejadian perang Uhud adalah pada mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah pengosongan lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda tentara musuh ke tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi sawa memberikan perintah supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan bersandar ke gunung serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.
Nabi sawa berada di barisan belakang tentara dan beliau sawa juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw berada dalam serangan bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi melakukan pembunuhan tanpa belas kasih.

Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:
“إِذْ تُصْعِدُونَ وَ لا تَلْوُونَ عَلى‏ أَحَدٍ وَ الرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْراكُمْ فَأَثابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلا تَحْزَنُوا عَلى‏ ما فاتَكُمْ وَ لا ما أَصابَكُمْ وَ اللَّهُ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ”
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah swt mengecam orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat 155:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau)". Maka jelas bahwa mereka adalah sekelompok dari tentara Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus dijelaskan oleh pribadi tinggi seperti Ali as.

Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang pengarangnya wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi Ibnu Syihab az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian dan dicatat serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi sawa tersebar melalui lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai berai dan sebagian telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke Madinah dan menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi sawa adalah Sa’d bin Utsman yang berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota menuju isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian melarikan diri dari sisi Rasulullah sawa. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud bersama sekelompok wanita.

Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum Anshar yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang melawan musuh dengan gigih dan menjaga Nabi saw.

Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang datang ke medan perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi dan dahi Nabi saw retak, dada Nabi sawa terluka, ia mengangkat pedang dan membunuh beberapa orang. Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya bertahan dalam perang itu.

Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat pemberani, menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah tidak turun di pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir umurnya menjadi saksi pembelaannya kepada Nabi sawa. Dalam kondisi seperti itu Nabi sawa terjatuh ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Rahib (yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi permukaannya, seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai tameng melindungi Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi saw dan syahid di tempat itu.

Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut. Akan tetapi sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi sawa bersabda kepada Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas pada tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada orang-orang yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”

Di lobang tersebut, sementara lutut suci Nabi sawa terluka dan beliau sawa tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan beliau sawa dan Thalhah meraih bawah pundak beliau sawa dan pergi ke atas lereng gunung, dan ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta melindungi Nabi saw dari musuh.

Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara detail menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata apa. Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi sawa menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi, orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam kitab-kitab hadis shihah terutama shahih Bukhari.
`
Khalid bin Walid (panglima tentara pasukan berkuda yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah beberapa waktu ketika masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah karena telah memeluk Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan setelah itu berkata, kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin melarikan diri, aku melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku berada dalam kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih berkerabat dengannya, maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara akan menangkap dan membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga ia tidak terlihat tentara.

Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam, dalam kitab Waqidi dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman Anas bin Malik, melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan sekelompok orang. Ia bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah sawa telah terbunuh. Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin hidup. Bangkitlah dan berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah hingga terbunuh. Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga terbunuh dan tampak puluhan luka di badannya.

Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n nuzul oleh Ali as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela Nabi saw seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja yang melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan menghapus sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari kitab Waqidi ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as bernilai apa dalam menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita tidak dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka tidak membiarkan tafsir Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan kejadian-kejadiannya tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal tersebut dan terdapat dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin Nadhar.

Sangat disayangkan sekali mereka ingin menyingkirkan orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan tersebut dan ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak membiarkan keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam Ali as setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui dan menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak ada dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan dan tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu dan terdiam.

Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as menjawab, ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi sawa sementara dari setiap arah datang tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah lain Abu Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash dari arah lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang dikomando oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap penjuru dan untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali…

Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin Abi Thalib as menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana mestinya beliau as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid beliau as seperti Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan kita.

Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

________________________________________________________________
[1] QS. Al-Haaqqah (69): 12.

Ijtihad Sahabat : Membunuh Cucu Arrasul Sawa, Penghulu Pemuda Ahli Surga, Imam Hasan AS (dan gilana malah MENDAPAT PAHALA SATU).


oleh Tiara Satrie
1. Mas’ûdî mengatakan: ‘Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian setelah sampai di rumah, ia berkata: ‘Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi’.

Husain berkata: ‘Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?’. Hasan menjawab: ‘Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku. Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal.

Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan ‘aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd’. Ialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan.
Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: ‘Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya’.
[Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50]


2. Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menulis: ‘Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: ‘Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin ‘Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh110, maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: ‘Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila kau racuni Hasan’, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya dengan Yazîd.
[Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17]

Abul Hasan al-Madâ’inî berkata: ‘Hasan meninggal tahun 49 H., 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: ‘Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku’.

Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazîd. Ia berkata: ‘Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw’
Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: ‘Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni Hasan.
[Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 4. & hlm. 7.]


3. Ibnu al-Jauzî mengatakan dalam ‘at-Tadzkirah Khawâshsh’l-Ummah’: ‘Para ahli sejarah di antaranya ‘Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî.

As-Sûdî berkata: Yang memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: ‘Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela’. Asy-Sya’bî mengatakan: ‘Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: ‘Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan memberimu 100.000 dirham.”

Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan : ‘Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya’.

Sya’bî berkata lagi: ‘Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: ‘Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’âwiyah: ‘Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya’. Kemudian Sya’bî mengutip ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracuninya berulang ulang.
[Ibnu al-Jauzî, ‘al-Tadzkirah’, hlm. 121]

4. Ibnu ‘Asâkir berkata: ‘Ia diberi minum racun, berulang-ulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: Sesungguhnya Mu’âwiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali.


Muhammad bin al-Mirzubân meriwayatkan: ‘Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. ‘Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazîd dan Yazîd berkata: ‘Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami’.
[Ibnu ‘Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 229.]

5. Hasan bin ‘Alî (as) sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir.

Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’âwiyah: ‘Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah?

Ya, aku bertakbir karena hatiku gembira, Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.
[Ibnu Qutaibah, al-Imâmah wa’s-Siyâsah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu ‘Abdu Rabbih, al- ’Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298; ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.]

Wasiat Jihad Kyai Maja Muhammad Al Jawad:

Oleh: Muhsin Labib



Den sira para satria nagari mentaram,
Wahai kalian ksatria mataram,

nagari jawi heng dodotira sumimpen,
negara jawa tersimpan dalam pemahaman kalian.

watak wantune sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina ngali,
Pada kalian tersimpan Watak prilaku, kebijaksanaan sayyidina ali

sumimpen kawacaksane sayyidina kasan, sumimpen kakendale sayyidina kusen,
tersimpan Watak prilaku, kebijaksanaan sayyidina hasan. Tersimpan keberanian al husain,

den seksana hing wanci suro landa bakal den sira sirnaake saka tanah jawa,
perhatikanlah pada waktu suro belanda akan kalian hilangkan dr tanah jawa,

krana sinurung pangribawaning para satrianing muhammad yaitu ngali, kasan, kusen.
krn terdorong kekuatan wibawa para satria muhammad yaitu ali,hasan dan husain.

Sira padha lumaksananna yudha kairing takbir lan shalawat,
Berperanglah kalian diiringi takbir dan shalawat,

yen sira gugur hing bantala, cinandra, guguring sakabate sayyidina kusen hing Nainawa,
jika kalian syahid maka akan tercatat spt syahid nya para sahabat al husain di Nainawa.

sira kang wicaksana hing yudha,pinates tampa sesilih ali basya (babad prang dipanegara,karya pujangga yasadipura II, surakarta).
Kalian yang bijaksana dalam peperangan, pantas mendapat julukan Ali Basya.


Source : http://www.muhsinlabib.com/sejarah/wasiat-kyai-maja-ttg-ahlulbait

3 Sifat pokok 'Khairul Bariyyah'

oleh : Tiara satrie

Al Khawârizmi, Ibnu Mardawaih dan Al Hiskâni meriwayatkan Dengan sanad bersambung kepada Ismail ibn Ziyâd al Bazzâr dari Ibrahim ibn Muhâjir, ia berkata, Yazid ibn Syurâhil al Anshari –juru tulis Ali- menyampaikan hadis kepadaku, ia berkata,

“Aku mendengar Ali as. berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda kepadaku ketika beliau bersandar di dadaku-, ‘Hai Ali, tidakkah engkau mendengar firman Allah –Ta’ala-:


إِنَّ الذينَ آمَنُوا و عَمِلُوا الصالِحاتِ أُولَئِكَ هُمْ خيرُ البَرِيَّةِ.؟
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk” (QS 98:7)


هُمْ أنت وَ شيعتُكَ، و مَوْعِدِيْ و مَوْعِدُكم الحوضُ إذا جاءَتِ الأُمَمُ للِحسابِ يومَ القيامة تُدْعَوْنَ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ.
“Mereka itu adalah kamu dan Syi’ahmu. Tempat perjumpaanku dan kamu adalah telaga, Al-Haudh. Ketika umat manusia untuk hisab, kalian akan dipanggil dalam keadaan berseri-seri.”[1]


Menurut Ayatullah Udzma Makarim Syirazi, dalam buku beliau, Ayatul wilayah, Khairul Bariyyah, setidaknya, memiliki 3 sifat pokok yang dijelaskan ayat di atas.

a. Yang beriman
Sifat dan keistimewaan Khairul Bariyyah yang pertama ialah ‘beriman’. Yakni, beriman pada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir. Tentu, iman tak berarti jika tidak dibarengi dengan amal saleh.

b. Beramal saleh
Sifat dan keistimewaan kedua yang pasti disandang Khairul Bariyyah adalah beramal saleh. Setelah beriman, kita harus mewujudkan iman itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka, Khairul Bariyyah pastilah selalu mengerjakan amal baik, sebagai bukti nyata iman mereka.

c. Takut kepada Allah
Sebagai penyempurna dua sifat di atas, Khairul Bariyyah adalah mereka yang senantiasa merasa takut kepada Allah. Menurut Ayatullah Makarim Syirazi, makna ‘takut’ kepada Allah adalah ‘peka terhadap permasalahan yang ada,’ baik dalam lingkup sosial juga politik. Karena bisa saja seseorang beriman kepada Allah dan beramal saleh, namun pada saat yang sama, acuh tak acuh terhadap sesama dan tak peduli pada kezaliman.


Maka, kesimpulannya adalah Khairul Bariyyah haruslah menyandang 3 sifat di atas yaitu : beriman, beramal saleh, dan peka terhadap kemaslahatan bersama

..............................................
1) Syawahid at Tanzîl,2/356 hadis 1125 al Manâqib, pasdal 17, hal.265-266 hadis.247 dari riwayat Ibnu Mardawaih, dan darinya as Suyuthi meriwayatkan dalam ad Durr al Mantsûr,6/643.

Perlakuan terhadap hadits dijaman 3 Khalifah , Pantes banyak hadits palsu beredar dan orang macam papa-pus yang untung.

oleh : Tiara Satrie

Ketika Khalifah Utsman berkata :"Tidak boleh bagi seseorang meriwayatkan hadis yang tidak diriwayatkan pada waktu Abu Bakar dan Umar."[1]

Sementara Khalifah Abu Bakar merasa galow sejak dia mengumpulkan lima ratus (500) hadits Arrasul sawa hingga pada pemerintahannya , yang kemudian dia meminta kepada Putrinya hadits-hadits itu dan membakarna [2]

Dan ketika dijaman Khalifah Umar , dia (Umar) meminta / menyeru kepada Ummat agar membawa kepadanya hadits hadits yang telah ditulis mereka dan setelah terkumpul Umar membakarna [3]

Sedangkan Sunnah Arrasul sawa tentang Hadits , beliau bersabda,"Allah memuliakan seseorang yang mendengar hadisku. Kemudian dia menjagana dan menyebarkanna pula. Kadangkala pembawa ilmu (hadis) membawanya kepada orang yang lebih alim darinya dan kadangkala pembawa ilmu (hadis) bukanlah seorang yang alim."[4].

Dan juga Sabdanya,"Siapa yang ditanya tentang ilmu, maka dia menyembunyikanna, Allah akan membelenggukanna dengan api neraka."[5].

Pertanyaanna adalah :
"Jika Sunnah Nabi pada waktu khalifah Abu Bakar dan Umar telah dilarang dari diriwayatkan dan dituliskan, apa lagi yang tinggal pada waktu khalifah Utsman? “

Dan semua tahu kalau Khalifah Utsman hanya mau menuruti Sunnah dua khalifah yang terdahulu. Jadi ketiga-tiga khalifah tersebut telah melarang atau sekurang-kurangnya tidak memberi kebebasan kepada kaum Muslimin untuk meriwayat atau mencatat Sunnah Rasulullah (SAWA.) yang seharusnya menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an.

Karena itu tidak heranlah kita jika hadis atau Sunnah Nabi sawa di 'Sebalah' MULAI DITULIS secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdu l-Aziz."

------------------------------------------------------------------------------------



1. Mutakhab al-Kanz fi Hamisy Musnad Ahmad, IV, hlm. 64; al-Darimi, al-Sunan, I, hlm. 132; Ibn Sa'd, Tabaqat, II, hlm.354
2. al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,V,hlm. 237
3. Ibn Sa'd dalam Tabaqatnya, V hlm. 140
4. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 437; al-Hakim, al-Mustadrak, I, hlm. 78.
5. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, III, hlm. 263

Istri Arrasul sawa adalah hanya ‘IBU’ dari kaum lelaki “AGAR TAK DAPAT DINIKAHI” kata Ummul Mukminin Aisyah.

Seorang wanita berkata pada Aisyah: “Wahai Ummah” (ibu)

Lalu Aisyah menjawab: “Sesungguhnya aku adalah Ibu kaum Mukminin saja” dan tidak termasuk kaum Mukminat. (jangan panggil aku Umm kalau kamu wanita, Pent)

Dalam riwayat lain: “Aku bukan ibu kaum wanita tapi aku adalah saudari dari kaum wanita”

Dalam riwayat lain: “Aku hanya ibu dari kaum lelaki saja”


Jadi pengertian UMMUL MIKMININ adalah sebatas: “Tidak dapat dinikahi oleh kaum lelaki” sesudah dia menikah dengan Rasulullah” , ya cuman sebatas itu ajah..... maka dari itu, semua istri-istri Nabi di juluki Ibu kaum Mukminin dan muslimin tapi bukan ibu kaum Mukminat dan muslimat.


Rujuk pada :
Musnad Ahmad hadisst No 23983; Mustadrak Al-Hakim kitab Huduud hadist no 8039; Al-Shuyuty Dur Al-Mantsur 5/183Fathul Bary –Ibnu Hajar 9/314; Al-baihaqy Sunan Al-Kubra 7/ 70 juga dalam kitab bab nikahAl-Thobagat karya Ibnu Sa’ad 9/67

Dan puluhan referensi lainna…….

Ansab Habib (Jawaban Untuk Firanda; Ustad Wahabi yang mengingkari kebenaran nasab Habib)

oleh: Qosim bin Ali

Setelah sholat isya’ saya tasmi’ Qur’an dengan seorang teman. Tasmi’ artinya mendengarkan. Istilah tersebut digunakan oleh para penghafal quran untuk menamai kegiatan simakan. Seorang hafizh melancarkan hafalannya kemudian temannya mendengarkan sambil melihat Qur’an. Inilah yang disebut tasmi’an atau simakan.

Saat itu saya membaca surat Aro’d surat ke 13. Ketika sampai ayat 38, saya pikir ayat ini merupakan dalil yang memperkokoh posisi Habib sebagai dzuruyyah Nabi Muhammad SAW. Ar-ro’d: 38
ولقد أرسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذرية
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu (Muhammad) dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”

Perhatikan kalimat أزواجا وذرية . Artinya istri-istri dan keturunan. Ini menunjukan bahwa setiap rosul memiliki istri dan keturunan. Ibn Katsir dalam tafsirnya hanya menyebutkan dua hadits yang menyatakan bahwa sebagian sunah para Nabi adalah menikah. (Tafsir Ibn Katsir, Juz 2, Hlm 466-467, cet. Darul Kutub Al-ilmiyah). Maka dapat dipastikan bahwa setiap Rosul memiliki istri. Lalu bagaimana dengan dzurriyah?

Dalam ayat itu Ibn Katsir tidak menjelaskan tentang dzurriyah para nabi. Padahal untuk membuktikan kebenaran ayat itu, maka setiap rosul harus memiliki istri dan keturunan. Jika mereka tidak memilikinya berarti ayat itu salah. Apakah mereka memiliki dzurriyah (keturunan)?

Mari kita lihat sejarah. Nabi adam menikah dengan Hawa. Beliau memiliki banyak anak. Di antaranya adalah Qabil , Habil , Syits. Nabi Idris adalah keturunan Nabi adam melalui Syits. Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Idris melalui Mawasyalah. Nabi Hud adalah keturunan Nabi Nuh melalui Sam. Lihat selengkapnya di http://www.kawansejati.org/content/nasab-istri-dan-anak-para-nabi-dan-rasul

Nabi Ibrohim yang merupakan keturunan Nabi Sholih memiliki dua anak yang juga Rosul, bernama Ismail dan Ishaq. Ishaq memiliki anak bernama Ya’kub yang kemudian dijuluki isra’il. Maka dari itu seluruh keturunan beliau disebut bani isra’il. Dari keturunan Ya’kub inilah kebanyakan Rosul berasal termasuk nabi Musa dan Nabi Isa. Bagaimana dengan Nabi Isa. Bukankah beliau tidak menikah? Lalu bagaimana mungkin beliau memiliki keturunan.

Jawaban saya:
Siapa bilang beliau tidak memiliki istri dan keturunan? Aro’d jelas mengabarkan bahwa setiap Rosul memiliki istri dan keturunan. Begitu pula hadits-hadits nabi. Lalu bagaimana anda mengingkari kabar dari Qur’an dan Hadits?

Saya kasih tahu bahwa Nabi Isa sebenarnya memiliki istri dan keturunan. Hanya saja orang-orang Kristen merahasiakan sejarah ini. Saya tidak tahu alsannya. Namun ada dua kemungkinan mengapa mereka menyembunyikan sejarah tersebut. Pertama; mungkin mereka hawatir orang-orang yahudi akan membunuh keturunan beliau. Kedua; jika Nabi Isa ketahuan memiliki keturunan maka doktrin greja bahwa beliau tidak menikah langsung runtuh. Dan ini sangat merugikan gereja. Maka dari itu mereka harus mengingkari adanya keturunan Nabi Isa.
Bagaimanapun alasannya yang pasti injil menceritakan bahwa Nabi Isa memiliki istri dan keturunan. Istri pertama beliau bernama Maria Magdalena. Istri kedua bernama Lydia. Kemudian di dalam Kisah Para Rasul, pasal 6 ayat 7, dijelaskan bahwa pada tanggal 14 Juni tahun 37 Masehi, lahirlah anak Nabi Isa yang pertama, yaitu Yesus Justus yang berbunyi : “and the words of God continued to spread”.
Pada tanggal 10 April tahun 44 Masehi, lahirlah anak Yesus yang ketiga yang tidak dijelaskan namanya. Untuk lebih jelasnya silahakan baca hasil penelitian Prof. Dr. Barbara Tiring. Saya sudah menyalinnya. Silahkan baca selengkapnya di artikel Nabi Isa Ternyata Menikah bahkan Poligami
Sekarang kita Tanya kepada Firanda dan para wahabiyun. Apakah kalian masih mengingkari kebenaran nasab habib sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang Kristen mengingkari keturunan Nabi Isa As? Jika iya berarti kalian tasyabuh bilkufar. Bukankah begitu wahai Firanda?!

Islam Melarang Terosisme

oleh: Qosim bin Ali

Islam Melarang Terosisme

Sebenarnya artikel ini adalah merupakan karya ilmiyah saya saat mengikuti lomba karya tulis ilmiyah dengan tema terorisme dalam pandangan kitab kuning pesantren. Oleh karena isinya lumayan banyak maka saya posting per sub biar tidak bosan membacanya.

Insya Alloh isinya menarik. Sebab disamping nukil kitab-kitab kelasik saya juga nukil isu-isu terkini. Metode yang saya gunakan adalah dengan membandingkan perang versi Islam dan perang versi Amerika. Dengan begitu dunia akan tahu siapa yang teroris sebenarnya. Selamat membaca, Semoga bermanfaat dan berkah dunia akhirat. Amin.

Definisi Jihad Dan Terrorisme

Menurut madzhab Syafi’i jihad yang merupakan gerund dari kata kerja jaa-ha-da secara bahasa adalah mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan. Sedangkan secara istilah jihad adalah mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakan masyarakat yang Islami agar kalimat Alloh menjadi mulia serta syari’at Alloh dapat dilaksanakan diseluruh dunia.1 Ta’rif yang semakna dengan itu juga disampaikan oleh Madzhab Hanafi,2 Maliki,3 dan Hanbali.4

Sementara terorisme berasal dari kata teror yang dalam bahasa yunani disebut terer. Artinya menakut-nakuti.5 Dalam kamus bahasa Indonesia teror diartikan sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan.6

Pada awal abad ke 18, terorisme bermakna setiap usaha pemaksaan, penindasan dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah untuk memperoleh ketaatan rakyat. Namun ahir-ahir ini makna itu bergeser. Menurut FBI “Terrorism is the unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives.”

Terorisme adalah penggunaan kekuatan secara melawan hukum atau kekejaman terhadap individu atau pengrusakan harta benda untuk mengancam atau memaksa pemerintah, masyarakat, atau bagian dari padanya demi tujuan politik atau sosial tertentu.

Islam Melarang Terorisme

Semua sepakat bahwa terorisme adalah tindakan menakut-nakuti orang dengan cara membuat keonaran, kerusakan, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan tersebut sangat dilarang oleh Islam, tak peduli siapapun pelakunya. Al-a’rof: 74 artinya: ”...Dan janganlah kalian merajalela di muka bumi (sebagai) pembuat kerusakan.”

Dari Abu Musa ra, ia berkata: Ketika Rasulullah saw mengutus salah seorang sahabatnya untuk melaksanakan suatu urusan, beliau akan bersabda: Sampaikanlah kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti serta permudahlah dan janganlah mempersulit.9 Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda: Jadikan suasana yang tenteram dan jangan menakut-nakuti.7

Al baihaqi meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rosululloh SAW bersabda: Tidak halal seorang muslim menteror muslim yang lain. Ketika mengomentari hadits tersebut Imam Asy-Syaukani berkata: Inilah dalil bahwa tidak boleh menteror orang muslim meskipun hanya sekedar bergurau.8

Kemudian Islam mengancam pelakunya dengan hukuman yang sangat berat; baik di dunia maupun di akhirat. Al-ma’idah: 33 artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alloh dan Rosul Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah hendaknya mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berbalik atau diasingkan. Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang berat.”

Oleh karena tindakan teror merupakan larangan agama Islam, maka ia termasuk kemungkaran yang harus dibasmi. Membasmi hal-hal yang dilarang oleh agama adalah termasuk jihad. Dengan kata lain jihad termasuk konsep untuk melawan terorisme.


Refrensi:
1. Al-fiqh Al-manhajy Madzhabil Imam Syafi’i, juz 3 hlm 475
2. Al-Kasaani, Badaa’i’ As-shanaa’i’, juz VII hlm 97
3. Muhammad ‘Ilyasy, Munah Al-jalil, Mukhtashor Sayyidy Kholil, juz III, hlm 135
4. Al Mughni juz X, hal. 30-38
5. Jurnal Pondok Pesantren, Mihrab, edisi 1 th IV-2006, hlm 63
6. KKBI, 2000
7. Shahih Muslim No. 1732, Bukhori no. 3038, Abu Dawud no. 4835
8. Asy-Syaukani, Nailul Authar, VI/63

Arti kata Istiwa bagi Allah



oleh: Qosim bin Ali

Alasan wahabi menuduh madzhab asy’ari menolak sifat Alloh adalah karena madzhab asy’ari menolak sifat istawa. Padahal tidak demikian. Madzhab asy’ari sama sekali tidak menolak sifat Alloh. Sampai disini dapat kita fahami bahwa wahabi dan asy’ari sama-sama menerima sifat istawa Alloh. Perbedaannya adalah dalam hal memahami istawa itu. Menurut wahabi istawa bermakna istiqror. Kunjungi link berikut https://www.facebook.com/qosimibn.aly/posts/455681901173041?notif_t=like

Mari kita kaji masalah ini. Thoha: 5
الرحمن علي العرش استوى
Menurut wahabi استوى bermakna استقر . Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya adalah menetap. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menurut wahabi Alloh menetap di atas Arsy.
Tetapi kepahaman seperti itu bertentangan dengan surat Al-Baqoroh: 115,
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله
Artinya: “Kepunyaan Alloh lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Alloh.”

Ayat ini memberi kepahaman bahwa Alloh ada dimana-mana. Dengan demikian Alloh tidak menetap di suatu tempat. Jika kata istawa dalam surat Thoha: 5 diartikan secara bahasa yaitu istiqror (menetap) maka bertentangan dengan al-baqoroh: 155 yang menunjukan bahwa Alloh ada dimana-mana, atau dengan kata lain Alloh tidak menetap pada suatu tempat. Oleh karena dalam Al-Qur’an mustahil terjadi pertentangan, maka tidak ada jalan keluar kecuali memahmi Thoha: 5 dengan tidak melihat makna literalnya. Dalam madzhab Asy’ari, ini disebut ta’wil.

Menurut madzhab Asy’ari, istawa bermakna istaula, menguasai. Imamal-Lughawiy Abu al Qasim al-Husain ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan sebutan ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H), berkata: "Kata Istawâ, jikadijadikan Fi'il Muta'addî (kata kerja yang membutuhkan objek) dengan ditambahkan "'Alâ" maka maknanya tertentu hanya dalam pengertian manguasai, seperti dalam firman Allah: "ar-Rahmân 'Alâ al-'ArsyIstawâ" (QS. Thaha: 5)". (al-Mufradât FîGharîb al-Qur'ân, h. 251).

Selainar-Raghib al-Ashbahani masih panjang daftar nama pakar bahasa lainnya yang telah mengungkapkan pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, di antaranya; al-Lughawiy Ahmad ibn Muhammad ibn Ali al-Fayyumi (w 770 H) dalam kitab kamus al-Mishbâh al-Munîr, al-Lughawiy Abu Ishaq az-Zajjaj (w 311 H) dalam Ma'ânî al-Qur'ân, al-Lughawiy Abu al-Qasimaz-Zajjaji (w 340 H) dalam kitab Isytiqâq Asmâ' Allâh, al-Lughawiy Ibn Manzhur (w 711 H) dalam Lisân al-'Arab, Imam al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (1205 H) dalam Ithâf as-Sâdahal-Muttaqîn dan lainnya.

Dapat dipahami bahwa menurut wahabi, Alloh istawa (menetap) di atas Arsy. Sedangkan menurut Madzhab Asy’ari, Alloh istawa (menguasai) atas Arsy. Jadi dalam pandangan wahabi Alloh memiliki tempat. Sedangkan menurut madzhab Asy’ari, Alloh tidak memiliki tempat. Mari kita lihat pendapat ulama salaf dari golongan sahabat Nabi hingga tabit tabiin.

1. Imam Aly KW.
Beliau adalah salah satu sahabat Nabi SAW. Kata beliau Alloh ada tanpa tempat.
كان الله ولا مكان وهو الأن علي ما عليه كان
(Al-Farqu Bainalfiroq, hlm 333)

2. Imam Zainal Abidin, Ali Bin Husain
Beliau adalah seorang tabi’in. Kata beliau Alloh tidak berada di suatu tempat.
أنت الله الذي لا يحويك مكان
(Ittihafussadah AL-Muttaqin, juz 4 hlm 380)

3. Imam Ja’far Shodiq
Menurut beliau orang yang mengatakan Alloh berada di atas sesuatu maka dia kafir.
من زعم أن الله في شيء أو من شيء أو علي شيء فقد كفر
(Risalah Qusyairiyah, hlm 6)

Dalam kitab Kafa Taqriban Lil Umah Bismissalaf dinukilkan pendapat imam 4 madzhab bahwa menurut mereka, Alloh ada tanpa tempat. Di sini saya hanya akan menukilkan ucapan Imam Syafi’i. Kata beliau:
إنه تعالى كان ولا مكان
(Kafa Taqriban Lil Umah Bismis Salaf, hlm 61-65)

Sebenarnya masih banyak pendapat ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa Alloh tidak memiliki tempat. Namun cukuplah pendapat-pendapat di atas sebagai bukti bahwa pendapat madzhab Asy’ari telah sesuai dengan pendapat ulama salaf bahwasanya ALLOH TIDAK MEMILIKI TEMPAT.

Perhatikan ucapan Dani Iskadar; "siapa yang mengartikan istiwa dengan duduk. Dan siapa yang mengatakan ALLAH butuh tempat duduk. Istiwa istiqror, ALLAH berada di atas 'arsy-Nya dan hanya ALLAH. yang mengetahui kaifiyah-Nya.

Ucapan ini menunjukan bahwa wahabi memaknai istawa dengan istiqror (Menetap). Pertanyaannya: Siapa ulama salaf yang berpendapat bahwa istawa bermakna istiqror? Jawab Wahai Wahabiyun !!!

Sabtu, 20 April 2013

Dibalik Syahadah Imam Ali as: Persahabatan Tak Membuktikan Kesetiaan




Oleh: Yulian Rama

Persahabatan tidak membuktikan kesetiaan. Ada banyak dalil untuk pernyataan ini, baik pada tataran mafhum (konseptual), maupun pada tataran mishdaq (realitas). Pada tataran mafhum, banyak ide yang muncul untuk menjawabnya. Namunbiasanya mishdaq lebih diandalkan untuk membuktikan pernyataan di atas.

Malam ke-21 bulan Ramadhan adalah satu bentuk mishdaq yang menguatkan pernyataan tersebut. Di mana malam tersebut masyhur sebagai malam syahidnya Ali ibn Abi Thalib kwj oleh tebasan pedang Abdurrahman ibn Muljam. Mengapa malam ini menjadi mishdaq dari pernyataan tersebut?

Jawabnya adalah karena Ibnu Muljam dikenal sebagai sahabat Ali ibn Abi Thalib kwj yang kemudian menyimpang dan menjadi khawarij dan pada akhirnya membunuh Ali sendiri.

Az-Zirkuli menulis tentang Ibnu Muljam:

…فكان من القراء و أهل الفقه و العبادة. ثم شهد فتح مصر و سكنهافكان فيها فارس بني تدؤل. و كان من شيعة علي بن أبي طالب (رضي الله عنه) و شهد معه صفين. ثم خرج عليه…[i]

(Ia adalah qari’ dan ahli fikih dan ibadah. Ia ikut serta pada fathu mishr dan pendudukannya. Pada saat itu ia adalah ksatria dari Bani Tad`ul di Mesir. Dan ia juga adalah Syi’ah Ali ibn Abi Thalib ra dan ikut bersamanya di perang Shiffin. Kemudian ia keluar dari Ali [menjadi khawarij])

Tulisan di atas membuktikan bahwa Ibnu Muljam adalah anggota pasukan dua sahabat besar: Umar ibn Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib kwj. Ia ikut berperang bersama pasukan Umar ibn Khaththab pada waktu menaklukan Mesir[ii].Ia juga ikut berperang bersama pasukan Ali ibn Abi Thalib di Shiffin, lalu kemudian menentang Ali dan ikut ke dalam kelompok Khawarij.

Sebab pembunuhan Ali ibn Abi Thalib kwj adalah sebagai berikut:

وكان سبب قتله أنّ عبدالرحمن بن ملجم المراديّ والبرك بن عبدالله التميميّ الصريميّ واسمه الحجّاج وعمروبن بكرالتميمي السعديّ،ثلاثتهم من الخوارج لحقوامن فلّهم بالحجاز،واجتمعوافتذاكروامافيه الناس وعابواالولاةوترحّمواعلى قتلى النهروان،وقالوا: مانصنع بالبقاءبعدهم فلوشريناأنفسناوقتلناأئمةالضلال وأرحنامنهم الناس،فقال ابن ملجم وكان من مصر: أناأكفيكم عليّا،وقالالبرك: أناأكفيكم معاوية،وقال عمروبن بكرالتميمي: أناأكفيكم عمروبن العاص‏.وتعاهدواأن لايرجع أحدعن صاحبه حتى يقتله أويموت.[iii]

(Sebab pembunuhannya adalah Abdurrahman ibn Muljam al Muradi, al Barak ibn Abdullah at-Tamimi ash-Sharimi (al Hajjaj), dan ‘Amru ibn Bakr at-Tamimi as-Sa’di. Mereka adalah anggota kelompok Khawarij yang setelah kekalahan Khawarij berpindah ke Hijaz. Mereka berkumpul membicarakan keadaan manusia sambil mencari-cari aib pemerintah dan mendoakan orang-orang yang terbunuh di Nahrawan. Mereka berkata: Apa yang akan kita lakukan sepeninggal mereka? Bagaimana kalau kita membunuh para pemimpin sesat itu dan menyelamatkan manusia dari mereka? Ibnu Muljam (yang datang dari Mesir) berkata: “Aku akan menyelesaikan Ali.” Al Barak berkata: “Muawiyah biar aku.” Amru ibn Bakr at-Tamimi berkata: “Biar aku yang ,mengurusi Amru ibn Ash.” Mereka kemudian mengikat perjanjian untuk tidak mundur dari rencana tersebut kecuali setelah berhasil membunuh atau terbunuh.)

Dapat dikatakan bahwa sebab Ibnu Muljam kehilangan kesetiaannya kepada Ali ibn Abi Thalib kwj adalah kebodohan dan mengikuti kehendak nafsu. Orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali karena mereka menghukumi masalah dengan kehendak akal mereka sendiri, dan mengesampingkan imam ma’shum. Dan pada akhirnya dengan alasan balas dendam, Ibnu Muljam melakukan pembunuhan tersebut. Ketika memutuskan untuk keluar dari barisan Ali, Ibnu Muljam mengikuti kebodohannya. Dan kemudian setelah Perang Nahrawan, ia tergelincir oleh hawa nafsunya untuk membalas dendam kematian teman-temannya.

Hal yang unik terjadi pada saat Ibnu Muljam hendak melaksanakan rencananya. Ibnu Atsir menulis:

…فقدم عبدالرحمن بن ملجم الكوفة،فلقى أصحابه من الخوارج،فكاتمه ممايريد. وكان يزورهم ويزرونه،فزاريومانفرامن بنى تيم الرباب،فرأىامرأةمن هميقاللها: قطام بنت شجنةبن عدي بن عامربن عوف بن ثعلبةبن سعدبن ذهل بن تيمالرباب،وكان على قتل أباهاوأخاهابالنهروان،فأعجبته فخطبها،فقالت: لاأتزوّجك حتى تشتفى لي. فقال: لاتسألينى شيئاإلاأعطيتك. فقالت: ثلاثةآلاف،وقتل على بن‏أبى طالب. فقال. والله ماجاءبى إلى هذاالمصرإلا قتل على،وقدأعطيتكماسألت. ولقيابن ملجم شبيب بن بجرةالأشجعي. فأعلمه مايريد،ودعاه إلى أن يكون معه،فأجابهإلى ذلك.[iv]

(Ibnu Muljam pergi ke Kufah dan menjumpai sahabatnya dari Khawarij dan merahasiakan rencananya dari masyarakat. Ia dan masyarakat saling mengunjungi pada saat itu. Suatu hari berkunjung sekelompok orang dari Bani Tayim, dan ia melihat seorang perempuan di kelompok tersebut yang bernama Qatham binti Syajnah. Ayah dan saudara Perempuan tersebut terbunuh di Perang Nahrawan. Ibnu Muljam jatuh hati pada perempuan itu dan meminangnya. Perempuan itu berkata: “Aku tidak akan menikahimu kecuali kau penuhi permintaanku.” Ibnu Muljam berkata: “Tidaklah kau minta dariku kecuali aku akan memenuhinya.” Perempuan tersebut berkata: “Tiga Ribu dan kematian Ali ibn Abi Thalib.” Ibnu Muljam berkata: “Demi Allah, aku tidak datang ke sini kecuali memang untuk membunuh Ali. Aku akan memenuhi permintaanmu.” Kemudian Ibnu Muljam mendatangi Syabib ibn Bajrah al Asyja’i dan memberitahunya apa yang ia rencanakan, lalu ia mengajak Syabib dan Syabib menerimanya.)

Dalam perjalanannya membunuh Ali ibn Abi Thalib kwj, Ibnu Muljam bukan hanya diperdaya oleh kebodohan dan nafsu membalas dendam, akan tetapi juga ditambah nafsu duniawi untuk mendapatkan hati perempuan. Ia mengkhianati seorang manusia agung hanya karena kecantikan seorang perempuan.

Pengkhianatan sahabat tidak hanya terjadi dalam hidup Ali ibn Abi Thalib kwj, akan tetapi juga dalam hidup Rasulullah saww. Salah seorang sahabat Rasulullah saww bernama Hurqush ibn Zuhair as-Sa’di (atau dikenal dengan laqabDzulkhuwaishirah) ikut menjadi anggota pasukan Ali di Shiffin dan kemudian membelot menjadi Khawarij. Ia kemudian terbunuh pada perang Nahrawan.[v]

Rasulullah saww bukan saja meramalkan adanya pengkhianatan sebagian dari sahabatnya[vi], tetapi juga meramalkan akan adanya gerakan-gerakan besar berbentuk peperangan sepeninggal beliau. Sehingga beliau memberikan rambu-rambu tentang siapa yang harus dibela pada saat hal itu terjadi.

Ibnu Katsir meriwayatkan:

عن على قال: أمرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بقتال الناكثين والمارقين والقاسطين.[vii]

(Ali berkata: Rasulullah saww memerintahkanku untuk memerangi an-Nakitsin[viii], al Mariqin[ix], dan al Qasithin[x].)

Tak bisa dipungkiri bahwa memang terjadi peperangan antar kaum muslimin sepeninggal Rasulullah saww. Akan tetapi beliau sudah memberikan rambu-rambu bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang harus dibela pada saat itu terjadi. Dalam riwayat lain Ibnu Katsir menulis:

عن أبى سعيدالخدريّ قال: «أمرنارسول الله صلّى الله عليه وسلّم بقتال الناكثين والقاسطين والمارقين فقلت: يارسول الله! أمرتنابقتال هؤلاءفمع من؟فقال: مع على بن أبى طالب معه يقتل عماربن ياسر».[xi]

(Abu Sa’id al Khudri berkata: Rasulullah saww memerintahkan kami untuk memerangi an-Nakitsin, al Qasithin, dan al Mariqin. Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau telah memerintahkan kami memerangi mereka, lalu dengan siapa?” Beliau saww bersabda: “Bersama Ali ibn Abi Thalib, dan bersamanya akan terbunuh Ammar ibn Yasir.”)

Ketika Abu Ayub al Anshari pulang dari perang Shiffin, sekelompok orang mendatanginya dan mempertanyakan alasan terjadinya perang Shiffin. Berikut riwayat Makhnaf ibn Sulaiman:

مخنف بن سليمان. قال:أتيناأباأيوب فقلنا: قاتلت بسيفك المشركين مع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ثم جئت تقاتل المسلمين؟فقال:أمرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بقتال الناكثين والمارقين والقاسطين.[xii]

(Makhnaf ibn Sulaiman berkata: kami mendatangi Abu Ayub. Dan kami berkata: “Kau telah membunuh kaum musyrik bersama Rasulullah saww, sekarang kau datang membunuh orang-orang islam?” Ia menjawab: “Rasulullah saww memerintahkanku memerangi an-Nakitsin, al Mariqin, dan al Qasithin.”)

Dalam riwayat lain Abu Ayub al Anshari menjelaskan secara sharihsiapa saja yang dimaksud dengan ketiga kelompok tersebut:

فأماالناكثون فقدقاتلناهم وهم أهل الجمل،طلحةوالزبير،وأماالقاسطون فهذا من صرفنامن عندهم- يعنى معاويةوعمرا- وأماالمارقون فهم أهل الطرفات وأهل السعيفات وأهل النخيلات وأهل النهروان،والله ماأدرى أين هم ولكن لابدمن قتالهم إنشاءالله.[xiii]

(Adapun an-Nakitsun: kami telah memerangi mereka, dan mereka adalah Ahli Jamal, Thalhah dan Zubair. Dan al Qasithun, mereka adalah orang-orang yang membelot dari kami, yaitu Mu’awiyah dan Amru ibn al Ash. Sedangkan al Mariqun, mereka adalah Ahli Tharafat, Ahli Sa’ifat, Ahli an-Nakhilat, dan Ahli an-Nahrawan, Demi Allah aku tidak tahu di mana mereka, tapi kami pasti kami akan memerangi mereka dengan seizin Allah.)

Orang-orang yang disebut Abu Ayub al Anshari telah diperangi dan akan diperangi adalah kaum muslimin. Sebagian mereka adalah sahabat Rasulullah saww semasa hidup beliau, dan sebagian lain adalah sahabat Ali ibn Abi Thalib yang membelot dari barisannya.

Apa yang terjadi pada sebagian sahabat Rasullah saww dan Ali ibn Abi Thalib kwj adalah salah satu mishdaq dari pernyataan “persahabatan tidak membuktikan kesetiaan”. Ada banyak mishdaq lain yang bisa dilihat dari sejarah atau kenyataan hidup sekarang ini. Yang pasti adalah tolok ukur kesetiaan bukanlah persahabatan. Boleh jadi seseorang nampak setia di masa-masa awal persahabatan dari bentuk-bentuk pengorbanan yang ia perlihatkan. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, seseorang mungkin berubah karena desakan-desakan dari dalam atau dari luar dirinya.

Malam ke-21 bulan Ramadhan tercatat sebagai malam syahidnya Ali ibn Abi Thalib kwj oleh tebasan pedang Abdurrahman ibn Muljam. Semoga malam ini menjadi momen yang berharga bagi kaum muslimin untuk berkontemplasi, melakukan perenungan mendalam tentang arti sebuah persahabatan dan bagaimana menjaga kesetiaan dalam persahabatan. Lebih jauh lagi, menjaga kesetiaan kepada junjungan setiap hati orang-orang beriman: Rasulullah saww dan pengemban wasiatnya: Ali ibn Abi Thalib kwj. []

Catatan Kaki:

[i]Khairuddin az-Zirkuli, al A’lam; Qamus Tarajim li Asyhar ar-Rijal wa an-Nisa min al ‘Arab wa al Musta’ribin wa al Mustasyriqin, (Beirut: Dar al ‘Ilm Lilmulayyin, 1989), cet. 1989, jil. 3, hal. 339. Bandingkan dengan Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad adz-Dzahabi, Tarikh al Islam, Tahqiq Umaryu Abdussalam Tadmiri, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi, 1413), cet. 2, Jil. 3, hal. 653

[ii]Fathu Mishr terjadi pada tahun ke-20 Hijriyah pada masa pemerintahan Umar ibn Khaththab. Pada waktu itu pasukan Islam dipimpin oleh Amru ibn al ‘Ash. Lihat ‘Izzuddin Abu al Hasan ‘Ali ibn Muhammad Ibn al Atsir, Al Kamil fi at-Tarikh, (Beirut: Dar Shadir, 1385), Jil. 2, hal. 564

[iii] ‘Abdurrahman ibn Muhammad Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, Tahqiq Khalil Syihadah, (Beirut: Dar al Fikr, 1408), cet.2, Jil. 2, hal. 645

[iv]‘Izzuddin Abu al Hasan ‘Ali ibn Muhammadibn al Atsir, Usd al Ghabah Fi Ma’rifah ash-Shahabah, (Beirut: Dar al Fikr, 1409), Jil. 3, hal. 616-617

[v]Lihat Khairuddin az-Zirkuli, op. cit., Jil. 2, hal 173. Bukhari meriwayatkan dalam Kitab al Manaqib, Bab ‘Alamat an-Nubuwwah fi al Islam, bahwa dia adalah sahabat yang menuntut Rasul berbuat adil pada saat beliau sedang melakukan pembagian. Sehingga beliau bersabda: “Jika aku tidak berbuat adil maka siapa yang akan berbuat adil?” Umar kemudian memukulnya setelah meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah saww. LihatMuhammad ibn Ismail al Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: al Mathba’ah as-Salafiyah wa Maktabuha, 1403), Jil. 2 hal. 530

[vi]Rasulullah saww pernah meramalkan bahwa di telaga al Haudh (surga) sebagian sahabatnya keluar dari barisan kaum muslimin. Kemudian Rasulullah saww memanggil-manggil mereka: “Ya Allah! mereka adalah sahabatku.” Kemudian dikatakan: “Kau tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalmu.” Shahih Muslim, Kitab al Fadha`il, Bab Itsbat al Haudh Nabiyyina saww wa Muslim wa Shifatih. Lihat Abu Zakariya ibn Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh  an-Nawawi, (Beirut: Dar al Fikr, tt), Jil. 10, hal. 6101

[vii]Abu al Fida` `Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, al Bidayah wa an-Nihayah, (Beirut: Dar al Fikr, 1407), Jil. 7, hal. 305

[viii]orang-orang yang membatalkan baiat

[ix]Orang-orang yang keluar/sesat

[x]Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran

[xi]Ibnu Katsir, log. cit.,

[xii]Ibid., hal 306

[xiii]Ibid
Allah