Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Oleh : Candiki Repantu
BAB III : PENYIMPANGAN AJARAN SYIAH
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurât [49];12)”
Kita telah membedan dua bab dari isi Buku Panduan ini, dan anda sudah menyaksikan bagaimana penyimpangannya. Maka kini masuklah kita pada inti buku ini, yaitu Bab III, tentang Penyimpangan Ajaran Syiah. Dalam bab ini ada lima penyimpangan yang diajukan oleh Buku Panduan terebut terhadap syiah yaitu :
Penyimpangan Paham tentang Orisinalitas Alquran
Penyimpangan Paham tentang Ahlul Bait Rasul saw dan Meengafirkan Sahabat Nabi
Penyimpangan Paham Syiah Mengafirkan Umat Islam
Penyimpangan Paham tentang Kedudukan Imam Syiah
Penyimpangan Paham tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kelima hal di atas diajukan Buku Panduan ini untuk menyesatkan syiah—atau mungkin mengkafirkannya. Sekarang marilah kita telusuri “Penyimpangan Buku Panduan ini Ketika Membahas Penyimpangan Syiah”. Pembahasan ini tidak lain untuk memperkuat kokohnya Ukhuwah Islamiyah Syiah-Sunni, agar tidak terjadi salah pemahaman dikarenakan isu-isu yang keliru dipahami atau terselewengkan.
Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat, 1995) pernah memetakan enam teknik pengalihan atau manipulasi data para penulis tentang syiah yang diduga beliau karena alasan politis, yaitu sbb :
Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
Membuang seluruh beritanya dengan petunjuk adanya pembuangan cerita. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelaskan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarnya”. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”. Begitu pula banyak yang menakwilkan kata “maula” dalam hadis ghadir khum bukan untuk kepemimpinan.
Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalkannya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Ini juga terjadi pada buku Hayat Muhammad karya Husain Haikal. Pada cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung (penguasa) atau yang menunjukkan keutamaan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifahNabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Terlepas dari sepakat atau tidak dengan pemetaan di atas, maka kita akan mencoba membedah Buku Panduan ini saat mengulas penyimpangan syiah. Apakah terjebak atau tidak dengan teknik pengalihan fakta di atas.
1. TENTANG ORISINALITAS ALQURAN
Perlu ditegaskan bahwa yang muktabar bagi syiah imamiyah itsna asyariyah yang pengikutnya mayoritas di dunia dan di Indonesia adalah menolak terjadinya tahrif pada Alquran, baik itu penambahan maupun pengurangan pada Alquran. Hal ini banyak ditegaskan para ulama syiah dari masa lalu hingga kini. Karenanya, untuk mendudukan persoalan tersebut, dan sebelum mengulas tentang tahrif Alquran, perlu diketahui, menurut para ulama syiah, Al-Quran diturunkan dalam dua tahap. Pertama, sabil al-ijmal (marhalah al-ihkam), yaitu diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk global. Kedua, sabil at-tafshil (marhalah at-tafshil), yaitu diturunkan secara berangsur-angsur sejak Rasul saaw di utus hingga akhir hayatnya (lihat Baqir al-Hakim, Ulum al-Quran, hal. 27-28)
Ayatullah Baqir al-Hakim menjelaskan yang dimaksud diturunkannya wahyu itu secara global yaitu turunnya ilmu-ilmu Allah swt, termasuk Alquran dan rahasia-rahasia besar yang terkandung di dalamnya ke dalam hati Rasulullah saaw agar hatinya dipenuhi dengan cahaya pengetahuan al-Quran (Ulum al-Quran, hal. 27). Jadi, nuzul al-Quran (turunnya Alquran) itu terdiri dari dua hal, yakni teks Alquran dan makna Alquran (tafsir, takwil, hukum, rahasia-rahasianya, dan lainnya). Karena itulah, maka Rasulullah saaw adalah orang pertama yang menguasai maksud dan makna teks-teks Alquran itu, beliaulah penafsir pertama Alquran. Karena itu adakalanya Rasul saaw menyampaikan teks sekaligus makna yang terkandung di dalamnya. Inilah yang disebut hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakanya, mengumpulkannya di dalam dada Nabi saaw, dan menjelaskan maksudnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Alquran sendiri : “Janganlah engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk mebaca Alquran) karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya KAMI YANG AKAN MENGUMPULKANNYA (di dadamu) dan MEMBACAKANNYA. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA, MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU. KEMUDIAN, SESUNGGUHNYA KAMI YANG AKAN MENJELASKANNYA.” (Q.S. al-Qiyamah : 16-19)
Setelah mengetahui dua jenis penurunan wahyu, mari kita bisa menganalisis tentang tahrifal-Quran yang menjadi polemik sunni dan syiah. Dan agar tidak terjadi kerancuan pembahasan perlu ditetapkan dulu tahrif Alquran yang bagaimana yang dituduhkan kepada syiah?
Buku Panduan MUI ini menyebutkan bahwa ulama-ulama syiah meyakini terjadinya tahrifAlquran yang bermakna penambahan dan pengurangan Alquran. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan di buku panduan tersebut pada hal. 25-26 sebagai berikut :
“Menurut seorang ulama Syiah, al-Mufid, dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Tokoh syiah lain mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan. Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. Abu Manshur Ahmad bin Ali al-Thabarshi, seorang tokokh syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab al-Ihtijaj, bahwa Alquran yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli, dan telah terjadi pengurangan. Ni’matullah al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah, semua imam syiah menyatakan adanya tahrif (perubahan) Alquran, kecuali pendapat Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi yang berpendapat tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya ia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Alquran itu sedang bertaqiyah” (hal. 25-26).
Jadi, Buku Panduan ini menyebutkan lima ulama syiah yang menyatakan tahrif Alquran, yaitu : Syaikh Mufid, Allamah Al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi. Dari kelima tokoh di atas, hanya Syaikh Mufid yang dituduh mengakui tahrif dalam makna penambahan dan pengurangan Alquran. Sedangkan keempat lainnya, yaitu Allamah al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi kelihatannya lebih pada pernyataan terjadinya pengurangan pada Alquran bukan penambahan.
Sekarang mari kita bandingkan pernyataan Buku Panduan tersebut dengan pernyataan ulama syiah, Al-Fadhl ib al-Hasan Abu Ali At-Thabarsyi dalam kitabnya tafsirnya Majma’ al-Bayan sebagai berikut : “Adapun tentang adanya penambahan pada al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan adanya pengurangan dari al-Quran maka beberapa dari kalangan kami (imamiyah) dan juga dari kalangan ahlussunnah, ada riwayat bahwa di dalam al-Quran terjadi perubahan dan pengurangan. Akan tetapi yang benar menurut mazhab kami dan mazhab mereka ialah kebalikan dari itu. Dan pendapat yang demikian itulah yang didukung oleh al-Murtadha, semoga Allah mensucikan ruh beliau.” (At-Thabarsi, Tafsir Majma’ al-Bayan jilid 1, h. 15)
Dari pernyataan at-Thabarsyi di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan :
Tentang penambahan Alquran disepakati kebatilannya dan tertolak.
Tentang pengurangan Alquran, maka terdapat ulama imamiyah dan ulama Ahlussunnah yang meriwayatkan terjadinya hal tersebut.
Para ulama syiah dan sunni, membahas pendapat tentang pengurangan Alquran ini dan menolak terjadinya hal tesebut dengan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan.Karenanya, menisbatkan kepada Syiah atau kepada Sunni keyakinan terjadinya tahrif Alquran dalam makna pengurangan Alquran juga tidak bisa diterima.
Dari pernyataan di atas, maka pembicaraan tahrif Alquran dibatasi pada persoalan pengurangan Alquran tersebut. Apakah kelima ulama syiah yang disebutkan oleh Buku Panduan tersebut meyakini terjadinya pengurangan Alquran? Berikut ini satu persatu ulama yang disebutkan di atas akan kita diskusikan.
1. Syaikh Mufid. Buku panduan ini menyatakan bahwa “Syaikh Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan”. (hal. 25). Dalam footnote-nya disebutkan dikutip dari kitab Awail al-Maqalat, hal. 80-81 . Sekarang mari kita lihat isi kitabAwail al-Maqalat pada halaman 80-81 bab “Pendapat tentang Penyusunan Alquran, Penambahan dan Pengurannya” sebagai berikut :
القول في تأليف القرآن وما ذكر قوم من الزيادة فيه والنقصان
أقول: إن الأخبار قد جاءت مستفيضة عن أئمة الهدى من آل محمد (ص)، باختلاف القرآن وما أحدثه بعض الظالمين فيه من
الحذف والنقصان، فأما القول في التأليف فالموجود يقضي فيه بتقديم المتأخر وتأخير المتقدم ومن عرف الناسخ والمنسوخ والمكي والمدني لم يرتب بما ذكرناه وأما النقصان فإن العقول لا تحيله ولا تمنع من وقوعه، وقد امتحنت مقالة من ادعاه، وكلمت عليه المعتزلة وغيرهم طويلا فلم اظفر منهم بحجة اعتمدها في فساده
وقد قال جماعة من أهل الإمامة إنه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ولكن حذف ما كان مثبتا في مصحف أمير المؤمنين (ع) من تأويله وتفسير معانيه على حقيقة تنزيله وذلك كان ثابتا منزلا وإن لم يكن من جملة كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجز، وقد يسمى تأويل القرآن قرآنا قال الله تعالى: (ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه وقل رب زدني علما) فسمى تأويل القرآن قرآنا، وهذا ما ليس فيه بين أهل التفسير اختلاف
وعندي أن هذا القول أشبه من مقال من ادعى نقصان كلم من نفس القرآن على الحقيقة دون التأويل، وإليه أميل والله أسأل توفيقه للصواب
”Sesungguhnya riwayat-riwayat yang diperoleh dari imam-imam pemberi petunjuk dari keluarga Muhammad saaw, terdapat pernyataan tentang perbedaan Alquran, dan juga yang menceritakan tentang sebagian orang-orang zalim yang membuang dan mengurangi Alquran. Yaitu terjadi pada saat penyusunan (Alquran) dengan memerintahkan mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang terdahulu, mengenalkan nasakh dan mansukh, makkiyah dan madaniyyah, tidaklah teratur sebagaimana disebutkannya. Adapun tentang pernyataan pengurangan (Alquran) yang secara akal tidaklah mustahil dan tidak terlarang terjadinya, maka setelah aku mencermati dari para penyerunya dan pernyataan dari Muktazilah dan selain mereka, maka tidaklah dapat diambil dan bersandar pada hujjah mereka yg rusak tersebut.
“DAN TELAH BERAKATA JAMAAH AHLI IMAMAH (KELOMPOK SYIAH), SESUNGGUHNYA ALQURAN TIDAK BERKURANG WALUPUN HANYA SATU KATA, SATU AYAT, ATAU SATU SURAT. Akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang ada dalam mushaf Amirul Mukminin as yang merupakan ta’wil dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat turunnya. YANG DEMIKIAN ITU (ta’wil dan tafsir) SEKALIPUN TELAH DITURUNKAN ALLAH TETAPI ITU BUKAN BAGIAN DARI FIRMAN ALLAH ALQURAN YANG MUKJIZAT. Dan MENURUT SAYA PENDAPAT INI LEBIH TEPAT DARIPADA PENDAPAT ORANG YANG MENGANGGAP ADANYA PENGURANGAN FIRMAN DARI ALQURAN ITU SENDIRI YANG BUKAN TA’WILNYA. DAN SAYA MEMILIH PENDAPAT INI. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (Awail al-Maqalat hal. 80-81)….{Setelah menolak pengurangan Alquran, kemudian Syaikh Mufid menjelaskan penolakanya terhadap penambahan Alquran, maaf saya tidak tuliskan lagi}.
Jadi, sungguh aneh bin ajaib, Buku Panduan ini menuduh Syaikh Mufid mengakui tahrifAlquran. Kesimpulan kita sementara ini, penyimpangan Buku Panduan ini karena mengarahkan pandangannya pada judul bab dan ungkapan awal Syaikh Mufid dan meninggalkan bagian akhirya (mungkin ini bukan kesengajaan). Tetapi ini kesalahan fatal. Dari enam teknik manipulasi data yang disebutkan Kang Jalal, termasuk bagian manakah manipulasi ini?, silahkan anda pilih sendiri…. (bersambung)
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Oleh : Candiki Repantu
BAB III : PENYIMPANGAN AJARAN SYIAH
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurât [49];12)”
Kita telah membedan dua bab dari isi Buku Panduan ini, dan anda sudah menyaksikan bagaimana penyimpangannya. Maka kini masuklah kita pada inti buku ini, yaitu Bab III, tentang Penyimpangan Ajaran Syiah. Dalam bab ini ada lima penyimpangan yang diajukan oleh Buku Panduan terebut terhadap syiah yaitu :
Penyimpangan Paham tentang Orisinalitas Alquran
Penyimpangan Paham tentang Ahlul Bait Rasul saw dan Meengafirkan Sahabat Nabi
Penyimpangan Paham Syiah Mengafirkan Umat Islam
Penyimpangan Paham tentang Kedudukan Imam Syiah
Penyimpangan Paham tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kelima hal di atas diajukan Buku Panduan ini untuk menyesatkan syiah—atau mungkin mengkafirkannya. Sekarang marilah kita telusuri “Penyimpangan Buku Panduan ini Ketika Membahas Penyimpangan Syiah”. Pembahasan ini tidak lain untuk memperkuat kokohnya Ukhuwah Islamiyah Syiah-Sunni, agar tidak terjadi salah pemahaman dikarenakan isu-isu yang keliru dipahami atau terselewengkan.
Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat, 1995) pernah memetakan enam teknik pengalihan atau manipulasi data para penulis tentang syiah yang diduga beliau karena alasan politis, yaitu sbb :
Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
Membuang seluruh beritanya dengan petunjuk adanya pembuangan cerita. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelaskan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarnya”. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”. Begitu pula banyak yang menakwilkan kata “maula” dalam hadis ghadir khum bukan untuk kepemimpinan.
Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalkannya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Ini juga terjadi pada buku Hayat Muhammad karya Husain Haikal. Pada cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung (penguasa) atau yang menunjukkan keutamaan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifahNabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Terlepas dari sepakat atau tidak dengan pemetaan di atas, maka kita akan mencoba membedah Buku Panduan ini saat mengulas penyimpangan syiah. Apakah terjebak atau tidak dengan teknik pengalihan fakta di atas.
1. TENTANG ORISINALITAS ALQURAN
Perlu ditegaskan bahwa yang muktabar bagi syiah imamiyah itsna asyariyah yang pengikutnya mayoritas di dunia dan di Indonesia adalah menolak terjadinya tahrif pada Alquran, baik itu penambahan maupun pengurangan pada Alquran. Hal ini banyak ditegaskan para ulama syiah dari masa lalu hingga kini. Karenanya, untuk mendudukan persoalan tersebut, dan sebelum mengulas tentang tahrif Alquran, perlu diketahui, menurut para ulama syiah, Al-Quran diturunkan dalam dua tahap. Pertama, sabil al-ijmal (marhalah al-ihkam), yaitu diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk global. Kedua, sabil at-tafshil (marhalah at-tafshil), yaitu diturunkan secara berangsur-angsur sejak Rasul saaw di utus hingga akhir hayatnya (lihat Baqir al-Hakim, Ulum al-Quran, hal. 27-28)
Ayatullah Baqir al-Hakim menjelaskan yang dimaksud diturunkannya wahyu itu secara global yaitu turunnya ilmu-ilmu Allah swt, termasuk Alquran dan rahasia-rahasia besar yang terkandung di dalamnya ke dalam hati Rasulullah saaw agar hatinya dipenuhi dengan cahaya pengetahuan al-Quran (Ulum al-Quran, hal. 27). Jadi, nuzul al-Quran (turunnya Alquran) itu terdiri dari dua hal, yakni teks Alquran dan makna Alquran (tafsir, takwil, hukum, rahasia-rahasianya, dan lainnya). Karena itulah, maka Rasulullah saaw adalah orang pertama yang menguasai maksud dan makna teks-teks Alquran itu, beliaulah penafsir pertama Alquran. Karena itu adakalanya Rasul saaw menyampaikan teks sekaligus makna yang terkandung di dalamnya. Inilah yang disebut hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakanya, mengumpulkannya di dalam dada Nabi saaw, dan menjelaskan maksudnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Alquran sendiri : “Janganlah engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk mebaca Alquran) karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya KAMI YANG AKAN MENGUMPULKANNYA (di dadamu) dan MEMBACAKANNYA. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA, MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU. KEMUDIAN, SESUNGGUHNYA KAMI YANG AKAN MENJELASKANNYA.” (Q.S. al-Qiyamah : 16-19)
Setelah mengetahui dua jenis penurunan wahyu, mari kita bisa menganalisis tentang tahrifal-Quran yang menjadi polemik sunni dan syiah. Dan agar tidak terjadi kerancuan pembahasan perlu ditetapkan dulu tahrif Alquran yang bagaimana yang dituduhkan kepada syiah?
Buku Panduan MUI ini menyebutkan bahwa ulama-ulama syiah meyakini terjadinya tahrifAlquran yang bermakna penambahan dan pengurangan Alquran. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan di buku panduan tersebut pada hal. 25-26 sebagai berikut :
“Menurut seorang ulama Syiah, al-Mufid, dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Tokoh syiah lain mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan. Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. Abu Manshur Ahmad bin Ali al-Thabarshi, seorang tokokh syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab al-Ihtijaj, bahwa Alquran yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli, dan telah terjadi pengurangan. Ni’matullah al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah, semua imam syiah menyatakan adanya tahrif (perubahan) Alquran, kecuali pendapat Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi yang berpendapat tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya ia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Alquran itu sedang bertaqiyah” (hal. 25-26).
Jadi, Buku Panduan ini menyebutkan lima ulama syiah yang menyatakan tahrif Alquran, yaitu : Syaikh Mufid, Allamah Al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi. Dari kelima tokoh di atas, hanya Syaikh Mufid yang dituduh mengakui tahrif dalam makna penambahan dan pengurangan Alquran. Sedangkan keempat lainnya, yaitu Allamah al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi kelihatannya lebih pada pernyataan terjadinya pengurangan pada Alquran bukan penambahan.
Sekarang mari kita bandingkan pernyataan Buku Panduan tersebut dengan pernyataan ulama syiah, Al-Fadhl ib al-Hasan Abu Ali At-Thabarsyi dalam kitabnya tafsirnya Majma’ al-Bayan sebagai berikut : “Adapun tentang adanya penambahan pada al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan adanya pengurangan dari al-Quran maka beberapa dari kalangan kami (imamiyah) dan juga dari kalangan ahlussunnah, ada riwayat bahwa di dalam al-Quran terjadi perubahan dan pengurangan. Akan tetapi yang benar menurut mazhab kami dan mazhab mereka ialah kebalikan dari itu. Dan pendapat yang demikian itulah yang didukung oleh al-Murtadha, semoga Allah mensucikan ruh beliau.” (At-Thabarsi, Tafsir Majma’ al-Bayan jilid 1, h. 15)
Dari pernyataan at-Thabarsyi di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan :
Tentang penambahan Alquran disepakati kebatilannya dan tertolak.
Tentang pengurangan Alquran, maka terdapat ulama imamiyah dan ulama Ahlussunnah yang meriwayatkan terjadinya hal tersebut.
Para ulama syiah dan sunni, membahas pendapat tentang pengurangan Alquran ini dan menolak terjadinya hal tesebut dengan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan.Karenanya, menisbatkan kepada Syiah atau kepada Sunni keyakinan terjadinya tahrif Alquran dalam makna pengurangan Alquran juga tidak bisa diterima.
Dari pernyataan di atas, maka pembicaraan tahrif Alquran dibatasi pada persoalan pengurangan Alquran tersebut. Apakah kelima ulama syiah yang disebutkan oleh Buku Panduan tersebut meyakini terjadinya pengurangan Alquran? Berikut ini satu persatu ulama yang disebutkan di atas akan kita diskusikan.
1. Syaikh Mufid. Buku panduan ini menyatakan bahwa “Syaikh Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan”. (hal. 25). Dalam footnote-nya disebutkan dikutip dari kitab Awail al-Maqalat, hal. 80-81 . Sekarang mari kita lihat isi kitabAwail al-Maqalat pada halaman 80-81 bab “Pendapat tentang Penyusunan Alquran, Penambahan dan Pengurannya” sebagai berikut :
القول في تأليف القرآن وما ذكر قوم من الزيادة فيه والنقصان
أقول: إن الأخبار قد جاءت مستفيضة عن أئمة الهدى من آل محمد (ص)، باختلاف القرآن وما أحدثه بعض الظالمين فيه من
الحذف والنقصان، فأما القول في التأليف فالموجود يقضي فيه بتقديم المتأخر وتأخير المتقدم ومن عرف الناسخ والمنسوخ والمكي والمدني لم يرتب بما ذكرناه وأما النقصان فإن العقول لا تحيله ولا تمنع من وقوعه، وقد امتحنت مقالة من ادعاه، وكلمت عليه المعتزلة وغيرهم طويلا فلم اظفر منهم بحجة اعتمدها في فساده
وقد قال جماعة من أهل الإمامة إنه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ولكن حذف ما كان مثبتا في مصحف أمير المؤمنين (ع) من تأويله وتفسير معانيه على حقيقة تنزيله وذلك كان ثابتا منزلا وإن لم يكن من جملة كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجز، وقد يسمى تأويل القرآن قرآنا قال الله تعالى: (ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه وقل رب زدني علما) فسمى تأويل القرآن قرآنا، وهذا ما ليس فيه بين أهل التفسير اختلاف
وعندي أن هذا القول أشبه من مقال من ادعى نقصان كلم من نفس القرآن على الحقيقة دون التأويل، وإليه أميل والله أسأل توفيقه للصواب
”Sesungguhnya riwayat-riwayat yang diperoleh dari imam-imam pemberi petunjuk dari keluarga Muhammad saaw, terdapat pernyataan tentang perbedaan Alquran, dan juga yang menceritakan tentang sebagian orang-orang zalim yang membuang dan mengurangi Alquran. Yaitu terjadi pada saat penyusunan (Alquran) dengan memerintahkan mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang terdahulu, mengenalkan nasakh dan mansukh, makkiyah dan madaniyyah, tidaklah teratur sebagaimana disebutkannya. Adapun tentang pernyataan pengurangan (Alquran) yang secara akal tidaklah mustahil dan tidak terlarang terjadinya, maka setelah aku mencermati dari para penyerunya dan pernyataan dari Muktazilah dan selain mereka, maka tidaklah dapat diambil dan bersandar pada hujjah mereka yg rusak tersebut.
“DAN TELAH BERAKATA JAMAAH AHLI IMAMAH (KELOMPOK SYIAH), SESUNGGUHNYA ALQURAN TIDAK BERKURANG WALUPUN HANYA SATU KATA, SATU AYAT, ATAU SATU SURAT. Akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang ada dalam mushaf Amirul Mukminin as yang merupakan ta’wil dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat turunnya. YANG DEMIKIAN ITU (ta’wil dan tafsir) SEKALIPUN TELAH DITURUNKAN ALLAH TETAPI ITU BUKAN BAGIAN DARI FIRMAN ALLAH ALQURAN YANG MUKJIZAT. Dan MENURUT SAYA PENDAPAT INI LEBIH TEPAT DARIPADA PENDAPAT ORANG YANG MENGANGGAP ADANYA PENGURANGAN FIRMAN DARI ALQURAN ITU SENDIRI YANG BUKAN TA’WILNYA. DAN SAYA MEMILIH PENDAPAT INI. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (Awail al-Maqalat hal. 80-81)….{Setelah menolak pengurangan Alquran, kemudian Syaikh Mufid menjelaskan penolakanya terhadap penambahan Alquran, maaf saya tidak tuliskan lagi}.
Jadi, sungguh aneh bin ajaib, Buku Panduan ini menuduh Syaikh Mufid mengakui tahrifAlquran. Kesimpulan kita sementara ini, penyimpangan Buku Panduan ini karena mengarahkan pandangannya pada judul bab dan ungkapan awal Syaikh Mufid dan meninggalkan bagian akhirya (mungkin ini bukan kesengajaan). Tetapi ini kesalahan fatal. Dari enam teknik manipulasi data yang disebutkan Kang Jalal, termasuk bagian manakah manipulasi ini?, silahkan anda pilih sendiri…. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar