judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Sabtu, 03 Desember 2011

DAN DIA ADALAH HUSEIN (MAQTAL BAG 1)

oleh Malik Al-Asytar pada 9 Desember 2010 jam 12:54
Hujan Jerit Tangisan
Banjir Darah Suci
Melepas Raga
Lembah Nainawa Tergenang

Kisah Seniman Kematian
Ditelan Lautan Angkara Murka Nan Bergelombang
Bersemayam Didada
Hidup Dalam Keabadian Tak Berujung

Hujan Tikaman
Banjir Jenazah Darah Daging Nabi
Meregang Nyawa
Derita Karbala Terkenang

Di atas Jejak Kaki Pecandu Neraka
Jasad-jasad Agung Terlantar Tak Terkubur
Terinjak Kebiadaban
Tertinggal Tarian Para Pengusung Kepala

Di bawah Kepulan Asap Kekalahan
Ada Bara Api Kemenangan
Berkobar Tak Terpadamkan
Untuk Selamanya

Sang Surya telah tenggelam diufuk barat, lembayung jingga ditepian langit Madinah telah berganti warna. Perlahan berubah pekat dan membisu, membaur cahaya rembulan yang separuh sudah tertutup awan. Alunan dzikir satwa malam silih berganti mulai menyapa kegelapan. Kerlap-kerlip bintang gemintang berirama menyambut awal keheningan nan syahdu.

Disudut bumi Madinah, saat angin gurun yang menusuk berhembus, ditengah malam yang sunyi. Seseorang berwajah purnama bermunajat mengalunkan lafadz-lafadz suci para Nabi, merobek kebisuan malam yang menghitam.

Dari kedua sudut matanya mengalir hangat embun-embun bening, melintasi kedua tepian bibirnya yang suci, dan membasahi wajahnya yang begitu bercahaya. Ini adalah wajah Al-Husain cucu Rasul terbaik di alam semesta, putera Sang Hujjah Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib dan Fathimah Az Zahra’ wanita ter-Agung dijagad raya.

Kini Al-Husain berdiri sendirian ditengah pekatnya malam, ia terpaku dihadapan sebuah pusara suci, yang tak lain adalah pusara kakek tercintanya Rasulullah. Beliau bermunajat dan melafadzkan beberapa ayat, kemudian beliau berdoa :

“Ya Allah, ini adalah makam Nabi-Mu dan aku adalah putera dari puterinya. Telah menimpaku peristiwa yang telah Engkau ketahui. Engkau Mengetahui apa yang terbaik untukku, aku tidak menginginkan sesuatu apapun, kecuali hanya untuk menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Wahai pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku memohon kepada-Mu atas Nabi-Mu yang terkubur disini, apapun yang telah Engkau tetapkan, yang Engkau dan Rasul-Mu Ridhai.”

Al-Husain menangis sambil memeluk pusara kakeknya, ia sadar bahwa ini adalah pelukannya yang terakhir. Ia merintih dan mengadu akan segala kezaliman dan kepedihan yang ia dan keluarganya terima, dari orang-orang yang mengaku sebagai umat kakeknya.

Ia saksikan kaum Mu’minin yang shaleh menderita karena penindasan. Gemerlap cahaya istana telah memadamkan cahaya Islam. Istana yang didirikan dengan perampasan hak yang dihias dan diwarnai darah kaum Mustadh’afin. Arak dituangkan dicawan-cawan perak yang diperas dari keringat orang-orang lemah.

Hingar bingar musik tarian perut dimainkan, dan suara para pejuang Islam dibungkam dengan pedang. Pahlawan sisa-sisa Revolusi Muhammadi telah disingkirkan, dan bangkitlah bala tentara Namrud, anjing-anjing penjaga Bani Umayyah.

Al-Husain berada pada masa dimana para pewaris Fir’aun, mengawali khotbahnya dengan menyebut nama Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad sebagai utusan-Nya. Banyak kawan yang telah berubah menjadi kawan palsu. Keimanan telah mereka gadaikan dengan dirham. Penyakit hati yang diwariskan para Munafikin dizaman Nabi, kini kambuh lagi dizaman Al-Husain.

Dengarkanlah Al-Husain, ia merintih, mendekap pusara kakeknya sambil berkata:

“Salam bagimu Ya Rasulullah. Ini adalah aku Al-Husain putera Fathimah kesayanganmu dan juga putera kesayanganmu. Aku adalah cucumu dan pusaka yang telah engkau amanatkan kepada umatmu. Saksikanlah Ya Nabi Allah, kini mereka telah menghinaku, menelantarkan aku, dan tidak menjaga aku. Aku mengadu kepadamu hingga aku bertemu dengan mu.”

Al-Husain meletakkan kepalanya diatas pusara Nabi, sambil terus menangis diatas pusara Rasul, lalu ia sempat tertidur karena kelelahan. Tiba-tiba Nabi yang mulia datang menghampirinya. Dikawal para malaikat disebelah kiri dan kanan, didepan dan dibelakang. Kemudian Nabi merapatkan Al-Husain kedadanya dan mencium kening Al-Husain diantara kedua matanya, sambil berlinang air mata Rasul berkata :

“Husain sayangku, seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah, terbantai di Karbala, ditengah-tengah umatku. Waktu itu engkau kehausan dan tidak diberi minum; engkau dahaga dan tidak diberikan air. Padahal mereka mengharapkan Syafaatku. Demi Allah, Tidak! Mereka sama sekali tidak akan mendapatkan syafaatku. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. Mereka akan binasa disisi Allah. Kekasihku Husain, ayahmu, ibumu dan kakakmu menitipkan salam kepadaku untukmu, mereka sangat merindukanmu. Bagimulah derajat yang tinggi di surga yang tak tercapai kecuali dengan kesyahidan.”

Sebelum fajar menyingsing Al-Husain terbangun, teramat berat lisannya yang suci mengucapkan salam perpisahan kepada kakeknya. Imam berikrar akan menegakkan kembali Islam yang diajarkan Rasulullah. Islam yang menentang kezaliman, Islam yang melawan penindasan yaitu; Islam kaum Mustadh’afin.

Al-Husain kemudian bergegas menemui sanak keluarganya, dan meminta mereka berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal, dan meminta mereka agar selalu tabah. Sebelum berangkat, Imam meninggalkan wasiat kepada saudaranya Muhammad Hanafiah.

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Ini adalah wasiat Husain Bin Ali. Husain bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kakekku Muhammad adalah hamba-Nya. Surga adalah Haq, dan neraka itu Haq dan hari akhir akan datang tanpa keraguan. Dan Allah akan membangkitkan semua manusia dari kuburnya.

Tentu perjuanganku bukanlah sebuah kejahatan dan keangkuhan. Aku mendukung perbaikan terhadap Muslimin sepeninggal ayahku. Aku bangkit untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran, demi mengikuti sunnah kakekku dan ayahku.

Siapapun yang menerimaku sebagai kebenaran, Allah adalah pelindung kebenaran. Dan siapapun yang menolak, aku akan menunggu keputusan Allah antara aku dengan mereka. Karena Dia adalah Hakim yang terbaik. Ini adalah wasiatku kepada saudaraku, dan semua keberhasilan aku gantungkan hanya kepada Allah, dan hanya kepada-Nya aku berserah diri.”

Esok harinya, Al-Husain mengumpulkan sanak keluarga, anak-anak dan para sahabatnya, kemudian Imam bersiap-siap untuk segera berangkat menuju Kufah. Kepergiannya mengoyak hati para sahabat setia Nabi yang tersisa, namun mereka sudah teramat uzur, dan sudah tidak berdaya untuk turut serta dalam barisan Al-Husain.

Ummu Salamah, Ummul Mu’minin, Istri Rasulullah mengantarkan Al-Husain dengan uraian air mata, yang mengalir deras dari selah kelopak matanya yang sudah uzur. Ummu Salamah terkenang saat ia bersama suami tercintanya Rasulullah.

Ia teringat pada suatu malam, Rasul berbaring untuk tidur kemudian Rasul terbangun dalam keadaan resah. Kemudian Rasul berbaring untuk mencoba tidur kembali, lalu Rasul terbangun lagi dan resah seperti semula. Dan Rasul mencoba tidur lagi, dan terbangun kembali. Pada tangannya ada segenggam tanah merah, dan beliau tidak berhenti menciumi tanah itu.

