judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Rabu, 12 September 2012

Sampang dan Peradilan Sesat


Selasa, 17 Juli 2012 | 11:16

Tanggal 12 Juli 2012 bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, akhir sebuah kriminalisasi terhadap Ustad Tajul Muluk yang berpaham Syiah dan dianggap menyebarkan ajaran sesat ditutup dengan gagah oleh vonis ketua majelis hakim dengan menghukum Tajul Muluk berdasarkan dalil Penodaan Agama Pasal 156a KUHP selama dua tahun penjara dikurangi masa tahanan.

Tajul Muluk dengan suara lantang mengajukan banding atas putusan tersebut. Mukanya menandakan marah dan kekecewaan. Bukan karena tak siap, tapi tak menyangka dasar hakim menghukumnya karena dirinya dianggap terbukti menyebarkan ajaran Al Qur’an yang tidak asli.

Dakwaan mengada-ada itu sendiri sebenarnya sudah dilawan dengan hebat oleh Tajul Muluk di dalam persidangan. Pengacaranya menghadirkan 16 saksi untuk membantah tuduhan itu beserta seluruh tuduhan penyesatan lainnya. Sementara jaksa penuntut hanya bisa menghadirkan dua saksi. Tajul juga sudah membawa al Qur’an yang dia gunakan, yang jelas sekali tidak berbeda dengan Al Qur’an umat Islam lainnya.

Tapi entah mengapa hakim punya keyakinan sendiri bahwa Tajul menyembunyikan keyakinannya (taqiyyah). Bahwa Tajul mendakwahkan Al Qur’an yang tidak asli, betapa pun pembuktian persidangan oleh jaksa penuntut dan saksi-saksi tak mampu menunjukkan hal tersebut.

Hakim telah memaksa Tajul Muluk bersalah dengan keyakinan hakim bahwa Tajul Muluk sedang bertaqiyyah meskipun bukti-bukti dan saksi tidak menunjang keyakinan hakim tersebut.

Putusan majelis hakim tersebut jelas sekali menabrak salah satu indikator penting tentang peradilan yang adil yakni asas Non-Self Incrimination di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

Bahwa peradilan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Asas itu mengatur bahwa dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah padahal bukti-bukti dan saksi menunjukkan sebaliknya.

Buruknya kualitas putusan majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Purnomo Amin Cahyo dengan mudah menimbulkan spekulasi tidak sedap bahwa majelis hakim telah memutus berdasarkan tekanan yang dihadapinya. Apalagi di dalam pledoi pembelaan kuasa hukum Tajul Muluk dijelaskan secara panjang lebar bagaimana buruknya perjalanan persidangan.

Di dalam pledoi Tajul Muluk berjudul “Mengadili Perbedaan” kuasa hukum menulis sebanyak 260-an halaman yang sebagian besar bermaksud menjelaskan buruknya kualitas persidangan.

Asfinawati, salah satu pengacara Tajul Muluk mengatakan ini peradilan tentang penodaan agama yang paling jorok dan bodoh yang pernah dihadapinya. Ada prosedur yang dilanggar, surat dakwaan yang kabur, serta percepatan sidang yang merugikan terdakwa.

Jaksa penuntut bahkan lupa akan pasal tuntutannya sendiri sehingga harus diingatkan berkali-kali oleh saksi ahli Tajul Muluk. Jaksa menghadirkan pula saksi ahli yang tidak kredibel hingga harus terpaksa didiskualifikasi oleh hakim.

Hakim juga disebut kerap membatasi kuasa hukum dalam menguji saksi ahli versi jaksa penuntut.

Hukum yang tersesat
Tajul Muluk dan pengikutnya muslim Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya adalah korban. Semula dirinya dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka dengan sepak terjang Tajul Muluk dan ajaran Syiah. Sebagai solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang. Dia menuruti kehendak itu demi kepentingan ratusan warga Syiah pengikutnya dan demi ketenteraman kampungnya.

Namun tiba-tiba pada 29 Desember 2011, jauh dari tempat pengucilannya, Tajul mendengar pesantren, mushalla, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudara-saudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya seraya berteriak ingin membunuh di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.

Pembakaran itu mengakibatkan pengungsian 350-an warga muslim Syiah lebih dua pekan lamanya ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan yang paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumah mereka telah dijarah. Mungkin sebagai “hukuman” karena keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu melakukan tindakan.

Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut pengikut Syiah itu sebagai korban. Dan menyaksikan bagaimana hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato kebencian dari mereka yang ingin mengobarkan pengkafiran dan kekerasan atas nama agama.

Kita seharusnya melihat bagaimana negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tetapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh pembiaran negara dan kebiadaban manusia yang mengaku bertuhan terhadap golongan minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Ketika negara hanya bersedia menjadi penonton.

Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggerak kekerasan, negara memilih menahan dan kemudian mengkriminalisasi Tajul Muluk bernama Tajul Muluk dengan dalil penodaan agama 156a KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di PN Sampang. Meskipun kita tahu, tak ada fatwa dan selembar pun surat penyesatan Syiah telah dikeluarkan oleh MUI dan bahkan oleh majelis ulama seluruh dunia tentang Syiah. Justru yang ada adalah sebaliknya.

Persidangan Tajul MULUK adalah contoh telanjang sesatnya negara dan hukum terhadap hak-hak warganya. Kasus ini kembali menjadi ujian bagi negara. Apakah negara akan membiarkan sebuah kelompok yang ingin eksis sendirian dengan pahamnya melakukan apa saja untuk mencapai caranya termasuk memberangus dan memecah-belah Indonesia. Karena jika negara hanya ingin menjadi penonton, maka yang kemudian terjadi adalah penindasan, konflik yang konstan dan mungkin pembantaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah