judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Rabu, 15 Januari 2014

Tanggal Wafat Nabi saww ?


Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ditimpa musibah, hendaklah ia mengingat musibahnya itu dengan (kematian) ku, karena (kematianku) itu adalah musibah terbesar.”’ (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Sa’d, Ad-Darimi, Malik dan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, hadis nomor 1106)
“Tulisan ini mencoba menyingkap tanggal wafatnya Rasul Saw dengan mengkaji enam buah peristiwa yang memiliki kaitan dalam masalah ini. Dan juga menganalisa pendapat populer Syiah dan Ahlu Sunnah untuk membuktikan secara akurat tanggal wafatnya Rasul Saw. Setelah melakukan kajian ilmiah, penulis berkesimpulan bahwa pendapat populer Syiah yang menetapkan tanggal 28 Safar dan juga pandangan Ahlu Sunnah yang menyatakan tanggal 12 Rabiul Awwal, sebagai hari wafatnya Rasul Saw, dua-duanya adalah keliru. Tanggal wafatnya Rasul Saw sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Mikhnaf adalah tanggal 2 Rabiul Awwal”.

Penetapan tanggal wafatnya Rasul Saw tidak hanya sebuah kajian ilmiah-historis, tapi punya beragam dampak di antaranya, seluruh bangsa-bangsa di dunia menjunjung tinggi dan memuliakan hari lahir atau wafatnya para pemimpin agama mereka. Umat Islam juga setiap tahunnya merayakan maulid Nabi Saw dengan penuh rasa gembira dan bahagia, begitu juga hari wafat beliau Saw yang diratapi dan ditangisi oleh pengikut Syiah. Karena itu, sangat penting untuk mengetahui secara pasti hari wafatnya Rasul Saw. Dari segi spiritual, para pengikut Rasul Saw dan juga Ahlul Baitnya senantiasa dapat merasakan suka dan duka mereka.
Dari sisi lain, kejelasan tanggal wafatnya Rasul Saw juga punya pengaruh dalam kajian fikih, sebab peristiwa ini memiliki hubungan dekat dengan perbuatan-perbuatan lain dalam manasik haji. Sebagai contoh, jika terbukti hari Arafah pada haji Wada’ (haji perpisahan atau ibadah haji terakhir yang dilakukan Rasul Saw sebelum akhirnya beliau wafat) jatuh pada hari Jumat, dan karena beliau Saw mendirikan shalat zuhur di Padang Arafah, maka dapat disimpulkan bahwa shalat Jumat tidak wajib pada musim haji.
Terlepas dari itu semua, kejelasan tanggal terjadinya berbagai peristiwa memainkan peran yang sangat penting terkait kebenaran dan kekeliruan penukilan sejarah. Oleh karena itu, kajian sejarah wafatnya Rasul Saw punya dampak-dampak yang sangat besar dan berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lain dalam sejarah Islam. Melalui pengantar singkat ini, kini kami mengajak Anda untuk menyimak telaah singkat tanggal pasti wafatnya Rasul Saw.
Metode Menetapkan Tanggal Pasti Wafatnya Rasul Saw
Ada beragam pendapat tentang tanggal wafatnya Rasul Saw, tapi dalam tulisan ini, kami hanya ingin menyinggung pendapat-pendapat populer dalam masalah ini. Pandangan-pandangan paling populer antara lain; tanggal 28 Safar, tanggal 1 Rabiul Awwal, tanggal 2 Rabiul Awwal, dan tanggal 12 Rabiul Awwal. Pertama kami akan membawakan sebuah riwayat dari Abu Mikhnaf terkait hal ini yaitu, “Rasul Saw wafat pada Senin siang, dua malam setelah bulan Rabiul Awwal. Abu Bakar dibaiat pada hari wafatnya beliau Saw.”
Di sini kami ingin memaparkan sebuah materi untuk menemukan tanggal pasti dan valid wafatnya Rasul Saw tanpa mengikutsertakan riwayat Abu Mikhnaf. Metode untuk mengetahui tanggal pasti wafatnya Rasul Saw terkadang melalui riwayat, yang menyebutkan dengan jelas peristiwa itu, seperti riwayat yang dinukil oleh Abu Mikhnaf. Namun riwayat seperti itu tidak mampu meyakinkan semua pihak dan akhirnya memunculkan perbedaan pandangan dalam menetapkan tanggal pasti wafatnya pribadi agung tersebut.
Metode lain untuk memperoleh validitas yang lebih besar adalah menghubungkan dan mengkaji secara bersama-sama antara satu peristiwa sejarah dengan kejadian lainnya yang masih berkaitan. Meski ada perbedaan pendapat tentang bagaimana dan tanggal terjadinya sebuah peristiwa sejarah, namun secara keseluruhan peristiwa-peristiwa itu dapat kita hubungkan dengan masalah-masalah sosial atau santer di kalangan Ahlu Sunnah dan Syiah. Peristiwa-peristiwa itu antara lain:
1. Tanggal Nabi Saw meninggalkan kota Madinah untuk melaksanakan haji wada’.
2. Hari Arafah.
3. Masa turunnya ayat penyempurna agama dan jarak waktu hingga wafat Rasul Saw.
4. Hari Ghadir Khum.
5. Tanggal mulai Nabi Saw sakit dan masanya.
6. Hari wafatnya Rasul Saw.
Pertama kita akan mengkaji masing-masing peristiwa tersebut dan kemudian akan mengkritik pandangan Ahlu Sunnah dan Syiah tentang tanggal wafatnya Rasul Saw.
Enam Peristiwa Penting dan Tanggal Wafat Rasul Saw
Peristiwa Pertama: Pada akhir bulan Zulqaidah tahun 10 Hijriah, Nabi Saw bersama sejumlah besar kaum Muslimin meninggalkan kota Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Haji ini lebih dikenal dengan haji Wada’ karena merupakan haji perpisahan atau ibadah haji terakhir yang dilakukan Rasul Saw sebelum akhirnya beliau wafat. Ada beragam pendapat tentang tanggal Rasul Saw keluar dari kota Madinah menuju Mekkah. Pendapat umum di kalangan Ahlu Sunnah menyebutkan bahwa Rasul Saw bergerak ke Mekkah pada lima hari terakhir bulan Zulqaidah atau lima hari sebelum dimulainya bulan Zulhijjah. Kebanyakan sejarawan menilai hari itu jatuh pada hari Sabtu, dan sebagian lainnya menyebut hari Kamis.
Sementara Syiah berpendapat bahwa Rasul Saw pergi meninggalkan kota Madinah untuk menunaikan ibadah haji pada lima hari terakhir bulan Zulqaidah. Pandangan ini sama dengan pendapat umum Ahlu Sunnah. Namun sama sekali tidak menyebut masalah hari.
Namun yang pasti Nabi Saw tidak keluar pada hari Jumat. Berdasarkan beberapa riwayat, Rasul Saw sempat menunaikan shalat zuhur di kota Madinah dan kemudian bertolak ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Jika hari itu jatuh pada hari Jumat, tentu saja beliau Saw akan menunaikan shalat Jumat dan bukan shalat zuhur. Oleh sebab itu, hari tersebut sebagaimana disinggung oleh sejumlah riwayat adalah hari Sabtu atau Kamis.
Peristiwa Kedua: Penetapan hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Zulhijjah, dapat membantu kita dalam mengetahui secara pasti tanggal wafatnya Rasul Saw. Pendapat Ahlu Sunnah dan ijma’ mereka menyatakan bahwa hari Arafah dalam haji Wada’ jatuh pada hari Jumat.
Ada beberapa riwayat Syiah yang dinukil dari para imam maksum as dan juga menyebut bahwa hari Arafah dalam haji Wada’ jatuh pada hari Jumat. Namun sanad riwayat-riwayat tersebut tidak ada yang sahih. Selain itu, riwayat tersebut juga bertentangan dengan riwayat sahih hari Ghadir Khum. Karena, jika hari Arafah jatuh pada hari Jumat, maka hari Ghadir Khum yang jatuh pada tanggal 18 Zulhijjah tidak mungkin lagi bertepatan dengan hari Kamis atau Jumat.
Peristiwa Ketiga: Ahlu Sunnah meyakini bahwa ayat penyempurna agama turun pada hari Arafah, yang jatuh pada hari Jumat waktu itu dan jaraknya hingga masa wafat Rasul Saw hanya 81 hari.
Adapun menurut Syiah, ayat tersebut turun di Ghadir Khum, tapi juga tidak menafikan kemungkinan turunnya sebelum peristiwa Ghadir. Dengan kata lain, ayat itu sebelumnya sudah turun kepada Rasul Saw, akan tetapi masa penyampaiannya belum ditentukan dan ketika beliau Saw sampai di Ghadir Khum, turunlah ayat tabligh (al-Maidah:67).
Peristiwa Keempat: Peristiwa Ghadir Khum terjadi ketika Rasul Saw kembali dari menunaikan haji Wada’. Syiah menilai peristiwa ini termasuk masalah paling penting dalam sejarah Islam. Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tanggal 18 Zulhijjah tahun 10 Hijriah, tapi berdasarkan sejumlah riwayat, peristiwa itu terjadi pada hari Kamis atau Jumat. Namun menurut sebuah riwayat sahih yang dinukil dari Imam Jakfar Shadiq as, peristiwa Ghadir Khum terjadi para hari Jumat. Jelas riwayat sahih dapat diterima karena lebih unggul dari segi sanad. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada hari Jumat.
Peristiwa Kelima: Mengenai kapan Rasul Saw mulai jatuh sakit, sejarawan terkemuka Muhammad Al Waqidi dalam hal ini menukil dua buah riwayat. Kedua riwayat itu menyebut hari Rabu sebagai hari dimulainya Nabi Saw jatuh sakit. Namun dalam sebuah riwayat lain, 19 Safar dinyatakan sebagai tanggal dimulainya beliau Saw sakit, sementara yang lain menyebut akhir bulan Safar. Masa Nabi Saw sakit dalam kedua riwayat tersebut adalah 13 hari. Oleh karena itu, menurut riwayat pertama, wafat Rasul Saw jatuh pada tanggal 2 Rabiul Awwal, sementara berdasarkan riwayat kedua pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Sebenarnya ada banyak riwayat yang menyinggung sakitnya Rasul Saw, tanpa menyebut seberapa lama beliau Saw terbaring sakit.
Peristiwa Keenam: Masalah yang paling mendasar dan disepakati oleh Syiah dan Ahlu Sunnah adalah Rasul Saw wafat pada hari Senin. Ini merupakan hal yang paling dapat dipercaya dalam mengidentifikasi tanggal pasti wafatnya Rasul Saw.
Kajian Atas Pandangan Ahlu Sunnah
Setelah kita mencermati tanggal terjadinya peristiwa-peristiwa penting tersebut, kini kita akan menelaah pandangan Syiah dan Ahlu Sunnah berdasarkan hal-hal yang sudah diterima atau poluler di kalangan mereka. Dari kajian di atas, dapat kita simpulkan bahwa Ahlu Sunnah meyakini hal-hal berikut:
a. Wafat Rasul Saw jatuh pada hari Senin.
b. Hari Arafah dalam haji Wada’ jatuh pada hari Jumat.
c. Rasul Saw keluar untuk menunaikan haji Wada’ pada hari Senin atau lima hari menjelang berakhirnya bulan Zulqaidah.
d. Ayat penyempurna agama turun pada hari Arafah dan jaraknya hingga masa wafat Rasul Saw adalah 81 hari.
e. Masa Nabi Saw sakit berkisar antara 10 atau 13 hari.
Pendapat paling populer di kalangan Ahlu Sunnah menyebutkan bahwa Rasul Saw wafat pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Namun evaluasi kita menyebutkan, “Memperhatikan hal-hal yang sudah diterima dan populer di kalangan Ahlu Sunnah, pandangan tersebut akan menjadi benar jika seluruh bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Safar semuanya penuh 30 hari. Sangat kecil kemungkinan terjadi seperti ini dan bahkan mustahil. Oleh karena itu, pendapat Ahlu Sunnah yang menetapkan tanggal 12 Rabiul Awwal sebagai hari wafatnya Rasul Saw, sama sekali tidak berdasar.
Kajian Atas Pandangan Syiah
Setelah kita megevaluasi pandangan Ahlu Sunnah secara ringkas, kini kami ingin mengajak Anda untuk mengkaji pendapat Syiah berdasarkan hal-hal yang sudah diterima dan populer di kalangan mereka. Dari kajian di atas dapat kita simpulkan bahwa Syiah meyakini hal-hal berikut:
a. Wafat Rasul Saw pada hari Senin.
b. Peristiwa Ghadir Khum terjadi para hari Kamis atau Jumat.
c. Nabi Saw meninggalkan kota Madinah untuk melaksanakan haji Wada’ adalah 4 atau 5 hari menjelang berakhirnya bulan Zulqaidah.
Pandangan paling terkenal dan disepakati di kalangan Syiah menyatakan bahwa Rasul Saw wafat pada tanggal 28 Safar. Kebanyakan tokoh Syiah termasuk Syeikh Mufid dan Syeikh Thusi, berpendapat demikian. Pandangan ini sama sekali tidak sesuai dengan landasan Syiah, karena jika peristiwa Ghadir Khum yang jatuh pada tanggal 18 Zulhijjah, kita yakini terjadi pada hari Kamis atau Jumat, maka hari Senin sebagai hari wafat Rasul Saw, tidak akan pernah jatuh pada tanggal 28 Safar. Alasannya, jika hari Ghadir Khum jatuh pada hari Jumat dan dengan memperhatikan sempurna atau tidaknya hari dalam bulan-bulan, maka tanggal 28 Safar akan jatuh pada hari Rabu, Kamis, atau Jumat. Dan jika kita menganggap peristiwa Ghadir Khum jatuh pada hari Kamis, maka tanggal 28 Safar akan bertepatan dengan hari Selasa, Rabu, atau Kamis, dan tidak akan pernah jatuh pada hari Senin.
Menurut riwayat Abu Mikhnaf, tanggal wafatnya Rasul Saw jatuh pada tanggal 2 Rabiul Awwal. Sebagian besar ulama juga menerima pandangan ini. Ada banyak riwayat sahih yang dinukil dari para imam maksum as dan menyebutkan bahwa Rasul Saw wafat pada tanggal 2 Rabiul Awwal. Pendapat ini selain sesuai dengan hal-hal yang sudah diterima dan populer di kalangan Syiah, juga dapat menjadi solusi atas perselisihan tentang hari terjadinya peristiwa Ghadir Khum yaitu, antara Kamis dan Jumat. Jika kita menganggap peristiwa Ghadir Khum terjadi pada hari Jumat, maka hari Senin akan jatuh pada tanggal 2 Rabiul Awwal.
Dari seluruh kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggal wafatnya Rasul Saw jatuh pada 2 Rabiul Awwal.
(Sumber: Majalah Tarikh-e Eslom. Vol.5. Penulis, Jalil Tari. Cetakan Qom-Iran)


Kamis, 02 Januari 2014

MENELUSURI JEJAK KEMUNCULAN SYIAH

 

Oleh: Laogi Mahdi

"Tulisan ringan ini adalah sebuah tanggapan ringan atas asumsi yang dibangun oleh salah seorang penyanggah, yang mengomentari artikel Relasi Agama dan Filsafat. Kendati, menurut hemat penulis, komentar yang ditujukan atas tulisan tersebut merupakan komentar salah alamat untuk tidak mengatakan salah kaprah. Karena dalam tulisan tersebut yang diketengahkan adalah masalah-masalah universal dan umum tidak menjurus kepada masalah-masalah partikular dan khusus seperti masalah-masalah mazhab, Sunni-Syiah. Tapi nampaknya penyanggah kurang memperhatikan etika polemik dengan baik, barangkali didorong oleh keinginan untuk memanfaatkan tulisan yang popular yang kemudian dibaca oleh setiap orang dengan mudah dan cepat, sehingga membuat penyanggah lalai akan etika polemik ini. Termasuk tidak menyebutkan nama, email yang dapat menjamin kontiunitas diskusi ini, foot note yang dilampirkan tidak tahu merujuk kemana? Ala kulli hal, dalam tulisan-tulisan polemis antara kedua mazhab besar ini, ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis nabawi yang sering dikemukakan adalah lebih banyak dari apa yang diuraikan oleh sang penyanggah. Seperti dengan mengatakan bahwa dalil Qur’an yang menjadi landasan atau hujjah mazhab Ahlulbait As terdiri dari dua ayat al-Qur’an, surah al-Hud ayat 72-74 dan surah al-Ahzab ayat 28-33, yang kurang lebihnya menyoroti redaksi Ahl al-Bait dari ayat tersebut."

Sementara ayat-ayat Qur’an yang menegaskan derajat, kedudukan, dan keharusan mengikuti para Imam Ahlulbait lebih banyak dari yang disebutkan, dimana secara selintasan dan sepintas disebutkan kemudian (pada tulisan-tulisan berikutnya, bersambung terus so jangan khawatir). Demikian juga sandaran hadis nabawi terbatas pada hadis al-Ghadir dan ats-Tsaqalain, kendati kalau mau jujur dan fair mengkaji hadis ini telah cukup untuk membuktikan keutamaan Ahlulbait, sementara hadis-hadis yang lain cukup banyak yang menegaskan derajat dan keutamaan Ahlulbait As.

Banyak sanggahan yang diajukan oleh Sdr. Penyanggah atas artikel tersebut, di sini dan pada kesempatan mendatang, penulis akan berusaha menjawabnya satu demi satu. Insya Allah.

Pada kesempatan ini, tulisan ini dimaksudkan untuk mengugurkan asumsi kemunculan Syiah yang ditengarai secara emosional oleh Sdr. Penyanggah dalam bentuk soalan, apakah benar bahwa Syiah merupakan ajaran sungsang yang membuat luruh air mata baginda Nabi Saw? Apakah benar bahwa Syiah sebagai fitnah akhir zaman yang mengatasnamakan Ahlulbait sebagai pembenar ajaran-ajarannya? Apakah benar, bahwa nasionalisme Persialah yang menjadi penyebab utama kemunculan Syiah? Berangkat dari tiga soalan ini penulis menurunkan artikel ringan yang berjudul Melacak Jejak Kemunculan Syiah. Dengan begitu, barangkali menurut hemat penulis, sistematika pembahasan ini dapat terjaga dan terarah dengan baik.

Adapun pembahasan atau soalan tentang tafsir ayat ahl al-bait dari dua surah di atas, pengkhususan para imam dari keturunan Husain saja, dalil Qur’an dan hadis shahih ihwal imamah mereka, akan penulis khususkan pada kesempatan berikutnya.

Beberapa Asumsi Atas Kemunculan Syiah

Dalam menyoroti fenomena dan latar belakang kemunculan Syiah, terdapat beberapa asumsi yang dibangun. Beberapa asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemunculan Syiah pada masa Rasulullah Saw

2. Kemunculan Syiah pasca Saqifah

3. Kemunculan Syiah setelah syahadah Husain bin Ali As

4. Kemunculan Syiah karena pengaruh orang-orang Persia

5. Kemunculan Syiah karena pengaruh pemikiran Ibnu Saba.

Sdr. Penyanggah dan orang-orang semacamnya yang bersandar pada asumsi keempat menandaskan bahwa Syiah muncul lantaran pengaruh orang-orang Persia. Dengan kata lain, kemunculan Syiah adalah dikarenakan faktor nasionalisme Persia, karena Imam Husain As menikah dengan Syahrbanu keturunan dinasti Sasani Persia. Adapun asumsi-asumsi lainnya yaitu asumsi kedua, ketiga dan kelima, mengingat ruang dan waktu yang terbatas di sini, akan dibahas pada kesemaptan mendatang.

Makna Syiah secara leksikal dan teknikal

Sebelum merangsek lebih jauh, ada baiknya kita menguliti makna Syiah dan Tasyayyu’ terlebih dahulu baik secara leksikal atau pun secara teknikal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dan memperoleh kejelasan ihwal seluk-beluk Syiah. Syiah secara bahasa memiliki dua makna:

1. Kesepakatan dan koordinasi dua orang atau dua kelompok dalam akidah dan perbuatan, dimana salah seorang dari mereka mengikuti yang lain.

Hal ini disebutkan dalam kitab Lisan al-Arab, Syiah adalah sekelompok orang yang bersepakat dalam satu urusan. Makna syiah menurut definisi pertama juga digunakan dalam al-Qur'an, sebagaimana Nabi Ibrahim As disebut sebagai Syiah Nabi Nuh As.

"Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Syiah Nuh)."

2. Mengikuti dan menuruti orang lain

Dalam kamus al-Muhith disebutkan bahwa Syiah seseorang adalah pengikut dan penolongnya. Mengikuti keyakinan, jalan dan adat orang lain biasanya disertai dengan cinta (mahabbah) dan rasa suka. Dalam penggunaan kata Syiah, makna ini juga yang dimaksud.

"Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya." (Qs. al-Qasas [28]:15)

Dari dua makna yang telah disebutkan, makna kedua yang lebih dikenal dan lebih masyhur.

Makna Syiah secara Teknikal

Para sejarawan dan peniliti dalam bidang Milal wan Nihal (bidang yang membahas sejarah agama-agama, bangsa-bangsa dan mazhab-mazhab) secara mutlak mengatakan bahwa Syiah yang dimaksud adalah Syiah Itsna Asyariyyah. Berikut ini kami akan uraikan satu demi satu definisi ihwal Syiah yang disampaikan oleh para sejarawan dan peneliti. Banyak definisi yang disampaikan tentang Syiah, antara lain,

1. Keyakinan terhadap imamah belâfashl (segera setelah, soon as, immediately) Amirul Mukminin, karena ia lebih utama daripada sahabat yang lain, dan juga Nabi Saw melantiknya sebagai khalifah setelahnya. Dan keyakinan terhadap masalah bahwa imamah akan senantiasa berlanjut di bawah panji putra-putra Fatimah az-Zahra As. Dan tiada orang lain yang memiliki hak untuk mengambil alih urusan ini. Syaikh Mufid tentang masalah ini berkata, kalimat Syiah terkadang digunakan dengan alif lâm (ta'rif) dan kadang tanpanya. Bilamana penggunaan terma Syiah tanpa alif lam ia bermakna alif lâm luas dan lapang. Seperti dapat digunakan pada antek-antek Bani Umayyah (Syiah Bani Umayyah) atau Syiah Bani Abbas, dan Syiah fulan. Akan tetapi kapan saja kata Syiah digunakan dengan alif lâm ia bermakna khusus dan maksud dari kalimat itu adalah orang-orang yang mengikuti Imam Ali sebagai Wali Amr Muslimin dan yakin kepada imamah belafashl selepas kepergian Nabi Saw.

2. Makna Syiah yang kedua adalah orang-orang yang yakin terhadap keutamaan Imam Ali atas seluruh sahabat dan ketiga orang khalifah sebelumnya, kendati orang-orang yang masuk dalam definisi ini tidak meyakini imâmah belafashl Imam Ali As. Dan secara asasi, mereka tidak meyakini adanya nash dalam urusan khilafah dan imamah.

3. Penggunaan lafaz Syiah yang ketiga adalah ekspresi kecintaan dan mawaddah kepada Ahlulbait Nabi Saw.

Dalam terminologi kalam, Syiah yang dimaksud di sini adalah Syiah yang bermakna pertama, yaitu orang-orang yang meyakini khilafah dan imamah belafashl Imam Ali As.

Makna Tasyayyu' Secara Leksikal

Jauhari dalam Sihah al-Lughat berkata, tasyayyu' berarti musya' ya'at (klausul mufa'ala, yang melibatkan dua orang atau lebih), yang bermakna mengikuti, menolong dan berwilayah kepada seseorang. Dalam Taj al-'Arus dan Lisan al-'Arab memuat redaksi yang sama seperti makna tersebut.

Tasyayyu' secara Teknikal

Tasyayyu' secara istilah berangkat dari keyakinan bahwa imâmah merupakan kedudukan yang ditentukan oleh Tuhan dan meyakini bahwa pemilihan imam terlaksana melalui nash (baca: wahyu) dan bersumber dari sisi Tuhan. Berangkat dari sini, Nabi Saw dengan mengikuti tradisi para nabi sebelumnya yang mengangkat para imam dan washi – sesuai dengan titah Tuhan – selepas mereka. Dan Nabi Saw memperkenalkan Imam 'Ali As sebagai Imam pertama dan Imam Mahdi As sebagai Imam terakhir dari dua belas imam yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw sebagai pemimpin agama, pemegang panji wilayah, kekuasaan dan kepemimpinan umat. (Lihat al-Qunduzi, Yanabiul Mawaddah dan Hamuyinii asy-Syafi’i dalam Faraidh as-Simthain tentang silsilah para Imam yang berasal dari keturunan al-Husain, sebagai penjelas dari hadis-hadis yang menyiratkan akan adanya dua belas khalifah pasca Rasulullah sebagaimana yang disebutkan dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Shawaiqul Muhriqah).

Syaikh Jawad Mugniyah berkata, tasyayyu' adalah iman terhadap adanya nash dari sisi Nabi Saw atas imamah dan khilafah Imam Ali As.

Beberapa Asumsi bahwa Syiah adalah Rekaan Bangsa Persia

Nampaknya Sdr. Penyanggah sangat puritan dengan asumsi ini dan seakan memaksakan kehendak bahwa Syiah muncul dikarenakan nasionalisme bangsa Persia buah pernikahan Imam Husain As dengan Syahrbanu putri Raja Yazdghird III. Sdr. Penyanggah mungkin banyak bertaklid kepada Ahmad Amin dan Ahmad AthiyatuLlah dari kalangan Sunni dan orientalis seperti Edward Brown dalam memelihara asumsi ini untuk melacak jejak kemunculan Syiah. Sebagai tambahan dari klaim asumsi nasionalisme ini, ada beberapa asumsi lainnya yang digunakan di antaranya, akidah wishayah dan wiratsah dalam masalah imamah yang merupakan landasan fundamental dalam akidah Syiah, tidak dikenal sebelumnya oleh bangsa Arab, akan tetapi pemerintahan dinasti kerajaan Persia telah sekian lama bertopang pada sistem ini. Kedua, Kekalahan bangsa Iran dan ditaklukkannya Iran oleh lasykar Muslimin menjadi embrio kemunculan dendam dan kusumat bangsa Iran terhadap kaum Muslimin Arab sehingga dengan demikian, untuk menuntut balas dari kekalahan ini, diciptakanlah suatu mazhab yang bernama “Syiah”.

Kerapuhan Asumsi bahwa Syiah adalah rekaan orang-orang Persia

Dalam mengkritisi dan sekaligus menggugurkan asumsi Sdr. Penyanggah dan orang-orang semacamnya, saya minta untuk memperhatikan poin-poin berikut ini:

1. Sebagaimana yang akan dijelaskan secara rinci di bawah, Syiah telah muncul pada masa Rasulullah Saw.

2. Sahabat-sahabat utama Rasulullah Saw seperti Miqdad bin Aswad, Salman al-Farisi, Abu Dzar adalah terkenal sebagai Syiah Ali As.

3. Letak geografis yang terpenting Syiah pada masa-masa awal Islam adalah terletak di daerah-daerah Arab-Hijaz, Iraq dan Yaman bukan Iran. Dan kebanyakan pengikut (Syiah) Ali pada masa hidupnya adalah orang-orang Arab. Sebagaimana terlihat pada lasykar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan seperti Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Lasykar Imam Ali ini kebanyakan terdiri dari orang-orang Arab dan sahabat-sahabat terdekat Nabi Saw.

4. Menurut catatan sejarah tampak jelas bahwa orang-orang Iran pada masa-masa permulaan memeluk Islam, dengan memperhatikan pemikiran yang menguasai masyarakat ketika itu adalah pemikiran Sunni, adalah bermazhab Sunni setelah itu secara gradual mazhab Syiah tersebar dikarenakan sebab yang beragam. Di antaranya orang-orang Syiah Hijaz, Iraq berhijrah ke Iran dan melalui mereka mazhab Syiah tersebar di persada Iran.

5. Muhammad Abu Zuhra berkata: Orang-orang Persia memeluk Syiah melalui tangan orang-orang Arab, dan sekali-kali Syiah tidak pernah dimunculkan oleh mereka. Banyak ulama-ulama Islam yang dikarenakan takut kepada antek-antek Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah melarikan diri ke daerah-daerah Pars, Khurasan (daerah Persia) dan telah menjadi sebab tersebarnya ajaran Syiah. Dan setelah jatuhnya Bani Umayyah, ajaran Syiah tersebar di wilayah ini. (al-Imam Ja’far Shadiq As, hal. 545)

6. Kerapuhan yang lain dari asumsi ini adalah di samping kedua belas Imam Syiah dari sisi nasab dan kebangsaan adalah Arab, kebanyakan ulama Syiah berasal dari keluarga Arab seperti Ali A’yan, Ali ‘Athiyyah, Bani Darrah, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Muhaqqiq Hilli, Allamah Hilli, Ibnu Thawus, Ibnu Idris, Fadhil Miqdad, Syahid Awwal dan Syahid Tsani dan yang lainnya. Dan dari sisi lain, tidak satu pun dari para Imam Arba’ah (Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi) adalah orang-orang Arab, melainkan orang-orang yang berlindung kepada orang-orang Arab, sebagaimana para penulis kitab Shihah Ahlussunnah, dan kebanyakan dari para muhaddits, teolog, juris, dan ahli hadis tersohor mereka juga bukan orang-orang Arab. Hampir kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Persia..

7. Kemestian dari asumsi ini menegaskan adalah bahwa orang-orang Iran lebih menaruh hormat kepada Syahrbanu bunda Imam Sajjad daripada ibu-ibu para imam lainnya, sementara tidaklah demikian, misalnya kepada Narjis Khatun bunda Imam Mahdi Ajf yang merupakan salah seorang budak Roma. Orang-orang Iran juga tetap menaruh hormat kepada para bunda Imam Ahlulbait As. Dan terlepas dari itu, asumsi ini tidak dapat diterapkan pada Imam Ali dan Imam Hasan As, lantaran secara hierarkis, Imam Ali dan Imam Hasan adalah pendahulu dari Imam Husain As.

8. Apabila orang-orang Iran menaruh hormat kepada para Imam Suci As dikarenakan nasab mereka berasal dari Dinasti Sasani seharusnya mereka juga harus menaruh hormat kepada Bani Umayyah lantaran pada masa Walid bin Abdul Malik, pada salah satu perang Qutaibah bin Muslim, salah seorang cucu Yazdgard bernama Syah Afarid tertangkap, dan Walid menikah dengan wanita tawanan tersebut. Dan dari perkawinan itu, lahirlah Yazid bin Walid yang terkenal sebagai Yazid Naqish. Oleh karena itu, nasab (geneologi) Yazid bin Walid dapat ditelusuri hingga para Raja Sasani.

9. Penisabatan Yazid bin Walid kepada Raja Sasanik ini dari sudut pandang sejarah lebih meyakinkan ketimbang penisbatan Imam Ali bin Husain as-Sajjad As. Karena ihwal pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu Yazdghird Sasani III masih diragukan oleh sebagian sejarawan, namun tidak demikian dalam hal pernikahan Walid bin Abdul Malik dengan Syah Farid.

10. Akidah Syiah Itsna Asyari dalam masalah imamah dan masalah-masalah lainnya memiliki akar yang kuat dan panjang dalam al-Qur’an dan hadis nabawi dan riwayat-riwayat Imam Ahlulbait As (seperti yang akan dibuktikan oleh penulis pada tulisan sekuel berikutnya).

11. Saksi-saksi sejarah menegaskan bahwa orang-orang Iran –bukan lantaran gentar dan terpaksa – memeluk Islam, melainkan dimotivasi oleh kerelaan, kegemaran dan kecintaan terhadap Islam. Yang menjadi sebab diterimanya Islam dan berserah dirinya (taslim) orang-orang Iran di hadapan lasykar Muslimin, pertama, kebenaran akidah dan ajaran Islam. Kedua, terbebasnya mereka dari tirani dan oppresi raja-raja Sasani. Dengan kata lain, hukum dan ajaran yang bertengger di atas fondasi keadilan dan kesetaraan dalam Islam dari satu sisi, dan dari sisi lain kesewenang-wenangan dan diskriminasi system pemerintahan Sasani yang membuat orang-orang Iran menerima ajaran Islam.

Syiah dalam Lisan Rasulullah Saw

Kalau ingin ditelusuri sejarah kemunculan Syiah, seorang peneliti dan pencari fair dapat menemukannya pada masa Rasulullah Saw.

Dari banyak riwayat yang terang menjelaskan bahwa redaksi “Syiah” telah tersebar semenjak masa Rasulullah dan beliaulah yang menyebarkan istilah ini.

Di samping riwayat-riwayat yang terdapat pada referensi-referensi mazhab Syiah, juga terdapat pada referensi-referensi mazhab Sunni dimana ayat “Ulaika humul Bariyyah (Qs. Al-Bayyinah [97]:7) yang ditafsirkan oleh Rasulullah Saw untuk Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya (Syiah).

Misalnya Hakim Naisyaburi salah seorang alim terkenal Sunni yang hidup pada abad kelima Hijriah menukil riwayat-riwayat ini dalam kitabnya yang terkenal “Syawâhid at-Tanzil” dengan sanad yang beragam dan kurang lebih dari dua puluh riwayat dimana beberapa dari riwayat tersebut sebagai contoh akan disebutkan di sini.

1. Ibnu Abbas berkata: “Tatkala ayat “Innaladzina A^manû wa ‘Amilûshalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk) turun, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali: Huwa Anta wa Syia’tuka. Ta’ti Anta wa Syiahtuka Yaumal Qiyâmah Râdhiin wa Mardhiyyîn wa Ya’ti ‘Aduwwuka Ghadbânan Muqhamîn.” (Maksud dari ayat ini adalah dirimu dan Syiahmu yang pada hari Kiamat akan memasuki padang Masyhar dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Tuhan. Sementara musuhmu dalam keadaan murka dan dimurkai.” (Syawahid at-Tanzil, jil. 2, hal. 357.)

2. Dalam hadis yang lain yang bersumber dari Abu Barzah dimana ketika Rasulullah Saw membacakan ayat ini, beliau bersabda: “Mereka (Khairul Bariyyah itu) adalah engkau dan Syiahmu wahai Ali, dan perjanjianku dan dirimu di samping telaga Kautsar. (Idem)

3. Dari hadis yang lain dari Jabir bin Abdullah Anshari disebutkan bahwa kami duduk di samping Ka’bah bersama Rasulullah Saw dan ‘Ali datang menuju ke arah kami, tatkala Rasulullah Saw menoleh kepadanya, beliau bersabda: “Qad Atakum Akhi.” (Telah datang saudaraku kepada kalian). Lalu Rasulullah Saw menghadap ke arah Ka’bah dan bersabda: “Wa Rabba Hadzi al-Baniyyah, Inna Hadza wa Syia’atahu Humul Faizun Yaumal Qiyamah..(Demi Tuhan Ka’bah, Aku bersumpah sesungguhnya orang ini (‘Ali) dan Syiahnya adalah orang-orang yang berjaya pada hari Kiamat).” (Idem, Ibnu Hajar, Shawâiqul Muhriqah, hal. 96, dan Muhammad Syablanji, Nurul Abshar, hal. 70 dan 101)

4. Dalam kitab ad-Durrul Mantsur dinukil dari Ibnu Abbas bahwa sewaktu ayat “Innaladzina A^manû wa ‘Amilûshalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk) turun, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali: : Huwa Anta wa Syia’tuka. Ta’ti Anta wa Syiahtuka Yaumul Qiyâmah Râdhiin wa Mardhiyyîn .” (Maksud dari ayat ini adalah dirimu dan Syiahmu yang pada hari Kiamat akan memasuki padang Masyhar dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Tuhan. (ad-Durrul Mantsur, jil. 6, hal. 379).

5. As-Suyuthi menukil dalam hadis yang sama dari Ibnu Mardawiyah dari Hadhrat Ali bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Alam Tasma’ QauluLlah: Innaladzina A^manu wa ‘Amilushalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” Anta wa Syiahtuka wa Mau’idi wa Mau’idukum al-Haudh, Idza Ji’tu al-Umam lil Hisab, Tud’auna Ghurran Muhajjalin. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah: (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk)? (yang dimaksud) Adalah engkau dan Syiahmu. Tempat perjanjian antara diriku dan dirimu adalah di telaga Kautsar. Tatkala aku datang untuk menghisab seluruh umat, engkau akan dipanggil sementara keningmu putih dan telah dikenal. (Idem).

Dan banyak lagi dari ulama Sunni dengan redaksi yang sama menukil hadis ini dalam kitab-kitab mereka semisal: Khatib Khawarazmi dalam Manaqib, Abu Nu’aim Isfahani dalam Kifayatul Khisham, dan Thabari dalam Tafsir-nya, Ibnu Shibagh al-Maliki dalam Fushulul Muhimmah, dan Allamah Syaukani dalam Fathul Ghadir dan Syaikh Sulaiman al-Qunduzi dalam Yanabi’ul Mawaddah, dan Alusi dalam Ruhul Ma’ani ketika mereka menafsirkan ayat yang dimaksud di atas. Silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab yang disebutkan di sana untuk membuktikan klaim ini.

Dari hadis-hadis nabawi yang dinukil dari kitab-kitab terdepan Sunni tentang sejarah kemunculan Syiah dapat dikatakan dengan tegas bahwa Syiah telah muncul semenjak masa Rasulullah Saw dan melalui lisan beliaulah Syiah diperkenalkan kepada umat.

Tiadanya Empat Mazhab Hingga Abad Ketiga

Adapun mazhab jumhur Sunni yang terbagi menjadi empat mazhab besar, sesuai catatan sejarah, keempat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) belum muncul lagi dan belum memiliki pengikut hingga abad ketiga. Lantaran berdasarkan nukilan yang ada:

1. Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit, Imam Mazhab Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriah dan wafat pada tahun 150 H.

2. Malik bin Anas Asbahi Madani, pengarang kitab al-Muwattha, Imam Mazhab Maliki lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179 H.

3. Syafi’i, Muhammad bin Idris, Imam Mazhab Syafi’i, lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H.

4. Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab Hanbali, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H.

Di sini kita patut mengajukan beberapa pertanyaan kepada saudara penyanggah atau to whom it may concern sebagai berikut:

1. Kaum Muslimin selain Syiah, sebelum lahirnya keempat Imam Mazhab ini, memiliki mazhab apa dan mengikuti imam siapa?

2. Mengapa dan apa yang menjadi alasan kaum Muslimin selain Syiah tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As dan menjadi pengikut mereka?

3. Mengapa dan atas alasan apa, mazhab atau mazhab-mazhab lain (kalau ada) sebelum empat mazhab ini tersingkir dan menjadi pengikut keempat mazhab ini?

4. Mengapa dan atas alasan apa serta bersandar kepada ayat dan riwayat yang mana yang menegaskan bahwa mazhab dan ucapan keempat mazhab ini memiliki hujjah syar’i dan mereka merupakan para marja’ (tempat rujukan) dan imam kaum Muslimin?

5. Mengapa dan atas alasan apa mereka mengabaikan Ahlulbait Nabi Saw, yang dalam ayat dan riwayat menyebutkan keutamaan mereka dan bahkan memerintahkan untuk mengikuti para Imam Ahlulbait, namun menjadi pengikut imam empat mazhab tersebut?

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syiah merupakan murid Senior dan Sunni adalah murid Yunior dari madrasah Rasulullah Saw. Dan jejak kemunculan syiah dapat ditelusuri semenjak kemunculan Islam. Adaoub Sunni muncul tiga abad setelahnya




Allah