judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Jumat, 06 Desember 2013

Al-’adalah Bukti (13)

Bukti (13): Pebuatan baik non-muslim
Bagaimana dengan keadilanNya bila dikaitkan dengan perbuatan baik non muslim ? Apakah perbuatan baik seorang non muslim diterima oleh Nya?

Dalam hal ini ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim tidak akan diterima olehNya dan akan disebar seperti debu. Pendapat pertama juga mendasarkan argumennya pada ayat berikut ini

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS 24:39)



Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS 3:85)

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS 14:18)



Pendapat kedua mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim bisa diterima olehNya, bila mereka memiliki keimanan yang benar kepada Allah Yang Mahasempurna lagi Mahasuci, dan keimanan kepada Hari Akhir, serta amalnya shalih. Salah satu argumentasi pendapat kedua adalah

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:111-112)

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 5:69)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS 22:17)

Mana pendapat yang benar ? Apakah antara kedua ayat-ayat yang digunakan sebagai argumentasi terdapat kontradiksi ?

Kemusykilan ini sebenarnya muncul karena masalah definisi dan pengertian terminologi muslim dan kafir.

Dalam kaitan dengan ini Syahid Murtadha Mutahhari menuliskan:[1]

“Biasanya, ketika kita mengatakan bahwa seseorang adalah muslim atau non-muslim, kita tidak memparhatikan realitas dan hakikat, melainkan pada posisi geografis yang menjadi tempat tinggalnya. Apabila daerah tersebut, berdasarkan tradisi dan warisan daerah Islam, maka kita sebut dia sebagai Muslim. Dan seandainya daerah itu adalah daerah kristen, maka kita sebut dia sebagai orang kristen; demikian juga orang yang tidak memeluk agama, dan seterusnya.

Kita harus menyadari bahwa keputusan seperti ini tidak memiliki nilai hakiki, baik dalam keputusan tentang dirinya sebagai Muslim maupun kafir. Kebanyakan di antara kita adalah orang-orang Islam berdasarkan tradisi dan geografi. Kita memeluk Islam karena orangtua kita orang Islam, atau karena kita tumbuh dan dewasa di tengah-tengah kaum Muslim.

Adapun Islam hakiki, yang mengandung nilai spiritual-samawi, adalah Islam yang mampu mengantarkan seorang kepada hakikat taslim hati yang memberikan tempat paling luas bagi kebenaran di dalam dadanya. Sehingga dia menerima kebenaran dan mengamalkannya setelah, dari satu segi, menerimanya atas dasar penyelidikan dan analisis dan pada segi lain, atas dasar taslim dan tidak ta’ashshub.

Sekiranya seseorang telah berserah diri kepada kebenaran, tetapi ia, karena sebab-sebab lain, belum sampai pada kebenaran Islam, maka orang tersebut tidak dipandang sebagai sengaja tidak mau menerima kebenaran , dan Allah tidak menyiksanya, bahkan ia termasuk orang yang selamat, sebagaimana firman Allah berbunyi,

Dan kami tidak akan menyiksa (manusia) sebelum kami mengutus seorang rasul

(QS al-Isra [17]:15).



Maksudnya, mustahil Allah akan menyiksa seseorang tanpa alasan yang sempurna. Para ulama ushul, sejalan dengan ayat yang menguatkan hukum akal tersebut, memberi istilah bahwa “Adalah buruk, menyiksa tanpa memberi apenjelasan” (qubhun al-‘iqab bila bayan). Artinya, apabila Allah SWT belum menjelaskan kebenaran secara sempurna kepada hamba-hamba-Nya, maka buruklah bila Allah menyiksa mereka.

Apabila kita hendak mencari contoh bagi hakikat seperti ini, maka kita mungkin akan menemukan adanya orang-orang yang memiliki jiwa taslim kepada kebenaran, sekalipun mereka tidak berpredikat islam. Berdasarkan biografi-biografi tenteng dirinya, Descartes, filosof perancis, mengenai pandangannya, telah dijelaskan bahwa filasafatnya dimulai dari keraguan. Dia terlebih dahulu meragukan pengetahuan-pengetahuannya. Berangkat dari nol dan menjadikan pikirannya sebagai titik tolak. Dia mengatakan, “Cogito ergo sum”(Aku berpikir, karena itu aku ada). Dengan begitu, Decartes menjadikan keyakinan tenteng adanya dirinya sebagai metode dan sarana untuk membuktikan adanya ruh. Dan, menurut pandangannya, eksistensi materi dan eksistensi tuhan bersifat pasti. Selanjutnya, sedikit demi sedikit ia mulai memilih agama, dan akhirnya memilih agama kristen, karena di negerinya agama tersebut merupakan agama terbesar.

Descartes mempunyai ungkapan yang begitu indah mengatakan, “aku benar-benar menganggap bahwa agama Kristen pasti merupakan agama terbaik di dunia. Aku hanya mengatakan bahwa agama Kristen adalah agama terbaik sejauh bila dibandingkan dengan agama-agama yang aku ketahui; dan aku memeluknya setelah terlebih dahulu menganalisis dan mengujinya. Sama sekali aku tidak memusuhi kebenaran sekiranya di sana, di tempat-tempat lain di dunia, terdapat agama yang lebih baik dari agama Kristen. “Kebetulan sekali Descartes menyebutkan Iran sebagai contoh negara yang dia sendiri tidak tahu menahu, baik tentang agama maupun mazhab penduduknya. Descartes mengatakan: “Sungguh, aku tidak tahu, mungkin saja agama atau mazhab di Iran lebih mulia dan lebih baik dari agama Kristen.”

Dengan demikian, orang-orang seperti Descartes ini tidak bisa disebut sebagai orang-orang kafir, karena mereka tidak bersikap menentang dan menyembunyikan kebenaran. Sementara, kafir tidak lain adalah menentang dan menyembunyikan kebenaran. Mereka adalah Muslim fitri. Apabila kita keberatan menyebut mereka muslim, maka pada dasarnya kita pun tidak bisa menyebut mereka kafur. Sebab, kontras antara Muslim dengan kafir tidaklah seperti positif dan negatif, dan ahli logika, sebagai kontras antara dua hal yang betentangan (taqabbu al-dhiddain). Sebab, keduanya merupakan dua hal yang bersifat wujud (wujudi), bukan yang satu bersifat wujud dan yang lain bersifat tidak ada (‘adami).

  Adalah jelas, bahwa saya menyebut Descartes sebagai sekadar contoh, dan ini tidak berarti bahwa saya membatalkan prinsip yang telah saya jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak bisa memastikan pandangan mengenai seseorang. Dengan menampilkan Descartes sebagai contoh, saya bermaksud mengatakan bahwa seandainya ucapan dan sikap taslim Descartes itu benar seperti yang dikatakannya itu, maka ia dipandang sebagai seorang muslim fitri.”

Dengan meluruskan definisi dan pemahaman kita tentang muslim dan kafir, bahwa yang dimaksud muslim adalah muslim hakiki, – bukan muslim formal (KTP) atau muslim geografis; dan bahwa yang dimaksud kafir di sini adalah kafir hakiki, – yang tentu tidak bisa ditahkik (ditetapkan) hanya berdasar agama formal atau pewarisan agama dari orangtua ataupun geografis, maka sebenarnya tidak ada kotradiksi dalam kumpulan ayat yang disebutkan di awal pembahasan ini.



Bukti (13a): Pebuatan baik non-muslim (2)
Tuhan Yang Mahapemurah mustahil tidak membalas kebaikan sebesar zarrah apa pun dari siapapun. Bila kita amati ayat berikut

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
(QS 55 (AR-RAHMAN): 60)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. “

(QS 99 (AL-ZALZALAH):7-8)

Tidak ada persyaratan khusus yang membatasi bahwa ayat ini hanyalah bagi orang dengan agama tertentu, misalnya Islam. Siapa pun yang melakukan kebaikan pasti akan memperoleh balasannya, dan siapa pun yang melakukan kejahatan pasti akan melihat akibat buruknya.

Bahwa pengingkaran pada kebenaran , adalah suatu kejahatan yang menjadi sumber dari seluruh kejahatan besar lain. Seseorang yang mengingkari kebenaran, walaupun ia telah mengetahuinya, pengambilan keputusan dalam dirinya akan rusak. Adalah sangat masuk akal, kekafiran hakiki seperti ini membuat amal-amal seseorang di hari kebangkitan disebar seperti debu. Mereka kehilangan nilai kebaikannya, bukan karena hakikatnya baik kemudian dinafikan oleh hisab Tuhan Yang Mahaagung lagi Mahamenghitung; namun karena memang amal tidak memiliki nilai kebaikan sejak awalnya. Mungkin mereka menyangka amal-amal mereka baik. Namun sering kali sesuatu yang dianggap bernilai baik dalam kerangka pemahaman yang keliru, sebenarnya tidak bernilai sama sekali.



Bukti (13b): Pebuatan baik non-muslim (3)[2]
“Mari kita lihat bahasan ulama dari kedua mazhab besar Islam terkait dengan perbuatan baik non-muslim dan syarat keselamatan. Pertama, tafsir, yang ditulis oleh sayyid Hussein Fadhlullah, tokoh hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait; kedua, Tafsir al-Man?r yang ditulis oleh Sayyid Rasy?d Ridh?, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab ahlussunnah;

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan:

Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (cetak tebal dari penulis).

Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung prulalisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir yang eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh Husseyn Fadhlullah, tetapi, mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus ( mans?kh) oleh:

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS al ‘Imran[3] : 85)

Mereka bersandar pada hadis—yang lemah—dari Ibn ‘Abb?s (Lihat, misalnya, tafsir al-Thabar?).

Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang kita bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang dimansukh. Islam pada ?l ‘Imr?n 85 adalah islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit , bukan islam dalam arti istilah”, bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhamad saw. Kesimpulan itu diambil Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada QS ?l ‘Imr?n 19:

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah adalah Islam…..(QS al ‘Imran[3]:19)

… Lebih lanjut, Fadhlullah mengatakan bahwa al-Baqarah : 62 dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Ayat tersebut menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Dalam Al-Qur’an , orang-orang yang berpegang pada keselamatan karena nama disindir sebagai bersandar pada angan-angan :

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.  (QS 4:123)

Ayat ini juga disebut oleh Sayyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 62:

“Artinya hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini ialah bahwa bagi mereka pahalah tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka …

Ayat ini menjelaskan sunah Allah Swt. Dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah Swt:

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.  (QS 4:123)

… Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan tercapai hanya karea ia muslim, Yahudi, Nashara atau Shabi’ah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia.”



Bukti (13c): Pebuatan baik non-muslim (3)[3]
Mari kita ikuti pandangan mufasir besar abad 20, ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, tentang ayat:

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)

“ Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristiani atau orang-orang Shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah, dan juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan-sebutan yang bagus, sebagaimana, sebagai contohnya, klaim mereka bahwa:

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. …(QS 2:111)

Satu-satunya ukuran, satu-satunya standar, untuk kemuliaan dan kebahagiaan adalah iman sejati kepada Allah dan Hari Kebangkitan, yang diiringi amal-amal salih. …”



Bukti (13d): Keberadaan berbagai agama adalah KehendakNya, di dalamnya ada hikmah yang mendalam
Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung berfirman

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Ayat tersebut menunjukkan bahwa;

(i)            Memang Allah tidak menghendaki untuk menjadikan umat manusia satu umat beragama saja.

(ii)            Allah hendak menguji manusia dengan adanya keragaman agama yang ada dalam kehidupan di dunia ini.

(iii)            Allah memerintahkan kita, – sehubungan dengan keragaman agama dan umat beragama-, untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

(iv)            Allah sendiri yang akan memberitahukan pada seluruh umat beragama tentang perbedaan-perbedaan yang telah menimbulkan perselisihan pada Hari Kebangkitan kelak.

Tentang ayat ini, ‘Allamah Sayyid Kamal Faqih Imani menuliskan: [4]

“Akhirnya, al-Qur’an berbicara kepada semua bangsa dan ras dan mengajak mereka semua agar alih-alih menggunakan kekuatan dan kemampuan mereka untuk berkonflik dan berselisih, mereka hendaknya mencurahkannya untuk berbuat kebaikan.”



Bukti (13e): Beberapa riwayat Hadis tentang kebaikan non-muslim[5]
Dalam hadis dari Ali Ibn Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim ra. disebutkan,

“Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki seorang tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang mukmin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisain dari api neraka. … Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin.”

Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz’an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, “Serendah-rendahnya azab Jahanam adalah yang menimpa Jadz’an.” Rasulullah saw. ditanya. “Mengapa?” Beliau bersabda, “Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar.”

Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada ‘Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai,

“Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya.”

Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq ra. yang menyebutkan, “Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, ‘Allah Swt. Berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.’ Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, “Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.’

Orang itu berkata. ‘Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?’ ‘Iya,’ jawab beliau. Orang itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.’”





Bukti (13f): Perbuatan baik non-muslim akan dibalasNya dengan kebaikan bukanlah kontradiksi dengan bahwa wilayah merupakan syarat dikabulkannya amal[6]
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa imam, bahkan wil?yah (im?mah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.

Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu’), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar’i, shalatnya shahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.

Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga  pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.





Bukti (13g): Keberagaman agama dalam pandangan falsafah ketunggalan wujud (wahdah al-wujud)[7]
Pandangan tentang ketunggalan wujud akan berimplikasi kuat pada penerimaan pada pluralisme (kejamakan cara beragama dan berteologi), suatu hal yang sangat diperlukan dalam era kebangkitan spiritualisme dan agama dalam milenium ketiga. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebelum menjadi presiden, telah terkenal sebagai tokoh kotroversial, salah satunya karena ide-ide beliau dalam masalah pluralisme. “Atas dasar inilah, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur  banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsionalisasikan agama secara maksimal. Gus Dur tidak menginginkan agama menjadi sekadar simbol, jargon, dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh.  Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.”[8] Pandangan pluralisme ini juga diperlukan dalam menghadapi kecenderungan munculnya tribalisme (kesukuan) yang biasanya juga muncul seiring dengan fanatisme keagamaan sebagai satu dari paradoks global menghadapi alat ketiga yang telah diuraikan sebelumnya. Pluralisme memperoleh landasannya cukup kokoh di antara para sufi, tanpa mengurangi keyakinan dan kecintaan mereka kepada Islam sebagai agama Tuhan yang paling sempurna dan paling benar, Syaikh Abd al-Karim al-Jili menuliskan: “Ahli kitab dibedakan ke dalam banyak golongan. Mengenai orang barahimah (Hindu) diakui bahwa mereka termasuk penganut agama Ibrahim dan bahwa mereka adalah keturunannya dan memiliki cara beribadah sendiri. Orang barahimah memuja Tuhan tanpa mengikuti petunjuk nabi atau rasul. Mereka menyatakan bahwa dunia wujud ini tak lain adalah ciptaan Tuhan. Mereka mengakui Keesaan Wujud-Nya, namun menolak nabi-nabi dan rasul sama sekali. Pemujaan mereka terhadap Yang Benar serupa dengan pemujaan yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelum memperoleh nubuwat. Mereka mengaku sebagai putra-putra Nabi Ibrahim –salawat atasnya—dan menyatakan mereka memiliki sebuah kitab yang ditulis buat mereka oleh Ibrahim—salawat atasnya—sendiri, selain itu mereka mengatakan bahwa kitabnya itu berasal dari Tuhan. Di dalamnya kebenaran hal-hal dibicarakan dan terdiri dari lima bagian. Mengenai yang empat bagian setiap orang diperbolehkan membacanya. Namun bagian yang kelima tidak diperbolehkan dibaca semua orang kecuali sekelompok kecil di antara mereka, disebabkan kedalaman dan tak terhingga kandungannya. Mereka tahu siapa yang membaca bagian kelima kitab mereka akan dipeluk oleh Islam dan masuk ke dalam agama Muhammad—salawat atasnya.”[9] Penyair Sufi Persia Hatif Isfahani mengkritik sekaligus memuji agama Kristen sebagai agama yang “tidak menemukan” Tauhid di mana ajaran trinitasnya merupakan hambatan menuju tauhid yang benar dengan menggunakan bahasa yang lembut dan jauh dari kekasaran dan permusuhan.

Kukatakan di gereja pada seorang Kristen yang pandai memikat hati,

“O dalam jeratmu aku tertawan!

Dalam tali-temalimu tiap pucuk rambutku terikat!

Berapa lama kau akan tetap seperti ini.

Tak menemukan jalan menuju Tauhid?

Berapa lama kau akan tetap membelokkan Yang Satu dengan Trinitas?

Apakah benar menyebut Tuhan Yang Esa sebagai “Bapa”, “Anak”, dan “Roh Kudus”?

Ia membuka bibirnya yang manis mdan berkata padaku

Dan dengan tawanya yang manis dicurahkan gula dari bibirnya:

“Jika kau paham Rahasia Tauhid,

Jangan lempari kami dengan noda kekufuran!

Dalam tiga cermin Keindahan Yang Kekal melontarkan seberkas sinar

Dari Wajah-Nya yang berkilau-kilauan.

Sutra tidak berubah menjadi tiga macam kain

Jika kau menyebutnya Parniyan, Harir dan Parand.”[10]

Sementara kami bercakap, nyanyian ini

bangkit di samping kami dari lonceng gereja:

“Dia adalah Satu dan tiada selain Dia:

Tiada Tuhan kecuali Dia Sendiri.”[11]



Perlu dicatat dalam wacana pluralisme ini, adalah karya dari Fritjof Schuon; dalam karya ini Schuon mencoba mengungkap Kebenaran Mutlak yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama besar dunia, termasuk di dalamnya Islam, Kristen, Hindu, dan lain-lain, dengan uraiannya yang padat dalam mengungkap berbagai simbolisme.[12] Pembenaran Ketunggalan Wujud Mutlak (baca pula; Tuhan) yang secara fitri tertanam dalam diri manusia menjadi suatu dasar yang sahih bagi sikap pluralisme. Albert Einstein, penemu teori relativitas dan salah satu ilmuwan terbesar abad ke-20, menjelaskan tentang Kesemestaan Wujud dan Totalitasnya Yang Tunggal. “Ada lagi agama dan akidah ketiga, bersemayam dalam setiap pikiran tanpa kecuali, meskipun takkan Anda jumpai keseragaman cara mengkhayalkannya sesuai dengan beragamnya imajinasi setiap orang. Aku menyebut akidah ini ‘perasaan keagamaan yang melekat pada wujud semesta’. Sulit bagiku menjelaskan perasaan ini bagi orang yang tidak memilikinya, apalagi pembahasan di sini bukan berkenaan dengan Tuhan itu yang tampak dalam berbagai bentuk itu. Akidah ini mengajarkan kepada manusia tentang remehnya harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia serta agungnya apa yang berada di balik semua yang alamiah. Manusia akan merasa bahwa keberadaan dirinya adalah penjara dan ia ingin melepaskan dirinya dari penjara tubuhnya, untuk terbang meninggi menjumpai totalitas wujud ini secara serentak dan dengan hakikatnya yang satu.”[13] Perlu dikembangkan pendekatan rasional-mistis berdasarkan syari’at Islam dalam memberikan suatu basis yang kuat pada keyakinan Islam yang semakin kokoh seiring dengan munculnya pengkuan terhadap “kebenaran atau ketidaksesatan secara mutlak” agama lain. Budaya pluralisme dalam masyarakat Islam Indonesia mestinya akan mempunyai implikasi langsung dalam memperkuat ukhuwah islamiyah, jika seorang muslim bisa hidup berdampingan dengan orang Kristen, Yahudi, Hindu, dan lain-lain; bagaimana mungkin ia bisa mengkafirkan sesama muslim?[14]

[1] Murtadha Mutahhari, Al-‘Adl Al- Ilahiy , terjemahan Mizan, Bandung, 1992, hal. 244-245.

[2] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006, hal. 22-29

[3] ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, terjemahan Penerbit Lentera, Jakarta, 2010, hal. 379-380.

[4] ‘Allamah Sayid Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an,  terjemahan Penerbit Al-Huda, 2004, Jilid 4, hal. 394.

[5] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.

[6] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.

[7] Diambil dari makalah “Globalisasi yang memihak dan Islam Indonesia” karya penyadur tulisan ini (Dimitri Mahayana). Makalah tersebut telah disampaikan pad seminar dan lokakarya :Rancang Bangun Islam Melayu Menyambut Alaf Ketiga”, di Kairo, 2 – 3 November 1999, di Universitas Al-Azhar, Kairo.

[8] Al-Zastrow Ng. Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Penerbit Erlangga, 1999.

[9] Abd al-Karim al-Jili. Al-Insan Al-Kamil, Cairo, 1304, pp. 74 dan 87, dikutip dari Tasauf Dulu dan Sekarang tulisan Syed Husein Nasr, Pustaka Firdaus, 1994.

[10] Tiga kata yang berbeda-beda buat sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994)

[11] Terjemahan E.G. Browne dalam A Literary History of Persia, vol. IV, Cambridge, 1930, pp.293-4, dikutip dari sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 160-1.)

[12] Frithjof Schuon, The Roots of Human Condition, (Terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

[13] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 51-2.

[14] Anehnya hal ini sering terjadi.

Al-’adalah Bukti (14)

Permasalahan jabr (determinisme) dan ikhtiyar (kehendak bebas) bisa dinyatakan secara ringkas sebagai berikut.



Bila Allah Mahakuasa, dan segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan Kuasa dan KehendakNya, berarti setiap orang , – baik ia berbuat kebajikan maupun kejahatan -, tentu atas Kuasa dan KehendakNya. Artinya, manusia adalah terpaksa (mujbir) dalam tindakan-tindakannya. Benarkah pemahaman seperti ini?

Pemahaman seperti ini disebut faham determinisme atau jabriyah.

Bila pemahaman seperti ini benar, jelas bahwa Allah tidak Mahaadil. Allah yang menentukan seseorang berbuat dosa, dan kemudian menghukumnya di neraka.



Pemahaman yang lain memandang bahwa manusia bebas dalam menentukan pilihannya dan tindakannya, terlepas dari tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Tuhan tidak mencampuri sama-sekali manusia dalam menentukan tindakan dan pilihannya. Karena seseorang bebas menentukan pilihannya dalam setiap kehendaknya, – yakni dengan suatu kehendak yang bebas dan mandiri (free will) -, maka layak baginya balasan atas perbuatan baiknya maupun perbuatan jahatnya, ini berarti ranah kekuasaanNya atas kehidupan manusia terbatas. Artinya Ia tidak bersifat Mahakuasa.

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, dalam kaitannya dengan tindakan manusia, bila Tuhan Mahakuasa maka mustahil Tuhan Mahaadil. Sebaliknya, bila Tuhan Mahaadil maka mustahil Tuhan Mahakuasa.

Jawaban dari persoalan filosofis ini akan diberikan berikutnya. Kita akan mencoba menjelaskan secara ringkas melalui beberapa tahap.

(i)            Bahwa kesadaran fithrah manusia menolak paham jabr (determinisme).

(ii)            Bahwa agama dan seluruh ajaran menuju kebenaran menjadi sia-sia dalam kerangka ajaran yang mempercayai jabr

(iii)            Membuktikan bahwa free-will, dalam arti tertentu, tidak mengurangi dan tidak berkontradiksi dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

(iv)            Memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis terkait jabr dan ikhtiyar



Bukti (14a): Kesadaran fitrah manusia menolak jabr (determinisme)
Manusia di dunia, apakah dia beragama atau ateis, manusia jaman dulu atau jaman modern, yang kaya dan yang miskin, manusia dari negeri maju ataupun negeri yang tertinggal, semua percaya bahwa hukum harus mengatur dan berkuasa pada masyarakat dan incividu-individu anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan siapa pun yang melanggar hukum dan tatanan harus memperoleh suatu sanksi sebagai konsekuensi.

Ini jelas merupakan suatu pemahaman yang berlandaskan pada kenyataan bahwa seorang manusia memiliki kehendak bebas (free will) dalam memilih dan melaksanakan tindakan-tindakannya, dan tidak dikendalikan oleh “tangan-tangan gaib” di luar dirinya. Sehingga , oleh karena itu, ia menjadi patut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

Kesepakatan seluruh manusia akan perlunya hukum, jelas menjadi bukti bahwa fithrah manusia sadar bahwa pemahaman jabr (determinisme) keliru, dan fithrah manusia sadar bahwa dirinya dikaruniai kebebasan memilih tindakan-tindakannya. Karena ia benar-benar bebas memilih tindakan-tindakannya, maka adalah layak baginya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.



Bukti (14b):     Bahwa agama dan seluruh ajaran menuju kebenaran menjadi sia-sia dalam kerangka ajaran yang mempercayai jabr
Keadilan Tuhan Yang Mahabaik lagi Mahapemurah tidak pernah bisa dikompromikan tanpa kontradiksi dengan determinisme (jabr). Betapa mungkin Ia Yang Mahabaik “memaksa” seseorang untuk melakukan sesuatu dan kemudia menghukum mereka karena itu dengan neraka ?

Maka, dalam kerangka pemahaman determinisme (jabr), hal-hal seperti pahala, siksa, Surga dan Neraka menjadi kehilangan validitasnya.

Juga keyakinan pada pencatatan amal seseorang, konsep Hari Kebangkitan, perhitunganNya akan amal-amal manusia, siksaan untuk yang berbuat jahat dan karunia bagi orang-orang yang berbuat baik semua menjadi tidak perlu dan tidak valid.

Artinya , keyakinan pada determinisme (jabr) akan meruntuhkan pondasi agama seluruhnya, tanpa sisa.

Mungkin terkait dengan alasan ini, Imam ‘Ali kw. , – dalam sebuah hadis yang terkenal,

“Ini adalah pernyataan dari kaum penyembah berhala, musuh-musuh Tuhan, dan golongan setan.”[1]

Bukti (14c): Bahwa kehendak bebas manusia tidak berkontradiksi dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Mahapemurah
Perenungan akan kesadaran diri dan kehendaknya serta tindakannya menetapkan bahwa kita benar-benar bebas memilih tindakan yang hendak kita lakukan. Ini menetapkan bahwa tindakan kita benar-benar atas dasar kehendak kita sendiri yang bebas, tanpa paksaan “tangan-tangan gaib” dari luar diri kita, secara mandiri.

Di tinjau dari sisi lain, perbuatan kita, adalah bagian dari al-wujudat al-imkaniyyah (keberadaan-keberadaan yang mungkin) , tidak ada bagian mana pun dari semesta yang tidak beremanasi dari Wajib al-Wujud. Dari sisi ini, seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita tidak terlepas dari dan adalah beremanasi dari Al-Wahid Al-Qahhar, – yakni Dia Yang Mahasempurna dalam Ketunggalan dan KekuasaanNya.

Kenyataan bahwa seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita beremanasi dariNya, sama sekali tidak mengurangi makna dan realitas kemandirian dan kehendak bebas kita pada saat melakukan suatu tindakan. Maka tidak ada kontradiksi antara kehendak bebas manusia dan KemahakuasaanNya.

Bahwa perbuatan manusia adalah benar-benar berdasarkan kehendak bebasnya dan ditinjau dari sudut pandang lain sama sekali tidak terlepas dari KemahakuasaanNya adalah pemahaman yang benar. Pemahaman ini biasanya disebun al-amru bayna al-amrayn , yakni bukan jabr (determinisme) murni, bukan pula tawfidh (pelimpahan) murni, namun sesuatu yang lain dari keduanya.



Bukti (14d): Ayat-ayat Al-Qur’an berkenaan dengan determinisme dan kehendak bebas
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS 13 (AR-RA’DU): 11)

Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki (QS 14(IBR?H?M):4)

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS 3 (?LI IMR?N):26)

Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS 51 (ADZ-DZ?RIY?T): 58)

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.
(QS 51 (ADZ-DZ?RIY?T): 58)

“Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, memberi daku makan dan minum, dan ketika aku sakit maka Ia menyembuhkan daku. (QS 26 (ASY-SYU’AR?’):78-80)

Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
(QS 41 (FUSHSHILAT): 17)

(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 8(AL-ANF?L): 53)

Dan apabila dikatakakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”. (QS 47 (MUHAMMAD): 36)

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS 30 (AR-R?M): 41)

Bukti (14e): Riwayat hadis berkaitan dengan determinisme dan kehendak bebas[2]
Diriwayatkan25) bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-Hadi ra. kepada sekelompok kaum Syi’ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan ‘adl (keadilan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang laki-laki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali ra. tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri, duduk, dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaannya?

Imam Ali ra. balik bertanya kepadanya: “Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?”

Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali melanjutkan: “Bicaralah, wahai Ibayah!”

“Apa yang harus kukatakan?” tanya Ibayah.

“Jika Anda mengatakan bahwa Anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, Anda akan kuhukum pula”.

“Lalu, apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Katakanlah bahwa Anda memilikinya dengan perkenaan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’(ujian)-Nya. Dia-lah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-lah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu …”

Alasan mengapa Imam Ali ra. berkata kepadanya: “Jika anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum”, ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa: “ia memiliki kemampuan tanpa Allah”, sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat “kemungkinan” kemampuan diri, dan sebagai gantinya, ia menetapkan “keharusan” kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.

Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si pelaku, pada waktu yang sama, ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkan semata-mata kepada si pelaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkan kepada pelaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkan kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang pelaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan dari Allah SWT berbeda dengan pemberian dan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab selama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali ddan untuk selama-lamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan , Ia aadlah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.

Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.





Bukti (14f): Tentang perubahan ketetapanNya terkait hal-hal yang terjadi dan terwujud dalam semesta karena amal baik, doa, dosa dan lain-lain


Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lahUmmul-Kitab (Induk kitab). (Q.S. Ar-Ra’du (13): 39)



Imam Baqir as mengatakan, “Ada beberapa kejadian yang pasti terjadi, dan ada kejadian-kejadian lain yang bergantung pada beberapa persyaratan dan situasi serta kondisi. Kejadian yang dipandang-Nya patut terjadi akan dikukuhkan-Nya  dan kejadian yang dikehendaki-Nya untuk dihapuskan, akan dihapuskan-Nya, sementara Dia mengukuhkan kejadian lain yang dipilih-Nya.” (Tafsir al-Burhan, jilid 2)

Perbuatan Tuhan yang telah ditetapkan sebelumnya terdiri dari dua jenis.

Hal-hal yang bersifat abadi dan dengan demikian hukum-hukumnya juga bersifat abadi, seperti dikatakan dalam ayat: Firman-Ku tidak akan berubah,[3] dan dalam ayat: Segala sesuatu memiliki ukurannya di sisi Allah.[4] Atau di mana al-Quran mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan sebelumnya seperti itu dicatat dalam lembaran yang terjaga: Dalam lembaran yang dijaga.[5] Dan: Itu adalah Kitab yang tertulis. Juga: Mereka yang dekat (kepada Allah) akan menyaksikannya.[6]
Hal-hal belum pasti dan pelaksanaannya bergantung pada perilaku manusia, seperti bertaubatnya manusia dari dosa yang disusul pengampunan, atau sedekah yang mengharuskan tertolaknya malapetaka, atau penindasan dan kekejaman yang mendatangkan azab Tuhan dikarenakan kerusakan yang ditimbulkannya. Artinya, Allah tidaklah terbatas dalam hal kepengurusan-Nya terhadap alam, seperti halnya kebijaksanaan serta pengetahuan-Nya juga tidak terbatas. Justru karena berubahnya kondisi-kondisi, maka Dia dapat memperkenalkan perubahan dalam sistem penciptaan dan hukum-hukumnya.


Al-Quran yang agung memiliki banyak contoh untuk hal ini, di antaranya adalah berikut ini:

Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab doamu.
(QS. Ghafir: 60) Manusia dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhannya dengan berdoa dan mengubah nasibnya sendiri.

Allah sesudah itu akan menciptakan sesuatu yang baru.
(QS. ath-Thalaq: 1) Hukum Ilahi tidaklah selalu sama di mana-mana. Mungkin sekali Allah akan memperkenalkan sebuah rencana baru menyusul munculnya kondisi-kondisi yang diperlukan.

…setiap hari Dia berada dalam suatu keadaan.
(QS. ar-Rahman: 29) Artinya, Dia setiap saat melakukan suatu hal tertentu dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia.

…tetapi ketika mereka berpaling, maka Allah pun memalingkan hati mereka… (QS. ash-Shaff: 5)

Dan sekiranya penduduk kota-kota itu beriman dan menjauhkan diri dari kejahatan, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka berkah-berkah… (QS. al-A’raf: 96) Arah kemurkaan Allah akan disimpangkan oleh rahmat dan berkah-Nya.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaannya sendiri…
(QS. ar-Ra’du: 11) Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali jika mereka mengubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.

Kecuali orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan perbuatan yang baik; mereka itulah yang Allah akan mengubah perbuatan-perbuatan buruk mereka menjadi perbuatan-perbuatan baik. (QS. al-Furqan: 70)

…tetapi jika kamu kembali (kepada dosa-dosamu) maka Kami pun akan kembali (kepada hukuman Kami)… (QS. al-Isra: 8)





Bukti (14g): Beberapa hadis tentang al-bada’

(i)            Amirul mukminin Ali kw. diriwayatkan pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai ayat di atas. Lalu beliau saw menjawab, “Aku menerangi matamu dengan penafsiran seputar ayat ini dan juga menerangi mata umatku sepeninggalku dengan keterkaitannya: Sedekah yang diberikan pada tempatnya, kebaikan kepada kedua orang tua, dan melakukan amal kebajikan lainnya, yang dilakukan dengan cara yang benar, akan mengubah kemalangan menjadi kebahagiaan dan memperpanjang umur serta mencegah bahaya.” (Tafsir al-Miz?n, jil. 11, hal. 419)

(ii)            Imam Ali bin Husain Zainal Abidin ra. juga, diriwayatkan pernah mengatakan, “Seandainya tak ada satu ayat dalam al-Quran, niscaya aku akan meramalkan bagimu semua kejadian di masa lampau dan di masa yang akan datang sampai hari kiamat.” Orang yang meriwayatkan hadis ini mengatakan bahwa dirinya menanyakan ayat yang beliau maksud. Beliau menjawab, “Allah berfirman: Allah menghapuskan apa yang dikehendaki-Nya dan mengukuhkan (apa yang dikehendaki-Nya dan disisi-Nya Ummul Kitab (Induk Kitab).”

(iii)            Imam Baqir ra. diriwayatkan pernah mengatakan, “Sebagian kejadian pasti terjadinya dan menjadi terwujud; sebagian kejadian lainnya bergantung pada syarat-syarat dan bersifat kondisional di sisi Allah;  kejadian manapun yang dipandang-Nya layak, maka Dia akan memprioritaskan-nya; dan kejadian mana pun yang tidak dikehendaki-Nya, akan dihapuskan-Nya, akan dikukuhkan-Nya.” (Tafsir al-Miz?n, jil. 11, hal. 419)

(iv)            Imam Shadiq ra. yang mengatakan, “Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung tidak mengutus seorang nabi pun kecuali Dia mengambil tiga perjanjian dari mereka; janji bahwa mereka akan tunduk kepada Allah; penafian segala bentuk kekafiran; dan penerimaan ajaran bahwa Allah memberikan prioritas kepada apapun yang dikehendaki-Nya dan menangguhkan apapun yang dikehendaki-Nya.” (Ushûl al-K?fi, jil. 1, hal. 114; Safînatul Bihâr, jil. 1, hal. 61)

(v)            Imam Shadiq ra. telah mengatakan, “Allah telah membuat perjanjian iman kepada bada’ dengan semua nabi.” Dalam hadis lain, kita dinasihati bahwa siapa saja yang beranggapan bahwa suatu masalah baru menjadi jelas bagi Allah setelah sebelumnya tidak mengetahuinya, maka kita harus menjauhi orang seperti itu.[7]





Bukti (14h): Bahwa perubahan ketetapanNya tidak berkontradiksi dengan Kesempurnaan PengetahuanNya[8]
Apakah perubahan ketetapanNya berimplikasi PengetahuanNya tidak sempurna ? Sebaliknya apakah kesempurnaan PengetahuanNya berimplikasi tidak mungkin Ia mengubah ketetapanNya?

Kita telah membahas dalam Tauhid for Teens , Bukti (9g) sebagai berikut :

“Telah disebutkan bahwa Zat Yang Maha Tinggi adalah Wujud mutlak yang tidak dibatasi batasan apa pun, tidak pula kosong dari wujud atau kesempurnaan eksistensial apapun. Maka semua rincian penciptaan, baik wujud maupun kesempurnaan eksistensial, dengan tatanan eksistensialnya ada di dalamNya dalam bentuknya yang paling tinggi dan paling luhur tanpa terpisah satu sama lain. Maka Dia MengetahuiNya dengan Pengetahuan yang tidak terbedakan, yang pada saat yang sama membuka rincian-rincian (‘ilman ijmaliyyan fi ‘ayn al-kasyf al-tafsh?li)”[9]

Kesempurnaan PengetahuanNya adalah dalam ranah ZatNya, di mana Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. bersabda, bahwa :

“Dan diam dan gerak tidaklah muncul atasNya. Dan betapa mungkin muncul atasNya sesuatu yang Ia (lah) yang memunculkannya[10]…” [11]

Jadi bila karena Kesempurnaan PengetahuanNya adalah dalam ranah ZatNya bahwa “diam” dan “gerak” tidaklah bisa dipredikasikan kepada PengetahuanNya.

Kesalahan logika (logic fallacy) yang selama ratusan tahun telah menciptakan kebingungan dalam masalah ini adalah, memasukkan PengetahuanNya dalam ranah waktu , kemudian lebih lanjut melakukan penyimpulan bahwa PengetahuanNya tetap (“diam”) atau berubah (“bergerak”). Padahal “diam” dan “gerak” tidak bisa dipredikasikan pada PengetahuanNya.

Dengan penjelasan ini, perubahan KetetapanNya , yang terjadi pada ranah PerbuatanNya; tidak memiliki konteks apa pun untuk bisa menciderai atau mengurangi Kesempurnaan PengetahuanNya.

Maka terbukti dengan jelas bahwa perubahan ketetapanNya tidak berkontradiksi dengan Kesempurnaan PengetahuanNya.

Maha Suci Ia , Yang Mahaaktif dalam Mencipta dan Memperbaharui ciptaanNya setiap saat; dan sungguh segala ruang dan waktu tiada akan mampu menggambarkan Kesempurnaan PengetahuanNya !



Bukti (14i): Penjelasan lebih lanjut


Allah mempunyai tangan yang terbuka bagi perubahan dalam sistem penciptaan dan agama Ilahi: Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya…
Allah tidak membiarkan proses penciptaan berjalan dengan sendirinya. Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan mengukuhkan  (apa yang dikehendaki-Nya)…
Penghapusan dan pengukuhan kembali hukum-hukum yang mengatur alam semesta, berada di tangan-Nya.
Penghapusan dan pengukuhan kembali hukum-hukum yang dilakukan Allah didasarkan pada pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya: …dan pada-Nyalah Ummul Kitab (Induk Kitab).
Alam penciptaan memiliki kitab catatan di mana segala kejadian dicatat.
Penghapusan dan pengukuhan kembali, dan Kemahaaktifan Tuhan Yang Mahapemurah sama sekali tidak menciderai PengetahuanNya Yang Sempurna. Diam dan gerak, “tetap” dan “berubah” tidak bisa dipredikasikan pada Kesempurnaan PengetahuanNya .

[1] Usul Al-Kafi, vol.i, hal. 119

[2] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung,  Cetakan VIII, Oktober 1995, hal. 238-240.

25Tuhaful ‘Uqul, cetakan Beirut, hal.345

[3] QS. Qaf: 29.

[4] QS. Ar-Ra’du: 8.

[5] QS al-Buruj: 22.

[6] QS al-Muthaffifin: 20-21.

[7] Ibid.

[8] Bukti ini diinspirasi oleh Sabda Bab al-‘Ilmi Amirul Mukminin Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib as di Nahjul Balaghah. Bukti ini merupakan bukti orisinal yang terbersit dalam benak saya, saat menulis. Bukti-bukti sebelumnya yang pernah saya pelajari dalam durasi hampir tiga puluh tahun perjalanan dan pencarian belum memuasi akal. Semoga bukti yang sederhana ini lebih memuaskan akal mereka yang dahaga, melalui telaga pengetahuan Keluarga Muhammad Saw melalui washiy Rasulullah , yakni Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib as.

[9] Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’I, Bid?yat al-Hikmah (English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid ‘Ali Quli Qara’I, ICAS Press, 2003, London, pp. 140

[10] Barangkali yang dimaksud adalah, “sesuatu yang Ia adalah sebab kemunculannya”

[11] Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2,  pp. 23

Al-’adalah Bukti (12): Kematian bukanlah kehancuran , namun perpindahan ke kehidupan yang lebih sempurna dan lebih baik

Keberatan terhadap adanya kematian adalah karena memahaminya sebagai kesirnaan. Padahal, kematian bukanlah kesirnaan, namun ia adalah transformasi ke kehidupan yang lebih sempurna.

Eksistensi kehidupan setelah mati telah dibuktikan dalam Al-Ma’ad for Teens. Dan juga telah dibuktikan bahwa kehidupan setelah kematian adalah kehidupan yang lebih sempurna dan lebih kekal daripada kehidupan di dunia. Bila kehidupan setelah kematian dibandingkan dengan kehidupan di dunia ini, ini menyerupai perbandingan kehidupan di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan pada rahim ibu.

Bila seseorang mengetahui dengan yakin bahwa kematian adalah perpindahan ke kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna, apakah masih perlu baginya membenci kematian ? Atau malahan seharusnya ia akan merindukan kematian lebih dari seorang bayi merindukan air susu ibunya?

Al-’adalah Bukti (11)

Bukti (11): Faedah keburukan (1) : Tanpa keburukan maka hilanglah semua keindahan dan kebaikan dari pemahaman dan kesadaran manusia
Di antara faedah keburukan dan kejahatan adalah tersempurnakannya keseluruhan yang indah di alam ini. Faedah lain adalah bahwa sesuatu yang indah dan baik itu pada dasarnya memperoleh makna dan konsepnya dari sesuatu yang jelek dan buruk. Sekiranya yang jelek dan buruk itu tidak ada, maka kita pasti akan tidak memiliki sesuatu yang dipandang indah dan baik. Sebab, kesadaran tentang makna keindahan yang ada dalam kehidupan manusia itu terkait dengan adanya kejelekan dan perbandingan keduanya, sebagai mana juga dengan makna kebaikan terkait dengan keburukan.



Bukti (11a): Faedah keburukan (2) : Kemudahan senantiasa ada bersama dengan kesulitan
Hegel, filosof kondang Jerman, mengatakan

“Konflik dan keburukan bukanlah dua hal yang imajiner dan negatif, tetapi merupakan dua hal yang realistis dan keduanya membentuk tangga untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Konflik merupakan hukum kemajuan, dan karakteristik pertempuran yang mencakup chaos dan keguncangan adalah sesuatu yang menyempurnakan alam. Lewat tanggung jawab, kesengsaraan dan penderitaan, seseorang dapat mencapai tingkat kesempurnaannya. “

Jalal al-Din Rumi, penyair sufi termasyhur, mengatakan

Sesuatu itu tersembunyi pada kebalikannya.

Kehidupan tersembunyi di balik kematian dan cobaan sebagaimana eliksir, kehidupan itu berada di balik kegelapan.

Sebagai contoh-contoh adalah sebagai berikut,

(i)            Kematian di satu sisi adalah hilangnya kehidupan yang fana disertai perpisahan dengan orang-orang yang dicintai, di sisi lain kematian menghantarkan kita pada kehidupan abadi dan kampung Keindahan dan KepengasihanNya, yang di dalamnya keindahan dan kenikmatan adalah abadi dan ada pada derajatnya yang sangat tinggi.

(ii)            Kegagalan ujian di satu sisi adalah kepedihan batin namun di sisi lain adalah obat yang paling mujarab bagi jiwa kita untuk mengubah sikap, menambah perhatian dan fokus kita dalam belajar, sehingga bisa menggapai keutamaan ilmu.

(iii)            Putus cinta di satu sisi adalah termasuk penderitaan jiwa yang dahsyat, namun di sisi lain merupakan pintu bagi jiwa untuk melihat dan bergantung pada Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Melalui putus cinta, jiwa mampu menggapai Cinta Yang Lebih Hakiki.

Kesulitan seringkali merupakan penguat eksistensi manusia yang sangat efektif. Hal ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Amirul Mukminin ra. :

“Ketahuilah, pohon hutan itu lebih kuat cabangnya, sedangkan pohon-pohon yang ditanam di taman-taman ternyata lebih pucat kulitnya. Tumbuh-tumbuhan liar adalah tumbuh-tumbuhan yang lebih panas nyala apinya, dan lebih lambat mengabunya.”[1]

Suatu hari, Rasulullah SAW. Diundang hadir ke rumah salah seorang Muslim. Sewaktu Beliau tiba di rumahnya, Beliau melihat seekor ayam sedang bertelur di sebuah sarang di dinding rumah. Beliau melihat telor ayam tersebut tidak jatuh, dan kalaupun jatuh tidak pecah. Betapa takjubnya Rasulullah SAW melihat kejadian tersebut. Karena itu, pemilik rumah tersebut bertanya kepada Beliau, “Tuah heran melihatnya, ya Rasulullah ? Demi Allah yang telah memilih tuan sebagai nabi, sesungguhnya saya selamanya tidak pernah sakit. “ Rasulullah segera meninggalkan rumah tersebut, seraya berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah mengalami usibah, maka ia jauh dari kasih sayang Allah.”[2]

Al-Qur’an mengatakan,

Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan
(QS al-Insyirah [94]: 5-6)

Al-Qur’an tidak mengatakan “ sesudah (???) kesulitan ada kemudahan”, namun “bersama  (??) kesulitan ada kemudahan.”

Al-Qur’an juga mengatakan:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2]: 155)



Bukti (11b): Faedah keburukan (3) : Cobaan terhadap para kekasihNya
Bila Ia Yang Mahaasih lagi Mahamencintai, menyayangi secara khusus salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan menghadapkannya pada berbagai kesulitan. Sungguh, cobaan adalah bukti cinta. Berikut ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang hal ini.

(i)            Imam Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir ra. bersabda “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menjanjikan cobaan kepada seorang mukmin sebagaimana seorang suami menjanjikan kepada isterinya dengan hadiah yang disembunyikan.”[3]

(ii)            Imam Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq ra. bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba maka Dia tenggelamkan hamba tersebut ke dalam cobaan.”[4]

(iii)            Imam Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq ra. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang setelah mereka, dan selanjutnya orang-orang setelah mereka yang layak mendapatkan cobaan seperti mereka.”[5]

Cobaan yang dihadapi oleh para kekasih Allah adalah perwujudan kasih sayangNya. Sungguh dibalik cobaan ini ada kebaikan yang banyak dan berlimpah. Sebaliknya kenikmatan dan kesehatan yang dinikmati oleh mereka yang dimurkaiNya, pada hakikatnya adalah siksaan bagi mereka dengan kemasan kenikmatan.

Bukti (11c): Faedah keburukan (4) : Sarana edukasi
Kesukaran dan kesulitan, adalah pendidikan bagi seseorang dan pembangkit kesadaran suatu umat, Ia membangunkan mereka yang tertidur, dan menggerakkan potensi dan kemampuan. Seperti halnya gurinda yang dapat membuat besi dan baja menjadi tajam, maka kesulitan – kesulitan yang dihadapi oleh jiwa seseorang akan membuatnya lebih tegar, lebih dinamis dan lebih andal. Dalam kehidupan, cinta dan cobaan merupakan faktor utama yang mengubah materi-materi yang mati dan tidak memiliki kehangatan, menjadi sesuatu yang bercahaya.

Seorang penyair mengatakan:

Sa’id t’lah habiskan usianya dalam kepahitan

Tapi ia katakan itu dengan bahasa yang manis

Bangsa-bangsa yang tenggelam dalam berbagai kesulitan dan musibah adalah bangsa-bangsa yang kuat dan kemauan keras. Sedangkan bangsa-bangsa yang hanya ingin santai, yang tidak mengalami kehidupan selain mewah, selama akan menjadi bangsa yang lemah dan rapuh. Seorang penyair mengatakan:

Menurut hukum alam, setiap umat yang biasa bersenang-senang dan santai, akan kembali menjadi hina

Jalaluddin Rumi mengumpamakan dampak cobaan dalam menyucikan jiwa dengan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menyamak kulit:

Bahan-bahan yang digunakan ‘tuk menyamak kulit

  Adalah cobaan baginya

  Agar dengan itu dihasilkan kulit yang halus

  Kalau kulit itu tidak direndam dalam bahan-bahan yang pahit

  Dan tajam niscaya ia tetap keras dan berlendir

  Bandingkan manusia dengan kulit tersebut

  Sebelumnya ia berlumuran noda dan menjadi berat

  Karena itu harus dituangkan kepadanya

  Kepahitan dan penderitaan

  Agar ia menjadi bersih, lembut dan cemerlang

  Kalau engkau tidak bisa

  Meningkatkan dirimu, wahai orang yang berakal,      

  Serahkan saja urusanmu kepada Allah

  Agar dia terangkan kehidupan pahit kepadamu

  Tanpa engkau usahakan sendiri

  Cobaan dari Sang Kekasih,

  Bagimu adalah pensucian

  Dan ilmu-Nya berada di luar jangkauanmu.









Bukti (11d): Faedah keburukan (5) : Ridha bi al-qadha`
  Cobaan pada dasarnya memiliki faedah-faedah yang sangat bernilai, diantaranya menumbuhkan rasa ridha dalam jiwa dan gembira menerima ketentuan yang datang dari Allah. Sa;di mengatakan:

Mereka yang berpandangan sempit selalu ingin bersenang-senang

  Sedangkan yang arif menemukan kesenangan dalam cobaan



  Wahai Sa’di,

  Jangan kau ridhai dirimu

  Sebab ridha yang sejati itu adalah ridha-Nya.

  Dalam sebagian doa yang ma’tsur, dikatakan,

“Ya Allah kumohon pada-Mu kesabaran orang-orang yang bersyukur kepada-Mu.”

Kesabaran orang-orang yang bersyukur bukanlah sesuatu yang pahit, melainkan sesuatu yang manis, seperti kesyahidan. Mereka yang sadar bahwa cobaan itu bersifat mendidik jiwa manusia, tidak saja akan gembira menghadapi cobaan dan menerimanya dengan tangan terbuka.


[1] Nahj Al-balaghah, risalah ke-45.

[2] Bihar Al-Anwar, Juz XV, Bagian I, halm. 56, dinukil dari al-Kafi, cet. Al-Hajariyyah.



[3] Bihar Al-Anwar, Juz XV, Bagian I, halm. 56, dinukil dari al-Kafi, cet. Al-Hajariyyah.

[4] Bihar Al-Anwar, Juz XV, Bagian I, halm. 55, dinukil dari al-Kafi, cet. Al-Hajariyyah.

[5] Bihar Al-Anwar, Juz XV, Bagian I, halm. 53, dinukil dari al-Kafi, cet. Al-Hajariyyah.

Al-’adalah Bukti(10)

Bukti (10): Keburukan adalah persoalan relatif
Segala sesuatu memiliki dua sifat: sifat hakiki dan sifat relatif Apabila sesuatu memiliki sifat yang terjadi tanpa didahului oleh yang lain, maka sifat tersebut disebut sifat hakiki.

Adapun sifat relatif adalah sifat yang tidak cukup untuk dipergunakan dalam mengasumsikan sifat dan sesuatu yang disifatinya tanpa mengasumsikan faktor ketiga yang berhubungan dan berkaitan dengan sifat sesuatu yang disifati tersebut

Hidup, misalnya, adalah  sifat hakiki, karena makhluk (yang hidup) memperoleh sifat ini (hidup) dengan dirinya sendiri, tanpa harus mengaitkannya dengan makhluk hidup atau makhluk mati lainnya. Demikian juga putih dan hitam, dengan asumsi bahwa warna – warna tersebut adalah realitas, sehingga ia menjadi sifat hakiki. Dengan begitu, maka sesuatu yang mana pun, adalah putih,dan yang hitam adalah hitam tanpa harus diukur dengan sesuatu yang lain agar warna hitam bisa dinisbatkan kepadanya. Selanjutnya, begitu pula sesuatu-sesuatu yang lain, termasuk kuantitas dan kadar.

Sedangkan “kecil: dan “besar”, keduanya merupakan sifat nisbi. Seandainya kita mengatakan bahwa benda anu itu kecil, maka pada saat itu pula kita mengatakan bahwa benda anu itu kecil, maka pada saat itu pula harus memperhatikan perbandingannya dengan sesuatu yang lain bahwa ia kecil. Karenanya, segala sesuatu itu, pada saat waktu, sekaligus bisa disebut kecil dan besar. Yang penting, kita harus terlebih dahulu mengetahui kriteria dan ukuran yang kita gunakan.

Misalnya, kita mengatakan bahwa buah apel atau buah jeruk tertentu itu kecil, sedangkan buah apal atau buah jeruk yang lain besar. Disini kita menjadikan bentuk apek sebagai standar ukuran kita. Dengan demikian, buah apel atau buah jeruk yang diukur itu kita lihat bentuknya, apakah lebih besar atau lebih kecil dari buah apel dan jeruk yang kita ketahui? Apabila kita mengatakan, buah semangka ini kecil; maka itu berarti bahwa yang kita jadikan standar adalah buah semangka itu sendiri. Buah semangka paling kecil yang pernah kita lihat, sebenarnya lebih besar dari buah apel yang paling besar. Tetapi, ketika semangka tersebut kita bandingkan dengan semangka lain dan tidak dengan apel, maka kita sebut semangka tersebut kecil.

Seandainya kita ambil seekor semut yang paling besar sehingga membuat kita tarcengang karena besarnya, kemudian kita ambil seekor keledai paling kecil sehingga kita dibuat tercengang pula karena kecilnya, maka kita akan bisa melihat bahwa keledai terkecil ini berjuta0juta kali lipat besarnya daripada semut terbesar itu? Bagaimana mungkin sesuatu yang paling kecil bisa menjadi lebih besar dari sesuatu yang paling besar? Apakah di sini terjadi  kontradiksi (tanaqudh)? Tidak, di sini tidak ada kontradiksi. Keledai dikatakan kecil sekali jika dibandingkan dengan seekor unta yang ukurannya ada di kepala kita, tetapi ia besar sekali jika dibandingkan dengan seekor semut yang ukurannya dibayangkan di kepala kita pula.

Inilah yang saya maksud dengan pernyataan saya bahwa “besar” dan “kecil” itu merupakan dua konsep yang relatif. Sedangkan kuantitas itu sendiri, yakni hitungan dan ukuran, adalah dua hal yang hakiki. Apabila kita memiliki apel, sejumlah 100 buah, maka jumlah 100 tersebut merupakan sifat hakiki, dan bukan sifat analogis. Begitu juga besar petinya, bila ia satu meter persegi.

Ukuran dan hitungan termasuk konsep kuantitas. Sedangkan besar dan kecil adalah konsep-konsep tambahan (idhafi). Ketika kita menghitung ukuran kuantitas dengan 1, 2,dan 3, maka bilangan tersebut merupakan sesuatu yang hakiki. Sedangkan bila sesuatiu itu disebut sebagai ”yang kesatu”, “kedua”, dan “ketiga” maka hal itu merupakan sesuatu yang bersifat tambahan.

Setelah memahami sifat hakiki dan relatif, kita siap untuk menjelaskan ke topik diskusi kita kali ini.

Keburukan adalah hal yang relatif dalam pengertian bila dikontraskan dengan sesuatu yang hakiki. Keburukan merupakan sesuatu yang dianalogikan.

Pada bukti (9) , kita telah mendiskusikan bahwa ada dua jenis keburukan: keburukan karena dirinya, yaitu ketiadaan; dan keburukan yang sebenarnya merupakan suatu yang maujud, tetapi menyebabkan serangkaian hal yang bersifat ketiadaan.

Keburukan-keburukan yang pada hakikatnya merupakan hal yang bersifat ketiadaan , seperti kemiskinan, kebodohan, kelemahan, semuanya adalah sifat-sifat relatif. Miskin adalah relatif terhadap kaya. Bodoh adalah relatif terhadap yang berilmu. Lemah adalah relatif terhadap yang kuat.

Sedangkan, keburukan-keburukan yang hakikatnya merupakan hal-hal yang maujud tapi diberi sifat buruk karena hal-hal tersebut menjadi sumber suatu ketiadaan, seperti banjir, gempabumi, angin badai, binatang buas, penyakit, adalah sifat-sifat relatif. Mereka menjadi buruk dalam kaitannya dengan sesuatu tertentu. Yang buruk bukanlah bisa ular sebagaimana bisa ular itu sendiri, namun bisa ular dalam kaitannya dengan hewan lain yang terkena bisa itu. Serigala disebut jahat dalam kaitannya dengan hewan ternak, tapi ia tidak jahat dalam kaitannya dengan dirinya sendiri, ataupun dalam kaitannya dengan batu atau tumbuhan. Kambing bisa disebut jahat dalam kaitannya dengan tumbuh-tumbuhan , namun ia tidak jahat dalam kaitannya dengan manusia.

Jalal al-Din Rumi mengatakan:

Bisa ular menganugerahkan kehidupan pada dirinya

tapi ia menghadiahkan kematian pada manusia

Dengan demikian, tidak ada kejahatan mutlak di alam ini

Yang ada hanyalah kejahatan relatif

Ketahuilah itu

Jelaslah dari penjelasan di atas, bahwa keburukan dan kejahatan bersifat relatif, dan bukan hakiki.



Penjelasan (10b): Keburukan adalah relatif bukan dalam artian lawan dari yang mutlak
Terdapat kerelatifan yang lain, yaitu bila dikontraskan dengan kemutlakan. Dalam hal ini, relatif adalah terkait dengan sekumpulan syarat. Sedangkan mutlak adalah bebas dari syarat-syarat.

Semua keberadaan selain Wajib al-Wujud adalah relatif. Dan hanya Dia sendiri yang mutlak tanpa syarat. Kerelatifan dalam kaitannya dengan yang mutlak adalah sesuatu yang memiliki banyak kebaikan.

Keburukan adalah relatif bukan dalam makna ini. Keburukan adalah relatif dalam makna yang telah dijelaskan dalam Bukti (10) yang lalu.

Al-’adalah Bukti (9)

Bukti (9): Keburukan adalah ketiadaan
Bagaimana dengan keburukan , seperti halnya berbagai bencana, penyakit , penderitaan yang ada di muka bumi ini ? Bila Keadilan Ilahi bermakna totalitas kebaikan Wajib al-Wujud Yang Mahabaik pada makhluq-Nya, bagaimana dengan keburukan yang ada di muka bumi? Bukankah hal ini nampaknya adalah suatu kontradiksi?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini cukup sederhana. Bahwa, substansi keburukan benar-benar merupakan ketiadaan murni. Yakni semua keburukan itu tidak ada, dan bukan ada.[1] Kita akan menunjukkannya dalam analisa berikut.

Bukti bahwa subtansi keburukan merupakan ketiadaan adalah dengan mengamati bahwa setiap keburukan sebenarnya merupakan suatu “kekosongan” atau “kekurangan” atau “kehilangan”. Bila ditinjau dari sisi-sisi “kekosongan” atau “kekurangan” atau “kehilangan” atau ‘adamiyyat (persoalan-persoalan ketiadaan), sesuatu hal yang buruk menjadi benar-benar dipandang buruk. Mari kita amati contoh-contoh berikut.

(i)            Kebodohan artinya tidak memiliki ilmu. Ilmu adalah kesempurnaan realitas yang sejati, sedangkan kebodohan bukan realitas. Ketika kita mengatakan bahwa seorang yang bodoh tidak memiliki ilmu, maka hal itu tidak berarti bahwa orang tersebut memiliki karakteristik tertentu yang disebut “tidak memiliki ilmu”, sehingga ia tidak memiliki kapasitas untuk menjadi ulama. Para ulama, sebelum mereka mempelajari ilmu, juga adalah orang-orang yang bodoh. Ketika mereka belajar, mereka tidak kehilangan sesuatu apa pun, melainkan mendapatkan sesuatu. Apabila kebodohan itu merupakan realitas substansial, niscaya diperolehnya ilmu akan disertai dengan hilangnya sesuatu. Persoalannya adalah digantinya suatu sifat dengan sifat yang lain. Misalnya, tubuh yang memiliki postur dan kualitas tertentu, kemudian keduanya dimusnahkan agar ia memiliki postur dan kualitas yang lain.

(ii)            Kemiskinan tidak lain adalah tidak memiliki sesuatu, dan bukan memiliki sesuatu. Dengan demikian, seorang yang miskin adalah seorang yang tidak memiliki kekayaan, bukan memiliki sesuatu yang disebut kemiskinan, dan tidak pula bisa dikatakan bahwa, karena orang kaya adalah orang yang memiliki kekayaan, maka orang miskin adalah orang yang memiliki kemiskinan. Begitu juga halnya, kematian adalah hilangnya sesuatu, bukan memiliki sesuatu. Dengan begitu, bila tubuh yang hidup kehilangan kehidupannya dan berubah menjadi benda mati, maka tubuh tersebut akan lenyap dan bukan timbul.

(iii)            Adapun mengenai angin badai, binatang-binatang buas, bakteri-bakteri, banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, maka dari satu sisi ia disebut jahat karena eksistensinya menyebabkan kematian, atau cacat anggota tubuh, atau memperlemah kekuatan. Atau, karena ia menghalangi makhluk untuk mencapai kesempurnaan dan kedewasaannya.  Kalau sekiranya angin badai tidak menyebabkan kematian atau sakit, niscaya ia tidak akan disebut keburukan; dan sekiranya hama-hama tumbuhan itu tidak merusak pepohonan dan buah-buahan, maka ia tidak akan disebut keburukan. Begitu juga, sekiranya banjir dan gempa tidak menyebabkan kematian dan hancurnya kekayaan, maka ia tidak akan termasuk keburukan. Dengan demikian, keburukan terkandung pada kehilangan dan kerugian.

(iv)            Binatang-binatang buas kita sebut jahat, bukan disebabkan karena substansinya betul-betul jahat, melainkan karena binatang-binatang tersebut menafikan kehidupan makhluk yang lainnya. Kejahatan, pada dasarnya, adalah hilangnya kehidupan. Sekiranya binatang buas tersebut tidak menyebabkan matinya makhluk yang lain, niscaya ia tidak akan disebut jahat. Ketika binatang buas tersebut menyebabkan kematian makhluk yang lain, maka binatang tersebut,  bila dinisbatkan dengan makhluk lainnya, adalah jahat.



Penting untuk dicatat, bukan berarti dengan mengetahui keburukan itu adalah non-eksistensi, keburukan yang kita saksikan di tengah-tengah masyarakat manusia itu tidak ada wujudnya, sehingga dapat dikatakan bahwa yang demikian itu bertentangan dengan apa yang kita lihat dan yang kita alami sehari-hari. Kita benar-benar mendapati adanya kebutaan, ketulian, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kejahilan, kelemahan, kematian, gempa bumi, dan lain-lain. Semua orang tidak akan dapat menolak adanya semua itu, dan tidak pula dapat mengingkarinya sebagai sesuatu yang buruk. Dengan itu semua, kita tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kalaulah keburukan itu bersifat tiada, maka berarti wujud-wujud di atas tidak ada wujudnya. Kalaulah keburukan tersebut tidak ada, maka dengan begitu manusia tidak harus menentang keburukan. Kalaulah semua kondisi tersebut benar-benar baik tanpa kejelekan sama sekali, maka kondisi yang ada, dengan demikian, merupakan sesuatu yang mesti diterima, bahkan merupakan kondisi yang paling baik.       Tidak, Anda jangan tergesa-gesa memvonis. Kita tidak bermaksud menolak adanya kebutaan, ketulian, kezaliman, kefakiran, penyakit, dan sebagainya. Kita juga tidak bermaksud menolaknya sebagai sesuatu yang buruk, selain juga tidak bermaksud menafikan tanggung jawab manusia. Kita tidak bermaksud mendegradasikan peranan manusia dalam mengubah alam dan menyempurnakan masyarakat. Transformasi alam, khususnya manusia dan misinya dalam pengaturan yang dibebankan kepadanya, merupakan bagian dari sistem alam yang indah. Bukti yang telah kita jelaskan sebelumnya menjelaskan bahwa kebutaan, ketulian, kejahatan, kefakiran, penyakit dan sebagainya adalah buruk dan benar-benar buruk dari sisi kehilangan dan kerugian yang diakibatkannya, oleh karena itu harus kita lawan dan kita hindari. Namun tidak ada sesuatu apa pun yang maujud yang buruk dan benar-benar buruk dari sisi substansinya sendiri. Tidak ada kontradiksi apa pun di sini. Maka , pahamilah, karena hal ini adalah satu di antara hal terpenting dalam kearifan dan pengertian yang benar tentang Kebaikan dan Keadilan Ilahi.

Bukti (9a): Sumber kesalahpahaman tentang persoalan keburukan dan bagaimana
menghindarinya
Dalam menilai dan menyimpulkan, manusia biasanya bergantung pada sudut pandangnya. Sebagai contoh, kita akan mengatakan sesuatu dekat dengan kita atau jauh dari kita, atau, kita menilai orang lain sebagai kuat atau lemah. Perbandingan ini dilakukan dengan membandingkan kekuatan  seseorang dengan kekuatan kita. Dalam menilai dan menyimpulkan baik dan buruk, cara penilaian dan penyimpulan seperti ini juga telah digunakan.

Sebagai contoh, kita mengeluh karena hujan. Bagi kita mungkin hujan adalah kehilangan kenyamanan jalan-jalan atau berpergian. Pada saat mengeluh tersebut, mungkin kita lupa manfaat luar biasa hujan bagi  persediaan air di kota kita, para petani, dan lebih jauh bila tidak hujan pada waktu yang lama, rantai kehidupan akan terganggu.

Contoh lain, bila ada sebuah gedung diambrukkan untuk dibangun gedung baru yang lain. Kita mungkin mengeluh karena kotor dan polusi yang dihasilkan. Padahal rumah sakit baru yang akan dibangun akan memberikan kemanfaatan luar biasa bagi masyarakat.

Bisa seekor ular mungkin merupakan hal yang mematikan bagi kita, namun bagi ular tersebut bisa tersebut adalah salah satu mekanisme pertahanan diri. Bagi manusia pun bisa ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan dalam menyelamatkan jiwa seorang manusia.

Kesalahan berfikir seperti ini mungkin bisa dihindari bila kita tidak membatasi hanya menggunakan pengetahuan kita yang terbatas , yang biasanya juga diimbuhi dengan kepentingan dan bias egoisme kita, untuk menilai dan menghakimi. Dalam pertimbangan kita, kita seharusnya menghindari melakukan penilaian tentang hal-hal dan kejadian-kejadian hanya berdasar diri kita sendiri. Namun, kita seharusnya mengambil sebanyak mungkin faktor yang mungkin dalam pertimbangan.

Sebuah operasi bedah , misalnya bedah gigi bungsu, mungkin amat sakit dari satu sisi namun memiliki manfaat yang luar biasa bagi orang yang dioperasi.

Sebuah gempa bumi mengakibatkan banyak kerusakan dan mungkin juga kematian. Namun ternyata, gempa bumi bisa memiliki dampak ikut mempercepat proses internal bumi pada formasi sumber daya fosil, seperti minyak dan batubara. Dari sisi ini, gempa bumi adalah berkah.

Sebuah gunung meletus mengakibatkan juga banyak kerusakan dan mungkin kematian. Namun, betapa banyak sumber kekayaan mineral bumi seperti pasir dengan kualitas tertinggi dan lain-lain yang dimuntahkannya, dan pada gilirannya akan menjadi sumber rejeki luar biasa bagi area yang terkena dampak gunung api.

Semua kesulitan dan derita kita pada satu sisi membuat kita nyeri lahir batin. Namun, dari sisi lain, kesulitan dan derita seringkali membuat kita menyadari beberapa hal

(i)            Kelemahan kita,

(ii)            Kefakiran hakiki kita, yakni bahwa kita sebagai al-wujudat al-imkaniyyat , tidak memiliki apa pun.

(iii)            Kesangatbutuhan kita pada Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang

(iv)            Fana dan sirnanya dunia tempat kehidupan kita saat ini



Seluruh kesulitan dan derita kita menunjukkan arah-arah pemahaman yang benar tentang kehidupan. Mereka membuat kita lebih mengetahui hakikat diri kita, hakikat kehidupan kita, dan selalu disadarkan kembali arah benar kehidupan, yakni meletakkan seluruh harapan pada Ia Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, pula selalu merindukan kampung akhirat yang kekal. Dilihat dari sisi ini, seluruh kesulitan dan derita yang kita alami adalah berkah yang luar biasa.

Allah, Yang Mahaagung lagi Mahatinggi , berfirman

kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.  .(QS al-Al-An’aam [6]:42)



Demikian, maka dalam memberikan penilaian (judgment) adalah perlu bagi kita untuk menyadari keterbatasan pengetahuan kita, dan oleh karena itu, berusaha memandang masalah dari sebanyak mungkin sudut pandang dan mempertimbangkan sebanyak mungkin faktor.

Al-Qur’an mengatakan

dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.(QS al-Israa[17]:85)

Bukti (9b): Sumber kesalahpahaman tentang persoalan keburukan dan bagaimana menghindarinya (2)
Kita melihat. sebagian orang, bila mereka memperoleh kenikmatan, kelebihan rejeki dan keberlimpahan, menjadi tenggelam dalam congkak dan sombong. Kecongkakan dan kesombongan membawa kelalaian dan akan menghantarkan pada bencana.

Bagi mereka yang memiliki pengalaman mengemudi mobil, jalan yang lurus tanpa tanjakan dan tanpa lubang adalah membahayakan. Sering terjadi kecelakaan di sana.

Kehidupan manusia tanpa ujian, tanpa kesulitan dan tanpa derita adalah seperti jalan seperti itu. Manusia jauh lebih mudah celaka dalam kehidupan seperti itu. Dan, tidak mencapai tujuan akhir , yakni kesempurnaan eksistensialnya.

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.(QS al-Fajr[89]:15-20)



Maka, kesulitan dan derita adalah cemeti Ilahi yang melecut manusia untuk berbuat sebaik mungkin dan kembali ke jalan hidup yang membawa ke arah kesempurnaan eksistensialnya, – yakni untuk menjadi hamba murni (‘abdun mahdhun) dari Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang dengan menyadari kefakiran ruhani kita dan kebutuhan mutlak kita akan Pancaran AsihNya setiap saat setiap waktu. Melalui penghambaan murni padaNya yang disertai jiwa yang papa dan selalu mengharap kepadaNya, seorang manusia akan menjadi layak dan patut untuk menjadi mazhhar (tempat zhahir-nya) Sifat-SifatNya , – Yang Mahatinggi. Adakah kebaikan dan kenikmatan yang lebih utama ketimbang hal ini ?


[1] Murtadha Muthahhari,  Al-‘Adl Al-Ilahiy diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Keadaan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), halaman 118.

Al-’adalah Catatan (8): PerintahNya agar manusia melakukan keadilan dan menolak kezaliman

Pada satu sisi, Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, memerintahkan manusia untuk menegakkan keadilan. Di sisi lain, pada saat yang sama, Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang juga memerintahkan manusia untuk menolak kezaliman.

Al-Qur’an mengatakan

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS an-Nahl[16]:90)

Al-Qur’an juga mengatakan=

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS al-Baqarah[2]:278)

Menegakkan keadilan dan menolak kezaliman adalah salah satu bentuk kebaikan tertinggi yang dilakukan manusia. Melaluinya, manusia mencerap Sifat Ilahiyah Al-‘Adl, yang merupakan totalitas dari Kebaikan Ilahi.

Di sisi lain, tidak menegakkan keadilan atau tidak menolak kezaliman merupakan jalan yang dengan cepat akan menjauhkan manusia dari haribaan Kasih dan KepemurahanNya. Seseorang yang membiasakan dirinya dalam tidak menegakkan keadilan atau tidak menolak kezaliman akan mengalami penurunan terus menerus dari sisi kapasitas dirinya untuk menerima limpahan Kasih dan KepemurahanNya.

Al’adalah Bukti (7): Bahwa mustahil bagi Wajib al-Wujud untuk melakukan ketidakadilan sekecil apa pun

Ketidakadilan adalah karena beberapa hal.

(i)            Kebodohan. Terkadang seorang berbuat zalim karena ia tidak tahu dan tidak menyadarinya.

(ii)            Kebutuhan. Adanya kebutuhan seseorang akan sesuatu bisa menciptakan bias, sehingga menimbulkan kezaliman.

(iii)            Ketakmampuan. Ada kalanya seseorang tidak mampu melakukan keadilan walaupun ia menginginkan untuk melakukannya, sehingga ia terlibat pada ketidakadilan.

(iv)            Egoisme. Sering egoisme membuat seseorang melanggar hak orang lain, atau melakukan sesuatu yang tidak patut untuk dilakukan. Di antara egoisme juga adalah dendam, amarah dan lain-lain.

Sedangkan Wajib al-Wujud

(i)            Mahatahu, sehingga mustahil baginya kebodohan apapun. IlmuNya meliputi segala sesuatu dengan suatu sifat

(ii)            Mahakaya, sehingga bebas dari semua kebutuhan. Sungguh Ia adalah Kesempurnaan Hakiki sehingga mustahil membutuhkan apa pun selain DiriNya.

(iii)            Mahakuasa, sehingga bebas dari semua ketakmampuan dan kelemahan.

(iv)            Mahabaik, sehingga bebas dari semua “egoisme”. Bahwa Wajib al-Wujud adalah khayrun mahdhun (kebaikan murni). EksistensiNya melimpahkan kebaikan maksimal bagi seluruh ciptaannya.

Maka Mahasuci Ia dari semua ketidakadilan apa pun ! Mustahil bagiNya untuk melakukan ketidakadilan sekecil apa pun!

Ia, Yang Mahasuci lagi Mahaagung, berfirman

Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS Y?NUS[10]:44)

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (QS AN-NIS?[4]:40)

Dan tentang hari kebangkitan , Ia, Yang Mahasuci lagi Mahaagung, berfirman

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.….. (QS 21:47)

Pengertian (6): Keadilan bukanlah persamaan

Keadilan tidak selalu berarti persamaan. Seringkali keadilan berarti perbedaan.

Tidak adil bagi sebuah perusahaan untuk memberikan kompensasi yang sama pada para karyawan yang bekerja dengan prestasi yang berbeda-beda. Tidak adil bagi seorang guru untuk memberikan nilai yang sama pada semua siswa. Tidak adil bagi seorang hakim memutuskan hukuman yang sama pada dua orang yang bersalah yang besar dan dampak kesalahannya jauh berbeda.

Tidak adil untuk memperlakukan yang berbuat baik dan berbuat buruk sama. Memeperlakukan yang berbuat baik sama dengan yang berbuat buruk adalah ketidakadilan (kezaliman).

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia, tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka bakal masuk neraka. Patutkah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah juga Kami memperlakukan orang –orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (Shad: 27-28)

Al-Qur’an juga mengatakan

Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik?(QS as-Sajdah [32]:18)


[1] Nahjul Balaghah, khotbah ke-437

Pengertian (5): Keadilan adalah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisi dan kepatutannya

Sungguh Dia-lah yang telah memberi bentuk pada segala sesuatu, menempatkan segala pada posisi setepat-tepatnya hingga mereka semua melaluinya memperoleh limpahan KebaikanNya dalam mencapai kesempurnaan eksistensinya. Maha Suci Dia Yang Maha Adil! Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah khotbah ke 437, bahwa keadilan adalah

“meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisinya”. [1]

Sungguh Tuhan Yang Mahaadil telah meletakkan segala sesuatu pada posisinya yang paling sempurna.

Pengertian (4): Keadilan adalah totalitas semua kebajikan

Dalam salah satu magnum opusnya, Nichomacean Ethics, Aristoteles mengatakan bahwa keadilan bukanlah hanya satu kebaikan, atau bukanlah hanya satu kebaikan yang utama. Keadilan, menurut Aristoteles, adalah summum bonum of all goods. Dalam bahasa sederhanyanya, keadilan adalah totalitas dari semua kebaikan.

Dari pengertian ini, karena Wajib al-Wujud adalah khayrun mahdhun dan sumber emanasi pertama seluruh kebaikan yang terwujud dalam semesta, maka sesungguhnya bisa disimpulkan beberapa hal.

(i)            Bahwa Wajib al-Wujud bersifat adil

(ii)            Bahwa satu-satunya yang benar-benar adil dalam maknanya yang paling hakiki adalah Dia Sendiri

(iii)            Semua yang adil selainNya adalah memperoleh keadilan dari pancaran KeadilanNya dan tidak pernah akan menyamainya dalam keadilan

(iv)            Oleh karena itu Wajib al-Wujud dinamai juga sebagai Zat Yang Mahaadil. Sungguh Dia adalah Al-‘Adl.

Pengertian (3): Keadilan Ilahi dalam kehidupan manusia

Makna keadilan dalam kehidupan manusia adalah, bahwa selayaknya setiap manusia memperoleh apa yang patut baginya dan berguna baginya.

Seorang anak kecil patut memperoleh kasih sayang dari orang-tuanya. Orang tua patut memperoleh cinta dan penghormatan dari anaknya.

Seorang istri patut memperoleh nafkah lahir batin dari suaminya. Seorang suami patut memperoleh kasih-sayang dan pendampingan lahir batin dari istrinya.

Seorang murid patut memperoleh pendidikan dari gurunya. Seorang guru patut memperoleh rasa terima kasih dan penghormatan dari muridnya.

Makna lain keadilan adalah, mempertimbangkan hak orang lain. Oleh karena itu, adalah tidak adil untuk merampas hak orang lain. Juga adalah tidak adil untuk membedakan hak seseorang karena ras dan faktor lain.

Keadilan Ilahi bermakna bahwa Tuhan pasti mengkaruniakan kepada setiap manusia apa yang patut baginya dan berguna baginya. Kemahabijakan Tuhan, yakni, Tuhan telah menciptakan sekalian manusia  dengan maksud dan tujuan yang pasti. Kebijaksanaan Ilahi memestikan kemajuan manusia ke arah tujuan dan penyelesaian yang dikehendaki.

Seorang manusia yang berbuat kebaikan patut memperoleh kebaikan. Seorang manusia yang berbuat keburukan patut memperoleh keburukan.

Adalah suatu kemustahilan Tuhan memberikan keburukan sebagai hasil dari kebaikan yang dilakukan manusia.

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
(QS 55 (AR-RAHM?N): 60)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. “

(QS 99 (AL-ZALZALAH):7-8)

Pengertian (2): Keadilan sebagai prinsip eksistensi semesta

Rasulullah SAW bersabda:

“Melalui keadilan, langit dan bumi ada.”

Sebagai contoh bila keseimbangan gaya-gaya di dalam trilyun trilyun trilyun…. atom lenyap selama satu saat. Maka seluruh atom akan runtuh , dan semesta material langsung lenyap tanpa sisa!

Contoh lain, bila tiba-tiba sistem pengendalian suhu tubuh manusia di dunia tidak berjalan selama satu jam saja, maka kehidupan manusia di muka bumi akan sirna.

Contoh lain, bila bumi tiba-tiba berhenti berputar mengelilingi matahari, maka bumi akan dengan segera mendekat ke matahari dan sirna.

Keadilan, dalam arti , semua dalam semesta ini ada pada posisinya yang paling patut dan paling tepat, dapat dilihat mulai zarah atom terkecil hingga super galaxy. Mulai dari elektron hingga organisme-organisme yang hidup. Mulai dari inti bumi, hingga puncak Himalaya, ataupun atmosfer terluar bumi.

Sabda Rasulullah SAW mungkin dapat dimaknai bahwa,  keadilan sebagai prinsip semesta yang menopang keberadaan semua yang ada di langit dan bumi .

KEADILAN ILAHI (1)


Keadilan dalam maknanya yang terluas adalah meletakkan setiap hal pada tempatnya yang tepat.

Makna Ilahiah Keadilan adalah layak bagi Wajib al-Wujud bahwa Ia adalah khayrun mahdhun (Kebaikan Murni) dan sungguh Ia adalah Mahapemurah, Mahapengasih, Mahamemelihara. Seluruh Kesempurnaan Sifat-SifatNya , dilihat dari satu sisi, berakar pada Keadilan. Hal ini adalah karena adalah hal yang tepat dan selayaknya bagi Wajib al-Wujud yang Mahakaya dan Mahaindependen lagi Mahabajik, untuk Pemurah, Pengasih dan Memelihara segenap semesta. Betapa layak bagi Yang Mahakaya untuk mengasihi semesta wujudat al-imkaniyyah (keberadaan-keberadan yang mungkin), yang secara hakiki miskin, cacat dan membutuhkan.

Keadilan Tuhan terehadap ciptaannya bermakna bahwa Tuhan pasti mengkaruniakan kepada setiap makhluk apa yang patut baginya dan berguna baginya. KeadilanNya tidak pernah terlepas dari KemahabijakanNya, yakni, Ia menciptakan sekalian makhluk dengan maksud dan tujuan yang pasti. Kebijaksanaan Ilahi memestikan kemajuan makhluk-makhluk hidup ke arah tujuan dan kesempurnaan eksistensialnya.

Prinsip hidayah universal adalah manifestasi KeadilanNya juga, yakni adalah sepatutnya bagi Ia memberi petunjuk bagi seluruh ciptaanNya untuk menuju kesempurnaan dan kebaikannya masing-masing. Pengutusan para nabi, rasul dan penunjukan para imam untuk membimbing dan menunjuki dan membimbing manusia dan semesta serta memastikan bahwa mereka bertransformasi menuju kesempurnaannya, adalah realitas dari prinsip hidayah universal. Oleh karena itu prinsip nubuwwah, risalah dan imamah adalah juga manifestasi dari KeadilanNya.

Realitas kehidupan kembali dan kebangkitan jiwa manusia setelah kematiannya juga adalah manifestasi dari KeadilanNya.

Oleh karena itu, tidak salah bila Keadilan menjadi prinsip fundamental yang menghubungkan antara Tuhan Yang Maha Pemurah dengan ciptaannya.

Maha Suci Ia Yang Mahaadil lagi Mahapemurah! Jauh Ia dari seluruh kezaliman. Sungguh , Dia-lah yang selalu melakukan yang patut bagi Keagungan dan KepemurahanNya, yakni yang terbaik bagi semesta ciptaannya.

Sabtu, 30 November 2013

Antara Kitabullah Wa Sunnati Atau Kitabullaah Wa Itrati -Bagian Pertama-

Kitabullah wa itrati
Di dalam bagian ini kita akan membahas perihal hadits yang selama ini banyak diagung-agungkan oleh sebagian kalangan sebagai rujukan yang sangat penting mengenai hadits : aku tinggalkan kepad kalian dua pusaka yang berat kitabullah dan sunnati , akan tetapi di sebagian tempat lain ditemukan dengan jumlah yang banyak dengan redaksi hampir sama tetapi berbeda kitabullah dan Itrati ahlulbaiti. Dimanakah lafadz yang asli apakah Sunnati atau Itrati. Lalu Mengapa kita perdebatkan kedua bentuk lafadz ini?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita bagi pembahasan kepada tiga bagian pembahasan yang dimana rujukannya HANYA kitab-kitab suni (ahlussunnah):
1. Riwayat yang menyebutkan lafadz Sunnati dan kualitas haditsnya.
2. Riwayat yang menyebutkan lafadz itranti ahlulbaiti dan kualitas haditsnya
3. Kesimpulan dan pandangan umum dari hal tersebut.
Riwayat Kitabullah wa sunnati dan Kualitas Hadits
(Bagian I)
Hadits Kitabullah wa sunnati merupakan hadits JARGON yang dipakai oleh sebagian kalangan untuk mengklaim golongannya dengan penafsiran masing-masing di dalam lafadz Sunnah nabi. Hadits masyhur di kalangan para Da’i bahkan di kalangan para aktifis Islam dalam menyuarakan Qur’an dan sunnah nabi, memang pada dasarnya tidak ada yang menafikan bahwa kita sebagai umat islam harus mengikuti sunnah nabi, akan tetapi yang menjadi permasalahan disini adalah penafsiran terhadap sunnah tersebut dikarenakan lafadznya yang umum atau digantikan dari lafadz aslinya. Oleh sebab itu kita sebaiknya meneliti lebih dalam tentang keaslian hadits tersebut , apakah lafadz yang sahih adalah sunnati atau itrah ahlulbaiti.
Sebelum kita membahas lebih lanjut, sebaiknya kita mengetahui sumber hadits tersebut terletak di mana dan siapa yang pertama mengemukakan hadits tersebut. Hadits JARGON tersebut hanya terdapat dalam kitab dibawah ini sebagai rujukan :
1. Almuwatha (Imam Malik) yang diriwayatkan oleh Malik Ibn anas
2. Sirah An-Nabawiah Riwayat Ibn Hisyam
3. Mustadrak ala shahihain Riwayat Alhakim An-Nisaburi
4. Sunan Al-Kubra riwayat albaihaqi
5. At-Tamhid lama fil muwatha linalma’ani walasanid riwayat Abdul Barr
6. Al-Jami’ As-Shaghir riwayat As-Suyuthi
7. Al-Ilma’ ila Ma’rifah ushul Ar-Riwayah wa taqyid as-sima Riwayat AlQadhi ayadhi
8. Kanzul’amal Riwayat Almuttaqi hindi
A. Kitab Almuwatha no 1594 , Imam Malik
وحدثني عن مالك انه بلغه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
Berkata kepada kami dari Malik sesungguhnya hadits tersebut sampai padanya sesungguhnya rasulullah saw, bersabda : aku tinggalkan pada kalian dua perkara dimana kalian tak akan tersesatkan jikalau kalian berpegang pada keduanya Kitabullah dan sunnah nabiNya.
Kecacatan Hadits :
1. Kecacatan Umum Hadits :
a. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
b. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2. Kecacatan Kitab al-Muwatha :
a. Kasyif Ad-dzunun berkata (dalam kitab Kasyfudzunun 2/724) : Padanya banyak yang mursal ( secara umum bermakna perawinya tidak sampai ke asal pembicara atu ada yg terhapus sebelumnya)
b. Suyuti Berkata (Tanwir Alhawalik 1/9) :
…و فيه ثلاثمائة و نيّف مرسلاً، و فيه نيّف و سبعون حديثاً قد ترك مالك نفسه العمل بها، و فيه أحاديث ضعيفة وهّاها جمهور العلماء.
Di Dalamnya (Almuwatha) terdapat 300 lebih hadits Mursal , dan didalamnya juga lebih dari 70 hadits telah ditinggalkan (tidak dipakai) oleh Malik sendiri , dan didalamnya hadits-hadits yang dhaif …
3. Kecacatan Rijal :
Tarjamah Malik, Malik ibn Anas maqduh dan majruh (ada cacat)
- Termasuk kaum khawarij, seperti yang dikatakan Abu Al-‘Abbas Al-mubarrid ( Al-kamil fil Adab 3/118
- Termasuk dari golongan mudallis (pembohong) seperti yang dikatakan Alkhatib albaghdadi ( Alkifayah fi ilmi ad-dirayah : 375)
- Bernyanyi (yataghanni) dengan alat , sepeti yang dikatakan Abu Alfaraj Isfabahani (Al-Aghani 2/231)
4. Permasalahan sanad , dimana diatas bisa dikatakan tidak ada sanad padanya atau mursal.
• Kesimpulan : Kitab tidak bisa berhujjah dengan hadits ini dengan banyaknya kecacatan padanya.
B. Kitab As-Sirah An-Nubuwah 4/260 Riwayat Ibnu Hisyam
Dia menceritakan Khutbah Nabi saw di Haji Wada’, dari Ibn Ishaq Nabi Bersabda :
وقد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا أمرا بينا كتاب الله وسنة نبيه
( Sungguh Aku tinggalkan pada kalian dimana jikalau kalian berpegang dengannya tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan sunnah nabi-Nya)
Kecacatan Hadits:
1. Kecacatan Umum Hadits :
a. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
b. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2. Kecacatan Hadits
Hadits tersebut tidak ada sanadnya atau bisa dikatakan mursal.
3. Kecacatan Rijal
Ibn Ishaq tanggapan sebagian besar ulama mengenainya adalah maqduh wa majruh (cacat) , sebagian mengatakan mudallis (pembohong) (bisa dilihat dalam kitab Tarjamah rijaliah mengenai Ibn Ishaq)
وقال أحمد: كان ابن إسحاق يدلس إلا أن كتاب إبراهيم بن سعد إذا كان سماع قال: حدثني.
وإذا لم يكن، قال: قال.
قال: ليس هو بحجة.
Berkata ahmad : Ibnu Ishaq berbohong…..
Dan berkata pula : dia tidak bisa dijadikan hujjah (Sair A’lam An-Nubala, tarjamah Ibn Ishaq)
Dan masih banyak pernyataan lain mengenai kecacatan ibn Ishaq tersebut
*Kesimpulan : Hadits inipun tidak bisa dijadikan hujjah dengan banyaknya cacat padanya.
C. Kitab Mustadrak Ala shahihain 1/171-172 yang dikeluarkan oleh Alhakim An-Nisaburi
1. Dari Ismail Ibn abi Uwais
أخبرني إسماعيل بن محمد بن الفضل الشعراني، ثنا جدي، ثنا ابن أبي أويس، حدثني أبي، عن ثور بن زيد الديلي، عن عكرمة ، عن ابن عبّاس: إنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم خطب الناس في حجة الوداع…إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلّوا أبداً كتاب الله و سنة نبيه صلّى الله عليه و سلّم…
Mengkhabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Uwais …dari ibnu Abbas : sesungguhnya rasulullah saww berkhutbah di depan manusia di Haji wada…sesungguhnu aku telah meninggalkan kepada kalian yang dimana kalian berpegang teguh padanya tak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan sunnah nabi-Nya saw.
1) Kecacatam Umum Hadits :
a. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
b. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2) Kecacatan Rijal hadits
a) Ismail ibn Abi Uwais (termasuk orang yang makruf kecacatannya)
Kita cukupkan penukilan Ibn Hajar asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib no 567 mengenainya, dia berkata :
- Muawiyah ibn shalih berkata dari ibn Mu’in : Dia dan Bapaknya sama-sama dha’if
- Darinya juga berkata : mencampur/merusak, berbohong, laitsa bisyai in
- Annasai berkata : Dha’if, gheir Tsiqat
- Ibn adi Berkata : diriwayatkan dari Khal nya banyak hadits yang gharib tidak ada yang mengikutinya satu orangpun.
- Ad-Daulabi dalam Ad-Dhu’afa : aku mendengar An Nasr ibn salmah Al-marwizi, berkata : Ibn Abi Uwais Kadzab (pembohong)
- Al-aqili dalam Ad-Dhu’afa : berkata ibn Abi Uwais لا يسوى فلسين
- Ad-Daruquthni berkata : Tidak ada yang memilih dia dalam sahih
- Ibn Hazm dalam Al-Mahalli : berkata Abu Alfath Al-Azdi berkata kepada ku saif ibn Muhammad sesungguhnya Ibn abi Uwais telah memalsukan hadits
b) Iqrimah maula ibn Abbas
Adzahabi dalam sair A’lam An-nubala Juz 5 bagian Ikrimah
- Dia adalah Khawarij
- Malik melihat keburukan ikrimah : tidak ada yang percaya dengan haditsnya
• Kesimpulan hadits yang dibawakan oleh Alhakim An-nisaburi ini tidak bisa dijadikan hujjah disebabkan perawi hadits ini banyak memiliki kecacatan
2. Dari shalih Ibn Musa Athalhi Alkufi
اخبرني أبو بكر بن إسحاق الفقيح ، أنبأ محمد بن عيسى بن السكن الواسطي، ثنا داود بن عمر و الضبّي، ثنا صالح بن موسى الطلحي، عن عبد العزيز بن رفيع، عن أبي صالح، عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال : قال رسول الله صلّى الله علي و سلّم : إني قد تركت فيكم شيئين لن
تضلوا بعدهما : كتاب الله و سنّتي و لن يتفرّقا حتى يردا عليّ الحوض
…dari shalih ibn musa Athalhi … dari abi hurairah , berkata : rasululllah saw bersabda : Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua hal tidak akan tersesatkan setelah keduanya, Kitabullah dan sunnahku dan tidak akan terpisah keduanya sampai bertemu denganku di haudh.
1) Kecacatan Umum Hadits :
a. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
b. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2) Kecacatan rijal hadits
Dicukupkan keterangannya dengan nukilan dari Ibn Hajar asqalani dala Tahdzib At-Tahdzib 1/280-281 dan 3/270 mengenai perawinya shalih ibn Musa.
- Berkata ibn Mu’in : laitsa bi syai in
- Dan berkata pula : Shalih dan Ishaq kedua2nya putra Musa laisa bisyai, dan tidak ditulis hadits keduanya ( karena dhaifnya)
- Hasyim ibn Murtsid dari ibn Mu’in : bukan tsiqat
- Ibn Hatim dari bapaknya berkata : Haditsnya dha’if, haditsnya sangat munkar
Banyak yang mengingkarinya dari tsiqat.
- Al-Bukhari berkata : Munkar haditsnya dari sahil ibn Abi shalih
- An-Nasai berkata : Tidak diambil haditsnya karena dha’if, di tempat lainnya mengatakan haditsnya matruk (tertolak)
- Ibn Adi berkata : secara umum apa yang diriwayatkannya tidak ada yang mengikuti (mengambilnya) seorangpun, dan menurutku dia termasuk yang tidak dipercaya seorang pembohong, dan banyak kesalahan, dan banyak dari apa yang diriwayatkannya tidak ada seorangpun yang memperdulikannya.
- Al-aqili berkata : tidak ada yang mengikuti (mengambil) haditsnya seorangpun
- Ibn Hibban berkata : Tidak boleh berhujjah dengan (hadits) nya
- Ibu Na’im berkata : Matruk
• Kesimpulan : hadits ini pun tidak bisa dijadikan hujjah, karena banyak kecacatan perawinya
D. Kitab As-Sunan Alkubra 10/113 dari Al-baihaqi
1. Dari Ibn Abi Uwais
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنِى إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ الشَّعْرَانِىُّ حَدَّثَنَا جَدِّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى أُوَيْسٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِىِّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَطَبَ النَّاسَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ :« يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ ».
…berkata kepada kami Ibn Abi Uwais…dari ikrimah dari ibn abbas ra, rasul bersabda : –hampir sama dengan sebelumnya yaitu hadits kitabullah da sunnahku—
Kecacatan Hadits :
1) Kecacatan Umum Hadits :
c. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
d. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2) Mengenai Ibn Abi Uwais dan ikrimah sudah disebutkan diatas dalam pembahasan kitab mustadrak dengan kecacatan mereka
*Kesimpulan : Hadits dalam kitab baihaqi juga tidak bisa dijadikan hujjah
2. Dari shalih ibn Musa At-thalhi
Kecacatan hadits :
1) Kecacatan Umum Hadits :
a. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab hadits Mu’Tabar Suni dalam Kitabussittah, sehingga hadits tersebut tidak dianggap sahih pada kitab yang enam.
b. Hadits tersebut tidak dimasukkan dalam kitab Masanid suni mu’tabar seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2) Kecacatan rijal shalil ibn Musa At-Thalhi
hadits ini serupa dengan point Shalih ibn musa at-thalhi dalam kitab mustadrak yang terbukti kecacatannya tidak bisa dijadikan Hujjah.
E. Kitab At-Tamhid lama fil muwatha minal ma’ani wal asanid dari Ibn Abdilbar
1. Dari Shalih ibn Musa Athalhi
Sudah disebutkan dalam pembahsan sebelumnya tidak bisa dijadikan hujjah
2. Dari katsir ibn Abdillah
وحدثنا عبد الرحمن بن يحيى قال حدثنا أحمد بن سعيد قال حدثنا محمد بن إبراهيم الديبلي قال حدثنا علي بن زيد الفرائضي قال حدثنا الحنيني عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف عن أبيه عن جده قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم” .”
…dari Katsir ibn Abdillah …rasul bersabda : –seperti hadits diatas—
Kecacatan hadist :
1) Kecacatan umum yang telah disebutkan sebelumnya
2) Tarjamah katsir ibn Abdillah, kita cukupkan keterangan dari ibn hajar asqalani dalam tahdzib at-Tahdzib 8/367
- Abu thalib dari ahmad berkata : dia munkar hadits dan laitsa bi syai
- Abdullah ibn Ahmad berkata : ayahku menghina dan merendahkan hadits katsir ibn abdillah dalam musnad dan lam uuhadditsna anhu.
- Abu Haitsami berkata : Ahmad berkata : la yuhadits anhu syaian
- Ad-duri dari ibn Mu’in : dia dhaif hadits
- Marrah berkata : laitsa bisyai in
- Ad-Darimi dari Ibn Mu’in : laisa bisyai in
- Alajri berkata : ditanyakan abu Dawud darinya, dan berkata : dia adalah salahsatu kadzabiin (pembohong)
- Abi Hatim berkata : aku bertanya Aba Zar’ah darinya , berkata : Lemah haditsnya tidak kuat.
- Abu Hatim berkata : laista bil matin (tidak kuat)
- An-nasai dan daruquthni berkata : haditsnya matruk (tertolak)
- An-nasai dalam tempat lainnnyamengatakan : bukan tsiqat
- Ibn adi berkata : secara umum tidak ada yang mengikuti haditsnya
- Abu na’im berkata : Ali ibn Al-madini mendhaifkannya
- Ibn Sa’ad berkata : didhaifkan
- Alhakim berkata : diceritakan dari kakeknya sebuah tulisan (hadits) didalamnya banyak yang manakir (tertolak), kemudian As-Saji mendhaifkannya .
- Ibn Hajar mengatakan : As-Saji mendhaifkannya juga
- Ibn Abdil barr mengatakan : pendapat yang telah disepakati untuk medhaifkannya
• Kesimpulan : hadits ini jelas tidak bisa dijadikan Hujjah dikarenakan katsir ibn Abdillah telah disepakati oleh ahli hadits dhaif.
F. Kitab Al-Ilma’ ila ma’rifat ar-riwayah wa taqyid as-sima’ dari alqadhi al’iyadh
وقال عليه السلام فيما أخبرنا به القاضي الحافظ أبو علي الحسين ابن محمد رحمه الله قراءة مني عليه قال أخبرنا الشيخ الإمام أبو الفضل أحمد بن أحمد الأصبهاني قال أخبرنا أبو نعيم أحمد بن عبد الله الحافظ قال أخبرنا عبد الله بن محمد بن جعفر أخبرنا بنان بن أحمد القطان أخبرنا عبد الله بن عمر بن أبان أخبرنا شعيب بن إبراهيم أخبرنا سيف بن عمر عن أبان بن إسحق الأسدى عن الصباح بن محمد عن أبى حازم عن أبى سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيها الناس إنى قد تركت فيكم الثقلين كتاب الله وسنتى فلا تفسدوه وإنه لا تعمى أبصاركم ولن تزل أقدامكم ولن تقصر أيديكم ما أخذتم بهما
…mengkhabarkan kepada kami Syu’aib ibn Ibrahim, mengkhabarkan kepada kami saif ibn Umar , dari ishaq al-Asadi, dari as-Shubah ibn Muhammad…rasul saw bersabda : seperti hadits diatas
Kecacatan hadits :
1) Kecacatan Umum : telah disebutkan diatas
2) Kecacatan rijal hadits :
a. Syaib ibn Ibrahim dan saif ibn Umar , Ibnu adi (dalam lisan almizan 3/172) menganggap mereka cacat dan mengomentari : tidak makruf
b. Aban ibn Ishaq Alasadi : Azadi berkata (di dalam Tahdzib at-Tahdzib 1/85) haditnyanya matruk (tertolak)
c. As-Shubah ibn Muhammad Al-Ahmasi: di dalam tahdzib at-tahdzib dikatakan tidak meriwayatkan darinya kecuali At-Tirmidzi, dan hanya meriwayatkan sekali dari ibn Mas’ud sebuah hadits serta menganggapnya asing, serta berkata Al-Aqili di dalam haditsnya terdapat wahm (khayal) dan yarfa’u almauquf
d. Saif ibn Umar
Kita cukupkan keterangan dari Ibn Hajar Ats qalani dalam tahdzib at-tahdzib 4/268
- Ibn Mu’in berkata : Haditsnya dha’if
- Abu Hatim berkata : Haditsnya matruk
- Abu Dawud berkata : latsa bi syai in
- An-Nasai berkata : Dhaif
- Ad-Daruquthni berkata : Dhaif
- Ibn Adi berkata : dan umumnya munkar tidak ada yang mengambil hadistnya
- Ibn Hibban berkata : dia memalsukan hadits
- Ibn Hajar berkata : menuduhnya sebagai zindiqah (orang sesat)
- Albarqani berkata dari daruquthni : Matruk
- Alhakim berkata : dituduh sebagai zindiq
G. Kitab Jami as-Shaghir 1/197 dari As-Suyuthi
Sama seperti yang terdapat pada mustadrak ala shahihain dari Abu hurairah tertolak haditsnya.
H. Kanzul ummal 1/100 -107 dari Almuttaqi alhindi
Haditsnya asing menyalin sama dengan hadits yang telah disebutkan diatas.
*** Kesimpulan Akhir : Hadits kitabullah wa sunnati merupakan hadits yang dha’if dengan berbagai macam keterangan rijal hadits yang banyak kecacatannya, selain daripada itu juga ulama ahlussunnah tidak memandang hadist tersebut sebagai hadits yang asli dan shahih tidak dimasukkan dalam kitab sittah dan masanidnya.
Sehingga tidak tersisa lagi untuk bisa berhujjah dengannya
Akan tetapi hal yang serupa hadits tersebut dengan redaksi lafadz lainnya yaitu kitabullah wa itrati yang akan kita buktikan kesahihannya …
Bersambung…
Allah