Maka aku bertanya kepada beliau:”Tanah apakah ini Ya Rasulullah?” Kemudian Rasul menangis dan menjawab :”Baru saja Jibril memberitakan kepadaku, bahwa cucuku Al-Husain akan terbunuh di Irak, inilah tanah tempat darahnya ditumpahkan”. Kemudian Rasul memberikan tanah itu kepadaku, seraya berkata: ”Tanah ini berasal dari bumi tempat Al-Husain terbunuh. Jika tanah ini telah berubah menjadi darah, ketahuilah bahwa cucuku Al-Husain telah terbunuh.”

Lalu aku menyimpan tanah itu didalam botol. Aku berkata bahwa hari ketika tanah ini berubah menjadi darah, adalah hari yang teramat menggemparkan.

Dengan penuh kesedihan dan tetesan air mata, Imam mengucapkan selamat tinggal kepada sanak keluarganya yang ia tinggalkan, Imam mengetahui bahwa ini adalah pertemuannya yang terakhir dengan mereka. Kemudian iring-iringan kafilah keluarga Nabi mulai beranjak pergi, menuntun tali kekang kuda dan unta yang tertatih termakan usia, kereta sisa-sisa revolusi Muhammadi.

Rombongan Al-Husain yang berjumlah tak lebih dari tujuh puluh dua orang, bergerak dari Madinah pada malam hari, 28 Rajab 60 H (680 M), kafilah itu meninggalkan jejak samar dibahu sahara tak berujung. Tampak disetiap sudut mata nan indah bergelayut mutiara kepedihan, menghempas paras mereka yang terang.

Ayunan langkah suci mulai menjauh meninggalkan pintu gerbang Madinah, dari kejauhan cahaya kota mulai terlihat redup, terhalang dinding malam yang begitu pekat. Kafilah terus berjalan, menembus angin dingin sahara yang teramat menggigit sum-sum. Derap kaki suci dipasir gurun mengalunkan Dzikir lebih dari suara sejuta malaikat. Tak ada keluh kesah, hanya lantunan nyanyian para An Biyya’ yang meluncur tipis dari selah bibir para kekasih Allah ini.

Malam telah berganti malam dan siang pun berulang, setiap langkah kaki suci itu melukiskan jejak duka yang teramat dalam diatas kanvas pasir. Tetesan keringat dan air mata terserap debu sahara, meninggalkan pesan tentang sebuah pengorbanan. Kafilah keluarga Nabi, terus menempuh perjalanan menuju Makkah yang menghabiskan waktu selama tiga hari. Imam beserta keluarganya memilih jalur utama dalam perjalanannya menuju Makkah.

Beberapa orang mencoba untuk meyakinkan Imam agar mengambil jalur yang lain, agar menyulitkan Gubernur Madinah saat mengejar rombongan Al-Husain. Namun Imam menolak seraya berkata: “Aku tidak akan menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan Allah, dan menjalankan apa pun yang telah diputuskan-Nya.”

Ini perjalanan kafilah keluarga Nabi yang memiliki tujuan dan langkah kaki yang berbeda, ini adalah perjalanan Musafir yang sudah teramat dahaga, dan begitu rindu untuk meneguk manisnya darah SYAHADAH.

Setelah tiga hari perjalanan, kafilah keluarga Nabi itupun tiba di Baitullah. Selama di Makkah Al-Husain tinggal dirumah Abbas. Kehadiran permata Az Zahra’ bak kutub magnet yang menjadi pusat perhatian masyarakat di Makkah. Mendengar kedatangan pemimpin surga, penduduk Makkah dan para peziarah yang ingin melaksanakan ibadah Hajji, bergelombang berdatangan mengunjungi cucu Nabi nan Agung ini.

Selama di kota suci, kafilah keluarga Nabi melaksanakan ibadah Umrah terakhirnya, kemudian berziarah ke makam nenek tercinta Khadijah Al-Kubra untuk melepas kerinduan, sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan dan berdoa di sana.

Ketika Al-Husain berada di Makkah, masyarakat Kufah mengirim surat mengundang Imam. Masyarakat Kufah terus memohon agar Imam segera bergabung dengan mereka di Kufah. Al-Husain menerima tidak kurang dari dua kantung besar surat, yang kesemuanya berisi dua belas ribu surat.

Dihadapan Baitullah, Imam melaksanakan shalat dua rakaat diantara rukun dan Maqam Ibrahim. Selesai shalat Imam memanggil sepupunya, Muslim Bin Aqil, dan menceritakan kepada Muslim tentang apa yang telah terjadi. Kemudian Imam menulis surat jawaban untuk masyarakat Kufah, yang berisi:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Husain Bin Ali, kepada kaum Muslimin yang meyakininya. Dengan hormat, telah datang surat kalian kepadaku. Dan aku memahami setiap persoalan yang kalian sampaikan, dan pendapat kalian secara umum tentang tidak adanya kepemimpinan, kemudian kalian meminta kesediaan kami. Allah SWT akan membimbing kami, hingga kami sampai kepada kalian, demi sebuah kebenaran. Oleh karena itu aku, aku mengutus Muslim Bin Aqil kepada kalian, saudara juga sepupuku yang terpercaya dari keluargaku. Aku memerintahkannya untuk melihat semua kondisi dan keinginan kalian. Kemudian aku akan datang kepada kalian sesegera mungkin.

Terakhir, seorang pemimpin harus mengikuti Al-Qur’an dan bekerja hanya untuk masyarakat. Ia harus percaya akan kebenaran dan hanya yakin kepada Allah. Salam damai selalu.”

Selanjutnya Imam memberikan surat itu kepada Muslim Bin Aqil dan memerintahkannya untuk segera pergi ke Kufah dan berpesan: “Berangkatlah engkau ke Kufah. Apapun yang terjadi, Allah akan senantiasa menolong. Ku berharap agar engkau dan aku bisa berada dalam golongan orang yang Syahid. Ketika engkau tiba di Kufah, bergabunglah bersama orang-orang yang dapat dipercaya.”

Pada saat mengucapkan salam perpisahan kepada Al-Husain, Muslim mencium tangan dan kaki Imam sambil berkata:

“Aku menjadi tebusanmu, aku tahu ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Pertemuan kita berikutnya kelak pada hari kebangkitan.” Muslim menangis dan Imam pun menangis, kemudian Imam memeluk Muslim untuk menghiburnya.

Ketika Muslim keluar sambil menangis, seseorang bertanya kepadanya apa yang menyebabkan ia menangis. Lalu Muslim menjawab: “Aku menangis karena waktu akan memisahkan aku dengan Al-Husain.”

Muslim Bin Aqil meninggalkan Makkah pada 15 Ramadhan, dan tiba di Kufah pada 5 Syawal, kemudian Muslim mendatangi rumah Mukhtar Ats Tsaqafi di Kufah. Semenjak Muslim datang, penduduk Kufah menyambutnya dan menyatakan kesetiaanya kepada Al-Husain. Jumlah mereka sekitar 18 ribu pendukung. Kemudian Muslim menulis surat kepada Al-Husain , untuk menjelaskan keadaan dan keinginan masyarakat yang sedang menanti kedatangan Imam.

Ibnu Ziyad selaku gubernur Kufah mendengar berita tersebut, kemudian dengan segera pergi ke Masjid dan berkhotbah. Dalam khotbahnya Ibnu Ziyad mengancam akan menggantung dan membunuh siapapun yang membela Al-Husain, dan menjanjikan imbalan bagi yang meninggalkan Imam.

Ibnu Ziyad memerintahkan pasukannya untuk mencari Muslim Bin Aqil dan memerintahkan untuk membunuhnya. Lewat mata-matanya yang bernama Ma’qil, Ibnu Ziyad mengetahui bahwa Muslim Bin Aqil bersembunyi dirumah Hani Bin Urwah, Hani adalah orang tua yang sudah berumur delapan puluh sembilan tahun. Dan ia merupakan sahabat setia Rasulullah dan Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib.

Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan pasukannya untuk menangkap Hani dan menyeretnya keistana. Ibnu Ziyad meminta Hani Bin Urwah untuk berkhianat kepada Muslim Bin Aqil dengan menyerahkan Muslim kepadanya, lalu orang tua itu menjawab : “Seandainya ia berada dibawah telapak kakiku, aku tetap tidak akan mengangkat kakiku untuk menyerahkannya kepadamu.”

Mendengar jawaban Hani, Ibnu Ziyad marah kemudian Ibnu Ziyad mencabut pedangnya dan dengan kejam Ibnu Ziyad memotong hidung orang tua itu hingga terputus, dan memenjarakannya dibawah tanah. Dikarenakan rasa takut, masyarakat Kufah yang telah berjanji setia kepada Al-Husain, kini mereka satu persatu telah mengkhianati janjinya dan pergi melupakan baiatnya kepada Imam.

Kini Muslim Bin Aqil tinggal sendirian. Sepupu Al-Husain ini berjalan seorang diri dilorong-lorong kota Kufah. Setelah beberapa waktu berjalan, Muslim kelelahan dan beristirahat dipinggir jalan.

Muslim beristirahat didekat salah satu rumah yang dihuni oleh seorang perempuan tua yang bernama Thaw’ah. Saat itu Thaw’ah sedang menanti puteranya pulang, Ia melihat dan mengenali Muslim yang sedang berdiri sendirian dipinggir jalan. Perempuan itu menghampiri dan mempersilahkan Muslim agar singgah kerumahnya, kemudian ia memberinya minum, makan dan memberi Muslim tempat untuk beristirahat.

putera Thaw’ah pulang dan melihat ibunya berada diluar kamar, ia bertanya apa yang telah terjadi. Awalnya Thaw’ah menolak untuk menceritakan kepada puteranya. Namun puteranya memaksa dan berjanji untuk merahasiakannya. Kemudian perempuan tua itu menceritakan apa yang telah terjadi.

Fajar belum menyingsing, putera Thaw’ah yang bernama Bilal bergegas menemui Ibnu Ziyad, dan menceritakan rahasia tentang keberadaan Muslim Bin Aqil dirumahnya. Lalu Ibnu Ziyad memerintahkan komandan pasukannnya yang bernama Ibnu Asy’ath untuk segera membawa tiga ratus pasukan untuk menangkap Muslim Bin Aqil.

Selagi Muslim sedang shalat shubuh, ia mendengar suara ringkikan kuda didepan rumah Thaw’ah, dan menyadari bahwa dirinya telah ditemukan oleh pihak musuh. Muslim menyelesaikan shalatnya, dan segera menemui Thaw’ah dan berkata kepadanya:

“Engkau telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, Rasulullah telah memberikan Syafa’at kepadamu. Tadi malam aku bermimpi pamanku Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib datang kepadaku, Ia memberitahukanku, “Duhai Muslim, Besok engkau akan segera bergabung denganku.”

Pasukan musuh turun dari kudanya dan memaksa masuk kerumah Thaw’ah. Muslim menghadapi mereka dan memaksa mereka keluar dari rumah itu. Muslim berperang dengan gagah berani, Muslim mendorong semua pasukan musuh keluar rumah dan dengan cepat Muslim berhasil membunuh empat puluh satu pasukan musuh.

Muslim berperang dengan seluruh kekuatannya, kerena ia mengetahui peperangan ini adalah yang terakhir baginya. Ia menebas dan memukul pasukan yang ada didekatnya. Beberapa pasukan musuh dicengkram dengan tangannya kemudian dilemparkan keatap rumah oleh Muslim Bin aqil.

Lebih dari seratus delapan puluh pasukan Ibnu Ziyad mati dan sisanya terluka, melihat sebagian besar pasukannnya telah terbunuh, komandan pasukan mengirim pesan kepada Ibnu Ziyad untuk meminta pasukan tambahan.
Ibnu Ziyad menjawab “Aku mengirim engkau hanya untuk menangkap satu orang! Bukan sekelompok pasukan bersenjata lengkap!”

Komandan pasukan itupun menjawab: “Apakah engkau berpikir, aku diperintahkan untuk menangkap seorang pelayan toko sayur di kota Kufah? Tetapi engkau telah memerintahkan aku untuk menangkap sebilah pedang dari Keluarga Muhammad.”

Kemudian Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan sambil berpesan kepada Ibnu Asy’ath: “Gunakanlah tipu daya dalam menghadapinya, karena dengan cara lain engkau tidak akan mampu menghadapinya.”

Muslim berperang satu lawan satu, maka majulah dari pihak musuh yang bernama Bukair. Muslim langsung memukul Bukair dua kali, dan Bukair balas memukul, pedang Bukair melukai mulut suci Muslim dan merobek bibir bagian atasnya. Kemudian Muslim membalas dengan memukul kepala Bukair dan menebas leher Bukair hingga tewas.

Pihak musuh menyadari pesan Ibnu Ziyad, bahwa mereka tidak mungkin dapat menangkap Muslim dengan perang satu lawan satu. Dan pihak musuh memakai cara licik untuk melumpuhkan Muslim, sebagian musuh naik keatas atap rumah dan melempari kepala Muslim Bin Aqil dengan batu dan panah api.

Batu menghujani kepala keponakan Amirul Mu’minin, dan beberapa anak panah menancap ditubuh Muslim yang sudah tidak berdaya. Sehingga membuat tubuh Muslim menjadi lemah, karena begitu banyak luka dikepala dan ditubuhnya, yang telah banyak mengeluarkan darah. Tubuh Muslim terhuyung-huyung dan hampir terjatuh, kemudian Muslim berpegangan dan bersandar pada sebuah dinding. Tentara Ibnu Ziyad terus memanah dan melempari kepala Muslim dengan batu. Dengan suara lemah Muslim berkata :

“Kenapa kalian masih melemparkan batu dan panah pada orang yang sudah teramat lemah ini? Kami adalah keluarga Rasulullah. Dan kami bukanlah orang yang tidak beriman.”

Kemudian Ibnu Asy’ath sebagai komandan pasukan datang mendekati Muslim. Dengan tenaga yang tersisa, Muslim menyerang komandan itu yang segera melarikan diri. Ketika Ibnu Asy’ath menjauh dari Muslim, ia memberi perintah agar seluruh pasukan menyerang Muslim dengan cepat dari semua arah. Seorang musuh berhasil memukul kepala Muslim dari belakang dan Muslim pun terjatuh. Mereka segera merampas pedang dari tangan Muslim dan menangkapnya.

Pasukan menyeret Muslim keistana Ibnu Ziyad. Dahaga telah mencekik leher Muslim, dan ketika Muslim melihat air, ia meminta sedikit air untuk meminumnya. Pengawal Ibnu Ziyad yang bernama Ibnu Bahili dengan kasar berkata kepada Muslim: “Engkau tidak akan mencicipi air ini hingga engkau mencicipi api neraka.”

Muslim menjawab: “Siapakah engkau? Semoga ibumu berduka atas kematianmu. Betapa engkau adalah orang yang paling celaka. Engkaulah yang lebih layak mencicipi api neraka dari pada aku, dan engkau akan kekal didalamnya.”

Ibnu Ziyad menyeret Muslim dengan tangan terikat hingga didepan istana Ibnu Ziyad, dan memerintahkan Muslim untuk duduk dilantai seperti seorang budak. Kemudian seorang wanita bernama Umarah mengenali Muslim dan menghampiri Muslim untuk memberi semangkuk air.

Ketika Muslim mencoba untuk meminumnya, dengan cepat mangkuk air itu terisi dengan darahnya. Hingga tiga kali Muslim mencoba untuk meminumnya, darah dari bibirnya yang terbelah, kembali mengalir masuk kedalam mangkuk airnya. Muslim meletakkan mangkuk itu dan tidak meminumnya.

Sesaat kemudian pengawal menyeret Muslim masuk kedalam istana, sambil membentak, “Ucapkan salam kepada gubernur Ibnu Ziyad!!” Muslim menjawab: “Cukup!! Ia adalah gubernur-mu. Aku hanya akan mengucapkan salam kepada siapapun yang mengikuti kebenaran.”

Ibnu Ziyad terkekeh sambil berucap: “Jika engkau mengucap salam ataupun tidak, engkau tetap akan mati.” Muslim berkata: “Jika engkau membunuhku, maka akan ada orang yang lebih baik dibanding dengan terbunuhnya diriku sekarang ini, oleh orang jahat sepertimu.”

Ibnu Ziyad pun berkata: “Engkau memberontak kepada pemimpinmu Yazid, dan memecah belah Muslimin dan menciptakan kekacauan.”

Lalu Muslim menjawab: “Sebaliknya! Muawiyyah dan Yazid yang telah memecah belah Muslimin dan menciptakan kekacauan. Dan ayahmu Ziyad, adalah awal dari kerusakan ini! Aku ingin meraih Kesyahidan oleh orang-orang yang terburuk didunia ini.”

Kemudian Ibnu Ziyad mengutuk Ali Bin Abi Thalib dan Al-Husain. Lalu Muslim berteriak: “Engkau dan ayahmu lebih layak atas kutukan tersebut, bahkan lebih dari itu!”

Ibnu Ziyad memerintahkan seorang budaknya dari Syria untuk menyeret Muslim keatap istana. Budak itupun menyeret tubuh Muslim yang sudah lemah keatap istana. Muslim berteriak: “Maha Suci Allah! Ya Allah! Adililah antara kami dan orang-orang yang telah mengkhianati kami, menipu kami dan meninggalkan kami.”
Kemudian Muslim memalingkan wajahnya kearah Madinah sambil berkata: “Salam sejahtera untukmu…Duhai Husain.”

Seketika budak biadab itupun menarik kepala Muslim, dan meletakkan pedangnya dileher Muslim yang sedang tercekik rasa haus, dan mulai menggerakkan pedangnya menyembelih leher Muslim, ketika mata pedang durjana yang tajam itu mulai menembus kulit Muslim, darah suci itupun mulai mengaliri leher keponakan Amirul Mu’minin.

Sambil menahan rasa sakit meregang nyawa, bibir Muslim bergetar mengucapkan kalimat Tauhid, dan terhenti ketika mata pedang itu mulai merobek urat leher Muslim. Dan budak itu terus menggorok leher Muslim, hingga kepala sepupu Al-Husain itu terputus, kemudian dengan bengis budak Syiria itu melemparkan kepala dan sisa potongan tubuh Muslim Bin Aqil ke tanah.

Ibnu Ziyad kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Hani Bin Urwah. Pengawal Ibnu Ziyad itupun menebas leher sahabat setia Al-Husain itu, hingga kepalanya terlepas dari jasadnya. Dan Ibnu Ziyad memerintahkan agar potongan tubuh Muslim dan Hani yang sudah tanpa kepala, agar diseret berkeliling di jalan-jalan kota Kufah.

Setelah puas menyeret dua potongan tubuh pembela Al-Husain itu, pasukan Ibnu Ziyad kemudian membuang tubuh-tubuh suci itu ketempat sampah. Dan segera mengirimkan potongan kepala Muslim dan Hani ke Damaskus, untuk dihadiahkan kepada Yazib Bin Muawiyyah. Dan Yazid menggantung dua kepala suci itu dipintu gerbang kota Damaskus.

Beserta dua kepala itu, Ibnu Ziyad mengirim surat kepada Yazid, yang berisi, “Puji Syukur kepada Allah, sebagai pemimpin orang beriman yang berhasil. Aku telah menangkap Muslim Bin Aqil dirumah Hani Bin Urwah. Aku menyebar mata-mata disekitar mereka, hingga aku menemukannya. Aku penggal kepala mereka dan mengirimkannya untukmu melalui dua utusan yang kupercaya, dan mereka akan menceritakan kejadian ini secara rinci.”

Yazid terlaknat membalas surat anak haram tersebut, “Engkau telah melaksanakan tugas secara bijaksana, apa yang semestinya dilakukan terhadap Muslim Bin Aqil. Engkau telah berbuat benar, seperti apa yang telah aku percayakan kepadamu. Aku sudah meminta penjelasan dari kedua utusanmu secara rinci, dan aku juga mendengar bahwa Husain Bin Ali telah berangkat menuju Irak. Engkau harus waspada dan pasukanmu harus segera bertindak jika ada yang mencurigakan. Jangan menunggu pembuktian. Husain adalah masalah besar. Apapun keadaannya, engkau harus memeranginya, dan mengirimkan Kepala Husain kepadaku.”

Sesaat sebelum Al-Husain meninggalkan Makkah, dihadapan penduduk Makkah dan Muslimin yang sedang melaksanakan Hajji, Imam memberikan khotbah, “Dengan Nama Allah. Segala Puji bagi Allah. Kematian yang tertulis pada anak-anak Adam bagaikan kalung manik-manik yang melingkari leher seorang wanita. Sungguh, aku sangat merindukan perjumpaan dengan keluargaku yang telah mendahului aku, seperti kerinduan Ya’qub kepada Yusuf. Dan Allah telah menetapkan bagiku tempat yang harus aku datangi.

Aku melihat diriku akan dicerai beraikan oleh binatang buas diantara Karbala dan Nainawa. Apapun yang Allah inginkan, maka kami akan melakukannya. Kami adalah hamba, yang dengan perjanjian-Nya tidak akan menyimpang dari ajaran Rasulullah. Siapapun yang ingin mengorbankan dirinya dijalan kami dan siap mempersembahkan nyawanya untuk bertemu Allah. Maka bergabunglah dengan kami, Ia dapat berangkat bersama kami besok pagi.”

Pada 8 Dzulhijjah, Al-Husain disertai keluarga dan para sahabatnya yang sedikit, bergerak meninggalkan Baitullah. Begitu banyaknya orang yang melaksanakan ibadah Hajji dan juga penduduk Makkah, namun hampir tidak ada satupun yang berkeinginan membantu Al-Husain, kecuali keluarga dekatnya Al-Husain.

Muslimin di Makkah ingat akan kewajiban Hajji, tetapi mereka telah melupakan jasa Rasulullah dengan menelantarkan putera kesayangan Fathimah. Mereka lebih memilih bersembunyi dan berdzikir disudut-sudut Masjid, sambil mencuri dengar berita terbunuhnya Al-Husain, dari pada membantu Cucu kesayangan Rasulullah ini.

Mereka melupakan amanat Nabi tentang kewajiban umat untuk mencintai dan menjaga Ahlul Bait nya. Dan mereka lebih mencintai dan memikirkan keluarga dan diri mereka sendiri, dengan membiarkan cucu kesayangan Nabi mereka sendiri, terpanggang rasa dahaga dan terpotong-potong anggota tubuhnya dipadang Karbala.

Setelah beberapa hari melalui perjalanan yang melelahkan, maka tibalah kafilah Al-Husain dan mendirikan kemah untuk beristirahat disuatu daerah yang bernama HAJIR. Disini Imam belum mengetahui tentang pengkhianatan masyarakat Kufah dan Syahidnya Muslim Bin aqil serta Hani Bin Urwah. Ditempat ini Al-Husain mendirikan kemah dan menulis surat untuk Muslim Bin Aqil, dan meminta Qais Bin Mashar untuk mengantarkannya ke Kufah.

Dalam surat tersebut Al-Husain menulis, “Wahai orang-orang Kufah! Aku sudah menerima surat Muslim Bin Aqil yang menyebutkan bahwa kalian sudah berkumpul untuk membantu kami, dan meyakini kebenaran kami. Aku meminta kepada Allah Yang Maha Kuasa, untuk memberi penghargaan atas tindakan kalian. Karena alasan inilah aku meninggalkan kota Makkah pada hari Kamis 8 Dzulhijjah. Ketika utusanku tiba, bersatulah hingga aku tiba di Kufah, beberapa hari lagi.”

Ketika utusan Imam Qais Bin Mashar tiba di QADISIYAH, ia ditangkap oleh pasukan Ibnu Ziyad. Mereka menggeledah Qais, namun secepat itu juga Qais merobek surat Al-Husain. Dan Qais dibawa keistana Ibnu Ziyad dikota Kufah.

Ibnu Ziyad bertanya kepada Qais: “Mengapa engkau merobek surat itu?” Lalu Qais menjawab: “Agar engkau tidak mengetahui apa isi surat tersebut.” Ibnu Ziyad marah: “Engkau harus menceritakan isi surat itu.”

Dan Qais tetap menolak dan Ibnu Ziyad berkata: “Engkau harus naik ke mimbar dan terus menerus harus mengutuk Husain, keluarganya dan ayahnya. Atau aku akan memotong-motong tubuhmu!”

Dengan gagah berani Qais Bin Mashar menaiki mimbar dan melakukan hal sebaliknya, ia memuji Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain. Kemudian mengutuk Ibnu Ziyad, ayahnya dan Bani Umayyah. Qais melanjutkan: “Wahai orang-orang Kufah! Aku adalah utusan Al-Husain untuk kalian!”

Lalu Qais menceritakan pesan Al-Husain kepada mereka dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam, terakhir Qais berteriak lantang, “Berilah pertolongan kepada Al-Husain!”

Mendengar itu Ibnu Ziyad sangat marah dan memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Qais dan memerintahkan untuk membawa Qais kemenara istananya, tidak ada satupun orang Kufah yang berusaha menolong Qais. Setelah sampai dipuncak menara, kemudian para pengawal durjana itu mengangkat tubuh Qais dan melempar tubuh Qais yang terikat dari puncak menara istana.

Dan tubuh tak berdaya Qais pun melayang jatuh menghantam tanah dengan sangat keras. Sehingga tulang belulang sahabat setia Al-Husain itupun remuk, tulang lehernya patah dan darah segar mengalir dari mulut, telinga dan hidungnya. Sambil menahan rasa yang teramat sakit, sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, Qais masih sempat berucap: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.”

Disuatu tempat yang bernama ZARUD. Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk mendirikan kemah. Rombongan Zuhair Bin Qa’in dari Kufah telah lebih dahulu mendirikan kemah ditempat itu. Pada awalnya Zuhair tidak mengetahui bahwa kafilah keluarga Nabi telah mendirikan kemah berdekatan dengan kemahnya.

Saat sedang makan siang, seorang utusan Al-Husain datang menemui Zuhair dan menyampaikan pesan bahwa Al-Husain ingin bertemu dengannya. Dan Zuhair pun segera pergi meninggalkan kemahnya menuju kemah Al-Husain. Sesaat kemudian Zuhair kembali dengan wajah sangat bahagia. Lalu Zuhair memerintahkan rombongannya untuk membongkar kemah dan bergabung dengan kemah rombongan Al-Husain.

Kemudian Zuhair berkata pada istrinya: “Duhai istriku, kembalilah kepada keluargamu, aku tidak ingin engkau bersedih sedikitpun disebabkan kematianku .”

Istri Zuhair menjawab: “Apapun yang engkau telah putuskan, aku pun telah memutuskan untuk selalu tetap bersamamu. Aku mohon kepadamu, tolong engkau sebutkan namaku dihadapan Rasulullah kakeknya Al-Husain, dihari penghakiman nanti.”

Ditempat pemberhentian inilah, Al-Husain dan keluarganya mendengar tentang Syahidnya Muslim Bin Aqil dan Hani Bin Urwah. Imam sangat terpukul, air matanya mengalir deras dan berulang kali berucap, “Allah memberkati mereka.” Kafilah keluarga suci Nabi dan para sahabatnya menangis mendengar berita yang sangat menyedihkan itu.

Pada hari berikutnya kafilah Al-Husain kembali melanjutkan perjalanannya, dan tibalah didaerah yang bernama SYIRAF. Didaerah itu pada siang hari Hurr Ar Riyahi dengan seribu pasukan bersenjata lengkap muncul dihadapan Al-Husain, sambil membawa pesan dari Ibnu Ziyad kepada dirinya, agar mencegah Al-Husain kembali ke Madinah, atau menangkapnya dan membawanya ke Kufah.

Ketika Al-Husain melihat pasukan Al Hurr tengah kehausan, Imam meminta kepada seluruh pengikutnya untuk memberi air untuk pasukan Al Hurr dan kudanya. Pengikut Al-Husain memberikan kepada mereka seluruh persediaan air. Hingga pasukan Al Hurr dan tunggangannya terlepas dari rasa dahaga.

Al-Husain meneruskan perjalanan dengan digiring kawalan pasukan Al Hurr, yang sedang menunggu surat jawaban dari Ibnu Ziyad. Kemudian sampailah iring-iringan ini disuatu tempat yang bernama BAIDHAH, ditempat ini Imam dan pengikutnya beristirahat, kemudian Imam memberikan Khotbah kepada pasukan Al Hurr :

“Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, ‘Barang siapa melihat seorang pemimpin yang tidak adil, merubah yang haram menjadi halal, yang mengingkari janjinya, yang menentang Sunnah Rasulullah dan dia tidak melakukan penentangan terhadap pemimpin itu, baik dengan kekuatan atau dengan kata-katanya, maka Allah SWT akan memasukkannya kedalam golongan orang-orang yang Zalim.’

Tentu saja, mereka (Bani Umayyah) adalah pengikut Setan dan sudah meninggalkan ketaatannya kepada Allah. Mereka menyebarkan kejahatan, mereka halalkan apa yang diharamkan oleh Allah, mereka salah gunakan kekayaan, dan mereka merubah aturan yang benar.

Dan aku adalah orang yang paling berhak atas kepemimpinan ini lebih dari siapapun. Surat dan utusan yang kalian kirim telah datang kepadaku dengan sumpah setia, dan menjelaskan bahwa kalian tidak akan mengkhianatiku, dan jika aku memimpin kalian, maka kalian akan memperoleh kemenangan.

Aku adalah Husain putra Ali dan Fathimah putri Rasulullah. Jiwaku ada bersama kalian, jiwa keluargaku ada bersama jiwa keluarga kalian, dan aku adalah salah satu dari kalian. Jika kalian berkhianat, mengingkari janji dan kesetiaan kalian kepadaku, sungguh itu tidak akan membuatku terkejut. Karena kalian pernah melakukannya kepada ayahku, saudaraku dan sepupuku.
Dan jika kalian melakukannya, kalian telah menghancurkan kesempatan kalian sendiri, kalian sudah mengkhianati janji kalian sendiri, mendustai serta melawan diri kalian sendiri.”

Setelah menyelesaikan Khotbahnya, Al-Husain dan kafilahnya kembali melanjutkan perjalanannya, dan setelah melalui 23 hari perjalanan, tibalah kafilah Al-Husain disebuah padang tandus didekat sungai Furat.

Hurr Ar Riyahi dan angkatan perangnya menghadang kafilah keluarga Nabi agar tidak berjalan lebih jauh. Kuda dan unta yang membawa rombongan Al-Husain berhenti, dan Imam bertanya kepada Zuhair, “Apa nama tempat ini?”

Zuhair menjawab: “Tempat ini bernama Thuf.”

Imam bertanya lagi, “Adakah nama lain untuk tempat ini?” Dan Zuhair pun menjawab, “Tempat ini juga disebut KARBALA.”

Mendengar kata Karbala, air mata Imam pun menetes dan Imam berucap, “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari Karb dan Bala’. Disini adalah tempat dimana kami akan mendirikan kemah, disini adalah tempat dimana darah kami akan tertumpah. Disini adalah tempat kuburan kami. Ini adalah tempat yang telah kakekku ceritakan kepadaku.

Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk mendirikan kemah ditempat itu. Pada saat memasuki hari kedua bulan Muharram, cucu Rasulullah itu mengumpulkan semua keluarga dan sahabatnya. Imam lalu berkata: “Ya Allah! Kami keluarga Rasul-Mu Muhammad, telah diburu hingga menyingkir dari rumah kami di Madinah. Putra-putra Bani Umayyah telah menzalimi kami. Ya Allah! Lindungilah kebenaran untuk kami, dan bantulah kami melawan orang-orang yang Zalim.”

Kemudian Al-Husain melanjutkan, “Manusia adalah budak dari dunia. Agama hanyalah apa yang mereka ucapkan. Mereka menggunakannya selama itu menguntungkan hidup mereka. Ketika mereka diberi ujian, orang-orang yang beriman hanya sedikit jumlahnya. Semua dari kalian mengetahui apa yang akan terjadi menimpa kita, dan kalian telah mengetahui bagaimana dunia telah mengarahkan wajahnya kepada kita. Saat ini kebenaran sedang menimbang kejahatan. Dan tidak ada kebaikan melainkan hanya sedikit. Kalian telah menyaksikan bahwa kebenaran tidak ditegakkan, dan kemungkaran tidak dicegah. Sungguh, bagi yang percaya, tidak akan menginginkan sesuatu kecuali pertemuan dengan Allah. Dan aku tidak melihat kematian melainkan sebuah kebahagiaan, dan hidup bersama manusia-manusia Zalim melainkan sebuah kehinaan.”

Ketika Al-Husain selesai berkhotbah, Zuhair Bin Qa’in berdiri dan berkata: “Duhai cucu Rasulullah, kami telah mendengarkan khotbahmu. Jika seluruh dunia beserta isinya ini abadi, kami akan tetap bersamamu hingga dunia beserta isinya ini berakhir.”

Lalu Burair Bin Hudhair pun berdiri dan berkata: “Duhai putra Rasulullah, adalah sebuah kehormatan bagi kami untuk berjuang bersamamu, dan limpahkanlah Syafa’at kakekmu kepada kami dihari penghakiman nanti.”

Giliran Nafi Bin Hilal Jamali berdiri dan berkata: “Duhai putra Fathimah, kakekmu adalah utusan Allah, yang hidup ditengah-tengah manusia, beberapa diantara mereka adalah orang-orang Munafik yang berpura-pura membantunya. Tetapi pada kenyataannya mereka sembunyikan diri mereka untuk mengkhianati Rasul. Dan ayahmu Amirul Mu’minin diperlakukan dengan hal yang serupa. Kini engkau yang ada ditengah-tengah kami, mendapatkan perlakuan yang sama pula. Siapapun yang telah mengkhianati engkau, tak lain telah mengkhianati diri mereka sendiri. Kemanapun engkau pergi dan kemanapun engkau menghadap baik Timur atau Barat, kami akan tetap bersamamu.

Demi Allah! Kami tidak pernah ragu untuk bertemu Tuhan kami, selama kami masih bersamamu. Dan kami mengungkapkan ini dari lubuk hati kami yang paling dalam. Bahwa kami akan mengikuti siapapun yang mengikutimu, dan kami adalah musuh bagi siapapun yang memusuhimu.”

Kemudian Al-Husain meminta kepada penduduk didaerah Karbala, untuk menjual seluruh tanah milik mereka itu kepada Al-Husain, dan Imam membayar seluruh tanah itu seharga 60 ribu dirham. Dan Al-Husain memberikankannya kembali tanah itu kepada para pemiliknya. Kemudian Al-Husain berpesan: “Semua tanah ini aku berikan kembali untuk kalian. Pada suatu saat nanti, siapapun yang ingin mengunjungi kuburanku, maka kalian bimbinglah mereka kesini (Karbala).”

Sementara Al Hurr sedang menunggu surat jawaban dari Ibnu Ziyad, maka datanglah utusan yang membawa surat balasan dari Ibnu Ziyad, yang ditujukan kepada Al-Husain.

“Wahai Husain! Aku mendengar bahwa engkau sudah mengatur kekuatan pasukanmu di Karbala. Yazid sebagai pemimpin kaum Muslimin, telah menulis pesan dan memerintahkanku agar aku tidak tidur atau mabuk minuman, hingga aku mengirim engkau kepada Tuhan-mu, atau engkau mau menerima apapun perintahku dan perintah Yazid.”

Al Husain membaca surat itu dan membuangnya ketanah, sambil berkata: “Barang siapa yang menginginkan sesuatu dengan cara bermaksiat kepada Allah, maka apa yang ia kehendaki akan sirna, dan ia akan mendapatkan apa yang tidak ia kehendaki.” Kemudian utusan Ibnu Ziyad meminta jawaban dari surat tersebut, namun Al Husain menolak, seraya berkata; “Ia tidak membutuhkan jawaban dariku, sebab hukum Allah telah jelas untuknya.”

Utusan Ibnu Ziyad kembali dan menceritakan apa yang telah terjadi, Ibnu Ziyad menjadi sangat marah. Ia langsung berdiri dan memerintahkan Umar Bin Sa’d, Syimir Dzil Al-Jausyan dan beberapa komandan pasukan untuk membawa lebih dari 30 ribu pasukan untuk menuju Karbala.

Sesuai dengan perintah Ibnu Ziyad, sesampai di Karbala Umar Bin Sa’d dan Syimir memerintahkan pasukannya untuk menyebar dan mengelilingi kemah kafilah Al-Husain, tujuannya agar Imam dan keluarganya tidak mendapatkan air setetespun.

Waktu terus berjalan, sudah beberapa hari tidak ada satupun keluarga Nabi yang dapat mencicipi setetes air, anak-anak mulai menangis karena leher mereka tercekik dan terbakar oleh rasa dahaga yang teramat sangat. Tidak ada satupun antek-antek Yazid yang mempedulikan jeritan dan tangis kehausan cucu-cucu Fathimah Az Zahra’.

Tibalah dihari kesembilan bulan Muharram, Al-Husain mengumpulkan seluruh pengikutnya dan berkhotbah : “Aku memuji Allah SWT, yang dari-Nya telah memberi kita Nabi, dan Allah telah mengajarkan kita Islam dan Al Qur’an. Dia telah memberi kita hati, mata dan telinga, dan Dia tidak membuat kita terhina.
Sungguh, aku tidak mendapati pengikut yang lebih baik dari pengikutku, dan aku tidak mendapati keluarga yang lebih baik dari pada keluargaku. Allah SWT akan memberikan penghargaan kepada kalian semua. Sesungguhnya kakekku telah menceritakan kepadaku, bahwa aku akan terbunuh di Irak, dan waktunya telah tiba.

Sungguh, aku berpikir besok akan menjadi hari yang menentukan antara aku dengan mereka. Dan aku mengizinkan kalian untuk meninggalkan aku sendirian disini, dan meneruskan perjalanan hidup kalian.
Pada malam ini, aku persilahkan masing-masing dari kalian untuk mengambil unta dan kuda kalian, lalu kembali pulang. Dan kalian pun boleh membawa salah satu dari keluargaku untuk mengantar mereka kembali pulang. Tentu saja, hanya aku yang mereka inginkan. Ketika mereka mendapatkanku, mereka akan menghentikan perlakuan buruk ini terhadap kalian.”

Setelah Imam menyelesaikan khotbahnya, Abu Fadhl Abbas berdiri dan berkata: “Kami tidak akan pernah meninggalkan engkau duhai pemimpinku, kami tidak ingin hidup setelah engkau tiada, dan kami tidak ingin merasakan hari itu.”

Imam menolehkan wajahnya kepada putra Aqil dan berkata: “Sudah cukup bagi engkau dengan terbunuhnya ayahmu, maka engkau aku izinkan pergi.”

Lalu Putra Aqil menjawab: “Duhai paman, dengan wajah apa kami akan menemui orang-orang, dan mengatakan kepada mereka, bahwa kami telah meninggalkan pemimpin kami, meninggalkan paman kami yang terbaik dari seluruh paman yang ada dimuka bumi. Dan kami tidak melesatkan anak panah, dan menancapkan tombak, serta menebaskan pedang kepada mereka yang hendak membunuhmu? Dan kami tidak membantunya ketika ia membutuhkan bantuan kami?

Sungguh, Demi allah! Kami tidak peduli apa yang mereka akan lakukan terhadap kami. Meskipun tubuh kami akan dihancurkan bercerai berai. Dan keluarga serta harta kami akan dihabiskan. Kami akan tetap disini mengorbankan jiwa kami untukmu. Karena hidup setelah engkau adalah kehidupan yang terburuk.”

Sahabat Al-Husain, Muslim Bin Awsajah berdiri dan berkata: “ Apakah mungkin kami akan meninggalkan engkau sendirian? Lalu bagaimana kami akan memohon maaf kepada Allah dan kepada kakekmu Rasulullah, dalam memenuhi kewajiban kami terhadapmu? Demi Allah ! Aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga aku menancapkan tombak kedada mereka, dan menghadapi mereka dengan pedangku. Jika tombak dan pedangku sudah tidak ada, aku akan melemparkan batu kepada mereka, hingga aku mati bersamamu.”

Lalu berdiri Sa’id Bin Abdillah berkata: “Kami tidak akan meninggalkan engkau, hingga kami dapat membuktikan bahwa kami sudah menghormati kakekmu Rasulullah dengan penghormatan kepadamu. Demi Allah ! Jika aku mati dan dihidupkan lagi, kemudian aku dibakar, lalu aku kembali dihidupkan lagi hingga 70 kali, aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga aku benar-benar mati untukmu.”

Kemudian giliran Zuhair Bin Qa’in berucap: “Aku ingin dibunuh dijalanmu, dan jika aku kembali dihidupkan dan kemudian aku dibunuh lagi hingga 1000 kali, aku akan tetap melindungimu.”

Inilah kesetiaan keluarga dan para sahabat Al-Husain, hati mereka senantiasa membara dan tidak sedikitpun dihinggapi rasa takut. Tidak terpancar dari wajah-wajah mereka rasa cemas dan khawatir akan kematian. Mereka mengetahui tata cara hidup bahagia dan seni mati yang mulia. Kerinduan mereka kepada kematian seperti kerinduan seorang bayi kepada susu ibunya. Bagi mereka mati dalam membela Al-Husain adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Mereka lebih mencintai keluarga Nabi dari pada keluarga dan diri mereka sendiri. Mereka adalah sosok-sosok yang rela menukar darah dan jiwanya, demi menjaga Pusaka yang telah Nabi amanatkan kepada seluruh Muslimin. Mereka Inilah para pelajar dari Madrasah Al-Husain, yang meyakini dan berjalan hanya pada satu arah yaitu; KEBENARAN.

Setelah itu Al-Husain berkata kepada para sahabat dan keluarganya: “Semoga Allah memberi penghargaan kepada kalian dengan sebaik-baiknya penghargaan. Besok aku akan terbunuh dan kalian semua juga akan terbunuh. Tidak ada seorangpun dari kalian yang tersisa, kecuali puteraku Ali Zainal Abidin. (As Sajjad).

Selesai berkhotbah kemudian Imam memasuki kemah adiknya Zainab, melihat kakaknya tercintanya datang, sontak Zainab menjerit dan menangis seraya berkata:

“Aku akan kehilangan kakak yang paling aku cintai, Akankah maut akan menjemputku hari ini? Telah pergi meninggalkanku Fathimah ibuku, Ali ayahku, serta Hasan kakakku. Wahai pemimpin yang telah berlalu, Wahai tempat Pertolongan Yang Abadi. Aku akan menebusmu dengan ayah dan ibuku, Wahai Abu Abdillah! Biarlah aku yang menjadi penebusmu, dan menjadi tempat kembali ratapan kesedihanmu, biarlah mata ini yang akan menggantikan, untuk mengalirkan air mata dari kedua matamu. Wahai bencanaku, nyawamu akan direnggut dengan kekejaman dan ini sangat melukai jantungku, dan sangatlah menyakiti diriku!”

Kemudian Sayyidah Zainab jatuh pingsan, Al-Husain berusaha menyadarkan dan menghibur adik kesayangannya itu, ”Wahai adikku sayang, bertakwalah kepada Allah, dan hiburlah dirimu dengan Sang Maha Pelipur, dan ketahuilah bahwa semua penduduk bumi akan mati, bahkan seluruh penduduk langit tidak ada yang abadi.

Karena semua segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah Allah, yang telah menciptakan semesta dengan Kekuasaan-Nya. Dia yang mengirim mahluk dan Dia yang akan mengembalikannya. Dan Dia adalah Maha Tunggal. Ayahku lebih baik dari diriku, Ibuku lebih baik dari diriku dan saudaraku Hasan juga lebih baik dari diriku. Sementara aku dan setiap Muslim hanya akan menjadikan Rasulullah sebagai tauladan.”

Tibalah pada malam kesepuluh Muharram, ini adalah malam yang paling menyedihkan bagi keluarga Rasul. Cakrawala penuh sesak para Malaikat yang menyaksikan para wanita suci keluarga Nabi menangis. Suara dari mulut-mulut mungil cucu-cucu Fathimah yang menjerit kehausan meminta air, membelah keheningan, terbawa hembusan angin kesegala penjuru. Dan merobek hati para pecinta keluarga Nabi diseluruh permukaan bumi.

Malam itu seluruh pengikut Al-Husain tengah bersiap menunggu datangnya pagi, Imam memerintahkan pengikutnya untuk merapatkan kemah, dan menggali parit dibelakang kemah. Malam telah memasuki pertengahan, Al-Husain keluar dari kemah untuk mengamati segala penjuru. Sahabat Imam yang bernama Nafi’ Bin Hilal Jamali mengikuti Imam dari belakang.

Al-Husain bertanya kepada Nafi’, “Mengapa engkau mengikuti aku?” Nafi’ menjawab: “Aku merasa cemas jika mereka akan menyerang engkau di kegelapan.”

Kemudian Al-Husain meraih tangan Nafi’ dan berkata: “Wahai Nafi’, hanya ada satu jiwa dan satu kehidupan didunia ini. Besok kita semua akan terbunuh. Lihatlah, tidak ada seorangpun diantara kedua bukit itu, kenapa engkau tidak segera melarikan diri?”

Mendengar perkataan Imam, Nafi’ langsung jatuh berlutut dan menangis dikaki Imam dan menjawab: “Duhai Imam, Mengapa engkau tidak menginginkan aku untuk tinggal bersamamu disaat seperti ini? Aku khususkan membeli pedang dan kuda ini untuk membelamu. Demi Allah! Aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga pedang ini tak mampu lagi aku gunakan dan kuda ini tak mampu lagi berlari. Aku akan membelamu sampai aku mati terbunuh disini bersamamu.”

Menjelang fajar menyingsing sahabat Al-Husain, Burair Bin Hudhair melontarkan sebuah lelucon kepada Ibnu Abdurrahman Anshari. Lalu Ibnu Abdurrahman marah dan berkata: “Ini bukanlah waktunya untuk bersenda gurau disini.”

Burair menghentikan tawanya dan berkata: “Demi Allah, kaumku mengetahui, bahwa sejak aku remaja dan hingga aku dewasa, aku tidak pernah menyukai gurauan. Dan Allah Mengetahui bahwa aku bukanlah seorang pelawak. Tetapi saat ini aku sangat merasa bahagia, karena kita akan membuktikan keimanan kita esok hari, dan waktunya sebentar lagi tiba.”

Habib Bin Mudhahir tertawa mendengar guarauan Burair, dan Ibnu Hamdani menegurnya: “Ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.”

Sambil tertawa Habib menjawab: “Ini adalah waktu yang terbaik untuk bergembira, karena kita sudah teramat dekat untuk memasuki surga.”

Tak lama fajar akan menyingsing dihari kesepuluh Muharram, Imam melaksanakan shalat Shubuh bersama pengikutnya. Kemudian Imam berkata: “Allah SWT telah mengizinkan kita untuk berperang hari ini, kita harus berani dan berperang.”

Duhai….10 Muharram, Pagi itu tak ada desiran angin yang memainkan ujung tenda-tenda usang, Mentari menatap hampa seakan enggan melepaskan sinarnya. Syair duka mulai disenandungkan gemericik air Furat. Wajah langit terlihat lebam dan geram dan siap menghimpit bumi kapanpun diperintahkan.

Tidak ada tawa dan canda anak-anak kecil ditenda keluarga Nabi. Tidak ada tatapan riang dari mata-mata kecil yang indah. Berhari-hari ibu mereka tidak lagi membawakan sekerat roti dan semangkuk susu untuk mereka. Mata-mata kecil anak-anak Az Zahra’ itu menatap penuh harap kearah sungai Furat yang mengalir.

Kapan sekiranya tetesan air itu akan singgah dikerongkongan mungil mereka yang sudah teramat tercekik rasa dahaga? Telinga anak-anak kecil itu mendengar gemericik air, namun mengapa lidah suci mereka tidak dapat merasakannya?

Mata-mata kecil itu hanya mampu menatap para durjana yang tak sudi memberikan mereka setetes air. Tatapan sendu anak-anak kecil itu seakan bertanya, apa salah kami? Mengapa para Durjana itu menghalalkan anjing mencicipi sepuasnya, dan mengharamkannya bagi anak-anak Az Zahra’ walau hanya setetes, walaupun hanya sekedar untuk membasahi bibir-bibir kecil mereka? bibir-bibir putera-puteri Fathimah yang telah pecah dan teramat kering ini.

Pagi itu Al-Husain menyerahkan bendera kepada Abu Fadhl Abbas, dan mengangkat tangannya kelangit, “Ya Allah, Engkau adalah kepercayaanku dalam berbagai kesulitan. Harapanku dalam setiap kesusahan, Engkau menjadikan tiap kelemahan kedalam kekuatan, walaupun tidak ada teman dan ketika musuh begitu banyak. Engkau adalah pelindung dan satu-satunya harapan.”

Al-Husain menunggangi kuda dan berteriak lantang hingga semua orang bisa mendengarnya, Imam memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah “Wahai manusia! Dengarkanlah aku! Janganlah kalian terburu-buru memerangiku hingga aku ceritakan keadaanku. Jika kalian menerima dan menjadikannya sebagai keputusan, itu akan lebih baik bagi kalian. Jika kalian menolak dan tidak menerimanya, dan tidak menginginkan keadilan. Silahkan kalian lakukan apa yang kalian inginkan. Aku tidak menginginkan kalian ragu-ragu. Dan Allah adalah Pelindung.

Segala puji bagi Allah dan utusan-Nya, dan seluruh malaikat-malaikat-Nya. Wahai manusia! Takutlah kepada Allah, dan takutlah akan dunia yang fana ini. Tak ada seorangpun yang akan hidup kekal didunia ini. Jika ada manusia yang dapat hidup kekal, maka para Nabi adalah yang paling berhak. Tetapi, semua dari mereka telah meninggal dunia. Segala sesuatu yang ada dimuka bumi akan pergi dengan sia-sia. Takutlah kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya, demi mendapatkan kebahagiaan.

Wahai manusia! Allah telah menciptakan semesta ini sedemikian rupa, dan kemudian Allah akan membinasakannya. Orang yang tertipu adalah orang yang ditipu oleh dunia ini. Kalian berkumpul ditempat ini (Karbala) untuk suatu permasalahan yang tidak benar. Jika kalian melakukan apa yang kalian inginkan, maka kalian akan mendapatkan kemurkaan Allah atas diri kalian. Kalian percaya kepada Allah dan Rasul sebagai utusan-Nya, tetapi kalian mencoba untuk membunuh anak cucu utusan-Nya itu.

Wahai manusia! Beritahukan siapa sesungguhnya aku? Kemudian perhatikan dan lihatlah diri kalian. Apa yang menjadi pertimbangan kalian untuk membunuhku dan mempermalukan keluargaku? Apakah aku bukan seorang putera dari puteri Nabi kalian? Apakah aku bukanlah putera Ali, sepupu dan menantu Rasulullah, orang pertama yang mempercayai Allah?

Bukankah Hamzah yang akan memimpin dipadang Mahsyar, adalah paman ayahku? Bukankah Ja’far Ath Thayyar adalah pamanku? Belum pernahkah kalian mendengar sabda Rasulullah tentang aku dan Hasan saudaraku, yang keduanya adalah pemimpin para pemuda di surga?

Jika kalian bertanya manakah yang benar? Demi Allah! Aku tidak pernah berdusta, semenjak aku mengetahui bahwa Allah tidak menyukai para pendusta. Jika kalian mengatakan bahwa kalian belum pernah mendengar, dan kalian berpikir bahwa aku adalah seorang pendusta, maka tanyakan kepada mereka yang ada diantara kalian yang pernah mendengarkan hal itu.

Bukankah cukup untuk kalian, menghentikan keinginan kalian untuk membunuhku? Apakah kalian ragu dengan perkataanku, bahwa aku adalah putera dari puteri Nabi kalian? Sungguh, Demi Allah! Tidak ada seorangpun di Timur atau di Barat sebagai Putera Fathimah, melainkan aku.

Duhai mengapa kalian ingin menumpahkan darahku? Apakah kesalahanku? Apakah aku telah membunuh seseorang diantara kalian? Sehingga kalian datang untuk menuntut Qishas pada diriku? Apakah aku telah merampas kekayaan kalian dan melukai seseorang diantara kalian? Hingga kalian datang untuk menuntut ganti rugi kepadaku?”

Seluruh pasukan musuh terdiam, tiba-tiba seseorang dari pasukan musuh menyeruak kearah Al-Husain, seorang yang bernama Ibnu Hawzah Tamimi berkata: “Engkau akan ke neraka, wahai Husain!”

Kemudian Imam mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, kirimkan ia kepada api-Mu.”

Ibnu Hawzah menjadi sangat marah, ketika ia ingin menyerang Imam, tiba-tiba kudanya terjerembab jatuh seakan diberi beban yang teramat berat. Tubuh Ibnu Hawzah ikut terlempar, lalu tubuhnya terseret dan di injak-injak oleh kudanya sendiri hingga mati dan tubuhnya remuk. Seketika itu sebagian dari pihak musuh sadar, bahwa mereka berperang berada dipihak yang salah.

Lalu Imam pergi kearah musuh, sambil mengangkat Al-Qur’an, “Wahai manusia! Diantara aku dan kalian ada Al-Qur’an dan Sunnah kakekku. Apa yang kalian inginkan dariku?”

Mereka menjawab: “Kami ingin engkau mematuhi Ibnu Ziyad.”

Kemudian Imam berkata: “Kalian meminta kami untuk datang membantu kalian, dan kami telah penuhi permintaan kalian. Dan ketika kami datang, kalian memutar pedang kalian dan berusaha memerangi kami. Sekarang kalian perintahkan kami untuk pergi, dan meminta kami untuk mematuhi perintah mereka yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang suci ini.

Padahal mereka adalah bagian dari setan. Mereka sedang berusaha untuk memadamkan Sunnah Nabi. Celakalah kalian! Bagaimana kalian bisa berbalik melawan kami, dan membantu mereka? Sungguh, Demi Allah! Ini adalah sebuah pengkhianatan, dan salah satu dari sifat jahat kalian. Kalian laksana buah yang terbusuk. Tentu saja putera dari anak haram (Ibnu Ziyad) telah memberiku dua pilihan; peperangan atau penghinaan.

Sungguh jauh kehinaan dari kami. Allah dan para Rasul-Nya, maupun yang percaya pada Hari Penghakiman tidak menghendaki kami untuk memilih taat kepada orang-orang keji dari kematian yang mulia. Maka aku tidak punya pilihan selain berjuang dengan keluarga ini, yang sangat sedikit jumlahnya, dan tidak ada siapapun yang mau menolong kami. Tetapi kalian harus ingat! Kalian tidak akan pernah hidup terhormat setelah kejadian ini.

Ya Allah, jangan turunkan hujan setetespun kepada mereka. Tetapkan kekeringan dan kelaparan bagi mereka. Sebagaimana kekeringan dan kelaparan yang terjadi pada masa Nabi Yusuf.
Dan jadikan pemuda Tsaqafi (Mukhtar Ats Tsaqafi) berkuasa atas mereka. Dia akan menyuapkan racun kemulut-mulut mereka. Karena mereka telah mendustakan dan meninggalkan kami. Hanya Engkaulah Tuhan kami dan tempat kami berserah diri.”

Kemudian Al-Husain berkata kepada Umar Bin Sa’d, “Kau pikir, engkau akan mendapatkan jabatan di Ray? Aku beritahukan bahwa engkau tidak akan pernah mendapatkannya, melainkan kepalamu akan menjadi permainan anak-anak Kufah.”

Ketika Hurr Ar Riyahi mendengar pidato Al-Husain, kemudian ia mendekati Umar Bin Sa’d dan berkata: “Mudah-mudahan Allah melunakkan hatimu! Apakah engkau akan tetap memerangi laki-laki itu?

Umar Bin Sa’d menjawab: “Benar, ini akan menjadi pertempuran yang hebat, paling tidak, akan ada banyak kepala yang berjatuhan dan tangan yang teputus.”

Mendengar jawaban Umar Bin Sa’d, Al Hurr pergi dan berpisah dari kelompoknya, dan perlahan mendekati Imam sedikit demi sedikit, kemudian ia memacu kudanya sampai ia berhadapan dengan Al-Husain. Dan Al Hurr berkata:
“ Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu wahai putera Rasulullah! Akulah kawan yang telah mencegahmu pulang, menemanimu dijalan, dan menggiringmu ketempat ini. Demi Allah! Yang tiada yang lain selain Dia, aku tidak menyangka, mereka akan menolak semua pilihan yang telah engkau tawarkan kepada mereka. Dan aku tidak mengira bahwa mereka akan berbuat jahat kepada engkau hingga sejauh ini.

Dan aku katakan pada diriku sendiri, aku tidak akan peduli lagi dengan mengikuti mereka dalam urusan lain, dan mereka tidak mengira bahwa aku akan meninggalkan mereka. Dan seharusnya mereka memenuhi permintaan yang engkau tawarkan.

Demi Allah! Seandainya aku tahu mereka tidak mau menerima semua tawaranmu, aku tidak akan berbuat apa yang telah aku perbuat terhadapmu. Dan sekarang aku datang kepadamu dalam keadaan bertaubat kepada Allah atas apa yang telah aku perbuat terhadapmu, dan aku akan menolongmu dengan diriku sendiri, hingga aku mati dihadapanmu. Duhai Imam, apakah engkau akan mengampuni kesalahanku?”

Al-Husain menjawab: “Benar, mudah-mudahan Allah menerima taubatmu, dan mengampunimu. Siapakah namamu?”

Al Hurr menjawab: “Aku adalah Hurr Ar Riyahi.”

Al-Husain berkata: “Engkau memang merdeka seperti yang dinamakan ibumu. Insya Allah, engkau akan merdeka didunia dan diakhirat. Maka majulah engkau.”

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah