judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Jumat, 06 Desember 2013

Al-’adalah Bukti (14)

Permasalahan jabr (determinisme) dan ikhtiyar (kehendak bebas) bisa dinyatakan secara ringkas sebagai berikut.



Bila Allah Mahakuasa, dan segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan Kuasa dan KehendakNya, berarti setiap orang , – baik ia berbuat kebajikan maupun kejahatan -, tentu atas Kuasa dan KehendakNya. Artinya, manusia adalah terpaksa (mujbir) dalam tindakan-tindakannya. Benarkah pemahaman seperti ini?

Pemahaman seperti ini disebut faham determinisme atau jabriyah.

Bila pemahaman seperti ini benar, jelas bahwa Allah tidak Mahaadil. Allah yang menentukan seseorang berbuat dosa, dan kemudian menghukumnya di neraka.



Pemahaman yang lain memandang bahwa manusia bebas dalam menentukan pilihannya dan tindakannya, terlepas dari tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Tuhan tidak mencampuri sama-sekali manusia dalam menentukan tindakan dan pilihannya. Karena seseorang bebas menentukan pilihannya dalam setiap kehendaknya, – yakni dengan suatu kehendak yang bebas dan mandiri (free will) -, maka layak baginya balasan atas perbuatan baiknya maupun perbuatan jahatnya, ini berarti ranah kekuasaanNya atas kehidupan manusia terbatas. Artinya Ia tidak bersifat Mahakuasa.

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, dalam kaitannya dengan tindakan manusia, bila Tuhan Mahakuasa maka mustahil Tuhan Mahaadil. Sebaliknya, bila Tuhan Mahaadil maka mustahil Tuhan Mahakuasa.

Jawaban dari persoalan filosofis ini akan diberikan berikutnya. Kita akan mencoba menjelaskan secara ringkas melalui beberapa tahap.

(i)            Bahwa kesadaran fithrah manusia menolak paham jabr (determinisme).

(ii)            Bahwa agama dan seluruh ajaran menuju kebenaran menjadi sia-sia dalam kerangka ajaran yang mempercayai jabr

(iii)            Membuktikan bahwa free-will, dalam arti tertentu, tidak mengurangi dan tidak berkontradiksi dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

(iv)            Memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis terkait jabr dan ikhtiyar



Bukti (14a): Kesadaran fitrah manusia menolak jabr (determinisme)
Manusia di dunia, apakah dia beragama atau ateis, manusia jaman dulu atau jaman modern, yang kaya dan yang miskin, manusia dari negeri maju ataupun negeri yang tertinggal, semua percaya bahwa hukum harus mengatur dan berkuasa pada masyarakat dan incividu-individu anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan siapa pun yang melanggar hukum dan tatanan harus memperoleh suatu sanksi sebagai konsekuensi.

Ini jelas merupakan suatu pemahaman yang berlandaskan pada kenyataan bahwa seorang manusia memiliki kehendak bebas (free will) dalam memilih dan melaksanakan tindakan-tindakannya, dan tidak dikendalikan oleh “tangan-tangan gaib” di luar dirinya. Sehingga , oleh karena itu, ia menjadi patut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

Kesepakatan seluruh manusia akan perlunya hukum, jelas menjadi bukti bahwa fithrah manusia sadar bahwa pemahaman jabr (determinisme) keliru, dan fithrah manusia sadar bahwa dirinya dikaruniai kebebasan memilih tindakan-tindakannya. Karena ia benar-benar bebas memilih tindakan-tindakannya, maka adalah layak baginya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.



Bukti (14b):     Bahwa agama dan seluruh ajaran menuju kebenaran menjadi sia-sia dalam kerangka ajaran yang mempercayai jabr
Keadilan Tuhan Yang Mahabaik lagi Mahapemurah tidak pernah bisa dikompromikan tanpa kontradiksi dengan determinisme (jabr). Betapa mungkin Ia Yang Mahabaik “memaksa” seseorang untuk melakukan sesuatu dan kemudia menghukum mereka karena itu dengan neraka ?

