judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Sabtu, 01 Januari 2011

Perbandingan Istri Nabi yang Paling Baik dengan yang Paling Dengki

oleh Jjihad 'Ali pada 10 September 2010 jam 12:58

Sudah umum diketahui di kalangan kaum Muslimin bahwa istri Nabi yang paling baik adalah Khadijah binti Khuwailid ra. Dialah perempuan pertama yang memeluk Islam dan memberikan seluruh kekayaannya untuk berjuang di jalan Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menikah dengan perempuan lain selama hidupnya Khadijah.



Rasulullah SAW menyebutkan nama-nama perempuan yang terbaik di dunia ini secara kronologis, dan orang tentu terkejut bahwa Aisyah tidak ada dalam daftar tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan yang paling unggul di seluruh alam yang dipilih Allah di antara seluruh perempuan adalah Asiah istri Firaun, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Muhammad[1]



Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Empat perempuan yang merupakan putri-putri seluruh alam; Maryam, Asiah (istri Fir’aun), Khadijah dan Fathimah. Dan yang paling unggul di antara mereka di seluruh alam adalah Fathimah.[2]



Lebih jauh, setelah kepergian Khadijah ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah dan yang lainnya, beliau secara eksplisit menyatakan keutamaan beberapa di antara mereka di atas Aisyah dan berkata bahwa mereka lebih baik dari Aisyah (lihat Shahih at-Turmudzi; al-Isti’ab oleh Ibnu Abdul Barr; dan al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani, pada bab tentang biografi Shafiyah). Juga ayat ‘Bisa jadi jika dia menceraikan kamu, Tuhannya akan memberinya istri yang lebih baik dari kamu, yang taat dan yang beriman’ ! QS. at-Tahrim : 5), dengan jelas menunjukkan bahwa terdapat perempuan­perempuan mukminah yang lebih baik dari Aisyah.



Dalam Shahih Bukhari hadis 5.168b, juga dilaporkan dalam Shahih Muslim,, dikatakan, pada satu kesempatan ketika Nabi Muhammad SAW menyebutkan Khadijah di depannya, Aisyah berkata, “Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin Nabi Muhammad SAW untuk masuk. Melihat hal itu, Nabi Muhammad SAW teringat kepada cara Khadijah meminta izin, dan itu membuat beliau sedih. Beliau berseru, “Ya Allah Halah!”



Maka aku (Aisyah) menjadi cemburu dan berkata, ‘Apa yang membuatmu teringat kepada seorang perempuan tua di antara perempuan­-perempuan tua Quraisy seorang perempuan (dengan mulut yang tak bergigi) bergusi merah dan telah meninggal sejak lama, dan yang Allah telah menggantikan tempatnya dengan memberimu seseorang yang lebih baik dari dia?” Nabi Allah SAW menjadi sangat marah mendengar perkataan itu sehingga rambut beliau berdiri.



Lebih jauh, Bukhari meriwayatkan pada hadis 5.166 bahwa Aisyah mengakui, “Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi sebesar kecemburuanku kepada Khadijah. Meskipun aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi Muhammad SAW sangat sering menyebutnya, dan setiap kali beliau menyembelih domba, beliau tentu memotong salah satu bagian dan diberikan kepada teman-teman perempuan Khadijah. Ketika kadang-kadang aku berkata kepada beliau,.’(Engkau memperlakukan Khadijah) seolah-olah tidak ada perempuan lain di bumi kecuali Khadijah!’ Maka beliau (SAWW) berkata, ‘Khadijah adalah begini­ begitu, dan darinyalah aku mendapatkan anak.”



Khadijah adalah perempuan yang paling awal beriman, yang kepadanya Jibril menyampaikan salam, dan yang diberi kabar gembira akan surga (Shahih Bukhari hadis 9.588). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Jibril berkata, ‘Inilah Khadijah datang kepadamu dengan sepiring makanan atau sebuah gelas yang berisi sesuatu minuman. Sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya (Allah) dan berikanlah kepadanya kabar gembira bahwa dia akan memiliki sebuah istana di surga yang dibuat dari Qasab yang tidak ada dalamnya kebisingan dan keretakan (masalah)!”



Hadis-hadis yang sama dilaporkan juga melalui riwayat Ismail dan Aisyah (lihat Shahih Bukhari: hadis 3.19; 5.164; 5.165; 5.167; 5.168; 7.156; 8.33; 9.576).



Ketika Aisyah sudah cemburu, dia tentu melampaui batas dan melakukan hal-hal yang aneh seperti memecah-mecahkan piring dan merobek-robek pakaian. Pada kesempatan lain ketika Nabi Muhammad SAW berada di rumah Aisyah, Shafiyah, salah seorang Ummul Mukminin, mengirimkan kepada Nabi Muhammad SAW sepiring makanan yang betul­betul disukai beliau. Dia (Aisyah) menghancurkan piring itu bersama­-sama dengan makanan yang ada di atasnya.



Aisyah mengakui hal ini, “Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat sang pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.’ Nabi Muhammad SAW berkata, ‘Ganti!’ Aku berkata, ‘Apa gantinya duhai Nabi Allah?’ Beliau berkata, ‘Makanan seperti makanan dia (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!”[3]



Bukhari pun menegaskan episode tersebut dalam Shahih Bukhari hadis 7.152 (bab Kecemburuan).

Diriwayatkan dari Anas, “Ketika Nabi sedang dalam rumah seorang istrinya, salah seorang Ummul Mukminin mengirimkan sepotong daging di atas sebuah piring. Istri Nabi yang Nabi sedang ada di rumahnya itu menyerang tangan sang pelayan, menyebabkan piring itu jatuh dan pecah. Nabi Muhammad SAW mengumpulkan potongan-potongan piring tersebut dan lalu mulai menaruh makanan yang semula ada di atas piring tersebut dalamnya, dan berkata, ‘Ibumu (istriku) sedang cemburu.’ Kemudian beliau menahan pelayan itu hingga sebuah piring (yang masih bagus) dibawa dari rumah istri yang sedang beliau singgah tersebut. Beliau memberikan piring yang tidak pecah kepada istri beliau yang piringnya telah dipecahkan dan menaruh piring yang telah pecah itu di rumah istri beliau tempat pecahnya piring tersebut.”



Dalam kesempatan lain, Aisyah berkata tentang dirinya sendiri, aku berkata kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Cukuplah bagimu tentang hafiyah begini dan begitu.’ Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku, kamu telah mengucapkan kata-kata yang jika dicampur dengan air laut, akan mewarnainya.”[4]



Sekali lagi, Aisyah menceritakan kecemburuannya kepada Mariah (salah seorang istri Nabi yang lain),

“Aku belum pernah cemburu kepada seorang perempuan sebagaimana kecemburuanku kepada Mariah. Itu disebabkan karena dia memiliki baju dalam yang cantik. Dia biasa tinggal di rumah Haritsah bin Uman. Kami menakut-nakutinya dan aku menjadi khawatir. Nabi Allah SAW mengirimnya ke tempat yang lebih tinggi dan beliau suka mengunjunginya di sana. Hal itu menyusahkan kami, dan Allah memberkahi beliau dengan seorang bayi laki-laki melaluinya dan kami (lalu) menjauhi beliau.”[5]



Kecemburuan Aisyah bahkan melebihi Mariah, dan terarah kepada Ibrahim, seorang bayi baru lahir yang berdosa. Aisyah berkata, “Ketika Ibrahim lahir, Rasulullah membawanya kepadaku dan berkata, ‘Lihatlah betapa miripnya dia denganku!’ Aku berkata, ‘Aku tidak melihat sedikitpun kemiripan.’ Rasulullah SAW berkata, `Tidak engkau lihat betapa tegap dan cakapnya dia?” Aku berkata, ‘Siapapun yang diminumi susu domba akan menjadi cakap dan tegap.[6]



Aisyah sangat dipenuhi oleh emosi dan motif-motif egoistis. Ketika beberapa orang dengan liciknya melancarkan tuduhan kepada Mariah, Aisyah lah yang mendukung para penuduh dan berusaha menegaskan tuduhan yang salah tersebut. Namun Allah Yang Maha Tinggi dan Mulia, membebaskan Mariah dari tuduhan tersebut dan menyelamatkannya dari kezaliman, melalui Amirul Mukminin Ali. (untuk keterangan detil tentang Mariah ra, lihat al-Mustadrak oleh Hakim jilid 4, halaman 30 atau dalam Talkhis al-Mustadrak, oleh Dzahabi).



Ketika Aisyah dikuasai oleh kecurigaan dan tuduhan-tuduhan brutal, kecemburuannya akan melewati batas-batas, sedemikian jauh hingga mengungkapkan kata-kata yang mengantarkannya pada kecurigaan terhadap Rasulullah SAW. Dia sangat sering berpura-pura tidur ketika Nabi tinggal pada malam itu di rumahnya. Namun, kenyataannya dia mengamati dari dekat suaminya, memata-matai beliau dalam kegelapan, dan mengikuti ke mana pun beliau pergi dari belakang. Aisyah bercerita, “Ketika tiba giliran bermalam Rasulullah denganku, beliau memutar pinggang beliau, mengenakan mantel beliau dan melepaskan sepatu beliau dan meletakkannya dekat kaki beliau dan mengembangkan ujung selendang beliau di atas pembaringan dan kemudian berbaring hingga beliau mengira bahwa aku telah tertidur. Beliau kemudian melepaskan mantel beliau dan memakai sepatu beliau dengan perlahan, dan membuka pintu dan keluar dan kemudian menutup pintu dengan ringan. Aku menutupi kepalaku, mengenakan jilbab, mengencangkan kain kebaya, kemudian keluar mengikuti langkah-langkah beliau hingga beliau mencapai (pemakaman) al-Baqi.



Dia berdiri di sana untuk waktu yang lama. Dia mengangkat tangan tiga kali lalu kembali pulang. Aku juga ikut pulang. Dia mempercepat langkah beliau dan aku juga mempercepat langkahku. Dia lari, akupun lari. Dia sampai ke rumah, dan aku pun sampai ke rumah. Namun, aku mendahuluinya masuk rumah dan segera berbaring di tempat tidur. Dia masuk dan bertanya, ‘Mengapa nafasmu tersengas-sengal?’ Aku menjawab, ‘Tidak ada apa-apa.’ Dia berkata, ‘Katakanlah kepadaku, atau Yang Maha Lembut dan Maha Sadar akan memberitahuku!’ Aku lalu menceritakan jalan ceritanya. Dia berkata, ‘Kamukah hitam-hitam (dari bayanganmu) yang aku lihat di depanku?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Beliau kemudian memukul dadaku yang menyebabkanku merasa nyeri dan berkata, ‘Apakah kamu berpikir bahwa Allah dan Rasul-Nya akan bertindak tidak adil kepadamu?”[7]



Dalam kesempatan lain, dia (Aisyah) berkata,

‘Aku kehilangan jejak Rasulullah SAW. Aku curiga dia telah pergi ke salah seorang istrinya yang lain. Aku pergi mencarinya dan menemukannya sedang bersujud dan berseru, ‘Duhai Tuhanku, maafkan aku!”[8]



Di kesempatan lain, Aisyah berkata, “Suatu malam, ketika bersamaku, Rasulullah SAW keluar. Aku menjadi cemburu. Ketika beliau datang dan melihat apa yang telah kulakukan, beliau berkata, Ada apakah Aisyah? Apakah kamu sedang cemburu ? “ Aku menjawab, ‘ Dan mengapakah orang sepertiku tidak ( boleh ) cemburu terhadap orang sepertimu ?” Rasulullah SAW berkata, ‘ Apakah setan telah menguasaimu”? [9]



Bahkan Aisyah juga berbohong kepada Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW meminta Aisyah mengumpulkan informasi tertentu tentang seorang perempuan bernama Syarraf, saudara perempuan Dihya Kalbi. Informasi yang dia bawakan kepada beliau bukanlah informasi benar, tetapi informasi palsu yang didorong oleh motif egoistisnya. Ketika Nabi Muhammad SAW memberitahunya tentang informasi seber~arnya yang telah dia amati, Aisyah menjawab, “Ya Nabi Allah! Tidak ada rahasia yang tidak engkau ketahui. Siapakah yang dapat menyembunyikan sesuatupun darimu?”[10]



Bukhari meriwayatkan dalam Shahih hadis 6.434 dari Aisyah, “Nabi biasa meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan aku suka tinggal di sana / bersama dia (Zainab). Maka Hafsah dan aku dengan diam-diam bersepakat bahwa jika beliau datang kepada salah seorang dari kita, kita akan berkata kepada beliau, ‘Nampaknya kamu telah memakan maghafir (sejenis getah yang berbau busuk), sebab aku mencium bau maghafir dalam dirimu.”‘



Dalam Shahih Bukhari hadis 7.192, diriwayatkan dari Ubaid bin Umar, ‘Aku mendengar Aisyah berkata, ‘Nabi Muhammad SAW biasa tinggal untuk waktu yang lama bersama Zainab binti Jahsy dan meminum madu di rumahnya. Maka Hafsah dan aku memutuskan bahwa jika Nabi datang kepada seorang dari kita, dia akan berkata, “Saya merasakan bau Maghafir pada dirimu. Apakah engkau habis makan Maghafir?” Maka diturunkanlah ayat, Wahai Nabi! Mengapakah engkau haramkan atas dirimu apa yang Allah telah menghalalkannya bagimu..... (QS. at-Tahrim : 1-4).”



Bahkan, setelah sebulan Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri dari istri-istri beliau dan turun ayat, Kamu boleh menangguhkan salah seorang dari mereka yang kamu ingini dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Maka siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu (QS.al-Ahzab : 51), Aisyah masih saja mengeluarkan kata – kata yang tidak pantas, “ Nampak bagiku bahwa Tuhanmu bercepat – cepat memuaskan keinginanmu !”[11]

Kelakuan buruknya di depan Rasulullah SAW mencapai puncaknya ketika beliau sedang salat, dia menjulurkan kakinya di tempat sujud. Ketika beliau sujud dan mencubit kedua kakinya, dia menarik kakinya. Ketika beliau berdiri untuk melanjutkan salat, dia julurkan lagi kedua kakinya.



Dalam Shahih Bukhari: 1.492 dan 1.379 diriwayatkan oleh Aisyah, ‘Aku biasa tidur di depan Rasulullah dengan kakiku berada di kiblat beliau (di depan beliau). Dan ketika beliau bersujud, beliau menekan (mencubit) kakiku dan aku lalu menariknya dan ketika dia berdiri, aku menjulurkannya lagi.



Suatu hari, di depan ayahnya (Abu Bakar), dia memulai sebuah pertengkaran dengan Nabi Muhammad SAW dan berkata kepada beliau, “Adililah!” Ayahnya menghukum kekurang ajarannya dengan memberinya tamparan keras di wajahnya sehingga berdarah-darah dan darah itu mengalir mengenai pakaiannya.



Jika Aisyah marah kepada Nabi Muhammad SAW-seringkali dilakukan - dia tidak mau menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tetapi lebih suka memanggilnya, “Demi Tuannya Ibrahim (anak Rasululllah SAW).” (Shahih Bukhari, edisi Arab-Inggris, hadis 7.155 dan 8.101, bab Kecemburuan dan Tipu Muslihat Perempuan).



Suatu saat, ketika dia pernah berkata dengan marah kepada Nabi \ Muhammad SAW, “Kamulah orangnya yang menganggap diri seolah-olah Nabi dari Allah.”[13]



Dengan sifat-sifat yang semacam itu, layakkah dia dimasukkan ke dalam Ahlulbait yang telah disucikan sesuci-sucinya oleh Allah SWT. Padahal, membantah Nabi Muhammad SAW saja sudah cukup untuk menunjukkan ketidakmurnian ketaatan dan kecacatan dalam hal kesalehan. Dia malah memarahi, menjauhi, memata-matai, mencurigai, bahkan menuduh Rasulullah SAW sebagai berpura-pura jadi Nabi.



---------------------------------------

1. Referensi Sunni: Shahih at-Tur-taudzi, jilid 5, hal. 702; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.157, yang mengatakan bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari-Muslim; Musyad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, ha1. .135; Fadha’il ‘ash-Slrahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 755, hadis ke 1.325; Hilyat al- Awliya, Abu Nu’aim, jilid 2, hal. 344; Majma’ az-Zawa’id oleh Haitsami, jilid 9, ha1. 223; al-Isti’ab, Ibnu Abdul Barr, jilid 4, hal. 377; al-Awsat, Tabarani, juga Ibnu Habban, dsb.

2. Referensi Sunni: Ibnu Asakir, seperti yang dikutip dalam al-Durr a1­mantsur.

3. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 227; Shahih an-Nasa’i, jilid 2, hal. 145.

4. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, dan Zan,akhsyari telah mengu’tip darinya pada hal. 73.

5. Referensi Sunni: at-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; al-Ansab al­Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339.

6. Referensi Sunni: at-Tabaqnat, Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 37; juga dalam al­Ansab al-Asyraf, Baladzuri.

7. Referensi Sunni: Shahih Muslim, versi Inggris, bab CCCLII (di bawah judul: Apa yang harus dikatakan ketika mengunjungi kuburan), jilid 2, hal. 461-462, hadis ke 2.127); Shahih Muslim, versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 669-670, hadis ke 1.03; Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 147.

8. Referensi Sunni: Mcrsnnd, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, ha1. 147.

9.. Referensi Sunni: Musund, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 115.

10. Referensi Sunni: Kanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 294; at-­Tabaqat, lbnu Sa’d, jilid 8, hal. 115.

11. Referensi Sunni: Shahih Muslim versi Inggris, bab DHXXII, jilid 2, hal. 748-749, hadis ke 3.453-3.454; shahih Muslim versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 1085-1086, hadis ke 49-50.

12. Referensi Sunni: Kanz al-Ummull, Muttaqi Hindi, jilid 7, hal. 116, hadis

, ke 1.020; Ihya ‘Ulim ad-Difr, Ghazali, bab 3 tentang Nikah, jilid 2, hal. 35; Mukasyifat al-Qulnab, Ghazali, bab 94, hal. 238.

13. Referensi Sunni: Ihya UIlum ad-Din, Ghazali, bab 3, jilid 2, hal. 29, Kitab tentang Etika Perkawinan; Mukasyafatt al-Qulub, Ghazali, bab 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah