judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Sabtu, 03 Desember 2011

DAN DIA ADALAH HUSEIN (MAQTAL BAG 2)

oleh Malik Al-Asytar pada 10 Desember 2010 jam 0:16
Lalu majulah Al Hurr kedepan dan berseru kepada pasukan Umar Bin Sa’d: “Wahai penduduk Kufah! Demi ibu-ibu kalian yang telah kehilangan anaknya, bukankah kalian yang telah memanggil Al-Husain? Dan kini setelah ia datang, kalian akan menyerahkannya kepada musuhnya? Sedangkan kalian telah menyatakan bahwa kalian akan berperang dibawah perintah Al-Husain. Kemudian kalian berkhianat hendak membunuhnya, menangkapnya, menyumbat tenggorokannya, mengepungnya dari semua penjuru, dan menghalanginya pergi dibumi Allah yang demikian luas, agar ia dan keluarganya aman.

Dan ditangan kalian Al-Husain diperlakukan seperti tawanan, tidak dapat memiliki dan memanfaatkan dirinya sendiri, dan ia juga tidak dapat menolak kerugian yang akan menimpa dirinya. Dan kalian mencegah dan menghalangi dirinya, kaum wanitanya, anak-anaknya serta sahabat-sahabatnya untuk mendapatkan air sungai Furat.

Air yang mengalir dan diminum oleh orang Yahudi, Majusi dan Nasrani dengan cuma-cuma. Bahkan tempat babi dan anjing gurun minum dan berkubang. Sedangkan lihatlah disana, keluarga Nabi kalian telah tercekik oleh rasa dahaga. Celakalah kalian atas balas budi kalian kepada Muhammad Rasulullah, dengan perlakuan kalian terhadap anak keturunannya! Allah tidak akan memberi kalian minum disaat kalian kehausan bila kalian tidak bertaubat, dan mencabut kembali rencana yang akan kalian lakukan hari ini!”

Kemudian Umar Bin Sa’d maju kedepan pasukannya, melesatkan anak panah sambil berteriak bangga: “Berilah kesaksian kepada Ibnu Ziyad bahwa akulah orang pertama yang melesatkan anak panah.”

Pasukan Umar Bin Sa’d mulai mengikuti dengan melesatkan anak panah, hingga langit menghitam penuh dengan ribuan anak panah laksana hujan. Al-Husain berpesan kepada pengikutnya: “Bersiaplah untuk menerima kematian, yang mana semua orang akan merasakannya. Sesungguhnya anak panah ini adalah pesan mereka kepada kita."

Para pengikut Imam yang terpencar kemudian bergabung, namun mereka tidak dapat membendung hujanan anak panah, sehingga gugurlah 50 pengikut Al-Husain sebagai Syuhada. Ketika Imam melihat begitu banyak pengikutnya yang terbunuh dengan begitu cepat. Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk bergabung dalam satu barisan. Pengikut Imam yang tersisa mulai meminta izin untuk bertempur.

Datanglah dari pihak musuh Yisar dan Salim, dan mereka berdua menantang siapa dari pihak Imam yang berani berperang dengan mereka. Maka majulah seorang pemuda yang bernama Abdullah Bin Umair, setelah meminta izin kepada Imam untuk berperang. Dengan segera Abdullah melesat maju, lalu berteriak mengutuk mereka sambil menghunus pedang.

Abdullah langsung memukul Yisar dengan pedangnya, lalu Salim datang sambil mengayunkan pedang kepadanya. Abdullah menggunakan tangan kirinya untuk menahan serangan pedang Salim. Dan pedang Salim mengenai jari Abdullah, hingga semua jari kiri Abdullah terputus. Tetapi itu tidak menghentikannya. Abdullah terus memburu Salim hingga membunuhnya, lalu segera mengejar Yisar yang ingin melarikan diri dan juga membunuhnya.

Dengan membawa tongkat kayu untuk membela suaminya, istri Abdullah yang bernama Ummu Wahab mendekati suaminya, untuk memberi semangat kepada suaminya agar melanjutkan pertempuran. Abdullah memintanya untuk kembali ketenda para wanita. Namun istrinya menolak dan berkata: “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, engkau adalah pahlawan pembela orang-orang mulia anak cucu Muhammad. Aku ingin bergabung dalam pertempuran dengan menggunakan tongkat ini. Aku tidak akan meninggalkanmu tanpa mati bersamamu.”

Setelah menghadap Al-Husain, Abdullah Bin Umair tampil lagi kedepan menghadapi pasukan Syimir yang menyerang kemah Al-Husain dari sisi kiri. Dan Abdullah membunuh 19 pasukan berkuda dan 12 pasukan pejalan kaki. Namun musuh datang dari belakang dan menebas tangan kanan Abdullah hingga terputus. Dari sisi yang lain musuh juga menebas kaki Abdullah hingga kaki itu bergelantung pada kulitnya hampir terputus.

Kemudian musuh menyeret Abdullah yang sudah tidak berdaya, dan membawa ke kemah mereka. Di kemah itu Abdullah disiksa terlebih dahulu, setelah puas menyiksanya kemudian Abdullah dibunuh, lalu tubuhnya dilemparkan ketengah medan pertempuran. Istri Abdullah, Ummu Wahab berlari menghampiri jasad suaminya, lalu memeluknya, membersihkan darah pada tubuh suaminya dan mencium keningnya sambil berkata: “Duhai suamiku, surga untuk engkau. Allah akan menyatukan kita kembali di surga.”

Dikemah para wanita keluarga Nabi, seorang wanita tua yang bernama Qamar memerintahkan anak laki-lakinya yang bernama Wahab, agar segera maju kepertempuran untuk membela Imam. Qamar berkata kepada anaknya: “Duhai anakku, bangkitlah dan tolonglah putera Rasulullah.” Kemudian Wahab menjawab: “Duhai ibuku, aku akan melaksanakan perintahmu.”

Mendengar jawaban puteranya, wanita tua itu mengucurkan air mata, dan merasakan kegembiraan yang begitu besar. Ia merasa bangga puteranya maju membela Al-Husain. Istri Wahab yang bernama Haniyyah merasa berat berpisah dengan suaminya. Ia berkata kepada suaminya: “Duhai suamiku, aku takut ketika engkau memasuki surga engkau akan melupakan aku.”

Kemudian Wahab dan istrinya menghadap Imam, istri Wahab meminta dua permintaan kepada Imam, yang pertama setelah suaminya terbunuh ia diberi izin untuk senantiasa bergabung dengan keluarga Rasulullah. Dan yang kedua, setelah suaminya terbunuh sebagai Syuhada’ dan dibangkitkan pada hari kebangkitan, ia memohon kepada Imam untuk bersaksi bahwa suaminya tidak akan melupakannya.

Imam meneteskan air mata ketika mendengar kedua permintaan itu, dan berjanji akan memenuhi kedua permintaan itu. Maka majulah Wahab kemedan pertempuran, ia berhasil membunuh beberapa pasukan musuh. Kemudian ia menghampiri ibunya dan berkata: “Duhai ibuku, apakah engkau telah Ridha kepadaku?” Kemudian ibunya menjawab: “Aku belum Ridha, wahai anakku.”

Mendengar jawaban ibunya Wahab kembali segera kemedan pertempuran, dan membunuh tiga puluh sembilan pasukan musuh. Wahab diserang begitu banyak musuh, hingga musuh menebas kedua tangan Wahab hingga terputus. Tanpa kedua tangannya Wahab tidak berdaya saat ia diseret dan dibawa kehadapan Umar Bin Sa’ad. Lalu Umar Bin Sa’ad memerintahkan para penjagalnya untuk menyembelih leher Wahab hingga leher itu terputus. Dan melemparkan kepala Wahab kekemah Al-Husain.

Kepala itupun jatuh tepat dihadapan Ibunya Wahab. Ibunya mengenali kepala puteranya, ia ambil potongan kepala anaknya dan ia peluk dan menciumi potongan kepala puteranya sambil menangis ia berkata: “Duhai puteraku sayang, sungguh aku sekarang telah Ridha dan sangat bangga kepadamu. Engkau telah memutihkan wajahku dengan kematianmu, dan tidak membuat aku malu dihadapan Fathimah. Duhai puteraku, sampaikanlah salamku kepada Fathimah.”

Istri Wahab mengambil kepala suaminya, ia mencium dan membersihkan darah-darah yang melekat pada wajah suaminya. Belum selesai Haniyyah membersihkan wajah suaminya, tiba-tiba Syimir memerintahkankan budaknya Rustam, yang memegang Penggada besar untuk memukul kepala Ummu Wahab. Sekejap ketika Gada Besi itu menghantam, kepala wanita mulia itu menyemburkan darah dan hancur. Tidak cukup sampai disitu, Rustam kemudian memotong leher Haniyyah yang sudah tidak bernyawa, hingga leher wanita mulia itu terputus. Kemudian kepala itu dijinjing dan juga dilemparkan kedalam kemah Al-Husain.

Para pengikut Al-Husain tinggal sedikit, tetapi mereka adalah para pahlawan perang, yang menyebabkan pasukan musuh kocar-kacir dan banyak yang terbunuh. Ibnu Hajjaj mencoba menyerang kemah Al-Husain dari arah sungai. Sahabat Imam, Muslim Bin Awsajah, berusaha menahan serangan Ibnu Hajjaj, akan tetapi pasukan musuh terlalu banyak. Tubuh Muslim Bin Awsajah sudah dipenuhi luka dan darah, dan tebasan pedang musuh yang terakhir begitu keras mengenai tubuh Muslim dan membuatnya terjatuh.

Ibnu Hajjaj dan pasukannya meninggalkan Muslim yang sudah tidak berdaya, setelah debu peperangan itu turun, pengikut Al-Husain mendapati tubuh Muslim Bin Awsajah sedang terkulai lemah dalam keadaan sekarat. Imam mendatanginya dan menemui sahabat setianya itu yang dalam keadaan menghadapi maut. Dengan uraian air mata Imam berkata: “Allah merahmatimu wahai Muslim, kita semua akan menuju kematian. Diantara orang-orang Mu’min, ada yang menepati janjinya kepada Allah dengan kematian, dan ada pula yang sedang menunggu, dan mereka tidak sedikitpun mengubah janjinya.”

Lalu Habib Bin Mudhahir mendekati Muslim Bin Awsajah dan berkata: “Wahai sahabatku, kematianmu sangat berat bagiku, aku menyampaikan kabar gembira akan surga yang sebentar lagi akan engkau datangi. Meskipun aku tahu bahwa sebentar lagi aku pun akan segera menyusulmu, tetapi aku ingin engkau berwasiat kepadaku untuk melakukan segala sesuatu yang engkau anggap penting, baik dalam urusan keluarga maupun hutang.”

Kemudian Muslim menjawab dengan suara lemah: “Baiklah, Allah merahmatimu, aku berwasiat kepadamu, (sambil menunjukkan tangannya kepada Al-Husain) agar engkau mati dan menyusulku, untuk melindungi Imam.”

Sambil menangis Habib menjawab: “Duhai sahabatku, Demi Allah Pelindung Ka’bah! Aku pasti akan melakukannya.”

Sementara itu Syimir datang semakin dekat, ia dan pasukannya menyerang kemah Imam dengan tombak berapi. Para wanita menjerit dan anak-anak menangis. Zuhair Bin Qain dan sepuluh sahabat Imam lainnya menyerang Syimir dan pasukannya. Lalu terjadilah pertempuran hebat hingga akhirnya Syimir lari menjauh.

Umar Bin Sa’ad mengirim Hashin Bin Namir dengan lima ratus pasukan pemanah. Kemah Al-Husain dihujani panah dan banyak melukai kuda dan unta pembela Imam. Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukannya untuk membakar seluruh kemah keluarga Nabi, hingga hanya sedikit kemah yang tersisa. Anak-anak menangis semakin histeris karena ketakutan dan para wanita menjerit melindungi anak-anak mereka.

Imam berkata: “Biarkan mereka membakar kemah. Keluarlah kalian dari kemah dan gunakanlah api untuk melindungi kalian dari serangan musuh.”

Api berkobar membakar hampir seluruh kemah milik keluarga Nabi, kini tidak ada lagi tempat berlindung bagi anak-cucu Fathimah. Anak-anak kecil dan para wanita sekarang berdiri ditengah kobaran api dan terik matahari yang begitu menyengat. Mereka yang tidak berdosa ini harus dihadapkan dengan pemandangan yang sangat mengerikan.

Seorang sahabat Al-Husain Abu Tsumamah Saidi melihat kearah matahari yang teramat terik, ia lalu berkata kepada Imam; “Duhai Pemimpinku, aku melihat orang-orang ini tidak akan pergi dan tidak akan puas sebelum mereka membunuhmu. Demi Allah, engkau tidak akan terbunuh sebelum aku terbunuh terlebih dahulu. Namun aku ingin bertemu dengan Allah setelah aku shalat dibelakangmu”

Lalu Imam mengarahkan wajahnya kelangit dan berkata: “Engkau telah mengingatkan waktu shalat, semoga Allah akan menempatkan engkau diantara orang-orang yang shalat. Ini adalah waktunya, beritahukan agar mereka memberikan waktu untuk kita melaksanakan shalat.”

Kemudian pengikut Imam meminta kepada pihak musuh untuk memberikan waktu untuk melaksanakan Shalat. Salah seorang komandan musuh berteriak: “Shalat kalian tidak akan diterima oleh Allah!” Mendengar teriakan musuh, Habib Bin Mudhahir sangat marah. Habib pun berteriak lantang: “Engkau katakan Shalat keluarga Nabi tidak diterima, dan Shalat engkau yang diterima?!”

Habib langsung menyerang komandan musuh itu, dan mengayunkan pedangnya. Komandan pasukan musuh itu menghindar, dan pedang Habib mengenai kudanya dan membuat komandan itu jatuh tersungkur menghantam tanah. Habib menguasai pertempuran dan dapat membunuh enam puluh dua pasukan musuh.

Namun dari arah belakang datang musuh dan menancapkan tombak dengan sangat keras kepunggung Habib, hingga tombak itu tembus kedadanya. Seketika Habib mengarahkan wajahnya kepada Al-Husain dan berteriak: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.” Dari depan datang musuh dengan cepat dan langsung sekuat tenaga menebas leher sahabat setia Al-Husain ini dan leher Habib-pun terkoyak dengan kepala yang hampir terputus.

Tidak tahan melihat kondisi Habib yang mengenaskan, secepat kilat Hurr Ar Riyahi maju kemedan pertempuran. Dan terjadilah peperangan yang dahsyat, pedang Al Hurr berkelebat cepat menebas setiap musuh yang ada dihadapannya. Bak Singa marah Al-Hurr memporak porandakan pasukan musuh. Dengan siasat licik pasukan musuh melukai kuda Al Hurr hingga kuda perang itu terluka dan jatuh tersungkur.

Maka Al Hurr meninggalkan kudanya dan berperang sendiri, dengan cepat Al Hurr dapat membunuh empat puluh satu pasukan musuh. Melihat pahlawan perang itu bertempur dengan hebat, pasukan musuh merasa takut dan melakukan siasat licik dengan mengepung dan bersama-sama menyerang Al Hurr.

Begitu banyak musuh yang menyerangnya Al Hurr mulai kehabisan tenaga, dan mulailah pasukan musuh dapat menebaskan pedang dan menancapkan tombak ketubuh Al Hurr. Dan tikaman-tikam itu merobek-robek tubuh Al Hurr yang sudah melemah. Darah memancar dari setiap luka ditubuh Al Hurr, dan melumuri hampir disekujur tubuhnya. Tak tahan menahan rasa sakit yang menyayat tubuhnya Al Hurr terjatuh dan menjerit: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.”

Melihat tubuh Al Hurr tersungkur, pihak musuh tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka kembali bersama-sama menghujam tubuh Al Hurr dengan tusukan dan tikaman, hingga tubuh Al Hurr rusak, hingga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Para pengikut Imam yang tersisa melesat maju untuk mengambil tubuh Al Hurr agar tidak dicincang oleh pihak musuh, dan membawa tubuh Al Hurr kekemah Al-Husain. Melihat tubuh Al Hurr, Imam menangis sambil memandangi wajah Al Hurr, lalu

Imam berkata: “Nilai pengorbanan dari peperangan bersama putera-putera Rasulullah, sepadan dengan pengorbanan pada peperangan Rasulullah.”

Kemudian Imam membersihkan darah dari wajah Al Hurr yang sudah tidak bernyawa, sambil berkata: “Engkau telah merdeka seperti nama yang telah diberikan ibumu, engkau telah bebas dari dunia yang fana ini dan menuju kealam keabadianmu.”

Setelah itu Al-Husain kemudian Shalat bersama para sahabatnya yang tersisa. Ketika Imam melaksanakan shalat, dua sahabat Imam, Zuhair Bin Qa’in dan Sa’id Bin Abdullah berdiri didepan Imam, untuk melindungi Imam dari serangan musuh. Melihat Imam sedang shalat pihak musuh biadab itu menghujani Imam dengan panah. Sa’id Bin Abdullah menahan hujan panah itu dengan tubuhnya, anak panah menancap ditubuhnya satu persatu.

Demi melindungi Imam tidak ada satupun anak panah yang ia hindari. Tidak kurang ada tiga belas anak panah yang menancap ditubuh sahabat setia Imam ini, sambil merintih karena menahan rasa sakit Sa’id bin Abdullah berkata: “Ya Allah kutuklah mereka. Kutuklah mereka yang tidak membantu dan menolong keturunan Nabi-Mu.”

Karena menahan rasa sakit tubuh Sa’id bergetar dan ia tetap berusaha berdiri dengan tiga belas anak panah yang menancap ditubuhnya, hingga Imam menyelesaikan shalatnya. Setelah Imam selesai shalat maka tubuh yang sudah penuh dengan anak panah itupun jatuh tersungkur. Kemudian Sa’id sambil memandangi wajah Imam dan berkata: “Ya Aba Abdillah, engkau adalah pemimpinku.”

Imam menangis menyaksikan kesetiaan sahabat setianya itu yang sedang menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan berkata kepada Sa’id: “Engkau akan berada di surga sebelum kami.”

Lalu Al-Husain berdiri dan berkata kepada para sahabatnya yang tersisa: “Wahai orang-orang terhormat! Ini adalah surga, pintu surga telah terbuka dan Rasulullah bersama para Syuhada’ sedang menanti kita. Lindungilah agama Allah dan Rasul-Nya, dan lindungilah para wanita keluarga Rasulullah.”

Dan sahabat Imam menjawab: “Jiwa-jiwa kami untuk jiwamu, dan darah kami untuk darahmu. Demi Allah! Selama kami masih hidup, tidak akan ada seorangpun yang dapat menyakiti keluargamu.”

Melihat kondisi seperti ini Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukan pemanah untuk terus menghujani Al-Husain dengan anak panah. Dan memerintahkan pasukan berpedang untuk memotong kaki-kaki kuda pengikut Al-Husain. Hingga tersisa hanya seekor kuda.

Para pengikut Imam bersiap untuk segera maju kemedan pertempuran, satu persatu mereka maju meminta izin kepada Imam dan berkata: “Salam damai atasmu, wahai cucu Rasulullah.”

Maka majulah sahabat Imam satu persatu, Abu Tsumamah Sa’idi maju untuk bertempur hingga ia terbunuh. Kemudian Sulaiman Bin Mazarib Bajali maju berperang dan ia pun terbunuh. Giliran Zuhair Bin Qa’in meminta izin kepada Imam untuk maju kemedan pertempuran. Setelah memberi izin, kemudian Imam berkata kepada Zuhair: “Kami akan segera menyusul dibelakangmu.”

Segera Zuhair melesat cepat memasuki medan pertempuran, ia adalah seorang pahlawan perang Kufah, dengan cepat ia dapat membunuh tidak kurang dari seratus dua puluh musuh. Namun musuh yang berjumlah puluhan ribu itu bukanlah lawan yang seimbang.

Karena tercekik rasa dahaga maka gerakan Zuhair mulai melemah, musuh bersama-sama menyerang Zuhair dan mencabik-cabik tubuh Zuhair dengan pedang dan tombak. Darah membasahi tubuh Zuhair yang sudah terjatuh. Dengan sisa tenaganya Zuhair merangkak mencari Al-Husain, setelah ia melihat wajah Imam maka Zuhair berucap: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.” Kemudian Zuhair pun Syahid.

Pasukan musuh kembali menghujani Al-Husain dengan anak panah, melihat begitu banyak anak panah yang melesat menghujani Imam, seorang sahabat Imam yang bernama Amr Bin Qardhah Anshari melompat melindungi Imam dengan tubuhnya, dari hujanan anak panah musuh. Hingga puluhan anak panah itu menembus tubuhnya, maka ia pun perlahan terjatuh sambil memandangi wajah Imam dan bibirnya bergetar mengucapkan: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah”.

Dari pihak musuh ada saudara Amr Bin Qardhah yang melihat terbunuhnya Amr, saudara Amr itu berteriak memanggil Imam dari kejauhan, “Wahai Husain, wahai pendusta! Engkau telah menipu saudaraku hingga engkau membunuhnya.”

Kemudian Imam menjawab: “Aku tidak membunuh saudaramu! Allah telah membimbingnya menuju kebenaran.”

Sambil mengancam ingin membunuh Imam, laki-laki itu segera berlari kearah Imam, tetapi Nafi’ Bin Hilal Jamali menghadang dan menebasnya dengan pedang hingga laki-laki itu terbunuh. Nafi’ terus bertempur menghadapi musuh yang lain. Dan membunuh dua belas orang dengan panahnya. Setelah anak panahnya habis, Nafi’ Bin Hilal mencabut pedang dan berlari ketengah medan pertempuran.

Tetapi pihak musuh menggunakan ketapel batu, yang melayangkan batu cadas kearah kepala Nafi’, hingga batu cadas itu tepat mengenai kepalanya dengan keras. Nafi’ pun tersungkur dan tidak dapat berperang lagi karena luka yang teramat parah dikepalanya. Kemudian pihak musuh menyeret tubuh Nafi’ yang sudah sekarat dengan kuda, dan membawanya kepada Umar Bin Sa’ad.

Umar Bin Sa’ad bertanya kepada Nafi’, “Mengapa engkau lakukan ini pada dirimu?” Lalu Nafi’ menjawab lemah; “Demi Allah! Aku telah membunuh dua belas pasukanmu dan melukai yang lain. Aku tidak akan pernah memohon padamu untuk dibebaskan dari apapun. Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan engkau hidup!”

Mendengar jawaban Nafi’, Syimir menghampirinya. Dan menarik rambut Nafi’ lalu meletakkan mata pedangnya dileher Nafi’. Seketika dengan kejam Syimir mulai menekan mata pedangnya dileher Nafi’ dan menggerak-gerakkan pedangnya kedepan dan kebelakang, menggorok leher sahabat Al-Husain itu hingga terputus.

Dari pihak musuh Ibnu Ma’qil maju ketengah dan berteriak menantang salah satu sahabat Imam, Burair Bin Hudhair. Ibnu Ma’qil berteriak, “Wahai Burair! Bagaimana engkau yakin bahwa Allah bersamamu?”

Burair segera menjawab: “Allah telah memilih apa yang terbaik untukku dan apa yang terburuk untukmu. Lupakah ketika engkau mengecam Muawiyyah dan menyebutnya sesat? Akan tetapi saat ini engkau berada didalam kelompoknya!”

Burair menantang Ibnu Ma’qil untuk bertempur dengan bermubahalah. Siapa diantara mereka berdua yang menang dalam pertempuran, berarti Allah telah mengalahkan dan membunuh mereka yang jahat. Dan Ibnu Ma’qil menyetujuinya dan merekapun bertarung. Akhirnya Burair berhasil menebaskan pedangnya keleher Ibnu Ma’qil dan membunuhnya.

Ketika Burair ingin kembali kekemah Al-Husain, seorang musuh datang dari belakang dan langsung menikam Burair, hingga pedang musuh itu menembus tubuh Burair hingga keperutnya. Sambil memegang pedang yang menancap pada tubuhnya Burair menatapkan wajahnya kearah Imam dan mengucapkan salam “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah”.

Handhalah Bin Sa’d Syab’ami mendekat kesisi Imam, dan berkata kepada Imam: “Orang-orang ini layak mendapatkan hukuman Allah, ketika mereka menolak panggilanmu dan telah membunuh semua sahabat serta pengikutmu. Duhai Imam, tolong jangan cegah aku untuk menghadapi mereka.”

Kemudian Handhalah maju ketengah medan pertempuran dan membunuh beberapa orang musuh, seperti sahabat Imam yang lainnya karena jumlah musuh terlalu banyak, tenaga Handhalah pun melemah. Maka pedang dan tombak musuh dengan mudah menyayat-nyayat tubuh Handhalah. Kemudian sahabat Imam itupun jatuh terjerembab ketanah dan gugur sebagai Syuhada’.

Sahabat Imam yaitu Abish Bin Syabib Syakiri datang menghampiri Imam dan berkata: “Duhai Imam, tidak ada seorangpun yang lebih menyayangi diriku dimuka bumi ini kecuali engkau. Jika aku dapat membantumu dengan apapun yang lebih berharga dari jiwaku, maka aku akan melakukannya. Duhai pemimpinku, semoga kedamaian selalu bersamamu. Aku bersaksi bahwa engkau selalu berada pada jalan kebenaran.”

Setelah meminta izin Imam, Abish mengambil pedangnya. maka tampillah Abish Bin Syabib kemedan pertempuran. Pembela Al-Husain yang gagah berani ini berteriak lantang kearah musuh: “Siapa yang ingin bertarung denganku?” Pasukan musuh mengenal Abish, sehingga tidak ada satupun dari pihak musuh yang berani menjawab tantangan Abish.

Karena takut melawan Abish, maka pihak musuh menyiapkan ketapel batu. Melihat siasat musuh yang pengecut itu, maka Abish segera mengambil perisai dan topi perangnya. Dan dengan cepat menyerang musuh, banyak pihak musuh yang terbunuh ditangan Abish. Dan lebih dari dua ratus pasukan musuh lari tunggang langgang menghindari serangan Abish yang hebat.

Namun kembali mereka menyiapkan ketapel batu, dan menyerang Abish dari semua arah. Hujanan Batu cadas itupun menimpa Abish, dan pembela keluarga Nabi inipun tidak dapat menghindarinya, karena terlalu banyak batu yang menghujaninya. Maka batu cadas itupun banyak menghantam tubuh Abish, dan ada batu yang tepat mengenai kepala Abish, sehingga kepala sahabat Imam itu hancur, dan tubuh Abish yang nyaris hancur itupun jatuh tergeletak meregang nyawa.

Setelah itu majulah Jun Bin Hawi Nauba seorang budak dari Afrika, ia datang menghadap Imam dan meminta izin untuk berperang. Imam berkata: “Wahai Jun, engkau bergabung denganku bukan untuk berperang.”

Mendengar jawaban Imam, Jun langsung menangis dan bersujud dikaki Imam, sambil berkata: “Duhai tuanku, aku mengikuti engkau dalam keadaan aman, dan aku tidak akan meninggalkan engkau dalam keadaan sukar. Aku menyadari bahwa aku tidak memiliki silsilah dan keturunan yang sempurna. Karena aku hanyalah seorang budak berkulit hitam legam yang sangat hina. Duhai tuanku, beri aku kesempatan untuk memasuki surga, sebagai penghormatan aku kepadamu. Sungguh, aku tidak akan meninggalkan engkau sampai darah hitamku yang hina ini, bergabung dengan darah sucimu.”

Lalu dengan berat hati Imam mengizinkan Jun untuk pergi berperang, maka majulah manusia mulia ini menghampiri musuh. Jun berperang dengan tangkas dan gagah berani. Ia mampu membunuh tiga ratus dua puluh empat pasukan musuh. Namun Jun kehabisan tenaga, dan pihak musuh menggunakan kesempatan ini untuk mengepung Jun dan mencabik-cabik tubuhnya dengan pedang dan tombak. Karena begitu banyak luka dan darah yang keluar, maka Jun Bin Hawi Nauba pun terjatuh.

Dengan tenaga yang tersisa Jun merangkak menghampiri Imam, dengan segera Imam menjemput Jun dan membawanya kekemah. Imam membersihkan wajah Jun yang sedang menghadapi maut, kemudian Imam mencium kening Jun dan mendoakannya. Dengan suara lemah Jun berkata kepada Imam: “Duhai tuanku, jangan engkau kotori bibir sucimu dengan mencium budak yang kotor dan hina ini.”

Selanjutnya giliran sahabat Imam yaitu Anas Bin Harist maju meminta izin. Ia sudah teramat tua, hingga alis putihnya hampir menutupi matanya. Ia adalah sahabat Rasulullah dan Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib. Ia telah berperang bersama Rasul dipertempuran Badr dan Hunain. Ketika ia menghadap Imam, tubuhnya yang sudah bungkuk ia sanggah dengan tongkat agar terlihat masih gagah.

Imam berkata: “Duhai kakek, engkau seharusnya sudah menikmati masa tua mu dengan beristirahat bersama cucu-cucumu. Sudah cukup perjuanganmu bersama kakekku Rasulullah di Badr dan Hunain.”

Maka Anas Bin Harist menjawab: “Duhai pemimpinku, tidak lengkap jika di akhir hidupku hanya berdiam diri melihat cucu Nabi ku, putera Amirul Mu’minin dan Fathimah Az Zahra’, tengah berjuang menegakkan ajaran Allah, tanpa ada yang menolongnya. Duhai pemimpinku, jika aku tidak menolongmu apa yang akan aku katakan jika nanti aku berjumpa dengan kekasihku Muhammad? Aku ingin bertemu kekasihku Muhammad dengan luka dan darah disekujur tubuhku.”

Dengan sangat berat hati Al-Husain mengizinkan Anas untuk turun kemedan pertempuran. Anas teringat berperang dengan Rasulullah dalam menegakkan Islam di Badr dan Hunain. Dengan gagah berani sahabat Rasul itu menghadapi pasukan musuh dan dapat membunuh delapan belas pasukan musuh.

Karena usianya yang sudah teramat uzur maka sahabat Nabi itu kelelahan, lalu pasukan musuh dengan kejam membunuh sahabat Nabi yang sudah tua itu. Tubuh bungkuknya dipenuhi luka sayatan dan tusukan, dan ia pun jatuh terkulai dengan darah disekujur tubuhnya. Kemudian perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, untuk menjumpai kekasihnya Muhammad.

Amr Bin Junada Anshari, usianya baru genap sebelas tahun. Dengan bibir kering karena dahaga, anak kecil itu datang menghampiri Imam. Pedang yang ia bawa hampir sama tingginya dengan tubuhnya. Anak yang usianya masih sangat belia itu menggunakan baju perang yang kebesaran, lalu menghadap Imam dan meminta izin untuk ikut dalam pertempuran.

Al-Husain pun menunduk haru dan berkata: “Cukup ayahmu saja yang telah terbunuh. Dan tentu ibumu tidak ingin engkau ikut berperang.” Maka anak yang masih kecil itu menjawab: “Duhai Imam, ibuku-lah yang telah mendandani aku dengan pakaian perang ini, dan ia yang memerintahkan aku untuk membelamu, karena itulah aku meminta izin kepada engkau.”

Dengan perasaan terpaksa dan pilu, maka Al-Husain mengizinkan Amr Bin Junada untuk berperang. Tanpa ada rasa takut sedikitpun, anak kecil itu maju ketengah kemedan pertempuran. Karena masih anak-anak Amr hanya sebentar berdiri dimedan pertempuran. Dengan biadab pasukan musuh menebas leher kecil itu, seketika kepala anak kecil itu terputus dan jatuh ketanah.

Kemudian musuh mengambil kepala anak itu dan melemparkannya kekemah Al-Husain. Ibu anak itu mengenali kepala anaknya dan berlari mengambil potongan kepala anak kesayangannya itu. Kemudian ia menangis dan menciumi seluruh wajah anaknya, sambil terisak ia berkata: “Duhai anakku sayang, aku teramat bangga kepadamu. Ibunda Fathimah akan menyambutmu di surga dan akan memberimu air, sampaikanlah salam ibumu ini kepada Fathimah.”


(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Allah