Maka, dalam kerangka pemahaman determinisme (jabr), hal-hal seperti pahala, siksa, Surga dan Neraka menjadi kehilangan validitasnya.

Juga keyakinan pada pencatatan amal seseorang, konsep Hari Kebangkitan, perhitunganNya akan amal-amal manusia, siksaan untuk yang berbuat jahat dan karunia bagi orang-orang yang berbuat baik semua menjadi tidak perlu dan tidak valid.

Artinya , keyakinan pada determinisme (jabr) akan meruntuhkan pondasi agama seluruhnya, tanpa sisa.

Mungkin terkait dengan alasan ini, Imam ‘Ali kw. , – dalam sebuah hadis yang terkenal,

“Ini adalah pernyataan dari kaum penyembah berhala, musuh-musuh Tuhan, dan golongan setan.”[1]

Bukti (14c): Bahwa kehendak bebas manusia tidak berkontradiksi dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Mahapemurah
Perenungan akan kesadaran diri dan kehendaknya serta tindakannya menetapkan bahwa kita benar-benar bebas memilih tindakan yang hendak kita lakukan. Ini menetapkan bahwa tindakan kita benar-benar atas dasar kehendak kita sendiri yang bebas, tanpa paksaan “tangan-tangan gaib” dari luar diri kita, secara mandiri.

Di tinjau dari sisi lain, perbuatan kita, adalah bagian dari al-wujudat al-imkaniyyah (keberadaan-keberadaan yang mungkin) , tidak ada bagian mana pun dari semesta yang tidak beremanasi dari Wajib al-Wujud. Dari sisi ini, seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita tidak terlepas dari dan adalah beremanasi dari Al-Wahid Al-Qahhar, – yakni Dia Yang Mahasempurna dalam Ketunggalan dan KekuasaanNya.

Kenyataan bahwa seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita beremanasi dariNya, sama sekali tidak mengurangi makna dan realitas kemandirian dan kehendak bebas kita pada saat melakukan suatu tindakan. Maka tidak ada kontradiksi antara kehendak bebas manusia dan KemahakuasaanNya.

Bahwa perbuatan manusia adalah benar-benar berdasarkan kehendak bebasnya dan ditinjau dari sudut pandang lain sama sekali tidak terlepas dari KemahakuasaanNya adalah pemahaman yang benar. Pemahaman ini biasanya disebun al-amru bayna al-amrayn , yakni bukan jabr (determinisme) murni, bukan pula tawfidh (pelimpahan) murni, namun sesuatu yang lain dari keduanya.



Bukti (14d): Ayat-ayat Al-Qur’an berkenaan dengan determinisme dan kehendak bebas
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS 13 (AR-RA’DU): 11)

Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki (QS 14(IBR?H?M):4)

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS 3 (?LI IMR?N):26)

Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS 51 (ADZ-DZ?RIY?T): 58)

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.
(QS 51 (ADZ-DZ?RIY?T): 58)

“Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, memberi daku makan dan minum, dan ketika aku sakit maka Ia menyembuhkan daku. (QS 26 (ASY-SYU’AR?’):78-80)

Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
(QS 41 (FUSHSHILAT): 17)

(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 8(AL-ANF?L): 53)

Dan apabila dikatakakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”. (QS 47 (MUHAMMAD): 36)

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS 30 (AR-R?M): 41)

Bukti (14e): Riwayat hadis berkaitan dengan determinisme dan kehendak bebas[2]
Diriwayatkan25) bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-Hadi ra. kepada sekelompok kaum Syi’ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan ‘adl (keadilan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang laki-laki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali ra. tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri, duduk, dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaannya?

Imam Ali ra. balik bertanya kepadanya: “Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?”

Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali melanjutkan: “Bicaralah, wahai Ibayah!”

“Apa yang harus kukatakan?” tanya Ibayah.

“Jika Anda mengatakan bahwa Anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, Anda akan kuhukum pula”.

“Lalu, apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Katakanlah bahwa Anda memilikinya dengan perkenaan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’(ujian)-Nya. Dia-lah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-lah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu …”

Alasan mengapa Imam Ali ra. berkata kepadanya: “Jika anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum”, ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa: “ia memiliki kemampuan tanpa Allah”, sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat “kemungkinan” kemampuan diri, dan sebagai gantinya, ia menetapkan “keharusan” kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.

Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si pelaku, pada waktu yang sama, ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkan semata-mata kepada si pelaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkan kepada pelaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkan kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang pelaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan dari Allah SWT berbeda dengan pemberian dan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab selama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali ddan untuk selama-lamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan , Ia aadlah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.

Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.





Bukti (14f): Tentang perubahan ketetapanNya terkait hal-hal yang terjadi dan terwujud dalam semesta karena amal baik, doa, dosa dan lain-lain


Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lahUmmul-Kitab (Induk kitab). (Q.S. Ar-Ra’du (13): 39)



Imam Baqir as mengatakan, “Ada beberapa kejadian yang pasti terjadi, dan ada kejadian-kejadian lain yang bergantung pada beberapa persyaratan dan situasi serta kondisi. Kejadian yang dipandang-Nya patut terjadi akan dikukuhkan-Nya  dan kejadian yang dikehendaki-Nya untuk dihapuskan, akan dihapuskan-Nya, sementara Dia mengukuhkan kejadian lain yang dipilih-Nya.” (Tafsir al-Burhan, jilid 2)

Perbuatan Tuhan yang telah ditetapkan sebelumnya terdiri dari dua jenis.

Hal-hal yang bersifat abadi dan dengan demikian hukum-hukumnya juga bersifat abadi, seperti dikatakan dalam ayat: Firman-Ku tidak akan berubah,[3] dan dalam ayat: Segala sesuatu memiliki ukurannya di sisi Allah.[4] Atau di mana al-Quran mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan sebelumnya seperti itu dicatat dalam lembaran yang terjaga: Dalam lembaran yang dijaga.[5] Dan: Itu adalah Kitab yang tertulis. Juga: Mereka yang dekat (kepada Allah) akan menyaksikannya.[6]
Hal-hal belum pasti dan pelaksanaannya bergantung pada perilaku manusia, seperti bertaubatnya manusia dari dosa yang disusul pengampunan, atau sedekah yang mengharuskan tertolaknya malapetaka, atau penindasan dan kekejaman yang mendatangkan azab Tuhan dikarenakan kerusakan yang ditimbulkannya. Artinya, Allah tidaklah terbatas dalam hal kepengurusan-Nya terhadap alam, seperti halnya kebijaksanaan serta pengetahuan-Nya juga tidak terbatas. Justru karena berubahnya kondisi-kondisi, maka Dia dapat memperkenalkan perubahan dalam sistem penciptaan dan hukum-hukumnya.


Al-Quran yang agung memiliki banyak contoh untuk hal ini, di antaranya adalah berikut ini:

Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab doamu.
(QS. Ghafir: 60) Manusia dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhannya dengan berdoa dan mengubah nasibnya sendiri.

Allah sesudah itu akan menciptakan sesuatu yang baru.
(QS. ath-Thalaq: 1) Hukum Ilahi tidaklah selalu sama di mana-mana. Mungkin sekali Allah akan memperkenalkan sebuah rencana baru menyusul munculnya kondisi-kondisi yang diperlukan.

…setiap hari Dia berada dalam suatu keadaan.
(QS. ar-Rahman: 29) Artinya, Dia setiap saat melakukan suatu hal tertentu dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia.

…tetapi ketika mereka berpaling, maka Allah pun memalingkan hati mereka… (QS. ash-Shaff: 5)

Dan sekiranya penduduk kota-kota itu beriman dan menjauhkan diri dari kejahatan, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka berkah-berkah… (QS. al-A’raf: 96) Arah kemurkaan Allah akan disimpangkan oleh rahmat dan berkah-Nya.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaannya sendiri…
(QS. ar-Ra’du: 11) Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali jika mereka mengubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.

Kecuali orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan perbuatan yang baik; mereka itulah yang Allah akan mengubah perbuatan-perbuatan buruk mereka menjadi perbuatan-perbuatan baik. (QS. al-Furqan: 70)

…tetapi jika kamu kembali (kepada dosa-dosamu) maka Kami pun akan kembali (kepada hukuman Kami)… (QS. al-Isra: 8)





Bukti (14g): Beberapa hadis tentang al-bada’

(i)            Amirul mukminin Ali kw. diriwayatkan pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai ayat di atas. Lalu beliau saw menjawab, “Aku menerangi matamu dengan penafsiran seputar ayat ini dan juga menerangi mata umatku sepeninggalku dengan keterkaitannya: Sedekah yang diberikan pada tempatnya, kebaikan kepada kedua orang tua, dan melakukan amal kebajikan lainnya, yang dilakukan dengan cara yang benar, akan mengubah kemalangan menjadi kebahagiaan dan memperpanjang umur serta mencegah bahaya.” (Tafsir al-Miz?n, jil. 11, hal. 419)

(ii)            Imam Ali bin Husain Zainal Abidin ra. juga, diriwayatkan pernah mengatakan, “Seandainya tak ada satu ayat dalam al-Quran, niscaya aku akan meramalkan bagimu semua kejadian di masa lampau dan di masa yang akan datang sampai hari kiamat.” Orang yang meriwayatkan hadis ini mengatakan bahwa dirinya menanyakan ayat yang beliau maksud. Beliau menjawab, “Allah berfirman: Allah menghapuskan apa yang dikehendaki-Nya dan mengukuhkan (apa yang dikehendaki-Nya dan disisi-Nya Ummul Kitab (Induk Kitab).”

(iii)            Imam Baqir ra. diriwayatkan pernah mengatakan, “Sebagian kejadian pasti terjadinya dan menjadi terwujud; sebagian kejadian lainnya bergantung pada syarat-syarat dan bersifat kondisional di sisi Allah;  kejadian manapun yang dipandang-Nya layak, maka Dia akan memprioritaskan-nya; dan kejadian mana pun yang tidak dikehendaki-Nya, akan dihapuskan-Nya, akan dikukuhkan-Nya.” (Tafsir al-Miz?n, jil. 11, hal. 419)

(iv)            Imam Shadiq ra. yang mengatakan, “Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung tidak mengutus seorang nabi pun kecuali Dia mengambil tiga perjanjian dari mereka; janji bahwa mereka akan tunduk kepada Allah; penafian segala bentuk kekafiran; dan penerimaan ajaran bahwa Allah memberikan prioritas kepada apapun yang dikehendaki-Nya dan menangguhkan apapun yang dikehendaki-Nya.” (Ushûl al-K?fi, jil. 1, hal. 114; Safînatul Bihâr, jil. 1, hal. 61)

(v)            Imam Shadiq ra. telah mengatakan, “Allah telah membuat perjanjian iman kepada bada’ dengan semua nabi.” Dalam hadis lain, kita dinasihati bahwa siapa saja yang beranggapan bahwa suatu masalah baru menjadi jelas bagi Allah setelah sebelumnya tidak mengetahuinya, maka kita harus menjauhi orang seperti itu.[7]





Bukti (14h): Bahwa perubahan ketetapanNya tidak berkontradiksi dengan Kesempurnaan PengetahuanNya[8]
Apakah perubahan ketetapanNya berimplikasi PengetahuanNya tidak sempurna ? Sebaliknya apakah kesempurnaan PengetahuanNya berimplikasi tidak mungkin Ia mengubah ketetapanNya?

Kita telah membahas dalam Tauhid for Teens , Bukti (9g) sebagai berikut :

“Telah disebutkan bahwa Zat Yang Maha Tinggi adalah Wujud mutlak yang tidak dibatasi batasan apa pun, tidak pula kosong dari wujud atau kesempurnaan eksistensial apapun. Maka semua rincian penciptaan, baik wujud maupun kesempurnaan eksistensial, dengan tatanan eksistensialnya ada di dalamNya dalam bentuknya yang paling tinggi dan paling luhur tanpa terpisah satu sama lain. Maka Dia MengetahuiNya dengan Pengetahuan yang tidak terbedakan, yang pada saat yang sama membuka rincian-rincian (‘ilman ijmaliyyan fi ‘ayn al-kasyf al-tafsh?li)”[9]

Kesempurnaan PengetahuanNya adalah dalam ranah ZatNya, di mana Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. bersabda, bahwa :

“Dan diam dan gerak tidaklah muncul atasNya. Dan betapa mungkin muncul atasNya sesuatu yang Ia (lah) yang memunculkannya[10]…” [11]

Jadi bila karena Kesempurnaan PengetahuanNya adalah dalam ranah ZatNya bahwa “diam” dan “gerak” tidaklah bisa dipredikasikan kepada PengetahuanNya.

Kesalahan logika (logic fallacy) yang selama ratusan tahun telah menciptakan kebingungan dalam masalah ini adalah, memasukkan PengetahuanNya dalam ranah waktu , kemudian lebih lanjut melakukan penyimpulan bahwa PengetahuanNya tetap (“diam”) atau berubah (“bergerak”). Padahal “diam” dan “gerak” tidak bisa dipredikasikan pada PengetahuanNya.

Dengan penjelasan ini, perubahan KetetapanNya , yang terjadi pada ranah PerbuatanNya; tidak memiliki konteks apa pun untuk bisa menciderai atau mengurangi Kesempurnaan PengetahuanNya.

Maka terbukti dengan jelas bahwa perubahan ketetapanNya tidak berkontradiksi dengan Kesempurnaan PengetahuanNya.

Maha Suci Ia , Yang Mahaaktif dalam Mencipta dan Memperbaharui ciptaanNya setiap saat; dan sungguh segala ruang dan waktu tiada akan mampu menggambarkan Kesempurnaan PengetahuanNya !



Bukti (14i): Penjelasan lebih lanjut


Allah mempunyai tangan yang terbuka bagi perubahan dalam sistem penciptaan dan agama Ilahi: Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya…
Allah tidak membiarkan proses penciptaan berjalan dengan sendirinya. Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan mengukuhkan  (apa yang dikehendaki-Nya)…
Penghapusan dan pengukuhan kembali hukum-hukum yang mengatur alam semesta, berada di tangan-Nya.
Penghapusan dan pengukuhan kembali hukum-hukum yang dilakukan Allah didasarkan pada pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya: …dan pada-Nyalah Ummul Kitab (Induk Kitab).
Alam penciptaan memiliki kitab catatan di mana segala kejadian dicatat.
Penghapusan dan pengukuhan kembali, dan Kemahaaktifan Tuhan Yang Mahapemurah sama sekali tidak menciderai PengetahuanNya Yang Sempurna. Diam dan gerak, “tetap” dan “berubah” tidak bisa dipredikasikan pada Kesempurnaan PengetahuanNya .

[1] Usul Al-Kafi, vol.i, hal. 119

[2] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung,  Cetakan VIII, Oktober 1995, hal. 238-240.

25Tuhaful ‘Uqul, cetakan Beirut, hal.345

[3] QS. Qaf: 29.

[4] QS. Ar-Ra’du: 8.

[5] QS al-Buruj: 22.

[6] QS al-Muthaffifin: 20-21.

[7] Ibid.

[8] Bukti ini diinspirasi oleh Sabda Bab al-‘Ilmi Amirul Mukminin Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib as di Nahjul Balaghah. Bukti ini merupakan bukti orisinal yang terbersit dalam benak saya, saat menulis. Bukti-bukti sebelumnya yang pernah saya pelajari dalam durasi hampir tiga puluh tahun perjalanan dan pencarian belum memuasi akal. Semoga bukti yang sederhana ini lebih memuaskan akal mereka yang dahaga, melalui telaga pengetahuan Keluarga Muhammad Saw melalui washiy Rasulullah , yakni Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib as.

[9] Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’I, Bid?yat al-Hikmah (English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid ‘Ali Quli Qara’I, ICAS Press, 2003, London, pp. 140

[10] Barangkali yang dimaksud adalah, “sesuatu yang Ia adalah sebab kemunculannya”

[11] Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2,  pp. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah