Sastra Air Mata di Aceh – Jawa
Akibat Peristiwa 10 Muharram 61 H :
Oleh : T. A. Sakti
MUHARRAM adalah bulan pertama dalam penanggalan Tahun Hijriyah. Di kalangan masyarakat Aceh bulan Muharram disebut “Buleuen Sa Usen ” (Bulan Hasan Husin). Sementara itu, bulan Muharram di kalangan masyarakat Jawa dinamakan Bulan Suro. Dan menyambut tanggal 10 Suro sangat khidmat/suci bagi masyarakat Jawa. Suro merupakan perubahan dari kata ‘Asyura, yang berarti bilangan sepuluh (10). Sa-Usen, juga berasal dan perubahan ucapan dari kata “Hasan – Husin”, Yaitu nama dua orang anak Saidina ‘Ali dari isterinya Fatimah binti Rasulullah. Tepatnya, Hasan – Husin ini adalah cucu Nabi Muhammad Saw.
Mengapa masyarakat Aceh dan Jawa sangat menghormati bulan Sa Usen atau Suro ini? Banyak selubung yang perlu disingkap untuk mencari jejaknya! Inti dari asal-muasalnya adalah tragedi pembantaian di Padang Karbala, hampir 1400 tahun yang lalu.
Rasa dendam dan sedih masyarakat Aceh-Jawa atas peristiwa tanggal 10 Muharram, tercermin dalam karya-karya sastra dan syair mereka. Semua ‘keluhan’ perasaan menimbulkan rasa-haru dan menyayat hati bagi pendengarnya. Air mata pun tak terbendung menggenangi kelopak mata tanpa disadari. Inilah salah satu bentuk “Sastra Air mata” yang sangat populer di kalangan rakyat daerah Aceh-Jawa tempo dulu.
Di Aceh
“Al Hasan tsumman Husein Len Nabi Kharatun’in. Nuruhom kasyaf a‘ten jadduhom shallu ‘alem “, sebuah syair bahasa Arab (dialek Aceh) yang sering dinyanyikan murid-murid pengajian. Isi syair itu menjelaskan bahwa Hasan dan Husin adalah cucu Rasulullah; Nabi Muhammad SAW.
“ka syahid-syahid Husein samat teungoh blang, ka syahid-syahid Hasan di rumoh tangga. Mate-mate di aduen ka keunong beusoe, mate-mate di adoe keunong reucana (artinya: Husin syahid/terbunuh di tengah Padang pasir, sedangkan Hasan syahid di rumahnya. Kakak mati terkena serbuk besi (racun), sang adik mati tertipu perangkap musuh.
Syair di atas sering dilagukan dalam kesenian Rapa-i dan tari Saudati. Meskipun kedua jenis seni ini memang bergaya kocak bersemangat, namun para penontonnya sempat berdiri bulu roma atau menggertakkan gigi, akibat geram dan sedih mengenang peristiwa tragis itu.
Media lain untuk mengenang Perang Karbala adalah melalui syair/zikir pada perayaan Maulid Nabi. Murid-murid pilihan yang diundang dari sebuah Dayah (nama sebuah Pesantren di Aceh), selain membawakan Qasidahan/Nasyid tentang kelahiran Muhammad SAW, sering pula Qasidah mereka diselingi dengan lagu-lagu kenangan kepada kedua orang cucu Rasulullah : Hasan-Husin.
“Marhaban ya ya marhaban, marhaban jaddal Husaini.
Husein syahid samat teungoh blang, Malaikat tron meribee laksa.
Neupeutron Reuhap saboh nyang indah, teupat neu keubah Husein ya Mauloi” (Artinya ; Selamat,………..selamat datang junjungan kami, kakek dari dua Husaini: Hasan Husin. Husin syahid di tengah sawah/Padang, Malaikat turun beribu-ribu. Mereka membawa Rehap dari langit, tempat pembaringan Husin mulia).
Timbul pertanyaan, mengapa hanya kisah Saidina Husin saja yang banyak mendominir syair dan qasidah, sedangkan Saidina Hasan kakanda beliau agak kurang ditonjolkan ???
Hal ini mungkin terjadi karena kekejaman terhadap kedua cucu Rasulullah itu tidak sama tragisnya. Sang Abang meninggal di rumah sendiri akibat terminum racun, sedangkan Saidina Husin dibunuh secara sadis sekali dipanas terik padang terbuka, gurun pasir.
Di Jawa
Di kalangan masyarakat Jawa, banyak pula jenis sastra dan seni tradisional yang melukiskan perjalanan perang antara tentara Saidina Husin dengan pasukan Jazid (Bahasa Jawa: sayidina Husen dan raja Yojid). Sebagai ilustrasi penulis kutip hasil penelitian LF Brakel dalam bukunya “The Hikayat Muhammad Hanafiyyah a medieval Muslim-Malay Romance”, halaman 104 (terjemahan ke bahasa Indonesia oleh penulis) sebagai berikut:
“Wastanira nenggih Samarlihan ika tumandang sarwi angling:
“Heh sak wehe hulubalang! Punggalna Husen ika!”
Sumawur rowange sarni:
“Satuhune ing wang Jrih maring Nabi wali!-”
-Nulya aglis sira malih Samar-lihan:
“Yan tan wani sira sami
Mangke ingusan uga
Amunggala Husen ika!
Sun atur maring sang aji
Endase ika!”. samawur hulubalang sami;
Terjemahan bebas
Hatta demikian Samarlihan itu bertindak dengan hati-hati
“Hei, semua prajurit! Penggallah laher Husin itu!
Menjawab pembantunya:
Seganlah kita, pada Nabi dan wali!
“Kalau kamu berani sama saya
Nanti saya juga, memenggal kepala Husin itu!
Saya persembahkan kepalanya kepada raja
Jawab para hulubalang”.
Kutipan teks di atas bersumber dari Serat Akhir Ing Jaman, yang berbahasa Jawa lama — sekarang nampaknya kurang dipahami para muda-mudi Jawa —, mengisahkan suasana ketika peperangan berakhir. Saat itu, Samarlihan (bahasa Aceh : Siman La’eh), yang memimpin pengepungan; kurang berani mendekati Saidina Husin yang maju bertempur seorang diri. Samarlihan saling bertengkar mulut dengan para prajuritnya.
Bulan Muharrram dalam bahasa Jawa disebut Suro. Dan perayaan untuk menyambut tanggal 10 Suro sangat sakral/khidmat bagi masyarakat Jawa. Kanji ‘Asyura (bubur 10 Muharram) masih populer pada berbagai tempat di Jawa.
Di Luar Aceh – Jawa
Nampaknya, perkembangan cerita duka ini tidak hanya singgah di Aceh dan Jawa saja. Tetapi kisah tersebut menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Karena itu dapat dikatakan, bahwa cerita pembantaian Padang Karbala ini telah pernah membentuk “Sastra Nusantara”, semenjak pulau-pulau di nusantara Indonesia sendiri belum bersatu. Kisah ini telah merintis benang merah ke arah persatuan Indonesia seperti termaktub dalam Pancasila.
Menurut penelitian LF Brakel dalam disertasinya “The Hikayat, Muhammad Hanafiyyah a medieval Muslim-Malay Romance” (The Hague Martinus Nijhof – 1975) mengatakan, bahwa kisah Hasan – Husin ini terdapat dalam sejumlah bahasa daerah di Indonesia. Menurutnya lagi, cerita tersebut tidak hanya berbentuk cerita dari mulut ke mulut, tetapi juga banyak yang telah ditulis ke dalam buku seperti hikayat, babad, serat, daun lontar dan lain-lain. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut cerita ini sudah dijadikan sejenis lakonan, wayang, ketoprak dan sebagainya.
Daerah-daerah yang pernah berkembang kisah Saidina Hasan dan Saidina Husin ini; menurut LF Brakel ialah : Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bima, Minagkabau, Makasar, dan Bugis. Sedangkan di luar Indonesia sempat berkembang luas di Persia (Iran), Turki, Dakhni dan Panjabi- India. Ini hanya yang pernah diteliti LF Brakel. Mungkin penyebaran sebenarnya lebih luas lagi, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Beragam Perayaan
Menurut LF Brakel (halaman 60) peristiwa Karbala telah melahirkan kesusasteraan yang luas dan bagus dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Di samping itu, masyarakat di daerah-daerah tertentu mengadakan berbagai perayaan untuk mengenang mati-syahidnya Hasan-Husin. Perayaan-perayaan itu pernah diadakan di pesisir belahan barat pulau Sumatera, seperti Bangkahulu, Padang, Trumon (Aceh Selatan) dan di Gigieng, Pidie.
Menurut berita-berita media-massa; di kota Padang (Sumbar) tradisi perayaan ini telah dihidupkan kembali secara besar-besaran untuk menarik para wisatawan dari mancanegara. Bagaimana halnya di Aceh (?). Perayaan di Tanah Minang disebut Tabut, adalah berbentuk perang-perangan antara satu kampung dengan satu kampung lainnya, yang kadang-kadang sangat mengerikan.
Tradisi ini pernah sangat membudaya di daerah Padang Pariaman dan sekitarnya di Sumatera Barat. Kaba Muhammad Ali Hanafiah, yang ceritanya berfokus pada kematian Husin merupakan sastra lama, pernah sangat populer di Bumi anak Minang yang berjiwa perantau itu.
Hikayat Soydina Husen
“Mu’awiyah ureueng kafe ngon Nabi hantom meudakwa. Peue nyang neu kheun uleh Nabi jipatehle sigra-sigra”. “Mu’awiyah orang kafir, dengan nabi tak pernah cekcok. Apa yang dikatakan oleh Nabi si Mu’awiyah menurutinya).
Itulah salah satu bait dan kata pengantar Hikayat Soydina Usen. Betul-betul pengaruh aliran syi’ah sempat lama berkembang di daerah ini. Mu’awiyah dilukiskan sebagai orang kafir, namun selalu sependapat dengan Nabi Muhammad SAW. Padahal menurut sejarah yang ‘resmi’: Mu’awiyah adalah seorang sahabat setia Rasulullah. Tokoh Mu’awiyah adalah ayahanda raja Yazid yang bermusuhan dengan Saidina Husin, cucu Rasulullah. Aliran syi’ah akhirnya sirna di Aceh, setelah aliran Sunni mendominasi Islam di daerah ini. Timbul pertanyaan, apakah kaum syi’ah sebagai pembawa agama Islam yang pertama ke Aceh ? Hingga kini, setahu penulis belum diadakan penelitian khusus mengenai masalah itu!.
Biarpun kemudian muncul Hikayat Soydina Husen versi baru. yang menentang tuduhan terhadap Mu’awiyah, namun karena telah terlanjur tersebar luas hikayat versi lama, sebagian rakyat desa masih menganggap Mu’awiyah seorang kafir tulen, akibat pengaruh versi lama tersebut (Astaghfirullah!)
Dalam Hikayat Soydina Husen versi baru disebutkan ;
“Meupakat Ulama meumandum syiah, meunoe neu peugah dalam calitra. Soydina ‘Ali ngon Mu’awiyah, nibak Allah pangkat Beusa(r). Tanoh yub tapak dua kandran, suci tuan teuleubeh bak Mushalla! (Artinya: Sepakat Ulama semua Syekh, beginilah kata mereka : “Saidina ‘Ali dan Mu’awiyah di hadapan Allah besar pangkatnya. Tanah di bawah tapak kuda kedua mereka lebih suci dari pada tikar sembahyangmu.
Sastra Perang
Pengaruh Hikayat Soydina Husen di Aceh, hampir menyamai Hikayat Perang Sabil. Di masa perang Aceh melawan Belanda, Hikayat Soydina Usen menjadi bacaan rebutan masyarakat Aceh, terutama di daerah-daerah yang tidak tersebarnya Hikayat PERANG SABIL seperti di wilayah Beutong, Aceh Barat. Penyebabnya ialah karena Hikayat Soydina Usen juga dapat membangun semangat juang fisabilillah-Perang di Jalan Allah melawan Belanda, sebagaimana Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil). Dapatlah disebutkan, bahwa Hikayat Soydina Husin bukan hanya sanggup berperan sebagai “Sastra Air Mata”, namun sekaligus mampu menjadi “Sastra Perang” pula.
Naskah Hikayat Soydina Husen yang ditulis tangan dalam huruf Arab Melayu (Aksara Jawi/Jawoe) beredar di seluruh Aceh. Dulu, orang sering membacanya di waktu malam. Mereka bersedih bahkan sampai menangis terisak-isak bila ceritanya telah sampai di bagian terbunuhnya Saidina Husen di Padang Karbala (di Irak). Tapi si pembaca dan pendengarnya nampak sangat girang serta penuh semangat, di saat pembunuh Husin mendapat pembalasan yang setimpal.
Dijelaskan dalam cerita, bahwa akibat dari pembalasan itu raja Yazid serta sebagian besar pengikutnya terbunuh. Kerajaan “Dhamsyik” di Syria hancur berantakan pula. Pembalasan ini dilakukan oleh saudara-saudara Husin, yang juga putera Saidina ‘Ali dari lain ibu. Ketika berlangsung Perang Karbala mereka tidak mendapat berita, karena surat-surat yang dikirim Husin terlambat tiba.
Cara dan gaya penyajian hikayat ini cukup berhasil. Pembaca dan pendengarnya benar-benar terbawa “arus” cerita. Di bagian puncak kemenangan kita bersemangat; riang gembira. Sebaliknya, di bagian lain kita jadi sedih-berduka mengeluarkan air mata. Terutama bagi mereka yang peka perasaan, berbakat seni.
Memang begitulah suratan sejarah. Kalau pembantaian besar-besaran di Bosnia-Chechnya oleh serdadu-serdadu Serbia-Rusia. menimbulkan protes keras dunia internasional. Tetapi pembantaian besar-besaran di Padang Karbala, melahirkan Sastra Air Mata di Aceh – Jawa. Sangat tragis !!!.
Penulis, T.A. Sakti alias Drs.Teuku Abdullah Sulaiman, SmHK
adalah alumnas Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UGM Yogyakarta, mengikuti Program Beasiswa Kerjasama Indonesia – Belanda mewakili Aceh.
#Sumber: Buletin PANCA, edisi Maret – April 1995 halaman 50 – 52, Kanwil Transmigrasi Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar