judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Sabtu, 01 Januari 2011

Bukhari sering melakukan pemotongan Hadist , sehingga kredibilitasnya memang wajib dipertanyakan ..

oleh Jjihad 'Ali pada 18 Oktober 2010 jam 16:19

Di antara permasalahan-permasalahan yang menghilangkan kredibiltas (tsiqâh) Shahîh Bukhari adalah pemotongan beberapa hadis dan menghilangkan beberapa bagian darinya.



Bisa saja tindakan kriminal ini muncul karena tekanan politik yang dialami oleh Bukhari dan kungkungan rasa fanatisme (yang nampak) ketika melakukan pembredelan terhadap tanda-tanda kebenaran, juga saat pemikiran-pemikiran dan pengetahuannya tidaklah lagi berpengaruh.



Kita bisa melihat saat ia mengemukakan hadis berkaitan dengan keutamaan ‘Alî -semoga Allah mensucikan wajahnya- atau berkaitan dengan keilmuan salah seolang khalifah ia pasti melakukan pengguntingan terhadap hadis tersebut atau juga dengan membuang bagian tengah dan akhirnya. Terkadang ia juga merahasiakan sebuah keutamaan dengan menggugurkan sebuah hadis secara total atau melakukan distorsi. Itulah yang dalam ilmu hadis disebut dengan penipuan (tadlîs) yang berarti pengkhianatan terhadap kebenaran sebuah hadis.



Hal ini diperkuat dengan bahwa Bukhari dalam melakukan penulisan kitab Shahihnya tidak memakai setandar yang biasa dipakai oleh orang yang berstatus sebagai penafsir, sejarahwan dah ahli hadis, bahkan ia melakukannya dengan sekehendak kecendrungan dan pikiran-pikirannya, dan membuang bagian hadis yang tidak sesuai dengan keinginannya.



Upaya yang bisa disebut penipuan ini dianggap sebagai kez’alîman terbesar pata ahli hadis (muhadits) terhadap kebenaran sebuah hadis karena ia dianggap sebagai pemutar balîkkan fakta-fakta dan penyelewengan terhadap realîtas sebenarnya serta penyesatan terhadap pandangan umum. Apa yang dilakukan Bukhari ini menunjukkan re’Alîtas yang sebenarnya bahwa ada sebagian besar hadis-hadis shahih yang ia menghindari menuliskan dalam kitabnya. Dengan metode seperti ini, maka menjadi kaburlah sebagian besar kebenaran.



Berikut ini beberapa contoh praktik pemotongan dan pembuangan hadis :



1. Hukum mandi besar (janabah)

“Dari Syu`bah ia berkata, “Hakam berkata kepadaku dari Dzar dari Sa`id bin Abdurrahman bin Abzi dari ayahnya, ‘Seseorang telah datang kepada ‘Umar dan berkata, ‘Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air,’

Umar berkata, ‘Anda jangan salat.’

Ammar berkata, ‘Apakah anda ingat wahai Amir al-Mukminin ketika saya dan anda dalam sebuah peperangan (sariyyah) kita berjunub dan tidak mendapatkan air, anda tidak salat sementara saya berguling dalam pasir lalu aku salat, maka Nabi saw bersabda, ‘Sebenarnya cukup bagi Anda dengan menepukkan tanah oleh kedua tanganmu, lalu tiup dan usapkan kepada wajah dan kedua telapak tangan anda?’

‘Umar berkata, ‘Bertaqwalah kepada Allah wahai Ammar.’

Ammar berkata, ‘Kalau anda menghendaki saya tidak akan katakan itu.”[1]



Tidak diragukan lagi bahwa keputusan khalifah yang menyatakan bahwa tidak ada salat ini bertentangan dengan nash al-Qur`an dan ajaran-ajaran Nabi dan menunjukkan tidak adanya keramah tamahan dan pengertian khalifah atau ia tidak mengetahui hukum seperti ini yang mengharuskan untuk mengusap.



Sekarang kita lihat apa yang dilakukan Bukhari terhadap hadis ini:

“Adam berkata kepada kami, berkata kepada kami Hakam dari Dzar dari Sa`id bin Abdurrahman bin Abzi dari ayahnya, ‘Seseorang telah datang kepada ‘Umar bin Khattab dan berkata, ‘Sesungguhnya saya berjanabah dan saya tidak menemukan air.’

Maka Ammar bin bin Yasar berkata kepada ‘Umar bin Khattab, ‘Tidakkah kau ingat dalam sebuah perjalanan saya dan anda berjanabah. Adapun anda tidaklah salat sedangkan saya berguling-guling lalu salat. Kemudian saya ceritakan kepada Nabi saw dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya cukuplah bagi anda (seperti) ini: Nabi menepukkan kedua tangannaya kepada tanah, beliau meniup keduanya dan kemudian mengusapkan keduanya kepada wajah dan kedua telapak tangannya.’”[2]



Dapat dilihat kedua hadis ini tidaklah berbeda dari sisi sanad dan matannya selain tidak adanya kata ‘Anda jangan salat’ (lâ tushalli) dalam riwayat Bukhari dan terdapat kata tersebut dalam riwayat Muslim.





2. Hadis rajam terhadap Wanita Gila Pezina

Abu Daud dalam sunannya meriwayatkan hadis berikut ini, “Dari Ibn Abbas ia berkata, ‘‘Umar didatangi seorang wanita gila yang telah berzina, maka ‘Umar meminta pendapat tentangnya pada orang-orang dan kemudian memerintahkan untuk merajamnya. Tiba-tiba lewatlah ‘‘Alî bin Abî Thâlib ra dan beliau berkata, ‘Apa masalahnya?’

Mereka menjawab, ‘Seorang perempuan gila dari Bani pulan telah berzina dan ‘Umar memerintahkan agar merajamnya.

Beliau berkata, ‘Kembalikan dia,’ Lalu beliau mendatanginya (‘Umar) dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, tidakkah kau tahu bahwa qalam akan diangkat dari tiga hal; seorang gila sampai ia sadar, seorang yang tidur sampai ia terjaga, dan seorang anak kecil sampai ia berakal?’

Ia menjawab, ‘Ya.’

Beliau bertanya (lagi), ‘Kenapa gerangan wanita ini dirajam? Bebaskanlah ia.’

Ia menjawab’ ‘Aku bebaskan ia,’ kemudian ia pun bertakbir”[3]



Kita lihat apa yang Bukhari kutip dari hadis ini ia tidak bisa menguasai kecendrungan rasa fanatisnya kepada khalifah dengan berusaha menunjukkan tidak adanya kesan kelalaian khalifah dalam hukum ini dan tidak ada bersedia menampakkan keutamaan kepada ‘Alî saat memberikan hukum yang berbeda dengan para shahabat, berdasarkan hukum syar`i Tuhan dalam kejadian ini. Anda melihat pada permulaan hadis juga sanadnya ia sengaja membuangnya dan hanya cukup dengan menyebutkan bagian akhirnya saja. Mari kita lihat;

Dan ‘Alî berkata kepada ‘Umar, “Tidakkah anda tahu bahwa qalam telah diangkat dari seorang gila sampai ia sadar, dari seorang anak kecil sampai ia mengerti, dan dari seorang yang tidur sampai ia terjaga?”[4Hadis Batasan Minum Khamr



Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Dari Ibn Malik, Nabi saw telah didatangi seseorang yang telah minum khamr, maka beliau memecutnya dengan dua pelepah kurma sekitar 40 kali.’ Ia berkata, ‘Dan Abu bakar melakukannya, ketika ‘Umar, ia meminta pendapat orang-orang dan Abdurrahman bin Auf berkata, ‘Ringankan batasannya menjadi 80 kali, maka ‘Umar memerintahkan dengan –jumlah- itu.’”[5][6]



Dan inilah riwayat versi Al-Bukhari :

“Dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw memukul seorang peminum khamr dengan pelapah kurma dan sandal dan Abu Bakar menjilid empat puluh kali”[7]



Di sini kita menjadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang yang memangku jabatan sebagai seorang khalifah dan bersandar kepada Rasulullah masih berkompromi dengan sahabatnya dalam sebuah hukum yang telah berlaku lama? Bagaimana mungkin seseorang yang menganggap dirinya sebagai khalifah kaum muslimin masih membutuhkan pengetahuan hukum tertentu, merujuk kembali kepada salah seorang sahabat? Bagaimana ia bisa lalai dan lupa dengan hukum semacam ini? Apakah transaksi di pasar-pasar telah melalaikannya dari itu?!



Ala kulli hal, hadis ini -sebagaimana hadis sebelumnya- Bukhari sendiri tidaklah tertarik dan bertentangan dengan perasaan halus dan kecendrungannya untuk tidak menyentuh posisi khilafah dengan sesuatu apapun. Ia cepat-cepat membidik bagian awal hadis tersebut yang menunjukkan pada sebuah putusan hukum Rasulullah sebagai penguat, yang diikuti Abu bakar dan lalu menlestarikannya. Ia langsung menuju pada bagian akhir yang menunjukkan ijtihad dan musyawarahnya ‘Umar dengan para sahabatnya, kemudian ia pun membuangnya.



4. Hadis Pertanyaan Tentang Rumput (Al-Abb)

Bukhari mengutip dalam shahihnya hadis berikut ini, “Dari Tsabit dari Anas, ia berkata, ‘Kami sedang bersama ‘Umar dan ia berkata, ‘Kami melarang dari memaksakan diri (takalluf)”[8]



Bukhari meriwayatkan dengan bentuk seperti ini, ia adalah saksi hidup dan dalil yang jelas atas terjadinya takhrif dan pemotongan di dalamnya, karena rendahnya perhatian dan penelitian terhadap nash hadis tersebut mengesankan bahwa kalimat-kalimat ini tidak konsisten maknanya dan ia membutuhkan kalimat-kalimat lain yang tidak disebutkan. Ringkasnya, hilangnya beberapa kalimat dari sebuah hadis menunjukkan seseorang yang memiliki intuisi sastra dan balaghah yang rendah.



Sebenarnya terdapat pula para ulama dan ahli hadis yang tidak fanatis ekstrem sebagaimana terjadi pada Bukhari dan mereka menyampaikan hadis secara sempurna.



Ibn Hajar pernah mengatakan dalam kitab Syarah Shahîh al-Bukhârî-nya seperti ini, “Sesungguhnya seseorang bertanya kepada ‘Umar tentang firman-Nya, Wa Fâqihataw Wa abba, apakah al-Abb itu?’

‘Umar menjawab, ‘Kami melarang dari sikap menyusahkan diri dan kepura-puraan’” (maksudnya ia tidak megetahui maksudnya, pent.)



Ibn Hajar berkata, “Hadis itu juga ada dalam jalur riwayat lain dari Tsabit, dari Anas bahwa ‘Umar membaca Fâqihataw wa Abba.’

Ia pun berkata, ‘Apakah al-Abb itu?’

Kemudian ia berkata lagi, ‘Kami tidak memaksa (Mâ kallafnâ).’

Dalam redaksi lain, ‘Kami tidak memerintahkan ini’ (Mâ amarna bihadzâ).’”

Redaksi hadis ini lebih baik dan sempurna dibanding hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari. Hadis ini menurut Ibn Hajar telah diriwayatkan melalui banyak jalur.[9]



Telah dijelaskan kepada Anda lewat komentar Ibn Hajar, juga lewat perbandingan antara hadis Bukhari dengan hadis Fath al-Bârî bahwa hadis ini sebagaimana puluhan hadis lainnya yang sebenarnya tidak sejalan dengan keyakinan-keyakinan Bukhari, yaitu pandangan sucinya terhadap posisi khilafah. Ia melihat bahwa cara terbaik adalah dengan membuang bagian awal hadis dan menghilangkan kalimat-kalimat penting dan pokok di dalamnya agar dianggap sebagai sebuah pengkhidmatan besar terhadap mazhabnya.



Oleh karenanya, apabila seseorang membaca kalimat-kalimat hadis tersebut secara sempurna dan tanpa tendensi apapun, maka akan terlintaslah dibenaknya pertanyaan berikut ini: Apabila pertanyaan tentang makna katak-kata dalam al-Quran dianggap sebagai pemaksaan diri (takalluf) maka pada topik manakah dalam al-Quran yang boleh ditanyakan? Di manakah keutamaan-keutamaan berkaitan dengan ilmu dan belajar mencari ilmu?



Kemudian coba kita pikir, bagaimana mungkin sosok manusia seperti ini, yang tidak mengerti walau satu makna kata dalam al-Quran, padahal telah dijelaskan sendiri oleh al-Quran diakhir ayat tersebut,[10] kok bisa menjadi penguasa dan duduk di kursi khilafah?



Bagaimanakah perasaan seorang penanya ini setelah mendengarkan jawaban ‘Umar mengingat ia sebagai khalifah kaum muslimin dan penguasa tertinggi daulah Islamiyah?



Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang memaksa Bukhari menempuh cara itu dengan hadis- hadis yang telah ia buat dan mengutipnya dengan bentuk yang didistrosi dan berubah.



Hadis ini, dengan segala macam perbedaan dalam redaksinya, telah dikutip oleh para mufassir terkenal; Suyûthi, Ibn Katsîr, Zamakhsyarî, Khâzin, Baghawî, dan Hâkim dalam Mustadrak-nya tentang tafsir surat `Abbasa. Dan juga pada syarah-syarah kitab Bukhari dan Muslim; `Ainî,[11] Qasthalanî.[12] Dan para ahli bahasa; Ibn Katsîr dalam An-Nihayah-nya [13]. Kita akan membahas lagi hadis-hadis ini secara lebih mendalam, terperinci, dan lebih tajam lagi pada bab khilafah nanti.



Antara Usamah dan ‘Utsmân.

Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya,”Dari Syaqiq bin Usamah bin Zaid, ia berkata, ‘Tidakkah kau menemui ‘Utsmân dan berbicara denganya?’

Ia menjawab, ‘Tidakkah kau melihat aku berkata kepadanya; tidakkah aku memperdengarkan kepada kalian. Demi Allah aku telah berkata tentang problem di antara aku dan dia, tanpa aku membuka permasalahan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membuka permasalahan tersebut dan aku tidak berkata kepada siapapun bahwa ‘Alî sebagai Amir (pemimpin), karena ia merupakan orang terbaik setelah aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, ia dilemparkan ke neraka dan keluarlah seluruh isi perutnya, ia berputar-putar isi perutnya bagaikan keledai. Maka berkumpullah penghuni neraka dan mereka bertanya, ‘Wahai fulan, kenapa gerangan anda, tidakkah anda tidak melaksanakan amar ma`ruf dan mencegar yang munkar?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku telah menyuruh pada yang ma`ruf tanpa aku sendiri melakukannya, dan mencegah kemunkaran tapi aku juga melakukannya.’” [14]



Hadis ini menjelaskan sebuah kritik pedas yang dialamatkan oleh ‘‘Usamah bin Zaid kepada ‘Utsmân. ‘Usamah adalah sosok Muslim shalih yang pernah diserahi bendera perang oleh Rasulullah untuk memimpin tentara Islam dan dijadikan sebagai panglima umum. Beliau SAWW saw dalam sabda terkenalnya, “Allah pasti melaknat orang yang berpaling dari tentara ‘Usamah.”



Dengan bersandar pada hadis Nabi ini ‘Usamah mengarahkannya kepada ‘Utsmân dan ia melihat bahwa dia adalah obyek dari hadis Rasulullah saw, “Maka keluarlah seluruh isi perutnya dan berputar-putar dengannya (isi perutnya) bagaikan berputarnya keledai.”



Muslim telah meriwayatkan hadis ini melalui dua jalur dan dua sanad dan dalam keduanya terdapat nama ‘Utsmân sebagai obyeknya.

Adapun Bukhari ketika mengeluarkan hadis ini, ia menyebutkan dua obyek berbeda dengan sedikit tambahan dalam kata-katanya. Agar hadis tersebut memberikan sesuatu lain yang bukan sasaran sebenarnya sebagai dalam rangka pengkultusan sembarangan terhadap jabatan khilafah, juga untuk menghindarkan kritik dan celaan yang dialamatkan kepada khalifah. Kita dapat melihat dalam dua redaksi tersebut, dengan menggunakan metode-metode cerdas dan provokatif, ia mengganti nama ‘Utsmân, dalam salah satu hadis tersebut, dengan kata ganti (isim isyârah). Ia berkata, “Dikatakan kepada ‘Usamah tidakkah kau berkata ini… ,“ dan dalam redaksi lain menggunakan kata ‘Fulan’ sebagai pengganti kata ‘Utsmân. Ia berkata, ‘Dikatakan kepada ‘Usamah kalau kamu telah mendatangi fulan dan berkata kepadanya….”[15]



Dan yang jelas, pengkhianatan-pengkhiananan Bukhari ini, juga kontribusi buruknya melalui hadis asli tapi palsu (aspal) dalam usahanya menjaga dan membela jabatan khalifah dengan menangkis setiap serangan apapun yang akan menyentuhnya, sehingga anda bisa melihatnya bersimpatik dan ngotot dalam hal ini sebagai pembelaan terhadap kemaslahatan para khalifah!



Antara ‘Umar dan Samrah bin Jandab

Muslim telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dan juga Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya sebagai berikut: Dari Amr bin Dinar ia berkata, ‘Thawus telah mengabariku bahwa ia mendengar Ibn Abbas berkata, ‘Disampaikan kepada ‘Umar bahwa Samrah (Salah seorang gubernur ‘Umar di Bashrah) telah menjual khamr, maka ia berkata, ‘Allah telah mengutuk Samrah, tidakkah dia tahu bahwa Rasulullah saw telah bersabda, Allah melaknat Yahudi. Lemak-lemak telah diharamkan kepada mereka, tetapi mereka membawa dan menjualnya.”[16]



Adapun Bukhari menggambarkan Samrah –termasuk nama yang bersih yang terdapat dua kali dalam periwayatan Muslim -dengan ungkapan kata ‘Fulan’. Lihatlah: “….’Umar telah mengatakan bahwa si Fulan menjual khamr, maka ia berkata, ‘Allah melaknat si Fulan. Tidakkah Ia tahu…”[17]



Banyak sekali kitab-kitab syarah Shahîh al-Bukhârî yang menjelaskannya termasuk Nawawi dalam syarah-syarah mereka terhadap hadis ini tentang pengkhianatan Bukhari ini, dan poin penting ini tidak banyak diketahui.





[1] Shahìh Muslim, juz.1, Bab Tayammum

[1] Shahîh Bukhârî, juz.1, Kitab at-Tayammum

[1] Sunan Abî Dâwud, juz.2, hal., 402; Sunan Ibn Mâjah, juz.2, hal., 227

[1] Shahîh al-Bukhârî, juz.8, kitab al-Maharibain, Bab Tidak Dirajamnya Seorang Wanita Atau Laki-Laki Gila Berzina (Layarjumul majnun wal majnunah)

[1] Dalam masalah ini kami bersandar pada pandangan Ahli Sunah sendiri dengan merujuk pada sumber-sumber mereka, dan ia tidak mencerminkan pandangan Syi`ah dalam topik ini.

[1] Shahîh Muslim, juz.5, kitab al-Hudûd, bab Hukum Bagi Peminum Khamr

[1] Shahîh al-Bukhârî, juz.8, kitab al-Hudûd, Bab Apa Yang Terjad Pada Pemuklulan Peminum Khamar

[1] Shahîh al-Bukhârî, juz 9, kitab al-I`tishâm, Bab Yang Dibenci Dari Banyak Bertanya dan Berpura-Pura Atas Sesuatu Yang Tak Diketahui (Mâ Yukrahu Min Kastratis Su`al wa Takalluf Mâ laa Ya`nîh)

[1] Fath al-Bârî, juz 18, hal., 31.

[1] Terdapat pula dalam kitab Buhus Fî al-Quran al-Karîm sebagai berikut: Telah datang seseorang kepada sahabatku, ia bertanya tentang makna kata al Abb yang terdapat dalam ayat mulia Wa fâqihataw wa abba, yang ia tidak mengetahuinya. Tiba-tiba datanglah ‘Alî as dan berkata, ‘Sesungguhnya makna kata itu terdapat dalam ayat itu sendiri karena Allah Swt berfirman, wa fâqihataw wa abba Matâ`an lakum waiî’an`âmikum, maka al-âaqihah adalah untuk kalian (lakum) dan al-abb untuk ternak k’alian (an`âmikum). Buhûts Fî al-Qur`an al-Karîm, karya `Allamah Sayyed Taqi al-Madrisi, hal. 40; al-abb adalah rumput yang dimakan oleh binatang ternak. -Edisi Arab-

[1] `Umdat al-Qârî, juz.25, hal., 35.

[1] Irsyâd as-Sârî, juz 10, hal., 311.

[1] Kata: abb

[1] Shahîh Muslim, juz 8, kitab Zuhd Wa ar-Raqâiq, Bab Hukuman Bagi Orang Yang Memerintahkan Yang Ma’ruf Tapi (ia sendiri) Tidak Melaksanakannya dan Melarang Kemunkaran, Tapi Ia Melakukannya

[1] Shahîh al-Bukhârî, juz 4, kitab Bidu al-Khalq, bab Shifat an-Nar dan juz 9, kitab al-Fitan, Bab Fitnah Yang Bergelora Sperti Gelombang Di Lautan

[1] Shahîh Muslim, juz.5, kitab Penjualan, Bab Pengharaman Khamr Dan Penjualan KHamr serta Bangkai. Juga Musnad Ahmad bin Hambal, Bab Masânid ‘Umar bin Khattab, juz1, hal., 25

[1] Silahkan lihat Shahîh al-Bukhârî, juz.3, kitab Penjualan, Bab Tidak Diperbolehkan Memperoleh Saham Mayit dan Menjualnya (Lâ Yûdzâbu Syahm al-Maitah Wa la Yubâ`)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah