Jalaluddin Rakhmat
Masa pemerintahan Mughal, tahun 1500-1600-an, dianggap sebagai zaman keemasan India. Anak Benua India berhasil dipersatukan secara politik sebagai sebuah bangsa, dan dikembangkan secara kultural sebagai masyarakat yang multi agama dan multi budaya. Pada zaman Mughal, untuk pertama kali India menjadi sebuah pemerintahan yang disentralisasikan. Pemerintah berhasil membangun India dalam suasana perdamaian, ketertiban, dan stabilitas. Stabilitas politik dan kemakmuran melahirkan kehidupan budaya yang menakjubkan. Ilmu, filsafat, dan berbagai kesenian mencapai kemajuan pesat. Dalam seni rupa dan arsitektur, Kekaisaran Mughal melahirkan sebuah mazhab unik, Mazhab Mughal. Di sini, gaya Persia-Islam dan gaya Hindu-India berpadu dalam sintesis yg indah. Salah satu jejak budaya Mughal yang kecantikannya bertahan ratusan tahun adalah Taj Mahal.Kebesaran Kekaisaran Mughal tidak dinisbatkan kepada pendirinya Babur, keturunan Taymur-i Lang, tetapi kepada Akbar, yang memerintah tahun 1542-1605. Sejarah mencatat, Akbar sebagai raja Muslim yang berhasil memerintah sebuah anak benua yang mayoritas beragama Hindu. Ketika ia meninggal, semua pemeluk agama menangisinya. Ia dikenang sebagai sulthân-i 'âdil, Sang Ratu Adil.Abu al-Fadhl menggambarkan pada kita pemerintahan Akbar serta ideologi yang mendasarinya dalam tiga jilid 'Ayn-i Akbari dan tiga jilid Akbarnamâ. Akbar ternyata seorang raja sufi yang menghabiskan malam dalam bermunajat kepada Tuhan. Ia mempraktekkan zikir seperti Yâ Hu dan Yâ Hâdî sepanjang malam. Ia sering berkhalwat, mengasingkan dirinya dari urusan duniawi, untuk beberapa waktu. Kadang ia pergi ke hutan dengan alasan berburu. Abu al-Fadhl menggambarkannya, "Ia terus menerus berburu, tapi secara batiniah berjalan bersama Tuhan."Pada tahun 1575, Akbar mendirikan 'Ibadat-khana, rumah ibadat. Di situ semua agama melakukan dialog antar-agama dan intra-agama. Semua aliran bebas mengeluarkan pendapatnya. Akbar menghidupkan non-sektarianisme dan menyerahkan semua agama pada pengadilan akal. Tak mungkin terjadi dialog antar agama bila setiap agama membuktikan kebenarannya dengan merujuk kitab sucinya. Akbar percaya, dalam dialog yang terbuka tanpa campur tangan kekuasaan, kebenaran akan lahir. Empat tahun kemudian, Akbar meminta Syaikh Mubarak, seorang yang dikenal sangat alim dan salih, merancang "garis-garis besar haluan negara." Di balik konsep ini terdapat pandangan tentang Ratu Adil. Keadilan adalah esensi ajaran agama. Keadilan juga sifat Tuhan.Untuk memerintah dengan adil, raja harus menjadikan akal sebagai pembimbingnya. Ia tak boleh membeda-bedakan rakyatnya berdasarkan agama. atau keyakinannya. Bila seorang raja sudah mengistimewakan satu golongan -berdasarkan agama, ras, atau aliran- serta meremehkan golongan lain, ia telah bertindak tidak adil. Yang harus menjadi perhatian raja bukanlah golongan, tapi kepentingan seluruh bangsa. Untuk itu, ia boleh berijtihad. Selama tidak bertentangan dengan Al-Quran, ia dapat saja menetapkan keputusan-keputusan legal yang bermanfaat bagi rakyat. Ratu Adil tak boleh terikat pada satu mazhab fikih. "Manusia sejati ialah orang yang menjadikan keadilan sebagai petunjuk pencarian kebenaran, dan mengambil dari semua aliran apa saja yang sesuai dengan akal," begitu bunyi dekrit yang disahkan Akbar. Tujuan pemerintahan adalah menyejahterakan rakyat, terutama rakyat kecil. Kepada Todar Mal, Menteri Keuangannya, Akbar menegaskan bahwa ibadah yang paling utama ialah menolong orang lemah.Pembaharuan Akbar bukan tak mendapat kritik. Para ulama fikih menentang dekrit Akbar. Berbagai tuduhan dilemparkan kepadanya: Syi’ah, murtad, Hindu, pendiri agama baru. Ia dituding Syi’ah karena mempunyai Guru dari Persia, Mir ‘Abdullathif, seorang yang sangat terbuka. Menurut Abû al-Fadhl, ‘Abdullathif disebut Syiah di India dan Sunni di Persia, karena keluasan pandangan dan sikapnya yang tidak fanatik. Ia dituduh murtad karena berpegang pada paham wahdah al-wujûd. Ia dianggap Hindu karena mempekerjakan orang-orang Hindu pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Ia dipandang mendirikan agama baru karena menegaskan bahwa untuk memperoleh kebenaran kita harus bersedia mendengar dan belajar dari semua agama. Ia memang mendirikan sebuah tarekat, yang disebut tawhîd-i ilâhî. Ia juga mengkritik agama yang formalistis dan didasarkan pada taklid. Ia menyebutnya Islâm-i majazi wa taqlidi.Ada yang menduga, Akbar memasuki tarekat karena pengaruh aliran tarekat Chisytiyyah, yang didirikan Mu’înuddin Chisytî dari Sistan, Iran Timur. Tarekat Chisytiyyah mengajarkan , kita hanya dapat mendekati Tuhan dengan berkhidmat tanpa pamrih kepada makhluk Tuhan, apa pun agamanya. Seorang pengikut Chisytiyyah memulai perjalanannya menuju Tuhan dengan melayani keperluan orang miskin. Mu’înuddin Chisytî sendiri mendapat gelar “Pembela Orang Miskin”. Kuburannya di Azmer diziarahi oleh ribuan orang Islam dan Hindu.Boleh jadi, Akbar terpengaruh ajaran Chisytiyyah yang menyatakan bahwa akhlak yang membuat Tuhan sayang kepada kita ada tiga: kedermawanan, seperti sungai yang mengalirkan airnya ke mana pun tempat yang lebih rendah darinya, kasih sayang, seperti matahari yang memberikan sinarnya kepada semua yang di bawahnya, besar atau kecil, dan keramahan, seperti bumi yang bersedia menerima intan dan sampah ke dalam pelukannya. Akbar berusaha mewujudkan doktrin ini dalam pemerintahannya. Yang didirikannya bukan negara agama, tetapi negara supra-agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar