judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Rabu, 29 Desember 2010

Hadis Muawiyah Meminum Minuman Yang Diharamkan : Bantahan Untuk Salafy

Salafy nashibi memang tidak akan pernah berhenti membela sahabat pujaan dan pemberi petunjuk bagi mereka yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Pembelaan senaif apapun akan tetap ada bahkan dicari-cari berbagai dalih agar setiap hadis yang menyudutkan Muawiyah didhaifkan atau ditakwilkan secara ajaib menjadi keutamaan Muawiyah. Tidak jarang pembelaan itu dibungkus dengan dalih-dalih sok ilmiah untuk menipu kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang kalang kabut kalau membaca hadis shahih tentang aib Muawiyah. Pada tulisan kali ini kami akan membahas syubhat salafy nashibi seputar hadis dimana Muawiyah meminum minuman yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” [Musnad Ahmad 5/347 no 22991, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]
.
.
Syubhat Dalam Sanad
Syubhat salafy dalam mencari-cari kelemahan hadis ini adalah menyatakan kalau Zaid bin Hubab termasuk perawi yang sering salah. Disebutkan kalau Zaid bin Hubab sering salah dalam riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawri. Salafy itu menyatakan kalau Ahmad dan Ibnu Hibban memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats Tsawri.
Zaid bin Hubab Ar Rayyan Abu Husain At Taimiy Al ‘Ukliy termasuk perawi Muslim dalam Shahihnya, Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat begitu pula Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [dalam riwayat Ad Darimi]. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata “Zaid bin Hubab seorang yang shaduq dia mengahafal lafaz-lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya”. Ibnu Hibban berkata “sering salah, hadisnya diikuti jika ia meriwayatkan dari masyahir [orang-orang yang dikenal] sedangkan riwayatnya dari majahil [orang-orang yang tidak dikenal] maka padanya terdapat hal-hal mungkar. Ibnu Khalfun berkata ia ditsiqatkan Abu Ja’far dan Ahmad bin Shalih. Daruquthni dan Ibnu Makula menyatakan tsiqat. Ibnu Syahin berkata “ia ditsiqatkan Utsman bin Abi Syaibah”. Ibnu Yunus berkata “hadisnya hasan”. Ibnu Ady berkata “ia memiliki banyak hadis dan ia termasuk diantara syaikh-syaikh kufah yang tsabit yang tidak diragukan kejujurannya dan Ibnu Ma’in membicarakan hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yaitu hanya hadis-hadisnya dari Ats Tsawriy yang mengandung keghariban pada sanadnya dan yang dimana ia menyendiri dalam merafa’kan sedangkan hadis Ats Tsawriy lainnya dan hadisnya dari selain Ats Tsawriy semuanya lurus [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 738]. Ibnu Hajar berkata “shaduq sering keliru dalam hadisnya dari Ats Tsawriy” [At Taqrib 1/327 no 2130]
Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan “seorang ahli ibadah yang tsiqat” [Al Mizan no 2997]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia seorang hafizh khurasan dan kufah tidak ada masalah padanya dan terkadang ragu [Al Kasyf no 1729]. Adz Dzahabi dalam As Siyar berkata “Al Imam Al Hafizh Tsiqat” [As Siyaar 9/393 no 126]
Tampak dengan jelas kalau Zaid bin Hubab seorang yang tsiqat bahkan Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan kalau ia seorang yang tsiqat dan tidak ada masalah padanya [Al Ilal no 1702]. Bersamaan dengan ketsiqatannya dikatakan pula kalau ia sering salah tetapi ini tidak bersifat mutlak, kesalahan yang dimaksud adalah sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in sedangkan riwayatnya selain itu tidak ada masalah.

.
.
Perkataan Imam Ahmad
Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad berkata Zaid bin Hubab seorang yang shaduq, ia dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih tetapi ia banyak salahnya [Su’alat Ahmad no 432].
Salah satu kesalahan yang dimaksud disebutkan sendiri oleh Ahmad bin Hanbal. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].
Tampak bahwa yang dipermasalahkan oleh Ahmad bin Hanbal adalah riwayat Zaid bin Hubab dari Muawiyah bin Shalih tetapi itu tidak bersifat mutlak untuk semua riwayat dari Muawiyah bin Shalih karena kendati Ahmad mengakui ada kesalahan Zaid dalam riwayat Muawiyah bin Shalih, ia tetap mengatakan kalau Zaid dhabit dalam lafaz dari Muawiyah bin Shalih.
Bukti lain bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah dia sendiri banyak mengambil hadis dari Zaid bin Hubab. Zaid bin Hubab termasuk syaikh [guru] Ahmad bin Hanbal dan tentu saja sebagai seorang murid ia lebih mengetahui kesalahan yang ada dalam riwayat gurunya. Oleh karena itu hadis-hadis Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal. Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu ke dalam Musnad-nya .

.
.
Perkataan Ibnu Hibban
Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “termasuk yang sering salah, hadisnya diikuti jika meriwayatkan dari masyaahir sedangkan riwayatnya dari orang-orang majhul maka di dalamnya terdapat pengingkaran” [Ats Tsiqat juz 8 no 13277].
Tidak ada dalam pernyataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut bersifat mutlak, pernyataan Ibnu Hibban jelas memerlukan perincian dan ulama lain telah memberikan perincian diantaranya Ibnu Ma’in soal sebagian riwayat Zaid dari Ats Tsawriy atau Ahmad bin Hanbal soal sebagian riwayat Zaid dari Muawiyah bin Shalih. Apalagi tampak dalam zahir perkataan Ibnu Hibban kalau kesalahan tersebut termasuk juga riwayat Zaid bin Hubab dari perawi majhul.
Hal ini disebutkan pula oleh Adz Dzahabi dalam Al Mizan, selain membawakan riwayat gharib Zaid bin Hubab dari Ats Tsawriy, ia juga membawakan riwayat Zaid bin Hubab dari Dawud bin Mudrik seorang yang tidak dikenal [Al Mizan no 297]. Tentu saja riwayat Zaid bin Hubab dari perawi yang majhul tidaklah menjadi cacat bagi Zaid melainkan cacat bagi perawi majhul tersebut.
Bukti lain kalau Ibnu Hibban tidak memutlakkan kesalahan tersebut adalah ia banyak memasukkan hadis Zaid bin Hubab [termasuk riwayatnya dari Husain bin Waqid] dalam kitab Shahih-nya diantaranya Shahih Ibnu Hibban 2/474 no 700 dan Shahih Ibnu Hibban 6/281 no 2540. Kedua hadis ini telah dijadikan hujjah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban yaitu dengan jalan sanad dari Zaid bin Hubab dari Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya secara marfu’.
.
.
Kesimpulan kedudukan Zaid bin Hubab adalah seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama tetapi ia memiliki kesalahan diantaranya riwayatnya dari Ats Tsawriy tetapi hal ini tidak memudharatkan riwayatnya yang lain. Kedudukan perawi seperti ini adalah periwayatannya diterima sampai ada bukti kalau ia keliru. Para ulama telah banyak menerima riwayat Zaid bin Hubab [termasuk riwayat dari Husain bin Waqid] diantaranya Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban [sebagaimana disebutkan di atas] dan Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal [Tahdzib Al Kamal no 2095].
.
.
Klaim Tafarrud Zaid bin Hubab
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh-nya 2/677 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 27/126-127 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Syabbuuyah dari Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya dari Abdullah bin Buraidah yang berkata “aku bersama ayahku masuk menemui Muawiyah”. Riwayat ini jelas tidak lengkap sedangkan riwayat yang lengkap telah disebutkan dalam riwayat Zaid bin Hubab sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal.
Ali bin Husain bin Waqid disebutkan oleh Abu Hatim bahwa ia dhaif hadisnya. Nasa’i berkata tidak ada masalah padanya. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 7 no 523]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa menyebutkan salah satu hadisnya dan berkata “tidak memiliki mutaba’ah” [Adh Dhu’afa 3/226 no 1226]. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang ragu” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 4717].
Tampak jelas dalam riwayat Ali bin Husain bin Waqid dari ayahnya kalau riwayat tersebut tidak lengkap hanya menyebutkan awal kisah dimana Abdullah bin Buraidah dan ayahnya menemui Muawiyah sedangkan riwayat Zaid bin Hubab menyebutkan kisah tersebut dengan lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Husain bin Waqid tidaklah dhabit sehingga ia tidak menghafal seluruh riwayat tersebut sehingga riwayatnya disini mesti dipalingkan kepada riwayat Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat.
Dengan dasar ini tidak ada alasan untuk menjadikan riwayat ini sebagai tafarrudnya Zaid bin Hubab karena Ali bin Husain bin Waqid bukan seorang yang dikenal tsiqat dan dhabit bahkan kedudukannya jauh dibawah Zaid bin Hubab. Riwayat ini justru menjadi bukti kalau Ali bin Husain bin Waqid tidak dhabit dalam menghafal riwayat tersebut. Berbeda halnya jika Ali bin Husain bin Waqid ini seorang yang tsiqat tsabit maka benarlah kalau Zaid bin Hubab tafarrud dengan tambahan lafaz tersebut dari Husain bin Waqid. Singkat kata syubhat salafy dalam melemahkan hadis ini hanyalah dalih yang dicari-cari atau mengada-ada demi membela aib Muawiyah.
.
.
Penukilan Al Haitsami
Mengenai penukilan Al Haitsami dimana ia menuduh kami menyembunyikan perkataan Al Haitsami di bagian akhir jelas perlu diluruskan. Ketika kami menuliskan riwayat ini kami hanya mengutip pendapat Al Haitsami terhadap kedudukan hadis tersebut yaitu diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya perawi shahih. Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak bernilai hujjah.
Sedangkan andai-andai salafy kalau yang dimaksud Al Haitsami adalah ia tinggalkan karena tafarrud riwayat tersebut jelas mengada-ada dengan dua alasan
Telah dibahas di atas kalau tafarrud yang dimaksud hanyalah klaim semata yang tidak terbukti kebenarannya karena dasar pernyataan tafarrud adalah hadis dari Ali bin Husain bin Waqid yang kedudukannya jelas lebih rendah dari Zaid bin Hubab yang dikenal tsiqat. Kedudukan sebenarnya riwayat Zaid bin Hubab adalah riwayat lengkap sedangkan riwayat Ali bin Husain bin Waqid tidak lengkap.
Tafarrud yang ditunjukkan salafy itu tidak terbatas pada perkataan Muawiyah tetapi juga perkataan Abdullah bin Buraidah yaitu “ia mempersilakan kami duduk di hamparan. Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan tidak ada kenikmatan yang kumiliki seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. Seandainya tafarrud ini menjadi alasan bagi Al Haitsami maka tidak mungkin ia mengkhususkannya dengan perkataan Muawiyah semata. Lihat kembali perkataan Al Haitsami di bagian akhir “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan”.
Jadi sebenarnya disini yang bersangkutan itu sok merasa yang paling paham terhadap perkataan Al Haitsami padahal sebenarnya itu hanyalah dalih-dalih dirinya yang mengatasnamakan Al Haitsami.

.
.
.
Syubhat Dalam Matan
Setelah puas membuat syubhat pada sanad riwayat tersebut, salafy itu bertingkah membuat syubhat pula pada matan riwayatnya. Syubhat itu memang agak ajaib karena hasil akhirnya riwayat yang menjadi aib bagi Muawiyah disulap menjadi keutamaan bagi Muawiyah. Riwayat bahwa Muawiyah meminum minuman yang diharamkan disulap menjadi riwayat bahwa Muawiyah tidak lagi meminum minuman yang diharamkan dan lebih menyukai susu serta adab tinggi Muawiyah dalam menjamu tamu. Betapa lucunya logika orang yang tergila-gila dengan Muawiyah. Kami akan membahas syubhat tersebut. Salafy itu mengatakan kalau lafaz
ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Adalah perkataan Muawiyah bukan perkataan Buraidah. Jelas ini kekeliruan yang nyata dan buktinya terletak pada riwayat itu sendiri. Jika dianalisis dengan baik maka sangat jelas kalau lafaz tersebut adalah perkataan Buraidah. Awalnya Abdullah bin Buraidah berkata
عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku.
Perhatikan lafaz “maka Muawiyah meminumnya”. Ini menunjukkan kalau Muawiyah telah meminum minuman tersebut. Kemudian setelah Muawiyah menawarkan kepada Buraidah riwayat tersebut dilanjutkan dengan lafaz yang berkata
ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
Aku tidak meminumnya sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Perhatikan kata
ما شربته
yang artinya “tidak meminumnya”. Kata “nya” disitu merujuk pada minuman yang didatangkan atau ditawarkan kepada Buraidah. Sehingga perkataan “tidak meminumnya” artinya orang yang dimaksud tidak meminum minuman tersebut dengan alasan “sejak diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka bagaimana mungkin lafaz ini menjadi perkataan Muawiyah padahal dengan jelas dalam riwayat tersebut sebelumnya terdapat lafaz
فشرب معاوية
“maka Muawiyah meminumnya” Muawiyah terlebih dahulu minum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah dan Buraidah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Inilah yang benar, seandainya kita mengikuti kekonyolan salafy tersebut maka riwayat tersebut berbunyi begini
Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan kemudian didatangkan makanan kepada kami dan kami memakannya kemudian didatangkan minuman kepada kami, maka Muawiyah meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Muawiyah berkata “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Apa jadinya kisah ini, Muawiyah meminum minuman tersebut kemudian menawarkan kepada Buraidah seraya Muawiyah berkata aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Jadi maksudnya Muawiyah sudah tahu kalau minuman itu haram dan ia tetap meminumnya dihadapan Buraidah kemudian menawarkan kepada Buraidah minuman haram tersebut seraya berdusta aku tidak pernah meminumnya sejak diharamkan Rasulullah. Lha jelas saja dusta karena barusan dihadapan Buraidah Muawiyah meminum minuman tersebut. Dan kalau mengikuti perandaian salafy bahwa minuman itu susu maka disini Muawiyah mengakui kalau susu itu diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Inilah kekacauan yang timbul dalam makna riwayat tersebut jika lafaz Buraidah itu dikatakan sebagai lafaz Muawiyah. Salafy itu mungkin mengetahui kerancuan ini oleh karena itu ia membuat teks atau lafaz riwayat sendiri yaitu dengan kata-kata
Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa “ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu”. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.
Perkataan ini jelas tidak bernilai hujjah karena lafaz yang dimaksud bukanlah “aku tidak lagi minum minuman yang haram sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” tetapi lafaznya adalah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Dan telah jelas dalam riwayat tersebut kalau “nya” dalam kata “meminumnya” adalah minuman yang disajikan atau ditawarkan kepada Buraidah.
Salafy itu menolak perkataan Buraidah hanya dengan asumsi kalau memang perkataan itu perkataan Buraidah maka mengapa hanya sekedar mengabarkan tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak ada pengingkaran yang nyata dari Buraidah. Jawabannya ya mudah saja : justru pengkhabaran kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaharamkannya adalah pengingkaran yang paling nyata. Tidak ada hujjah yang paling utama kecuali hujjah atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Salafy itu juga menolak kalau Muawiyah meminum khamar dengan alasan ia sendiri meriwayatkan hadis soal hukuman bagi yang meminum khamar. Kami katakan: tidak usah jauh-jauh, khamar itu telah diharamkan di dalam Al Qur’an jadi sangat jelas semua orang dan semua sahabat tahu tetapi diriwayatkan ternyata ada juga sahabat yang pernah meminum khamar selepas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat tidak hanya Muawiyah. Jadi tidak ada alasan untuk menolak Muawiyah meminum khamar walaupun ia sendiri meriwayatkan hadis hukuman bagi peminum khamar.
Salafy mengatakan bahwa yang disajikan Muawiyah kepada Buraidah dan anaknya adalah susu bukannya khamar. Ia berhujjah dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut
حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:”ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia [Mu’aawiyyah] mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Riwayat ini adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Zaid bin Hubab sedangkan riwayat yang kami kutip sebelumnya adalah riwayat Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Hubab. Kedua riwayat ini menyebutkan kisah yang sama hanya saja riwayat Ahmad lebih lengkap dari riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah tidak terdapat perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ahmad. Ini adalah ziyadah tsiqat dari Ahmad dan tidak ada keraguan untuk diterima.
Salafy itu menafsirkan riwayat tersebut dengan prasangka kalau yang disajikan kepada Buraidah dan anaknya adalah susu. Zhan ini tertolak dengan dasar riwayat Ahmad yang menyebutkan perkataan Buraidah “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Sejak kapan susu diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau memang itu adalah susu tidak mungkin Buraidah menolak seraya berkata itu telah diharamkan. Tampak dalam zahir riwayat kalau Buraidah dan anaknya tidak meminum minuman tersebut melainkan Muawiyahlah yang meminumnya. Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Abi Syaibah
ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية
Kemudian didatangkan kepada kami makanan maka kami memakannya kemudian didatangkan kepada kami minuman maka Muawiyah meminumnya. [riwayat Ahmad]
وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ
Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia [Muawiyah] meminumnya [riwayat Ibnu Abi Syaibah]
Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu. Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan atau ada hadis yang menyudutkannya, sebagaimana yang tergambar dalam salah satu riwayat
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]
Perkataan Muawiyah kalau yang membunuh Ammar adalah Imam Ali jelas sebuah kekonyolan dan hinaan yang nyata kepada Imam Ali. Perkataan Muawiyah ini hanyalah dalih yang dicari-cari ketika ia merasa tersudut. Bagaimana mungkin Ammar radiallahu ‘anhu yang berperang disisi Imam Ali dan telah syahid dikatakan kalau Imam Ali yang membunuhnya?. Apakah sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang syahid di badar dan uhud itu mati karena dibunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawanya?, nauzubillah, kami berlindung kepada Allah SWT dari cara berpikir yang demikian dan ternyata begitulah dalam pandangan Muawiyah.
Kembali ke riwayat yang kita bahas. Perkataan Muawiyah disini hanya sekedar dalih ketika ia tersudut oleh perkataan Buraidah kalau minuman tersebut haram dan ia nyata-nyata meminumnya. Sehingga ia berdalih kalau minuman tersebut susu sambil menyindir Buraidah dengan pujian. Perhatikan perkataan Muawiyah
غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Kecuali susu atau orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku [riwayat Ahmad]
Kalau salafy mengatakan susu yang ada disana dengan hujjah perkataan Muawiyah maka kita katakan “orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku” adalah Buraidah. Karena pada hari itu atau saat itu Buraidahlah yang berbicara kepada Muawiyah dengan perkataan “aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Bukankah keduanya itu yaitu “susu” dan “perkataan baik” yang dikatakan Muawiyah ia ambil pada hari itu. Kalau memang susu yang disajikan kok bisa-bisanya Muawiyah mengatakan perkataan Buraidah itu baik, apa mengatakan susu diharamkan adalah perkataan yang baik?. Singkat kata tidak ada gunanya menjadikan perkataan Muawiyah ini sebagai hujjah karena sangat terlihat itu hanyalah dalih-dalih yang biasa ia lakukan.
Tentu bagi salafy mereka lebih memilih menjadikan perkataan Muawiyah itu sebagai hujjah. Ya jelas karena Muawiyah adalah pemberi petunjuk bagi mereka. Apapun aib yang ada pada Muawiyah harus disucikan dengan dalih membantah syiah seraya menuduh keji kepada mereka yang berani membongkar aib Muawiyah walaupun pada kenyataannya hanya menukil dari hadis shahih. Jadi dapat dimaklumi kalau gaya bersilat lidah Muawiyah ini diwarisi oleh para pengikut salafy yang memang gemar membela Muawiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah