Bukti (13): Pebuatan baik non-muslim
Bagaimana dengan keadilanNya bila dikaitkan dengan perbuatan baik non muslim ? Apakah perbuatan baik seorang non muslim diterima oleh Nya?
Dalam hal ini ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim tidak akan diterima olehNya dan akan disebar seperti debu. Pendapat pertama juga mendasarkan argumennya pada ayat berikut ini
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS 24:39)
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS 3:85)
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS 14:18)
Pendapat kedua mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim bisa diterima olehNya, bila mereka memiliki keimanan yang benar kepada Allah Yang Mahasempurna lagi Mahasuci, dan keimanan kepada Hari Akhir, serta amalnya shalih. Salah satu argumentasi pendapat kedua adalah
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:111-112)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 5:69)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS 22:17)
Mana pendapat yang benar ? Apakah antara kedua ayat-ayat yang digunakan sebagai argumentasi terdapat kontradiksi ?
Kemusykilan ini sebenarnya muncul karena masalah definisi dan pengertian terminologi muslim dan kafir.
Dalam kaitan dengan ini Syahid Murtadha Mutahhari menuliskan:[1]
“Biasanya, ketika kita mengatakan bahwa seseorang adalah muslim atau non-muslim, kita tidak memparhatikan realitas dan hakikat, melainkan pada posisi geografis yang menjadi tempat tinggalnya. Apabila daerah tersebut, berdasarkan tradisi dan warisan daerah Islam, maka kita sebut dia sebagai Muslim. Dan seandainya daerah itu adalah daerah kristen, maka kita sebut dia sebagai orang kristen; demikian juga orang yang tidak memeluk agama, dan seterusnya.
Kita harus menyadari bahwa keputusan seperti ini tidak memiliki nilai hakiki, baik dalam keputusan tentang dirinya sebagai Muslim maupun kafir. Kebanyakan di antara kita adalah orang-orang Islam berdasarkan tradisi dan geografi. Kita memeluk Islam karena orangtua kita orang Islam, atau karena kita tumbuh dan dewasa di tengah-tengah kaum Muslim.
Adapun Islam hakiki, yang mengandung nilai spiritual-samawi, adalah Islam yang mampu mengantarkan seorang kepada hakikat taslim hati yang memberikan tempat paling luas bagi kebenaran di dalam dadanya. Sehingga dia menerima kebenaran dan mengamalkannya setelah, dari satu segi, menerimanya atas dasar penyelidikan dan analisis dan pada segi lain, atas dasar taslim dan tidak ta’ashshub.
Sekiranya seseorang telah berserah diri kepada kebenaran, tetapi ia, karena sebab-sebab lain, belum sampai pada kebenaran Islam, maka orang tersebut tidak dipandang sebagai sengaja tidak mau menerima kebenaran , dan Allah tidak menyiksanya, bahkan ia termasuk orang yang selamat, sebagaimana firman Allah berbunyi,
Dan kami tidak akan menyiksa (manusia) sebelum kami mengutus seorang rasul
(QS al-Isra [17]:15).
Maksudnya, mustahil Allah akan menyiksa seseorang tanpa alasan yang sempurna. Para ulama ushul, sejalan dengan ayat yang menguatkan hukum akal tersebut, memberi istilah bahwa “Adalah buruk, menyiksa tanpa memberi apenjelasan” (qubhun al-‘iqab bila bayan). Artinya, apabila Allah SWT belum menjelaskan kebenaran secara sempurna kepada hamba-hamba-Nya, maka buruklah bila Allah menyiksa mereka.
Apabila kita hendak mencari contoh bagi hakikat seperti ini, maka kita mungkin akan menemukan adanya orang-orang yang memiliki jiwa taslim kepada kebenaran, sekalipun mereka tidak berpredikat islam. Berdasarkan biografi-biografi tenteng dirinya, Descartes, filosof perancis, mengenai pandangannya, telah dijelaskan bahwa filasafatnya dimulai dari keraguan. Dia terlebih dahulu meragukan pengetahuan-pengetahuannya. Berangkat dari nol dan menjadikan pikirannya sebagai titik tolak. Dia mengatakan, “Cogito ergo sum”(Aku berpikir, karena itu aku ada). Dengan begitu, Decartes menjadikan keyakinan tenteng adanya dirinya sebagai metode dan sarana untuk membuktikan adanya ruh. Dan, menurut pandangannya, eksistensi materi dan eksistensi tuhan bersifat pasti. Selanjutnya, sedikit demi sedikit ia mulai memilih agama, dan akhirnya memilih agama kristen, karena di negerinya agama tersebut merupakan agama terbesar.
Descartes mempunyai ungkapan yang begitu indah mengatakan, “aku benar-benar menganggap bahwa agama Kristen pasti merupakan agama terbaik di dunia. Aku hanya mengatakan bahwa agama Kristen adalah agama terbaik sejauh bila dibandingkan dengan agama-agama yang aku ketahui; dan aku memeluknya setelah terlebih dahulu menganalisis dan mengujinya. Sama sekali aku tidak memusuhi kebenaran sekiranya di sana, di tempat-tempat lain di dunia, terdapat agama yang lebih baik dari agama Kristen. “Kebetulan sekali Descartes menyebutkan Iran sebagai contoh negara yang dia sendiri tidak tahu menahu, baik tentang agama maupun mazhab penduduknya. Descartes mengatakan: “Sungguh, aku tidak tahu, mungkin saja agama atau mazhab di Iran lebih mulia dan lebih baik dari agama Kristen.”
Dengan demikian, orang-orang seperti Descartes ini tidak bisa disebut sebagai orang-orang kafir, karena mereka tidak bersikap menentang dan menyembunyikan kebenaran. Sementara, kafir tidak lain adalah menentang dan menyembunyikan kebenaran. Mereka adalah Muslim fitri. Apabila kita keberatan menyebut mereka muslim, maka pada dasarnya kita pun tidak bisa menyebut mereka kafur. Sebab, kontras antara Muslim dengan kafir tidaklah seperti positif dan negatif, dan ahli logika, sebagai kontras antara dua hal yang betentangan (taqabbu al-dhiddain). Sebab, keduanya merupakan dua hal yang bersifat wujud (wujudi), bukan yang satu bersifat wujud dan yang lain bersifat tidak ada (‘adami).
Adalah jelas, bahwa saya menyebut Descartes sebagai sekadar contoh, dan ini tidak berarti bahwa saya membatalkan prinsip yang telah saya jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak bisa memastikan pandangan mengenai seseorang. Dengan menampilkan Descartes sebagai contoh, saya bermaksud mengatakan bahwa seandainya ucapan dan sikap taslim Descartes itu benar seperti yang dikatakannya itu, maka ia dipandang sebagai seorang muslim fitri.”
Dengan meluruskan definisi dan pemahaman kita tentang muslim dan kafir, bahwa yang dimaksud muslim adalah muslim hakiki, – bukan muslim formal (KTP) atau muslim geografis; dan bahwa yang dimaksud kafir di sini adalah kafir hakiki, – yang tentu tidak bisa ditahkik (ditetapkan) hanya berdasar agama formal atau pewarisan agama dari orangtua ataupun geografis, maka sebenarnya tidak ada kotradiksi dalam kumpulan ayat yang disebutkan di awal pembahasan ini.
Bukti (13a): Pebuatan baik non-muslim (2)
Tuhan Yang Mahapemurah mustahil tidak membalas kebaikan sebesar zarrah apa pun dari siapapun. Bila kita amati ayat berikut
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
(QS 55 (AR-RAHMAN): 60)
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. “
(QS 99 (AL-ZALZALAH):7-8)
Tidak ada persyaratan khusus yang membatasi bahwa ayat ini hanyalah bagi orang dengan agama tertentu, misalnya Islam. Siapa pun yang melakukan kebaikan pasti akan memperoleh balasannya, dan siapa pun yang melakukan kejahatan pasti akan melihat akibat buruknya.
Bahwa pengingkaran pada kebenaran , adalah suatu kejahatan yang menjadi sumber dari seluruh kejahatan besar lain. Seseorang yang mengingkari kebenaran, walaupun ia telah mengetahuinya, pengambilan keputusan dalam dirinya akan rusak. Adalah sangat masuk akal, kekafiran hakiki seperti ini membuat amal-amal seseorang di hari kebangkitan disebar seperti debu. Mereka kehilangan nilai kebaikannya, bukan karena hakikatnya baik kemudian dinafikan oleh hisab Tuhan Yang Mahaagung lagi Mahamenghitung; namun karena memang amal tidak memiliki nilai kebaikan sejak awalnya. Mungkin mereka menyangka amal-amal mereka baik. Namun sering kali sesuatu yang dianggap bernilai baik dalam kerangka pemahaman yang keliru, sebenarnya tidak bernilai sama sekali.
Bukti (13b): Pebuatan baik non-muslim (3)[2]
“Mari kita lihat bahasan ulama dari kedua mazhab besar Islam terkait dengan perbuatan baik non-muslim dan syarat keselamatan. Pertama, tafsir, yang ditulis oleh sayyid Hussein Fadhlullah, tokoh hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait; kedua, Tafsir al-Man?r yang ditulis oleh Sayyid Rasy?d Ridh?, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab ahlussunnah;
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan:
Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (cetak tebal dari penulis).
Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung prulalisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir yang eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh Husseyn Fadhlullah, tetapi, mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus ( mans?kh) oleh:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS al ‘Imran[3] : 85)
Mereka bersandar pada hadis—yang lemah—dari Ibn ‘Abb?s (Lihat, misalnya, tafsir al-Thabar?).
Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang kita bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang dimansukh. Islam pada ?l ‘Imr?n 85 adalah islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit , bukan islam dalam arti istilah”, bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhamad saw. Kesimpulan itu diambil Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada QS ?l ‘Imr?n 19:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah adalah Islam…..(QS al ‘Imran[3]:19)
… Lebih lanjut, Fadhlullah mengatakan bahwa al-Baqarah : 62 dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Ayat tersebut menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Dalam Al-Qur’an , orang-orang yang berpegang pada keselamatan karena nama disindir sebagai bersandar pada angan-angan :
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (QS 4:123)
Ayat ini juga disebut oleh Sayyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 62:
“Artinya hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini ialah bahwa bagi mereka pahalah tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka …
Ayat ini menjelaskan sunah Allah Swt. Dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah Swt:
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (QS 4:123)
… Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan tercapai hanya karea ia muslim, Yahudi, Nashara atau Shabi’ah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia.”
Bukti (13c): Pebuatan baik non-muslim (3)[3]
Mari kita ikuti pandangan mufasir besar abad 20, ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, tentang ayat:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)
“ Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristiani atau orang-orang Shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah, dan juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan-sebutan yang bagus, sebagaimana, sebagai contohnya, klaim mereka bahwa:
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. …(QS 2:111)
Satu-satunya ukuran, satu-satunya standar, untuk kemuliaan dan kebahagiaan adalah iman sejati kepada Allah dan Hari Kebangkitan, yang diiringi amal-amal salih. …”
Bukti (13d): Keberadaan berbagai agama adalah KehendakNya, di dalamnya ada hikmah yang mendalam
Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung berfirman
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Ayat tersebut menunjukkan bahwa;
(i) Memang Allah tidak menghendaki untuk menjadikan umat manusia satu umat beragama saja.
(ii) Allah hendak menguji manusia dengan adanya keragaman agama yang ada dalam kehidupan di dunia ini.
(iii) Allah memerintahkan kita, – sehubungan dengan keragaman agama dan umat beragama-, untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
(iv) Allah sendiri yang akan memberitahukan pada seluruh umat beragama tentang perbedaan-perbedaan yang telah menimbulkan perselisihan pada Hari Kebangkitan kelak.
Tentang ayat ini, ‘Allamah Sayyid Kamal Faqih Imani menuliskan: [4]
“Akhirnya, al-Qur’an berbicara kepada semua bangsa dan ras dan mengajak mereka semua agar alih-alih menggunakan kekuatan dan kemampuan mereka untuk berkonflik dan berselisih, mereka hendaknya mencurahkannya untuk berbuat kebaikan.”
Bukti (13e): Beberapa riwayat Hadis tentang kebaikan non-muslim[5]
Dalam hadis dari Ali Ibn Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim ra. disebutkan,
“Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki seorang tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang mukmin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisain dari api neraka. … Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin.”
Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz’an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, “Serendah-rendahnya azab Jahanam adalah yang menimpa Jadz’an.” Rasulullah saw. ditanya. “Mengapa?” Beliau bersabda, “Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar.”
Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada ‘Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai,
“Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya.”
Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq ra. yang menyebutkan, “Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, ‘Allah Swt. Berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.’ Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, “Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.’
Orang itu berkata. ‘Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?’ ‘Iya,’ jawab beliau. Orang itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.’”
Bukti (13f): Perbuatan baik non-muslim akan dibalasNya dengan kebaikan bukanlah kontradiksi dengan bahwa wilayah merupakan syarat dikabulkannya amal[6]
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa imam, bahkan wil?yah (im?mah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.
Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu’), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar’i, shalatnya shahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.
Bukti (13g): Keberagaman agama dalam pandangan falsafah ketunggalan wujud (wahdah al-wujud)[7]
Pandangan tentang ketunggalan wujud akan berimplikasi kuat pada penerimaan pada pluralisme (kejamakan cara beragama dan berteologi), suatu hal yang sangat diperlukan dalam era kebangkitan spiritualisme dan agama dalam milenium ketiga. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebelum menjadi presiden, telah terkenal sebagai tokoh kotroversial, salah satunya karena ide-ide beliau dalam masalah pluralisme. “Atas dasar inilah, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsionalisasikan agama secara maksimal. Gus Dur tidak menginginkan agama menjadi sekadar simbol, jargon, dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.”[8] Pandangan pluralisme ini juga diperlukan dalam menghadapi kecenderungan munculnya tribalisme (kesukuan) yang biasanya juga muncul seiring dengan fanatisme keagamaan sebagai satu dari paradoks global menghadapi alat ketiga yang telah diuraikan sebelumnya. Pluralisme memperoleh landasannya cukup kokoh di antara para sufi, tanpa mengurangi keyakinan dan kecintaan mereka kepada Islam sebagai agama Tuhan yang paling sempurna dan paling benar, Syaikh Abd al-Karim al-Jili menuliskan: “Ahli kitab dibedakan ke dalam banyak golongan. Mengenai orang barahimah (Hindu) diakui bahwa mereka termasuk penganut agama Ibrahim dan bahwa mereka adalah keturunannya dan memiliki cara beribadah sendiri. Orang barahimah memuja Tuhan tanpa mengikuti petunjuk nabi atau rasul. Mereka menyatakan bahwa dunia wujud ini tak lain adalah ciptaan Tuhan. Mereka mengakui Keesaan Wujud-Nya, namun menolak nabi-nabi dan rasul sama sekali. Pemujaan mereka terhadap Yang Benar serupa dengan pemujaan yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelum memperoleh nubuwat. Mereka mengaku sebagai putra-putra Nabi Ibrahim –salawat atasnya—dan menyatakan mereka memiliki sebuah kitab yang ditulis buat mereka oleh Ibrahim—salawat atasnya—sendiri, selain itu mereka mengatakan bahwa kitabnya itu berasal dari Tuhan. Di dalamnya kebenaran hal-hal dibicarakan dan terdiri dari lima bagian. Mengenai yang empat bagian setiap orang diperbolehkan membacanya. Namun bagian yang kelima tidak diperbolehkan dibaca semua orang kecuali sekelompok kecil di antara mereka, disebabkan kedalaman dan tak terhingga kandungannya. Mereka tahu siapa yang membaca bagian kelima kitab mereka akan dipeluk oleh Islam dan masuk ke dalam agama Muhammad—salawat atasnya.”[9] Penyair Sufi Persia Hatif Isfahani mengkritik sekaligus memuji agama Kristen sebagai agama yang “tidak menemukan” Tauhid di mana ajaran trinitasnya merupakan hambatan menuju tauhid yang benar dengan menggunakan bahasa yang lembut dan jauh dari kekasaran dan permusuhan.
Kukatakan di gereja pada seorang Kristen yang pandai memikat hati,
“O dalam jeratmu aku tertawan!
Dalam tali-temalimu tiap pucuk rambutku terikat!
Berapa lama kau akan tetap seperti ini.
Tak menemukan jalan menuju Tauhid?
Berapa lama kau akan tetap membelokkan Yang Satu dengan Trinitas?
Apakah benar menyebut Tuhan Yang Esa sebagai “Bapa”, “Anak”, dan “Roh Kudus”?
Ia membuka bibirnya yang manis mdan berkata padaku
Dan dengan tawanya yang manis dicurahkan gula dari bibirnya:
“Jika kau paham Rahasia Tauhid,
Jangan lempari kami dengan noda kekufuran!
Dalam tiga cermin Keindahan Yang Kekal melontarkan seberkas sinar
Dari Wajah-Nya yang berkilau-kilauan.
Sutra tidak berubah menjadi tiga macam kain
Jika kau menyebutnya Parniyan, Harir dan Parand.”[10]
Sementara kami bercakap, nyanyian ini
bangkit di samping kami dari lonceng gereja:
“Dia adalah Satu dan tiada selain Dia:
Tiada Tuhan kecuali Dia Sendiri.”[11]
Perlu dicatat dalam wacana pluralisme ini, adalah karya dari Fritjof Schuon; dalam karya ini Schuon mencoba mengungkap Kebenaran Mutlak yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama besar dunia, termasuk di dalamnya Islam, Kristen, Hindu, dan lain-lain, dengan uraiannya yang padat dalam mengungkap berbagai simbolisme.[12] Pembenaran Ketunggalan Wujud Mutlak (baca pula; Tuhan) yang secara fitri tertanam dalam diri manusia menjadi suatu dasar yang sahih bagi sikap pluralisme. Albert Einstein, penemu teori relativitas dan salah satu ilmuwan terbesar abad ke-20, menjelaskan tentang Kesemestaan Wujud dan Totalitasnya Yang Tunggal. “Ada lagi agama dan akidah ketiga, bersemayam dalam setiap pikiran tanpa kecuali, meskipun takkan Anda jumpai keseragaman cara mengkhayalkannya sesuai dengan beragamnya imajinasi setiap orang. Aku menyebut akidah ini ‘perasaan keagamaan yang melekat pada wujud semesta’. Sulit bagiku menjelaskan perasaan ini bagi orang yang tidak memilikinya, apalagi pembahasan di sini bukan berkenaan dengan Tuhan itu yang tampak dalam berbagai bentuk itu. Akidah ini mengajarkan kepada manusia tentang remehnya harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia serta agungnya apa yang berada di balik semua yang alamiah. Manusia akan merasa bahwa keberadaan dirinya adalah penjara dan ia ingin melepaskan dirinya dari penjara tubuhnya, untuk terbang meninggi menjumpai totalitas wujud ini secara serentak dan dengan hakikatnya yang satu.”[13] Perlu dikembangkan pendekatan rasional-mistis berdasarkan syari’at Islam dalam memberikan suatu basis yang kuat pada keyakinan Islam yang semakin kokoh seiring dengan munculnya pengkuan terhadap “kebenaran atau ketidaksesatan secara mutlak” agama lain. Budaya pluralisme dalam masyarakat Islam Indonesia mestinya akan mempunyai implikasi langsung dalam memperkuat ukhuwah islamiyah, jika seorang muslim bisa hidup berdampingan dengan orang Kristen, Yahudi, Hindu, dan lain-lain; bagaimana mungkin ia bisa mengkafirkan sesama muslim?[14]
[1] Murtadha Mutahhari, Al-‘Adl Al- Ilahiy , terjemahan Mizan, Bandung, 1992, hal. 244-245.
[2] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006, hal. 22-29
[3] ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, terjemahan Penerbit Lentera, Jakarta, 2010, hal. 379-380.
[4] ‘Allamah Sayid Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an, terjemahan Penerbit Al-Huda, 2004, Jilid 4, hal. 394.
[5] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.
[6] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.
[7] Diambil dari makalah “Globalisasi yang memihak dan Islam Indonesia” karya penyadur tulisan ini (Dimitri Mahayana). Makalah tersebut telah disampaikan pad seminar dan lokakarya :Rancang Bangun Islam Melayu Menyambut Alaf Ketiga”, di Kairo, 2 – 3 November 1999, di Universitas Al-Azhar, Kairo.
[8] Al-Zastrow Ng. Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Penerbit Erlangga, 1999.
[9] Abd al-Karim al-Jili. Al-Insan Al-Kamil, Cairo, 1304, pp. 74 dan 87, dikutip dari Tasauf Dulu dan Sekarang tulisan Syed Husein Nasr, Pustaka Firdaus, 1994.
[10] Tiga kata yang berbeda-beda buat sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994)
[11] Terjemahan E.G. Browne dalam A Literary History of Persia, vol. IV, Cambridge, 1930, pp.293-4, dikutip dari sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 160-1.)
[12] Frithjof Schuon, The Roots of Human Condition, (Terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
[13] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 51-2.
[14] Anehnya hal ini sering terjadi.
Bagaimana dengan keadilanNya bila dikaitkan dengan perbuatan baik non muslim ? Apakah perbuatan baik seorang non muslim diterima oleh Nya?
Dalam hal ini ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim tidak akan diterima olehNya dan akan disebar seperti debu. Pendapat pertama juga mendasarkan argumennya pada ayat berikut ini
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS 24:39)
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS 3:85)
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS 14:18)
Pendapat kedua mengatakan bahwa perbuatan baik seorang non muslim bisa diterima olehNya, bila mereka memiliki keimanan yang benar kepada Allah Yang Mahasempurna lagi Mahasuci, dan keimanan kepada Hari Akhir, serta amalnya shalih. Salah satu argumentasi pendapat kedua adalah
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:111-112)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 5:69)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS 22:17)
Mana pendapat yang benar ? Apakah antara kedua ayat-ayat yang digunakan sebagai argumentasi terdapat kontradiksi ?
Kemusykilan ini sebenarnya muncul karena masalah definisi dan pengertian terminologi muslim dan kafir.
Dalam kaitan dengan ini Syahid Murtadha Mutahhari menuliskan:[1]
“Biasanya, ketika kita mengatakan bahwa seseorang adalah muslim atau non-muslim, kita tidak memparhatikan realitas dan hakikat, melainkan pada posisi geografis yang menjadi tempat tinggalnya. Apabila daerah tersebut, berdasarkan tradisi dan warisan daerah Islam, maka kita sebut dia sebagai Muslim. Dan seandainya daerah itu adalah daerah kristen, maka kita sebut dia sebagai orang kristen; demikian juga orang yang tidak memeluk agama, dan seterusnya.
Kita harus menyadari bahwa keputusan seperti ini tidak memiliki nilai hakiki, baik dalam keputusan tentang dirinya sebagai Muslim maupun kafir. Kebanyakan di antara kita adalah orang-orang Islam berdasarkan tradisi dan geografi. Kita memeluk Islam karena orangtua kita orang Islam, atau karena kita tumbuh dan dewasa di tengah-tengah kaum Muslim.
Adapun Islam hakiki, yang mengandung nilai spiritual-samawi, adalah Islam yang mampu mengantarkan seorang kepada hakikat taslim hati yang memberikan tempat paling luas bagi kebenaran di dalam dadanya. Sehingga dia menerima kebenaran dan mengamalkannya setelah, dari satu segi, menerimanya atas dasar penyelidikan dan analisis dan pada segi lain, atas dasar taslim dan tidak ta’ashshub.
Sekiranya seseorang telah berserah diri kepada kebenaran, tetapi ia, karena sebab-sebab lain, belum sampai pada kebenaran Islam, maka orang tersebut tidak dipandang sebagai sengaja tidak mau menerima kebenaran , dan Allah tidak menyiksanya, bahkan ia termasuk orang yang selamat, sebagaimana firman Allah berbunyi,
Dan kami tidak akan menyiksa (manusia) sebelum kami mengutus seorang rasul
(QS al-Isra [17]:15).
Maksudnya, mustahil Allah akan menyiksa seseorang tanpa alasan yang sempurna. Para ulama ushul, sejalan dengan ayat yang menguatkan hukum akal tersebut, memberi istilah bahwa “Adalah buruk, menyiksa tanpa memberi apenjelasan” (qubhun al-‘iqab bila bayan). Artinya, apabila Allah SWT belum menjelaskan kebenaran secara sempurna kepada hamba-hamba-Nya, maka buruklah bila Allah menyiksa mereka.
Apabila kita hendak mencari contoh bagi hakikat seperti ini, maka kita mungkin akan menemukan adanya orang-orang yang memiliki jiwa taslim kepada kebenaran, sekalipun mereka tidak berpredikat islam. Berdasarkan biografi-biografi tenteng dirinya, Descartes, filosof perancis, mengenai pandangannya, telah dijelaskan bahwa filasafatnya dimulai dari keraguan. Dia terlebih dahulu meragukan pengetahuan-pengetahuannya. Berangkat dari nol dan menjadikan pikirannya sebagai titik tolak. Dia mengatakan, “Cogito ergo sum”(Aku berpikir, karena itu aku ada). Dengan begitu, Decartes menjadikan keyakinan tenteng adanya dirinya sebagai metode dan sarana untuk membuktikan adanya ruh. Dan, menurut pandangannya, eksistensi materi dan eksistensi tuhan bersifat pasti. Selanjutnya, sedikit demi sedikit ia mulai memilih agama, dan akhirnya memilih agama kristen, karena di negerinya agama tersebut merupakan agama terbesar.
Descartes mempunyai ungkapan yang begitu indah mengatakan, “aku benar-benar menganggap bahwa agama Kristen pasti merupakan agama terbaik di dunia. Aku hanya mengatakan bahwa agama Kristen adalah agama terbaik sejauh bila dibandingkan dengan agama-agama yang aku ketahui; dan aku memeluknya setelah terlebih dahulu menganalisis dan mengujinya. Sama sekali aku tidak memusuhi kebenaran sekiranya di sana, di tempat-tempat lain di dunia, terdapat agama yang lebih baik dari agama Kristen. “Kebetulan sekali Descartes menyebutkan Iran sebagai contoh negara yang dia sendiri tidak tahu menahu, baik tentang agama maupun mazhab penduduknya. Descartes mengatakan: “Sungguh, aku tidak tahu, mungkin saja agama atau mazhab di Iran lebih mulia dan lebih baik dari agama Kristen.”
Dengan demikian, orang-orang seperti Descartes ini tidak bisa disebut sebagai orang-orang kafir, karena mereka tidak bersikap menentang dan menyembunyikan kebenaran. Sementara, kafir tidak lain adalah menentang dan menyembunyikan kebenaran. Mereka adalah Muslim fitri. Apabila kita keberatan menyebut mereka muslim, maka pada dasarnya kita pun tidak bisa menyebut mereka kafur. Sebab, kontras antara Muslim dengan kafir tidaklah seperti positif dan negatif, dan ahli logika, sebagai kontras antara dua hal yang betentangan (taqabbu al-dhiddain). Sebab, keduanya merupakan dua hal yang bersifat wujud (wujudi), bukan yang satu bersifat wujud dan yang lain bersifat tidak ada (‘adami).
Adalah jelas, bahwa saya menyebut Descartes sebagai sekadar contoh, dan ini tidak berarti bahwa saya membatalkan prinsip yang telah saya jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak bisa memastikan pandangan mengenai seseorang. Dengan menampilkan Descartes sebagai contoh, saya bermaksud mengatakan bahwa seandainya ucapan dan sikap taslim Descartes itu benar seperti yang dikatakannya itu, maka ia dipandang sebagai seorang muslim fitri.”
Dengan meluruskan definisi dan pemahaman kita tentang muslim dan kafir, bahwa yang dimaksud muslim adalah muslim hakiki, – bukan muslim formal (KTP) atau muslim geografis; dan bahwa yang dimaksud kafir di sini adalah kafir hakiki, – yang tentu tidak bisa ditahkik (ditetapkan) hanya berdasar agama formal atau pewarisan agama dari orangtua ataupun geografis, maka sebenarnya tidak ada kotradiksi dalam kumpulan ayat yang disebutkan di awal pembahasan ini.
Bukti (13a): Pebuatan baik non-muslim (2)
Tuhan Yang Mahapemurah mustahil tidak membalas kebaikan sebesar zarrah apa pun dari siapapun. Bila kita amati ayat berikut
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
(QS 55 (AR-RAHMAN): 60)
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. “
(QS 99 (AL-ZALZALAH):7-8)
Tidak ada persyaratan khusus yang membatasi bahwa ayat ini hanyalah bagi orang dengan agama tertentu, misalnya Islam. Siapa pun yang melakukan kebaikan pasti akan memperoleh balasannya, dan siapa pun yang melakukan kejahatan pasti akan melihat akibat buruknya.
Bahwa pengingkaran pada kebenaran , adalah suatu kejahatan yang menjadi sumber dari seluruh kejahatan besar lain. Seseorang yang mengingkari kebenaran, walaupun ia telah mengetahuinya, pengambilan keputusan dalam dirinya akan rusak. Adalah sangat masuk akal, kekafiran hakiki seperti ini membuat amal-amal seseorang di hari kebangkitan disebar seperti debu. Mereka kehilangan nilai kebaikannya, bukan karena hakikatnya baik kemudian dinafikan oleh hisab Tuhan Yang Mahaagung lagi Mahamenghitung; namun karena memang amal tidak memiliki nilai kebaikan sejak awalnya. Mungkin mereka menyangka amal-amal mereka baik. Namun sering kali sesuatu yang dianggap bernilai baik dalam kerangka pemahaman yang keliru, sebenarnya tidak bernilai sama sekali.
Bukti (13b): Pebuatan baik non-muslim (3)[2]
“Mari kita lihat bahasan ulama dari kedua mazhab besar Islam terkait dengan perbuatan baik non-muslim dan syarat keselamatan. Pertama, tafsir, yang ditulis oleh sayyid Hussein Fadhlullah, tokoh hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait; kedua, Tafsir al-Man?r yang ditulis oleh Sayyid Rasy?d Ridh?, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab ahlussunnah;
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan:
Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (cetak tebal dari penulis).
Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung prulalisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir yang eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh Husseyn Fadhlullah, tetapi, mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus ( mans?kh) oleh:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS al ‘Imran[3] : 85)
Mereka bersandar pada hadis—yang lemah—dari Ibn ‘Abb?s (Lihat, misalnya, tafsir al-Thabar?).
Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang kita bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang dimansukh. Islam pada ?l ‘Imr?n 85 adalah islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit , bukan islam dalam arti istilah”, bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhamad saw. Kesimpulan itu diambil Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada QS ?l ‘Imr?n 19:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah adalah Islam…..(QS al ‘Imran[3]:19)
… Lebih lanjut, Fadhlullah mengatakan bahwa al-Baqarah : 62 dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Ayat tersebut menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Dalam Al-Qur’an , orang-orang yang berpegang pada keselamatan karena nama disindir sebagai bersandar pada angan-angan :
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (QS 4:123)
Ayat ini juga disebut oleh Sayyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 62:
“Artinya hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini ialah bahwa bagi mereka pahalah tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka …
Ayat ini menjelaskan sunah Allah Swt. Dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah Swt:
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (QS 4:123)
… Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan tercapai hanya karea ia muslim, Yahudi, Nashara atau Shabi’ah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia.”
Bukti (13c): Pebuatan baik non-muslim (3)[3]
Mari kita ikuti pandangan mufasir besar abad 20, ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, tentang ayat:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)
“ Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristiani atau orang-orang Shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah, dan juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan-sebutan yang bagus, sebagaimana, sebagai contohnya, klaim mereka bahwa:
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. …(QS 2:111)
Satu-satunya ukuran, satu-satunya standar, untuk kemuliaan dan kebahagiaan adalah iman sejati kepada Allah dan Hari Kebangkitan, yang diiringi amal-amal salih. …”
Bukti (13d): Keberadaan berbagai agama adalah KehendakNya, di dalamnya ada hikmah yang mendalam
Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung berfirman
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Ayat tersebut menunjukkan bahwa;
(i) Memang Allah tidak menghendaki untuk menjadikan umat manusia satu umat beragama saja.
(ii) Allah hendak menguji manusia dengan adanya keragaman agama yang ada dalam kehidupan di dunia ini.
(iii) Allah memerintahkan kita, – sehubungan dengan keragaman agama dan umat beragama-, untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
(iv) Allah sendiri yang akan memberitahukan pada seluruh umat beragama tentang perbedaan-perbedaan yang telah menimbulkan perselisihan pada Hari Kebangkitan kelak.
Tentang ayat ini, ‘Allamah Sayyid Kamal Faqih Imani menuliskan: [4]
“Akhirnya, al-Qur’an berbicara kepada semua bangsa dan ras dan mengajak mereka semua agar alih-alih menggunakan kekuatan dan kemampuan mereka untuk berkonflik dan berselisih, mereka hendaknya mencurahkannya untuk berbuat kebaikan.”
Bukti (13e): Beberapa riwayat Hadis tentang kebaikan non-muslim[5]
Dalam hadis dari Ali Ibn Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim ra. disebutkan,
“Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki seorang tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang mukmin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisain dari api neraka. … Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin.”
Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz’an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, “Serendah-rendahnya azab Jahanam adalah yang menimpa Jadz’an.” Rasulullah saw. ditanya. “Mengapa?” Beliau bersabda, “Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar.”
Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada ‘Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai,
“Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya.”
Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq ra. yang menyebutkan, “Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, ‘Allah Swt. Berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.’ Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, “Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.’
Orang itu berkata. ‘Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?’ ‘Iya,’ jawab beliau. Orang itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.’”
Bukti (13f): Perbuatan baik non-muslim akan dibalasNya dengan kebaikan bukanlah kontradiksi dengan bahwa wilayah merupakan syarat dikabulkannya amal[6]
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa imam, bahkan wil?yah (im?mah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.
Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu’), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar’i, shalatnya shahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.
Bukti (13g): Keberagaman agama dalam pandangan falsafah ketunggalan wujud (wahdah al-wujud)[7]
Pandangan tentang ketunggalan wujud akan berimplikasi kuat pada penerimaan pada pluralisme (kejamakan cara beragama dan berteologi), suatu hal yang sangat diperlukan dalam era kebangkitan spiritualisme dan agama dalam milenium ketiga. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebelum menjadi presiden, telah terkenal sebagai tokoh kotroversial, salah satunya karena ide-ide beliau dalam masalah pluralisme. “Atas dasar inilah, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsionalisasikan agama secara maksimal. Gus Dur tidak menginginkan agama menjadi sekadar simbol, jargon, dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.”[8] Pandangan pluralisme ini juga diperlukan dalam menghadapi kecenderungan munculnya tribalisme (kesukuan) yang biasanya juga muncul seiring dengan fanatisme keagamaan sebagai satu dari paradoks global menghadapi alat ketiga yang telah diuraikan sebelumnya. Pluralisme memperoleh landasannya cukup kokoh di antara para sufi, tanpa mengurangi keyakinan dan kecintaan mereka kepada Islam sebagai agama Tuhan yang paling sempurna dan paling benar, Syaikh Abd al-Karim al-Jili menuliskan: “Ahli kitab dibedakan ke dalam banyak golongan. Mengenai orang barahimah (Hindu) diakui bahwa mereka termasuk penganut agama Ibrahim dan bahwa mereka adalah keturunannya dan memiliki cara beribadah sendiri. Orang barahimah memuja Tuhan tanpa mengikuti petunjuk nabi atau rasul. Mereka menyatakan bahwa dunia wujud ini tak lain adalah ciptaan Tuhan. Mereka mengakui Keesaan Wujud-Nya, namun menolak nabi-nabi dan rasul sama sekali. Pemujaan mereka terhadap Yang Benar serupa dengan pemujaan yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelum memperoleh nubuwat. Mereka mengaku sebagai putra-putra Nabi Ibrahim –salawat atasnya—dan menyatakan mereka memiliki sebuah kitab yang ditulis buat mereka oleh Ibrahim—salawat atasnya—sendiri, selain itu mereka mengatakan bahwa kitabnya itu berasal dari Tuhan. Di dalamnya kebenaran hal-hal dibicarakan dan terdiri dari lima bagian. Mengenai yang empat bagian setiap orang diperbolehkan membacanya. Namun bagian yang kelima tidak diperbolehkan dibaca semua orang kecuali sekelompok kecil di antara mereka, disebabkan kedalaman dan tak terhingga kandungannya. Mereka tahu siapa yang membaca bagian kelima kitab mereka akan dipeluk oleh Islam dan masuk ke dalam agama Muhammad—salawat atasnya.”[9] Penyair Sufi Persia Hatif Isfahani mengkritik sekaligus memuji agama Kristen sebagai agama yang “tidak menemukan” Tauhid di mana ajaran trinitasnya merupakan hambatan menuju tauhid yang benar dengan menggunakan bahasa yang lembut dan jauh dari kekasaran dan permusuhan.
Kukatakan di gereja pada seorang Kristen yang pandai memikat hati,
“O dalam jeratmu aku tertawan!
Dalam tali-temalimu tiap pucuk rambutku terikat!
Berapa lama kau akan tetap seperti ini.
Tak menemukan jalan menuju Tauhid?
Berapa lama kau akan tetap membelokkan Yang Satu dengan Trinitas?
Apakah benar menyebut Tuhan Yang Esa sebagai “Bapa”, “Anak”, dan “Roh Kudus”?
Ia membuka bibirnya yang manis mdan berkata padaku
Dan dengan tawanya yang manis dicurahkan gula dari bibirnya:
“Jika kau paham Rahasia Tauhid,
Jangan lempari kami dengan noda kekufuran!
Dalam tiga cermin Keindahan Yang Kekal melontarkan seberkas sinar
Dari Wajah-Nya yang berkilau-kilauan.
Sutra tidak berubah menjadi tiga macam kain
Jika kau menyebutnya Parniyan, Harir dan Parand.”[10]
Sementara kami bercakap, nyanyian ini
bangkit di samping kami dari lonceng gereja:
“Dia adalah Satu dan tiada selain Dia:
Tiada Tuhan kecuali Dia Sendiri.”[11]
Perlu dicatat dalam wacana pluralisme ini, adalah karya dari Fritjof Schuon; dalam karya ini Schuon mencoba mengungkap Kebenaran Mutlak yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama besar dunia, termasuk di dalamnya Islam, Kristen, Hindu, dan lain-lain, dengan uraiannya yang padat dalam mengungkap berbagai simbolisme.[12] Pembenaran Ketunggalan Wujud Mutlak (baca pula; Tuhan) yang secara fitri tertanam dalam diri manusia menjadi suatu dasar yang sahih bagi sikap pluralisme. Albert Einstein, penemu teori relativitas dan salah satu ilmuwan terbesar abad ke-20, menjelaskan tentang Kesemestaan Wujud dan Totalitasnya Yang Tunggal. “Ada lagi agama dan akidah ketiga, bersemayam dalam setiap pikiran tanpa kecuali, meskipun takkan Anda jumpai keseragaman cara mengkhayalkannya sesuai dengan beragamnya imajinasi setiap orang. Aku menyebut akidah ini ‘perasaan keagamaan yang melekat pada wujud semesta’. Sulit bagiku menjelaskan perasaan ini bagi orang yang tidak memilikinya, apalagi pembahasan di sini bukan berkenaan dengan Tuhan itu yang tampak dalam berbagai bentuk itu. Akidah ini mengajarkan kepada manusia tentang remehnya harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia serta agungnya apa yang berada di balik semua yang alamiah. Manusia akan merasa bahwa keberadaan dirinya adalah penjara dan ia ingin melepaskan dirinya dari penjara tubuhnya, untuk terbang meninggi menjumpai totalitas wujud ini secara serentak dan dengan hakikatnya yang satu.”[13] Perlu dikembangkan pendekatan rasional-mistis berdasarkan syari’at Islam dalam memberikan suatu basis yang kuat pada keyakinan Islam yang semakin kokoh seiring dengan munculnya pengkuan terhadap “kebenaran atau ketidaksesatan secara mutlak” agama lain. Budaya pluralisme dalam masyarakat Islam Indonesia mestinya akan mempunyai implikasi langsung dalam memperkuat ukhuwah islamiyah, jika seorang muslim bisa hidup berdampingan dengan orang Kristen, Yahudi, Hindu, dan lain-lain; bagaimana mungkin ia bisa mengkafirkan sesama muslim?[14]
[1] Murtadha Mutahhari, Al-‘Adl Al- Ilahiy , terjemahan Mizan, Bandung, 1992, hal. 244-245.
[2] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006, hal. 22-29
[3] ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, terjemahan Penerbit Lentera, Jakarta, 2010, hal. 379-380.
[4] ‘Allamah Sayid Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an, terjemahan Penerbit Al-Huda, 2004, Jilid 4, hal. 394.
[5] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.
[6] Ayatullah al-Uzhma Makari Syirazi, Menjawab 110 Isu Akidah, terjemahan Penerbit Divisi Budaya Majma Jahani Ahlul Bait as., 2008, halaman 198-199.
[7] Diambil dari makalah “Globalisasi yang memihak dan Islam Indonesia” karya penyadur tulisan ini (Dimitri Mahayana). Makalah tersebut telah disampaikan pad seminar dan lokakarya :Rancang Bangun Islam Melayu Menyambut Alaf Ketiga”, di Kairo, 2 – 3 November 1999, di Universitas Al-Azhar, Kairo.
[8] Al-Zastrow Ng. Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Penerbit Erlangga, 1999.
[9] Abd al-Karim al-Jili. Al-Insan Al-Kamil, Cairo, 1304, pp. 74 dan 87, dikutip dari Tasauf Dulu dan Sekarang tulisan Syed Husein Nasr, Pustaka Firdaus, 1994.
[10] Tiga kata yang berbeda-beda buat sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994)
[11] Terjemahan E.G. Browne dalam A Literary History of Persia, vol. IV, Cambridge, 1930, pp.293-4, dikutip dari sutra (Syed Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 160-1.)
[12] Frithjof Schuon, The Roots of Human Condition, (Terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
[13] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 51-2.
[14] Anehnya hal ini sering terjadi.