judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Jumat, 06 Desember 2013

Al-’adalah Bukti (9)

Bukti (9): Keburukan adalah ketiadaan
Bagaimana dengan keburukan , seperti halnya berbagai bencana, penyakit , penderitaan yang ada di muka bumi ini ? Bila Keadilan Ilahi bermakna totalitas kebaikan Wajib al-Wujud Yang Mahabaik pada makhluq-Nya, bagaimana dengan keburukan yang ada di muka bumi? Bukankah hal ini nampaknya adalah suatu kontradiksi?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini cukup sederhana. Bahwa, substansi keburukan benar-benar merupakan ketiadaan murni. Yakni semua keburukan itu tidak ada, dan bukan ada.[1] Kita akan menunjukkannya dalam analisa berikut.

Bukti bahwa subtansi keburukan merupakan ketiadaan adalah dengan mengamati bahwa setiap keburukan sebenarnya merupakan suatu “kekosongan” atau “kekurangan” atau “kehilangan”. Bila ditinjau dari sisi-sisi “kekosongan” atau “kekurangan” atau “kehilangan” atau ‘adamiyyat (persoalan-persoalan ketiadaan), sesuatu hal yang buruk menjadi benar-benar dipandang buruk. Mari kita amati contoh-contoh berikut.

(i)            Kebodohan artinya tidak memiliki ilmu. Ilmu adalah kesempurnaan realitas yang sejati, sedangkan kebodohan bukan realitas. Ketika kita mengatakan bahwa seorang yang bodoh tidak memiliki ilmu, maka hal itu tidak berarti bahwa orang tersebut memiliki karakteristik tertentu yang disebut “tidak memiliki ilmu”, sehingga ia tidak memiliki kapasitas untuk menjadi ulama. Para ulama, sebelum mereka mempelajari ilmu, juga adalah orang-orang yang bodoh. Ketika mereka belajar, mereka tidak kehilangan sesuatu apa pun, melainkan mendapatkan sesuatu. Apabila kebodohan itu merupakan realitas substansial, niscaya diperolehnya ilmu akan disertai dengan hilangnya sesuatu. Persoalannya adalah digantinya suatu sifat dengan sifat yang lain. Misalnya, tubuh yang memiliki postur dan kualitas tertentu, kemudian keduanya dimusnahkan agar ia memiliki postur dan kualitas yang lain.

(ii)            Kemiskinan tidak lain adalah tidak memiliki sesuatu, dan bukan memiliki sesuatu. Dengan demikian, seorang yang miskin adalah seorang yang tidak memiliki kekayaan, bukan memiliki sesuatu yang disebut kemiskinan, dan tidak pula bisa dikatakan bahwa, karena orang kaya adalah orang yang memiliki kekayaan, maka orang miskin adalah orang yang memiliki kemiskinan. Begitu juga halnya, kematian adalah hilangnya sesuatu, bukan memiliki sesuatu. Dengan begitu, bila tubuh yang hidup kehilangan kehidupannya dan berubah menjadi benda mati, maka tubuh tersebut akan lenyap dan bukan timbul.

(iii)            Adapun mengenai angin badai, binatang-binatang buas, bakteri-bakteri, banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, maka dari satu sisi ia disebut jahat karena eksistensinya menyebabkan kematian, atau cacat anggota tubuh, atau memperlemah kekuatan. Atau, karena ia menghalangi makhluk untuk mencapai kesempurnaan dan kedewasaannya.  Kalau sekiranya angin badai tidak menyebabkan kematian atau sakit, niscaya ia tidak akan disebut keburukan; dan sekiranya hama-hama tumbuhan itu tidak merusak pepohonan dan buah-buahan, maka ia tidak akan disebut keburukan. Begitu juga, sekiranya banjir dan gempa tidak menyebabkan kematian dan hancurnya kekayaan, maka ia tidak akan termasuk keburukan. Dengan demikian, keburukan terkandung pada kehilangan dan kerugian.

(iv)            Binatang-binatang buas kita sebut jahat, bukan disebabkan karena substansinya betul-betul jahat, melainkan karena binatang-binatang tersebut menafikan kehidupan makhluk yang lainnya. Kejahatan, pada dasarnya, adalah hilangnya kehidupan. Sekiranya binatang buas tersebut tidak menyebabkan matinya makhluk yang lain, niscaya ia tidak akan disebut jahat. Ketika binatang buas tersebut menyebabkan kematian makhluk yang lain, maka binatang tersebut,  bila dinisbatkan dengan makhluk lainnya, adalah jahat.



Penting untuk dicatat, bukan berarti dengan mengetahui keburukan itu adalah non-eksistensi, keburukan yang kita saksikan di tengah-tengah masyarakat manusia itu tidak ada wujudnya, sehingga dapat dikatakan bahwa yang demikian itu bertentangan dengan apa yang kita lihat dan yang kita alami sehari-hari. Kita benar-benar mendapati adanya kebutaan, ketulian, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kejahilan, kelemahan, kematian, gempa bumi, dan lain-lain. Semua orang tidak akan dapat menolak adanya semua itu, dan tidak pula dapat mengingkarinya sebagai sesuatu yang buruk. Dengan itu semua, kita tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kalaulah keburukan itu bersifat tiada, maka berarti wujud-wujud di atas tidak ada wujudnya. Kalaulah keburukan tersebut tidak ada, maka dengan begitu manusia tidak harus menentang keburukan. Kalaulah semua kondisi tersebut benar-benar baik tanpa kejelekan sama sekali, maka kondisi yang ada, dengan demikian, merupakan sesuatu yang mesti diterima, bahkan merupakan kondisi yang paling baik.       Tidak, Anda jangan tergesa-gesa memvonis. Kita tidak bermaksud menolak adanya kebutaan, ketulian, kezaliman, kefakiran, penyakit, dan sebagainya. Kita juga tidak bermaksud menolaknya sebagai sesuatu yang buruk, selain juga tidak bermaksud menafikan tanggung jawab manusia. Kita tidak bermaksud mendegradasikan peranan manusia dalam mengubah alam dan menyempurnakan masyarakat. Transformasi alam, khususnya manusia dan misinya dalam pengaturan yang dibebankan kepadanya, merupakan bagian dari sistem alam yang indah. Bukti yang telah kita jelaskan sebelumnya menjelaskan bahwa kebutaan, ketulian, kejahatan, kefakiran, penyakit dan sebagainya adalah buruk dan benar-benar buruk dari sisi kehilangan dan kerugian yang diakibatkannya, oleh karena itu harus kita lawan dan kita hindari. Namun tidak ada sesuatu apa pun yang maujud yang buruk dan benar-benar buruk dari sisi substansinya sendiri. Tidak ada kontradiksi apa pun di sini. Maka , pahamilah, karena hal ini adalah satu di antara hal terpenting dalam kearifan dan pengertian yang benar tentang Kebaikan dan Keadilan Ilahi.

Bukti (9a): Sumber kesalahpahaman tentang persoalan keburukan dan bagaimana
menghindarinya
Dalam menilai dan menyimpulkan, manusia biasanya bergantung pada sudut pandangnya. Sebagai contoh, kita akan mengatakan sesuatu dekat dengan kita atau jauh dari kita, atau, kita menilai orang lain sebagai kuat atau lemah. Perbandingan ini dilakukan dengan membandingkan kekuatan  seseorang dengan kekuatan kita. Dalam menilai dan menyimpulkan baik dan buruk, cara penilaian dan penyimpulan seperti ini juga telah digunakan.

Sebagai contoh, kita mengeluh karena hujan. Bagi kita mungkin hujan adalah kehilangan kenyamanan jalan-jalan atau berpergian. Pada saat mengeluh tersebut, mungkin kita lupa manfaat luar biasa hujan bagi  persediaan air di kota kita, para petani, dan lebih jauh bila tidak hujan pada waktu yang lama, rantai kehidupan akan terganggu.

Contoh lain, bila ada sebuah gedung diambrukkan untuk dibangun gedung baru yang lain. Kita mungkin mengeluh karena kotor dan polusi yang dihasilkan. Padahal rumah sakit baru yang akan dibangun akan memberikan kemanfaatan luar biasa bagi masyarakat.

Bisa seekor ular mungkin merupakan hal yang mematikan bagi kita, namun bagi ular tersebut bisa tersebut adalah salah satu mekanisme pertahanan diri. Bagi manusia pun bisa ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan dalam menyelamatkan jiwa seorang manusia.

Kesalahan berfikir seperti ini mungkin bisa dihindari bila kita tidak membatasi hanya menggunakan pengetahuan kita yang terbatas , yang biasanya juga diimbuhi dengan kepentingan dan bias egoisme kita, untuk menilai dan menghakimi. Dalam pertimbangan kita, kita seharusnya menghindari melakukan penilaian tentang hal-hal dan kejadian-kejadian hanya berdasar diri kita sendiri. Namun, kita seharusnya mengambil sebanyak mungkin faktor yang mungkin dalam pertimbangan.

Sebuah operasi bedah , misalnya bedah gigi bungsu, mungkin amat sakit dari satu sisi namun memiliki manfaat yang luar biasa bagi orang yang dioperasi.

Sebuah gempa bumi mengakibatkan banyak kerusakan dan mungkin juga kematian. Namun ternyata, gempa bumi bisa memiliki dampak ikut mempercepat proses internal bumi pada formasi sumber daya fosil, seperti minyak dan batubara. Dari sisi ini, gempa bumi adalah berkah.

Sebuah gunung meletus mengakibatkan juga banyak kerusakan dan mungkin kematian. Namun, betapa banyak sumber kekayaan mineral bumi seperti pasir dengan kualitas tertinggi dan lain-lain yang dimuntahkannya, dan pada gilirannya akan menjadi sumber rejeki luar biasa bagi area yang terkena dampak gunung api.

Semua kesulitan dan derita kita pada satu sisi membuat kita nyeri lahir batin. Namun, dari sisi lain, kesulitan dan derita seringkali membuat kita menyadari beberapa hal

(i)            Kelemahan kita,

(ii)            Kefakiran hakiki kita, yakni bahwa kita sebagai al-wujudat al-imkaniyyat , tidak memiliki apa pun.

(iii)            Kesangatbutuhan kita pada Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang

(iv)            Fana dan sirnanya dunia tempat kehidupan kita saat ini



Seluruh kesulitan dan derita kita menunjukkan arah-arah pemahaman yang benar tentang kehidupan. Mereka membuat kita lebih mengetahui hakikat diri kita, hakikat kehidupan kita, dan selalu disadarkan kembali arah benar kehidupan, yakni meletakkan seluruh harapan pada Ia Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, pula selalu merindukan kampung akhirat yang kekal. Dilihat dari sisi ini, seluruh kesulitan dan derita yang kita alami adalah berkah yang luar biasa.

Allah, Yang Mahaagung lagi Mahatinggi , berfirman

kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.  .(QS al-Al-An’aam [6]:42)



Demikian, maka dalam memberikan penilaian (judgment) adalah perlu bagi kita untuk menyadari keterbatasan pengetahuan kita, dan oleh karena itu, berusaha memandang masalah dari sebanyak mungkin sudut pandang dan mempertimbangkan sebanyak mungkin faktor.

Al-Qur’an mengatakan

dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.(QS al-Israa[17]:85)

Bukti (9b): Sumber kesalahpahaman tentang persoalan keburukan dan bagaimana menghindarinya (2)
Kita melihat. sebagian orang, bila mereka memperoleh kenikmatan, kelebihan rejeki dan keberlimpahan, menjadi tenggelam dalam congkak dan sombong. Kecongkakan dan kesombongan membawa kelalaian dan akan menghantarkan pada bencana.

Bagi mereka yang memiliki pengalaman mengemudi mobil, jalan yang lurus tanpa tanjakan dan tanpa lubang adalah membahayakan. Sering terjadi kecelakaan di sana.

Kehidupan manusia tanpa ujian, tanpa kesulitan dan tanpa derita adalah seperti jalan seperti itu. Manusia jauh lebih mudah celaka dalam kehidupan seperti itu. Dan, tidak mencapai tujuan akhir , yakni kesempurnaan eksistensialnya.

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.(QS al-Fajr[89]:15-20)



Maka, kesulitan dan derita adalah cemeti Ilahi yang melecut manusia untuk berbuat sebaik mungkin dan kembali ke jalan hidup yang membawa ke arah kesempurnaan eksistensialnya, – yakni untuk menjadi hamba murni (‘abdun mahdhun) dari Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang dengan menyadari kefakiran ruhani kita dan kebutuhan mutlak kita akan Pancaran AsihNya setiap saat setiap waktu. Melalui penghambaan murni padaNya yang disertai jiwa yang papa dan selalu mengharap kepadaNya, seorang manusia akan menjadi layak dan patut untuk menjadi mazhhar (tempat zhahir-nya) Sifat-SifatNya , – Yang Mahatinggi. Adakah kebaikan dan kenikmatan yang lebih utama ketimbang hal ini ?


[1] Murtadha Muthahhari,  Al-‘Adl Al-Ilahiy diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Keadaan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), halaman 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah