judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Rabu, 29 Desember 2010

HADIST IMAM ALI ADALAH PINTU ILMU RASUL [BANTAHAN TERHADAP NOTE ABB BAGIS]

Hadis pintu kota ilmu masyhur diriwayatkan oleh Abu Shult Abdus Salam bin Shalih Al Harawi dan kasihan sekali orang ini dituduh sebagai yang memalsukan hadis tersebut sehingga tidak segan-segan banyak ulama yang berduyun-duyun mendhaifkan Abu Shult.

Fakta membuktikan ternyata Abu Shult tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini. Bersamanya ada banyak perawi lain baik tsiqat, dhaif atau majhul yang juga meriwayatkan hadis ini. Bukankah ini salah satu indikasi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini. Dan ajaibnya seorang imam terkenal Ibnu Ma’in bersaksi kalau Abu Shult tidak memalsukan hadis ini bahkan Ibnu Ma’in menyatakan Abu Shult seorang tsiqat shaduq.

Ternyata para ulama tidak kehabisan akal, mereka membuat tuduhan baru yang akan mengakhiri semuanya. Tuduhannya tetap sama “Abu Shult memalsukan hadis ini” tetapi dengan tambahan “dan siapa saja yang meriwayatkan hadis ini selain Abu Shult maka dia pasti mencuri hadis tersebut dari Abu Shult”. Mengagumkan, perkataan ini jelas menunjukkan bahwa sebanyak apapun orang lain selain Abu Shult meriwayatkan hadis ini maka hadis ini akan tetap palsu keadaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa canggihnya sebagian ulama sekaligus menunjukkan betapa konyolnya sebagian ilmu jarh wat ta’dil.

Mengapa konyol?. Karena jelas sekali dipaksakan. Mereka ingin memaksakan kalau hadis ini palsu dan yang memalsukannya adalah Abu Shult Al Harawi. Di bawah ini kami akan membawakan sanad yang menunjukkan kalau hadis ini tidaklah palsu dan Abu Shult bukanlah orang yang tertuduh memalsu hadis ini.
ثنا أبو الحسين محمد بن أحمد بن تميم القنطري ثنا الحسين بن فهم ثنا محمد بن يحيى بن الضريس ثنا محمد بن جعفر الفيدي ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن مجاهد عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد المدينة فليأت الباب


Telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Fahm yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Dharisy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Al Faidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari Al ‘Amasy dari Mujahid dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya dan siapa yang hendak memasuki kota itu hendaklah melalui pintunya” [Mustadrak As Shahihain Al Hakim no 4638 dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Ma’in]

Hadis riwayat Al Hakim di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis. Mereka yang mau mencacatkan hadis ini tidak memiliki hujjah kecuali dalih-dalih yang dipaksakan. Berikut pembahasan mengenai perawi hadis tersebut dan jawaban terhadap syubhat dari para pengingkar.

Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Qanthari yang dikenal Abu Husain Al Khayyath adalah Syaikh [gurunya] Al Hakim dimana Al Hakim banyak sekali meriwayatkan hadis darinya. Al Hakim telah berhujjah dengan hadis-hadisnya dan menshahihkannya dalam Al Mustadrak. Selain itu Al Hakim menyebutnya dengan sebutan Al Hafizh [ini salah satu predikat ta’dil] dalam Al Mustadrak no 6908. Muhammad bin Abi Fawaris berkata “ada kelemahan padanya” [Tarikh Baghdad 1/299]. Pernyataan Ibnu Abi Fawaris tidaklah benar karena Al Hakim sebagai murid Abu Husain Al Khayyath lebih mengetahui keadaan gurunya dibanding orang lain dan Al Hakim telah menta’dilkan gurunya dan menshahihkan hadis-hadisnya. Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak juga tidak pernah mengkritik Abu Husain Al Khayyath bahkan ia sepakat dengan Al Hakim, menshahihkan hadis-hadis Abu Husain Al Khayyath.

Husain bin Fahm adalah seorang yang disebut Adz Dzahabi sebagai Al Hafizh Faqih Allamah yang berhati-hati dalam riwayat. [Siyar ‘Alam An Nubala 13/427]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat ma’mun hafizh [Mustadrak no 4638]. Al Khatib juga menyatakan ia tsiqat dan berhati-hati dalam riwayat [Tarikh Baghdad 8/92 no 4190]. Disebutkan kalau Daruquthni menyatakan “ia tidak kuat”. Pernyataan Daruquthni tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menjelaskan sebab pencacatannya padahal Al Hakim dan Al Khatib bersepakat menyatakan Husain bin Fahm tsiqah ditambah lagi pernyataan “laisa biqawy” [tidak kuat] bukan pencacatan yang keras dan juga bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan.

Muhammad bin Yahya bin Dharisy adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15450 dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh wat Ta’dil 8/124 no 556] dan sebagaimana disebutkan Al Mu’allimi kalau Abu Hatim seorang yang dikenal ketat soal perawi dan jika ia menyebut perawi dengan sebutan shaduq itu berarti perawi tersebut tsiqah [At Tankil 1/350]

Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh [guru] Bukhari yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 9 no 15466. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat diantaranya Al Bukhari [dalam kitab Shahih-nya] oleh karena itu disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5786 kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis. Sebenarnya dia seorang yang tsiqat karena selain Ibnu Hibban, Abu Bakar Al Bazzar menyatakan ia shalih [Kasyf Al Astar 3/218 no 2606] dan Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat makmun [Al Mustadrak Al Hakim no 4637].

Ibnu Hajar menyebutkan biografi Muhammad bin Ja’far Al Faidy dalam At Tahdzib juz 9 no 128 dan disini Ibnu Hajar mengalami kerancuan. Ibnu Hajar membuat keraguan kalau sebenarnya dia bukanlah syaikh [guru] Al Bukhari. Dalam Shahih Bukhari disebutkan dengan kata-kata “haddatsana Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far haddatsana Ibnu Fudhail” [Shahih Bukhari no 2471]. Menurut Ibnu Hajar, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud bukan Al Faidy tetapi Muhammad bin Ja’far Al Simnani Al Qumasi yang biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 9 no 131. Muhammad bin Ja’far Al Simnani disebutkan Ibnu Hajar kalau dia dikenal Syaikh Al Bukhari seorang hafiz yang tsiqat dan dia masyhur dikenal dengan kuniyah Abu Ja’far sedangkan Al Faidy lebih masyhur dengan kuniyah Abu Abdullah. Disini Ibnu Hajar melakukan dua kerancuan
Pertama, Muhammad bin Ja’far yang dimaksud Al Bukhari adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy karena Al Hakim dengan jelas menyebutkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy dengan kuniyah Abu Ja’far Al Kufi dan dialah yang meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan Al Kufy [Al Asami wal Kuna juz 3 no 1044]. Bukhari sendiri menyebutkan kalau Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far yang meriwayatkan dari Ibnu Fudhail tinggal di Faid dengan kata lain dia adalah Al Faidy [Tarikh Al Kabir juz 1 no 118]. Jadi memang benar kalau Muhammad bin Ja’far Al Faidy adalah Syaikh atau gurunya Al Bukhari.
Kedua, Ibnu Hajar dengan jelas menyatakan Muhammad bin Ja’far Al Simnani [Syaikh Al Bukhari] seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/63] sedangkan untuk Muhammad bin Ja’far Al Faidy [Syaikh Al Bukhari] Ibnu Hajar memberikan predikat “maqbul” [At Taqrib 2/63]. Hal ini benar-benar sangat rancu, Muhammad bin Ja’far Al Simnani walaupun ia gurunya Al Bukhari tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang memberikan predikat ta’dil kepadanya bahkan Ibnu Hibban tidak memasukkannya dalam Ats Tsiqat sedangkan Muhammad bin Ja’far Al Faidy telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Jadi yang seharusnya dinyatakan tsiqat itu adalah Muhammad bin Ja’far Al Faidy.

Abu Muawiyah Ad Dharir yaitu Muhammad bin Khazim At Tamimi seorang perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 2/70]. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy juga perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat [At Taqrib 1/392] dan Mujahid adalah seorang tabiin imam ahli tafsir perawi kutubus sittah yang juga dikenal tsiqat [At Taqrib 2/159]. Salah satu cacat yang dijadikan dalih oleh salafy adalah tadlis Al ‘Amasy. Al’Amasy memang dikenal mudallis tetapi ia disebutkan Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallisin no 55 mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang an’ anah-nya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.
Imam Bukhari telah menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Bukhari no 1361, 1378, 1393
Imam Muslim menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Shahih Muslim no 2801
Imam Tirmidzi menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid hasan shahih dalam Sunan Tirmidzi 4/706 no 2585
Adz Dzahabi menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Talkhis Al Mustadrak 2/421 no 2613
Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir no 2993]
Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Al Arnauth no 2993]
Syaikh Al Albani menshahihkan hadis dengan an’an-ah Al ‘Amasy dari Mujahid dalam Irwa’ Al Ghalil 1/253

Tentu saja mencacatkan hadis ini dengan dalih tadlis ‘Amasy adalah pencacatan yang lemah dan terkesan dicari-cari karena cukup dikenal di kalangan ulama dan muhaqqiq kalau an an-ah ‘Amasy bisa dijadikan hujjah.

Kesimpulan

Sanad riwayat Al Hakim di atas adalah sanad yang jayyid dan tidak diragukan lagi kalau para perawinya tsiqah sehingga kedudukan hadis tersebut seperti yang dikatakan Al Hakim dan Ibnu Ma’in yaitu shahih. Riwayat Al Hakim ini sekaligus bukti bahwa Abu Shult Al Harawi tidak memalsukan hadis ini. Hadis ini memang hadis Abu Muawiyah dan tidak hanya Abu Shult yang meriwayatkan darinya tetapi juga Muhammad bin Ja’far Al Faidy seorang yang tsiqat dan makmun.

HADIST DUA BELAS IMAM

Hadis ini menunjukkan bahwa pasca Rasulullah saw hanya ada 12 imam, amir atau khalifah. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Dari mana kita harus menghitungnya, dari pasca Rasulullah saw atau dari akhir zaman? Dan siapa saja orang-orangnya? Tidakkah Rasulullah saw menyebutkan namanya satu-satu persatu? Dan apa konsekuensi mengingkarinya?
Redaksi hadis ini bermacam-macam, mari kita telusuri:
Dalam Shahih Bukhari juz 4, kitab Ahkam disebutkan:
Jabir bin Sammarah berkata bahwa Nabi saw bersabda:
يكون بعدي إثنا عشر أميراً، فقال كلمة لم أسمعها، فقال أبي أنه قال كلهم من قريش
“Sesudahku ada dua belas amir (pemimpin)”. Kemudian beliau mengatakan suatu kalimat yang aku tidak mendengarnya. Kemudian ayahku berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Mereka semuanya dari suku Quraisy.”
Dalam Shahih Muslim 4: 79 disebutkan:
Jabir bin Sammarah berkata: aku bersama ayahku datang kepada Nabi saw, lalu aku mendengar beliau bersabda:
إن هذا الامر لا ينقضي حتى يمضي فيهم إثنا عشر خليفة، قال ثم تكلم بكلام خفي علي قال: فقلت لابي ما قال، قال كلهم من قريش
“Sungguh persoalan ini tidak akan tercapai sehingga ia berada di bawah kepemimpinan dua belas khalifah.” Kemudian beliau mengucapkan suatu kalimat yang tidak jelas bagiku. Lalu aku bertanya kepada ayahku tentang apa yang diucapkan oleh beliau. Ayahku berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Semuanya dari suku Quraisy.”
Dalam Shahih Muslim 2, bab mengikuti suku Quraisy disebutkan:
Rasulullah saw bersabda:
لا يزال الدين قائماً حتى تقوم الساعة ويكون عليهم إثنا عشر خليفة كلهم من قريش
“Agama akan selalu tegak sampai hari kiamat di bawah pimpinan dua belas khalifah yang semuanya dari golongan quraisy.” Di sini redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا يزال الاسلام عزيزاً إلى اثنى عشر خليفة كلهم من قريش
“Islam selalu mulia di bawah pimpinan dua belas khalifah yang semuanya dari quraisy.”
لا يزال أمر الناس ماضياً ما وليهم إثنا عشر رجلاً كلهم من قريش
“Persoalan manusia senantiasa berlalu di bawah kepemimpinan dua belas tokoh, semuanya dari suku Quraisy.”
لا يزال هذا الدين عزيزاً منيعاً إلى إثنا عشر خليفة كلهم من قريش
“Agama ini akan selalu mulia dan terjaga di bawah kepemimpinan dua belas khalifah, semuanya dari suku Quraisy.”
Dalam Shahih At-Turmidzi, jilid 2:
لا يزال الاسلام عزيزاً إلى اثنى عشر اميرا كلهم من قريش
“Islam akan selalu tegak di bawah kepemimpinan dua belas amir, semuanya dari suku Quraisy.”
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1: 398 disebutkan:
Masyruq berkata: aku pernah duduk-duduk dengan Abdullah bin Mas’ud, ia membacakan ayat Al-Qur’an kepada kami. Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya: wahai Abu Abdurrahman, apakah kamu pernah bertanya kepada Rasulullah saw berapa jumlah khalifah yang akan memimpin ummat Islam. Ibnu Mas’ud menjawab: ya, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda:
اثنا عشر كعدة نقباء بني إسرائيل
“Dua belas khalifah seperti jumlah pemimpin Bani Israil.”
Dalam redaksi yang lain:
Jabir bin Sammarah berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda dalam haji wada’:
لا يزال هذا الدين ظاهراً على من ناواه ولا يضره مخالف ولا مطارق حتى يمضي من امتي إثنا عشر أميراً كلهم من قريش
“Agama ini akan selalu jelas bagi orang yang bermaksud padanya, dan tidak membahayakannya orang yang menentang dan menyerangnya, sehingga berlalu dari ummatku dua belas amir, semuanya dari suku Quraisy.” (Musnad Ahmad 5: 89).
Dalam Shawa’iq Al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 11, pasal 2 disebutkan:
Jabir bin Sammarah berkata bahwa Nabi saw bersabda:
يكون بعدي إثنا عشر أميراً كلهم من قريش
“Akan ada sesudahku dua belas amir, semuanya dari suku Quraisy.”
Dalam Kanzul Ummal, Al-Muttaqi, jilid 6: 160 disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
يكون بعدي إثنا عشر خليفة
“Akan ada sesudahku dua belas khalifah.”
Dalam Kitab Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qunduzi Al-Hanafi, bab 95:
جابر بن عبدالله قال: قال رسول الله (صلى الله عليه وآله) يا جابر أن اوصيائي وأئمة المسلمين من بعدي أولهم علي، ثم الحسن، ثم الحسين، ثم علي بن الحسين، ثم محمد بن علي المعروف بالباقر ستدركه يا جابر فإذا لقيته فاقراه مني السلام، ثم جعفر بن محمد، ثم موسى بن جعفر، ثم علي بن موسى، ثم محمد بن علي، ثم علي بن محمد، ثم الحسن بن علي، ثم القائم اسمه اسمى وكنيته كنيتي ابن الحسن ابن علي ذاك الذي يفتح الله تبارك وتعالى على يديه مشارق الارض ومغاربها، ذاك الذي يغيب عن أوليائه غيبة لا يثبت القول بامامته الا من امتحن الله قلبه للايمان قال جابر: فقلت يا رسول الله فهل للناس الانتفاع به في غيبته؟ فقال اي والذي بعثني بالنبوة انهم يستضيئون بنور ولايته في غيبته كانتفاع الناس بالشمس وان سترها سحاب هذا سر مكنون سر الله ومخزون علم الله فاكتمه الا عن أهله
Jabir bin Abdillah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Wahai Jabir, sesungguhnya para washiku (penerima wasiatku) dan para Imam kaum muslimin sesudahku adalah: pertama Ali, kemudian Al-Hasan, kemudian Al-Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang terkenal dengan julukan Al-Baqir dan kamu akan menjumpainya wahai Jabir, dan jika kamu menjumpainya sampaikan padanya salamku; kemudian Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Al-Hasan bin Ali; kemudian Al-Qaim, namanya sama dengan namaku, nama panggilannya sama dengan nama panggilanku, yaitu putera Al-Hasan bin Ali, di tangan dialah Allah tabaraka wa ta’ala membuka kemenangan di bumi bagian timur dan barat, dialah yang ghaib dari para kekasihnya, ghaib yang menggoncangkan kepercayaan terhadap kepemimpinannya kecuali orang yang hatinya telah Allah uji dalam keimanan.”
Kemudian Jabir bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, apakah manusia memperoleh manfaat dalam keghaibannya? Nabi saw menjawab: “Demi Zat Yang Mengutusku dengan kenabian, mereka memperoleh cahaya dari cahaya wilayahnya (kepemimpinannya) dalam keghaibannya seperti manusia memperoleh manfaat dari cahaya matahari walaupun matahari itu tertutup oleh awan. inilah rahasia Allah yang tersimpan dan ilmu Allah yang dirahasiakan, Allah merahasiakannya kecuali dari ahlinya.”

SYAHADAT KETIGA BOLEHKAH...??

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. dan Muaz bin Jabal berboncengan di atas tunggangan. Rasulullah saw. bersabda: Hai Muaz. Muaz menyahut: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Rasulullah saw. memanggil lagi: Hai Muaz. Muaz menjawab: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Sekali lagi Rasulullah saw. memanggil: Hai Muaz. Muaz menjawab: Ya, wahai utusan Allah, aku siap menerima perintah. Rasulullah saw. bersabda: Setiap hamba yang bersaksi bahwa: Tiada Tuhan selain Allahdanbahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya , maka Allah mengharamkan api neraka atasnya. Muaz berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan hal ini kepada orang banyak agar mereka merasa senang? Rasulullah saw. bersabda: Kalau engkau kabarkan, mereka akan menjadikannya sebagai andalan. (Shahih Muslim Ringkasan Shahih Muslim No.47)
Dari riwayat diatas dapat kita ketahui bahwa persaksian (syahadat) yang disebutkan oleh Nabi hanya dua, yaitu bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Lalu apakah boleh kita mempersaksikan yang lain atau kita bersaksi bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah, misalnya? Bisa jadi bagi sebagian umat Islam, menambahkan kalimat persaksian (syahadat) merupakan perbuatan yang menyimpang bahkan orang tersebut bisa dihukumi telah keluar dari Islam.
Padahal jika kita mau jeli dan komprehensif dalam mempelajari agama Islam ini, kita diperbolehkan untuk menambahkan kalimat persaksian kita selain persaksian kepada Allah dan kerasulan Muhammad. Benarkah? Berikut ini adalah hadits yang mencontohkan bagaimana Nabi pernah menambahkan kalimat syahadat menjadi beberapa kalimat, bukan hanya dua kalimat saja.
Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mengucapkan: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya dan bersaksi bahwaNabi Isa as. adalah hamba Allah dan anak hamba-Nya, serta kalimat-Nya yang dibacakan kepada Maryam dan dengan tiupan roh-Nya, bahwa surga itu benar dan bahwa neraka itu benar, maka Allah akan memasukkannya melalui pintu dari delapan pintu surga mana saja yang ia inginkan. (Shahih Muslim Ringkasan Shahih Muslim, No.41)

HADIST MONYET MERAJAM MONYET

Hadis Bukhari: Tentang Kera Berzina Yang Dirajam Ramai-ramai Oleh Teman-temannya!!
Hadis Bukhari: Tentang Kera Berzina Yang Dirajam Ramai-ramai Oleh Teman-temannya!!
Imam besar ahli hadis Sunni; Bukhari mendongengkan kepada kita sebuah kisah melalui sebuah riwayat (yang tentunya sangat shahih dan dosa ditolak atau ditakwil!!!) tentang perselingkuhan seekor kera dengan lawan jenisnya (tentunya tanpa ada ikatan nikah yang disahkan dengan ijab dan qabul di hadapan penghulu yang tentunya juga dari kalangan kera tapi yang sarjana lulusan fakultas Syari’at).. dan untuk mempertangung jawabkan perbuatannya itu, si kera malang itu dirajam rame-rame oleh sekawanan kera (entah waktu itu Amirul Kera-nya siapa namanya, Imam Bukhari tidak memberitahukan dalam riwayat itu)
Perhatikan Scan dari Kitab Shahih Bukhari di bawah ini:

.
.
.
.
.
.
Hadis: 3849
… Dari /Amru ibn Maimun, ia berkata, “Di masa jahiliyah, aku menyaksikan sekawanan kera mengerumi seekor kera yang telah berzina dan merajaminya, maka akupun ikut serta merajamnya”.
.
Saya tidak berani berkomentar apa-apa tentang hadis shahih Imam Bukhari di atas. hanya saja dalam pikiran saya bertanya-tanya (mungkin teman-teman Salafi-Wahabi yang ahli-ahli dalam ilmu hadis bisa melegahkan pikiran saya):
A) Apakah dalam masyarakat kera dan binatang sejenisnya ada syari’at? lalu siapa nabinya? apa juga dari bangsa kera ada yang lulus sensor “langit”, atau siapa?
B) Apakah hukuman yang berlaku untuk masyarakt kera jika berzina itu juga Rajam? sama seperti syari’atnya Nabi Muhammad saw.?
C) Apa pembuktian perzinahan itu juga diharuskan ada empat saksi?
D) Dari manakah ‘Amr ibn Maimun tahu bahwa kera itu telah berzina dan kawan-kawannya yang marajamnya itu segadai hukum had? Apakah ‘Amr mengerti bahawa kera? Sekolah di LIPIA, atau fakultas sastra Lughatul Qiradah mana?

ABU HURAIROH BELAJAR AYAT KURSI DARI SETAN

Riwayat Abu Hurairah;

عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال وكلني رسول الله صلى الله عليه وسلم بحفظ زكاة رمضان فأتاني آت فجعل يحثو من الطعام فأخذته وق...لت والله لأرفعنك إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إني محتاج وعلي عيال ولي حاجة شديدة قال فخليت عنه فأصبحت فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أبا هريرة ما فعل أسيرك البارحة قال قلت يا رسول الله شكا حاجة شديدة وعيالا فرحمته فخليت سبيله قال أما إنه قد كذبك وسيعود فعرفت أنه سيعود لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه سيعود فرصدته فجاء يحثو من الطعام فأخذته فقلت لأرفعنك إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال دعني فإني محتاج وعلي عيال لا أعود فرحمته فخليت سبيله فأصبحت فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم يا أبا هريرة ما فعل أسيرك قلت يا رسول الله شكا حاجة شديدة وعيالا فرحمته فخليت سبيله قال أما إنه قد كذبك وسيعود فرصدته الثالثة فجاء يحثو من الطعام فأخذته فقلت لأرفعنك إلى رسول الله وهذا آخر ثلاث مرات أنك تزعم لا تعود ثم تعود قال دعني أعلمك كلمات ينفعك الله بها قلت ما هو قال إذا أويت إلى فراشك فاقرأ آية الكرسي
الله لا إله إلا هو الحي القيوم
حتى تختم الآية فإنك لن يزال عليك من الله حافظ ولا يقربنك شيطان حتى تصبح فخليت سبيله فأصبحت فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم ما فعل أسيرك البارحة قلت يا رسول الله زعم أنه يعلمني كلمات ينفعني الله بها فخليت سبيله قال ما هي قلت قال لي إذا أويت إلى فراشك فاقرأ آية الكرسي من أولها حتى تختم الآية
الله لا إله إلا هو الحي القيوم
وقال لي لن يزال عليك من الله حافظ ولا يقربك شيطان حتى تصبح وكانوا أحرص شيء على الخير فقال النبي صلى الله عليه وسلم أما إنه قد صدقك وهو كذوب تعلم من تخاطب منذ ثلاث ليال يا أبا هريرة قال لا قال ذاك شيطان

(Shahih Bukhari, pada Kitab “al-Wakalah” Bab “Idza Wakkala Rajulan…”, Baca juga tafsir Ibnu Katsir,1/306 dan ia berkata hadis ini dari Riwayat Bukhari, an Nasa’i dalam Kitab al Yaum wa al Lailah)Lihat Selengkapnya

IJMA ULAMA SYIAH TENTANG TAHRIF AL-QURAN

Perlu diketahui, tuduhan yang mengatakan bahwa Syi’ah Imamiyah beranggapan bahwa Al Qur’an telah diubah atau dikurangi adalah tuduhan yang tidak berdasar dan salah. Disini kami ingin menyampaikan keterangan – keterangan ulama Syi’ah Imamiyah yang berkaitan dengan masalah ini, antara lain :
1. Syaikh Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Al Qummi
Di dalam risalahnya yang berjudul I’tiqaduna Fi Al Qur’an menyebutkan : “ Keyakinan kami tentang Al Qur’an ialah bahwa Al Qur’an yang sebenarnya adalah yang sekarang ada pada masyarakat dunia dan tidak lebih dari itu. Dan, orang yang menuduh bahwa Syi’ah Imamiyah mengatakan dan beranggapan lebih dari itu, ketahuilah bahwa ia adalah seorang pembohong”.
Al Qummi juga dengan tegas mengatakan bahwa “ Keyakinan dan anggapan seperti itu adalah anggapan seluruh Imamiyah dan mereka mengatakan bohong kepada orang yang menuduh adanya pengubahan ( tahrif ) pada Syi’ah ”
2. Syaikh Muhammad bin Hasan Al Thusi
Al Tibyan fi Tafsir Al Qur’an : “Anggapan bahwa Al Qur’an telah dikurangi dan ditambah sama sekali tidak layak diketengahkan oleh siapapun yang membahas persoalan ini, sebab adanya tambahan sudah di-ijma’- kan kebatilannya”
3. Abu Ali Al Fadhl Al Thabrasi
Penulis kitab Tafsir Majma’ Al Bayan mengatakan dalam salah satu mukadimah kitabnya : “ Anggapan tentang adanya penambahan Al Qur’an merupakan satu hal yang sudah jelas salah dan menyalahi ijma’ yang ada….”.
4. Syaikh Al Nabhani
Al Syaikh Bahauddin Muhammad bin Al Husain Al Amili berkata : “ Pendapat yang benar ialah bahwa Al Qur’an terjaga dari pengubahan baik berupa pengurangan maupun penambahan, berdasarkan firman Allah SWT : “ Dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya “ ( QS 15 : 9 ).
5. Al Muhaqqiq Al Tsani
Syaikh Ali bin Abdil Al Kharkhi yang dikenal dengan gelar Al Muhaqiq Al Tsani telah menulis sebuah buku tentang penolakan adanya pengurangan dan penambahan Al Qur’an berdasarkan ijma’.
6. Syaikh Ja’far Al Najafi
Syaikh Ja’far Al Najafi adalah seorang yang terkemuka pada zamannya dan ia adalah salah seorang ahli fiqih. Dalam mukadimah bukunya yang berjudul Kasyif Al Ghita’ , beliau menulis : “Tidak ragu lagi, Al Qur’an senantiasa terjaga dari kekurangan dengan penjagaan yang ketat dari Allah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan kesepakatan para ulama di setiap zaman. Pendapat beberapa orang yang menolak keterangan itu tidak perlu dirisaukan”
7. Al Sayyid Muhsin Al Muhaqqiq Al Baghdadi
Ia adalah salah satu tokoh terkemuka pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Syarh Al Waqifiyah , sebuah uraian mengenai ushul fiqih, ia menulis : “ Adanya ijma’ para ulama tentang tidak adanya tambahan di dalam Al Qur’an didukung oleh kebanyakan ulama. Begitu pula ulama kami, Syi’ah Imamiyah, mereka juga sepakat tentang tidak adanya kekurangan di dalam Al Qur’an”
Yang kami sebutkan di atas adalah nama ulama akhir – akhir ini atau yang sering kali disebut dengan ulama’ mutaakhkhirin . ( ‘Sunnah Syi’ah Dalam Ukhuwah Islamiyah, karya tokoh Syi’ah termuka, Husain Al Habsyi, halaman 98 – 102 ).

HADIST NAWADIR ATAU SYADZ (JARANG) YANG DIJADIKAN SANDARAN OLEH LAWAN –LAWAN SYIAH UNTUK MEMBUKTIKAN BAHWA AL-QURAN SYIAH BERBEDA DENGAN KAUM MUSLIMIN YANG LAIN

“ Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril AS kepada ( Nabi ) Muhammad SAW adalah 17 ribu ayat ”
Memang benar, hadis di atas diriwayatkan Syeikh al Kulaini (RH) dalam Kitab Al Kâfi pada Kitabu Fadhli Al Qur’an, Bab An Nawâdir. Namun, yang luput dari perhatian Ustad FAU ialah kenyataan bahwa hadis di atas adalah hadis Âhâd (bukan mutawâtir) yang tidak akan pernah ditemukan di bagian lain di dalam kitab Al Kâfi maupun kitab-kitab hadis Syi’ah lainnya dengan sanad di atas.
For your information, Ustad. Bahwa al Kulaini (RH) memasukkan hadis di atas dalam Bab An Nawâdir. Dan, tahukah anda apa yang kami maksudkan dengan An Nawadir , Ustad ?. Seperti disebutkan Syeikh Mufîd bahwa para ulama Syi’ah telah menetapkan bahwa hadis-hadis nawâdir adalah tidak dapat dijadikan pijakan dalam amalan, sebagaimana istilah nadir ( bentuk tunggal kata Nawâdir) sama dengan istilah Syâdz. Dan para Imam Syi’ah AS. telah memberikan sebuah kaidah dalam menimbang sebuah riwayat yaitu hadis syâdz harus ditinggalkan dan kita harus kembali kepada yang disepakati al Mujma’ ‘Alaih.
Imam Ja’far as. bersabda:
يَنْظُرُ إلَى ما كان مِن رِوَايَتِهِم عَناّ فِي ذلك الذي حَكَمَا بِه الْمُجْمَع عليه مِن أصحابِك فَيُؤْخَذُ بِه من حُكْمِنَا وَ يُتْرَكُ الشَّاذُّ الذي ليْسَ بِمَشْهُوْرٍ عند أصحابِكَ، فإنَّ الْمُجْمَعَ عليه لاَ رَيْبَ فيه.
َ“Perhatikan apa yang di riwayatkan oleh mereka dari kami yang jadi dasar keputusan mereka. Diantara riwayat riwayat itu, apa yang disepakati oleh sahabat-sahabatmu, ambillah ! . Adapun riwayat yang syâdz dan tidak masyhur di antara sahabat-sahabatmu tinggalkanlah !. Karena riwayat yang sudah disepakati itu tidak mengandung keraguan ” ( HR. Al Kâfi, Kitab Fadhli Al ‘Ilmi, Bab Ikhtilâf Al Hadîts, hadis no. 10 )

KEJAHATAN MUAWIYAH

Mu’awiyah Membunuh Hujur bin Adi, Membunuh Shaifi bin Fasil, Abdurrahman al’ Anzi dikubur hidup hidup
Posted on Agustus 31, 2010 by syiahali
Memerlukan beberapa buku untuk melukiskan pelaknatan, pembuatan hadis palsu dan kekejaman kekejaman yang saling berkaitan yang terjadi di zaman para sahabat dan tabi’in ini.
Tapi perlu rasanya kemukakan disini peristiwa pembunuhan terhadap Shaifi bin Fasil yang disuruh Ziyad bin Abih untuk melaknat Ali yang sudah lama meninggal.
“Ziyad memburu sahabat Hujur dan mereka melarikan diri.
Qais bin ‘Ubad datang melapor pada Ziyad: ‘Ada seorang bernama Shaifi bin Fasil. Ia adalah sahabat Hujur’.
Ziyad menyuruh orang membawanya kepada Ziyad
Ziyad : ‘Hai, musuh Allah, apa pendapat Anda tentang Abu Turab’
Shaifi : ‘Aku tidak mengenal Abu Turab’.
Ziyad: ‘Engkau tidak mengenalnya? Apakah engkau kenal Ali bin Abi Thalib?
Shaifi: ‘Ya’. Ziyad: ‘Dialah Abu Turab!’
Shaifi: ‘Bukan, beliau adalah ayah dari Hasan dan Husain!’
Qais menyela: ‘Bukanlah alAmir telah mengatakan ia Abu Turab dan engkau berani mengatakan tidak?
Shaifi: ‘Apakah bila alAmir berdusta, engkau mau aku berdusta juga? Dan
aku bersaksi batil seperti dia?
Ziyad: ‘Ambil alat pemukul!’ dan seorang menyerahkannya.
Ziyad melanjutkan: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang Ali?
Shaifi: ‘Perkataan terbaik yang aku akan ucapkan bagi hamba dari hamba hamba Allah. Aku memanggilnya Amiru’lmu’minin.
Ziyad : ‘Kamu semua, pukullah dia di bahunya dengan tongkat ini sampai dia jatuh lengket ke bumi’.
Dan mereka memukulnya sampai ia ambruk
dan Ziyad berkata: ‘Apa katamu tentang Ali?
Shaifi: ‘Demi Allah, andaikata kau bilang apa pun, aku hanya akan mengatakan yang aku tahu tentangnya’.
Ziyad: ‘Engkau laknati dia atau kupenggal lehermu!’
Shaifi: ‘Demi Allah bila kau lakukan lebih awal aku lebih senang dan engkau lebih susah!’
Ziyad: ‘Tingkatkan pukulannya kemudian masukkan ke dalam penjara!’
Sesudah itu ia dikirim ke Damaskus dan dibunuh bersama sama dengan Hujur dan teman temannya’.
Sebenarnya Ziyad dan Abu Burdah, anak Abu Musa al’ Asy’ari, membuat pernyataan dengan mengumpul 70 tandatangan ‘tokoh tokoh’ Kufah dengan penyaksian palsu, di antaranya anak anak Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash dan Zubair bin ‘Awwam.
Hujur bin ‘Adi, sahabat Rasul saw yang terkenal sangat salih, dan 12 sahabatnya dikirim kepada Mu’awiyah di Damaskus. Mereka langsung dibawa ke penjara Murj ‘Adzra’ dekat Damaskus.
Contoh dialog dengan Mu’awiyah:
‘Tatkala AlKhats’imi dibawa masuk menghadap Mu’awiyah ia berkata: ‘Allah, Allah wahai Mu’awiyah, Engkau akan meninggalkan rumah yang fana ini menuju rumah yang baka dan akan ditanyai apa yang engkau inginkan sebenarnya dengan membunuh kami dan mengucurkan darah kami?
Mu’awiyah: ‘Apa yang akan kau katakan tentang Ali?
AlKhats’imi: ‘Apakah aku harus mengikuti perkataanmu, apakah engkau membebaskan diri dari ‘agama Ali’ yang sebenarnya adalah agama yang ditetapkan Allah?.
Mu’awiyah tidak menjawab. Ia dimakzulkan, dan tidak boleh masuk Kufah dan meninggal di Mesir, sebulan sebelum Mu’awiyah.
Kemudian maju Abdurrahman bin Hassan.
Mu’awiyah: ‘Apa yang akan engkau katakan tentang Ali?
Abdurrahman: ‘Bunuh saja saya dan jangan menanyai saya, karena Ali lebih baik dari engkau’.
Mu’awiyah: ‘Demi Allah, aku tidak akan membunuhmu sampai kau mengabar kan kepadaku tentangnya’.
Abdurrahman: ‘Aku bersaksi bahwa ia adalah dari orang orang yang banyak berzikir kepada Allah dan yang mengajak kepada kebajikan dan menjauhi kejahatan, serta pemaaf’.
Mu’awiyah: ‘Dan apa pendapatmu tentang Utsman?’
Abdurrahman: ‘Ia adalah orang pertama yang membuka pintu kelaliman dan menutup pintup pintu ‘haq’.
Mu’awiyah: ‘Engkau membunuh dirimu sendiri!
Abdurrahman al’ Anzi: ‘Tidak, engkaulah yang membunuh orang yang bicara benar’.
Dan Mu’awiyah mengirimnya kepada Ziyad dengan surat: ‘Amma ba’du. Aku kirim al’ Anzi ini kepadamu agar kau hukurn dia dengan hukuman yang pantas baginya. Bunuhlah dia, dengan cara yang seburuk buruknya’. Tatkala tiba di Kufah Ziyad mengirimnya, ke alNathif ( Suatu tempat dekat Kufah, di tepi Timur sungai Efrat ) kemudian ia dikubur hidup hidup.
Sahabat sahabat Hujur yang dibunuh adalah Syarik bin Syaddad al Hadhrami, Shaifi bin Fasil asySyaibani, Qabishah bin Dhabi’ah alAbbasi, Mahrz bin Syahhab alMunqari, Kadam bin Hayyan al’ Anzi dan Abdurrahman bin Hassan al’ Anzi. (Bacalah AbulFaraj alIshfahani, alAghani, jilid 16, hlm. 211; Ibnu Qutaibah, ‘Uyun alAkhbar, jilid 1, hlm. 147; Thabari, Tarikh, jilid 6, hlm. 141156; Ibnu Atsir, alKamil, jilid 3, hlm. 202208; alHakim, Mustadrak, jilid 12, hlm. 468; Ibnu ‘Asakir, Tarikh, jilid 4, hlm. 84, jilid 6, hlm. 459; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 4955. )
Gubernur gubernur biasanya mengumpulkan anggota masyarakat di masjid dan lapangan. Mereka lalu dibimbing untuk melaknat Ali. Bila, menolak, mereka lalu dipancung.
Ziyad, gubernur Kufah mengerahkan rakyat di depan pintu istananya dan memerintahkan mereka melaknat Ali.
Al Baihaqi menceritakan: ‘Mereka diperintahkan untuk memakzulkan Ali Karramallahu wajhahu, dan mereka lalu memenuhi masjid dan lapangan, dan yang menolak dipenggal kepalanya. Dan Ibnu alJauzi menceritakan: ‘Tatkala penduduk Kufah melemparnya dengan batu kerikil ia sedang khotbah, ia memotong tangan 80 orang dari mereka. Dengan ancaman akan merobohkan rumah rumah dan menebang pohon pohon kurma mereka, ia mengumpulkan mereka sehingga masjid dan lapangan penuh dan menyuruh mereka memakzulkan Ali serta memberi tahu bahwa bila mereka membangkang maka ia akan membasmi mereka, dan menghancurkan kampung mereka. Di antara mereka terdapat kaum Anshar. ( Mas’udi, Muruj adzDzahab, jilid 2, hlm. 69; Baihaqi, Kitab al Mahasin wa alMusawi, jilid 1, hlm. 39. )

RIWAYAT TAHRIF DALAM AHLUSSUNNAH

1. Umar : jumlah huruf Al Qur’an 1.027.000 !
Umar bin al Khaththab, ia berkata, “Nabi Muhammad saw. bersabda:
القرْآنُ أَلْفُ أَلْفِ حَرْفٍ وَ سَبْعَةٌ و عِشْرُونَ ألفِ حَرْفٍ، فَمَنْ قَرَأَهُ مُحْتَسِبًا فَلَهُ بِكُلِّ حرفٍ زَوْجَةٌ مِنَ الْحُوْرِ العِينِْ.
“Al Qur’an itu adalah terdiri dari sejuta dua puluh tujuh ribu huruf, barang siapa membacanya dengan niat mengharap pahala maka baginya untuk setiap hurufnya seorang istri dari bidadari.”
( Ad Durrul Mantsur,6/422 )
Para ulama Ahlusunnah menyebutkan bahwa bilangan huruf Al Qur’an yang sekarang tersisa di kalangan umat Muslim-pengikut Muhammad- berkisar antara: 323015 huruf, atau 321000 huruf, atau 340740 huruf ( Al Burhân Fî ‘Ulûmil Qur’ân,1/314-315. cet. Dâr al Kotob al Ilmiah. Lebanon. Thn.1988 )
Itu artinya jumlah ayat Al Qur’an yang hilang sebanyak lebih dari 686260 huruf.

Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW : Utsman menghilangkan ayat Al Qur’an
Istri Rasulullah Muhammad SAW, Aisyah RA, telah ‘menuduh’ Utsman menghilangkan ayat – ayat suci Al Qur’an ketika beliau menuliskan mushaf – mushaf Al Qur’an.
Urwah-keponakan Aisyah, istri Muhammad- meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
كانَتْ سورَةُ الأحزابِ تُقْرَاُ في زمَنِ النبيِّ (ص) مِئَتَيْ آيَة، فَلَمَّا كتَبَ عثْمانُ المصاحِفَ لَمْ نَقْدِرْ مِنْها إلاَّ ما هُوَ الآنَ.
“Dahulu surah Al Ahzâb itu dibaca di sama hidup Nabi sebanyak dua ratus ayat. Lalu setelah Utsman menulis mush-haf mush-haf kita tidak bisa membacanya kecuali yang sekarang ada ini.” ( Al Itqân,2/25 )
Jumlah ayat surah Al ahzâb (surah dengan urutan 33 dalam Al Qur’an) yang ada dalam mushaf umat Muslim sekarang hanya 73 ayat. Itu artinya ada 127 ayat hilang

Beberapa ayat tidak ada di dalam Al Qur’an sekarang ini !.
Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu al Aswad Dzâlim ibn ‘Amr, ia berkata, “Abu Musa al Asy’ari mengutus seorang untuk mengumpulkan para ahli Al Qur’an kota Bashrah, tiga ratus ahli Al Qur’an datang menemuinya, semuanya telah menghafal Al Qur’an. Lalu Abu Musa berkata, ‘Kalian adalah paling baiknya penduduk kota Bashrah dan ahli Al Qur’an di antara mereka. Maka bacalah ia, jangan sampai panjang waktu berlalu atas kalian (tanpa membacanya), karena hati kalian akan mengeras, seperti mengerasnya hati kaum sebelum kalian.
Kami dahulu membaca sebuah surah yang kami serupakan dengan surah Barâ’ah dalam panjang dan keras muatannya, tetapi aku lupa terhadapnya, hanya yang masih aku hafal adalah ayat:
“ Seandainya anak Adam mempunyai harta satu lembah atau dua lembah, niscaya ia masih ingin memiliki lembah harta yang ketiga dan perut anak Adam tidak akan kemyang kecuali diisi dengan tanah”
Dan kami dahulu membaca sebuah surah yang kami serupakan dengan salah satu surah musabbihât, hanya saja aku lupa selain satu ayat yang masih aku hafal :

“Hai orang – orang yang beriman, mengapa kalian senantiasa mengatakan sesuatui yang sebenarnya tidak kalian lakukan. Hal itu akan ditulis di leher kalian sebagai saksi dan kalian akan ditanyai tanggung jawab kelak di hari kiamat”
( Shahih Muslim,3/100, Kitab az Zakâh, Bab Karâhiyatu al Hirshi ‘Ala ad Dunya. Dan dengan syarah An Nawawi pada,7/139-140 dan al Itqân,2/25 dengan hanya menyebut bagian akhir hadis saja )
Apakah kedua ayat di atas masih terdapat di dalam Al Qur’an kita sekarang ini ?. Bagaimana jawaban kalian, Ustad FAO ?.
4. Umar dan ayat Rajam
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., “Ia berkata, ‘Umar berkata dari atas mimbar, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan kepadanya sebuah kitab. Salah satu ayat yang diturunkan adalah ayat rajam, lalu kami menyadari sepenuhnya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. malakukan perajaman, dan setelah beliau wafat kami melakukan hal yang sama. Lalu aku khawatir jika berlalu beberapa masa orang-orang akan mengatakan: ‘Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam dalam kitab Allah.’ Kemudian dia menjadi sesat dengan tindakannya meninggalkan hukum wajib, farîdah yang diturunkan oleh Allah… Rajam itu ada di Kitabullah, ia adalah haq/wajib diberlakukan atas seorang baik laki-laki maupun wanita yang berzina jika ia telah menikah apabila telah tegak bukti atasnya…. Kemudian kami pernah membaca dalam sebuah ayat yang berbunyi:
لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبائِكُمْ فَإِنَهُ كُفْرٌ بكُمْ أنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبائِكُمْ .
“Jangan kamu menisbatkan dirimu kepada selain ayah-ayah kandungmu, karena kafirlah apabila kamu menisbatkan kepada selain ayah-ayahmu.”
( Shahih Bukhari, Kitabul Muhâribîn, Bab Rajmul Hublâ idza ahshanat (merajam orang yang hamil yang berzina jika ia telah menikah),8/208, Shahih Muslim,Kitabul Hudûd, Bab rajmu ats Tsayyib min az Zinâ (merajam janda apabila berzina), 5/116. )
APAKAH AYAT RAJAM MANSUKH LAFDZI BAQOO'UL HUKMI..??
Benarkah ayat tersebut ‘mansukh lafdzi, baqaa’ul hukmi’ ?. Mari kita lihat beberapa riwayat
Dalam beberapa riwayat lain yang melaporkan pidato Khalifah Umar di atas terdapat redaksi tambahan yang mengatakan:
وَ ايْمُ اللهِ! لَوْ لا أَنْ يقولَ الناسُ زادَ عُمَرُ في كتابِ اللهِ عزَّ و جَلَّ لَكَتَبْتُها.
“Andai bukan karena takut manusia berkata, ‘Umar menambah dalam Kitab Allah- Azza wa Jalla- pastilah aku tulis ayat itu.” ( Nushbu ar Râyah; az Zaila’I al Hanafi,3/318 ).
Imam an Nasa’i juga meriwayatkan dalam kitab as Sunan al Kubrâ-nya dengan sanad shahih dari Abdurrahman ibn ‘Auf, ia berkata, “Umar berpidato, lalu berkata, ‘….. . Mereka juga berkata Rajam? Sungguh Rasulullah saw. telah merajam dan kamipun merajam. Dan Allah telah menurunkan (ayat Rajam) dalam Kitab-Nya.
وَ لَوْ لا أَنْ الناسُ يقولُونَ زادَ عُمَرُ في كتابِ اللهِ عزَّ و جَلَّ لَكَتَبْتُهُ بِخَطِّيْ حَتَّى أُلْحِقُهُ بالكتابِ.
“Andai bukan karena manusia mengatakan Umar menambah-nambah dalam Kitab Allah pasti aku telah menulisnya dengan tulisanku sendiri sehingga aku gabungkan dengan Kitabullah.” ( As Sunan al Kubrâ,4/272 hadis no.7151 )
Dalam riwayat lain, juga dalam as Sunan al Kubrâ dengan redaksi:
لولا أنْ يقولوا أثْبَتَ في كِتابِ اللهِ ما لَيْسَ فِيْهِ لأُثْبِتُها كما أُنزِلَتْ
“Andai bukan karena manusia akan berkata, ‘ia menetapkan dalam Kitab Allah sesuatu yang bukan darinya, pastilah aku akan tetapkan sebagaimana ia diturunkan.” ( As Sunan al Kubrâ,4/273 hadis no.7154 )
Jadi, Umar tetap berkeyakinan bahwa ayat Rajam itu termasuk bagian dari ayat – ayat suci Al Qur’an. Sebetulnya dia ingin memasukkan ayat itu ke dalam kitab suci Al Qur’an sebagaimana ketika ia diturunkan, namun tidak jadi karena khawatir atau takut orang banyak akan menuduhnya menambah – menambah ayat yang bukan berasal dari Al Qur’an.
Umar masih tetap ngotot untuk memasukkan ayat rajam ke dalam Al Qur’an, namun ditolak oleh sahabat Nabi yang lain. Perhatikan riwayat berikut.
Laits ibn Sa’ad melaporkan, “Orang pertama yang mengumpulkan Al Qur’an adalah Abu Bakar dengan bantuan Zaid… dan Umar datang membawa ayat rajam tetapi Zaid tidak menulisnya, sebab ia datang sendiri (tanpa seorang saksi).” ( Al Itqân,1/121 ).
Coba anda perhatikan riwayat di atas. Umar tetap meyakini bahwa ayat rajam termasuk ayat yang seharusnya dimasukkan ke dalam kitab suci Al Qur’an Al Qur’an , terbukti ia membawanya kepada Panitia Pengumpulan Al Qur’an yang dikepalai oleh Zaid ibn Tsâbit untuk dimasukkan ke dalam Al Qur’an. Dan Zaid pun tidak menganggapnya sebagai ayat yang telah di – mansukh tilawah-nya atau lafadz-nya, sebab ia menolak untuk memasukkannya ke dalam Al Qur’an dikarenakan Umar tidak membawa dua saksi. Andai Umar membawa dua saksi pastilah ayat itu dapat kita baca sekarang dalam Al Qur’an!
Lagi pula jika benar bahwa ayat Rajam itu telah dimansukhkan tilawah-nya atau lafadznya, pastilah Umar mengetahuinya dan tidak akan “ngotot” dan memaksa untuk memasukkannya ke dalam Al Qur’an. Bukankah Umar RA adalah sahabat yang sangat pandai dan dekat dengan Nabi saw.?!. Bukankah Nabi SAW telah bersabda bahwa Allah akan memberjalankan al haq pada lisan Umar?!.
Jadi, menafsirkan ayat Rajam sebagai ”mansukh lafdzi, baqaa’ul hukmi’ tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena tidak didukung oleh data dan fakta yang ada.Memaksakan konsep ‘mansukh lafdzi, baqaa’ul hukmi’ untuk menafsirkan keyakinan Umar terhadap ayat Rajam ibarat jauh panggang dari api’.

Tawassul

Allah swt berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-...35).
Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah,
dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau saw sendiri bersabda :

“Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442)
‎(( TAWASSUL KEPADA SELAIN NABI ))
sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada... Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dengan derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507)
‎(( BERTAWASSUL KEPADA BENDA ))
Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari ka...mi, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194)

Analisis Hadis Tawassul : Hadis Utsman bin Hunaif
Hadis Utsman bin Hunaif merupakan hadis yang menjadi bantahan telak bagi para pengingkar tawassul yang lebih dikenal dengan sebutan “salafy”. Hadis ini menjadi dasar dibolehkannya tawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam baik ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hidup maupun wafat.
حدثنا طاهر بن عيسى بن قيرس المصري التميمي حدثنا أصبغ بن الفرج حدثنا عبد الله بن وهب عن شبيب بن سعيد المكي عن روح بن القاسم عن أبي جعفر الخطمي المدني عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته فلقي عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه فقال له عثمان بن حنيف ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصلي فيه ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك ربي جل وعز فيقضي لي حاجتي وتذكر حاجتك ورح إلي حتى أروح معك فانطلق الرجل فصنع ما قال له عثمان ثم أتى باب عثمان فجاء البواب حتى أخذ بيده فأدخله عثمان بن عفان فأجلسه معه على الطنفسة وقال حاجتك فذكر حاجته فقضاها له ثم قال له ما ذكرت حاجتك حتى كانت هذه الساعة وقال ما كانت لك من حاجة فأتنا ثم ان الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف فقال له جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته في فقال عثمان بن حنيف والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله صلى الله عليه و سلم وأتاه ضرير فشكا عليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم أفتصبر فقال يا رسول الله إنه ليس لي قائد وقد شق علي فقال له النبي صلى الله عليه و سلم إئت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ادع بهذه الدعوات قال عثمان فوالله ما تفرقنا وطال بنا الحديث حتى دخل علينا الرجل كأنه لم يكن به ضرر قط
Telah menceritakan kepada kami Thahir bin Isa bin Qibarsi Al Mishri At Tamimi yang berkata menceritakan kepada kami Asbagh bin Faraj yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makkiy dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami Al Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya Utsman bin Hunaif bahwa seorang laki-laki berkali-kali datang kepada Utsman bin ‘Affan radiallahu ‘anhu untuk suatu keperluan [hajat] tetapi Utsman tidak menanggapinya dan tidak memperhatikan keperluannya. Kemudian orang tersebut menemui Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal itu. Maka Utsman bin Hunaif berkata “pergilah ke tempat berwudhu’ dan berwudhu’lah kemudian masuklah ke dalam masjid kerjakan shalat dua raka’at kemudian berdoalah “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku” kemudian sebutkanlah hajat atau keperluanmu, berangkatlah dan aku dapat pergi bersamamu. Maka orang tersebut melakukannya kemudian datang menghadap Utsman, ketika sampai di pintu Utsman penjaga pintu Utsman memegang tangannya dan membawanya masuk kepada Utsman bin ‘Affan maka ia dipersilakan duduk disamping Utsman. Utsman berkata “apa keperluanmu” maka ia menyebutkan keperluannya dan Utsman segera memenuhinya. Utsman berkata “aku tidak ingat engkau menyebutkan keperluanmu sampai saat ini” kemudian Utsman berkata “kapan saja engkau memiliki keperluan maka segeralah sampaikan”. Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu dan menemui Utsman bin Hunaif, ia berkata “Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu, ia awalnya tidak memperhatikan keperluanku dan tidak mempedulikan kedatanganku sampai engkau berbicara kepadanya tentangku”. Utsman bin Hunaif berkata “Demi Allah, aku tidak berbicara kepadanya, hanya saja aku pernah menyaksikan seorang buta menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan kehilangan penglihatannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “bersabarlah”. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penuntun yang dapat membantuku dan itu sungguh sangat menyulitkanku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “pergilah ke tempat wudhu’, berwudhu’lah kemudian shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah” yaitu doa ini. Utsman bin Hunaif berkata “demi Allah kami tidaklah berpisah dan berbicara lama sampai ia datang kepada kami dalam keadaan seolah-olah ia tidak pernah kehilangan penglihatan sebelumnya” [Mu’jam As Shaghir Ath Thabrani 1/306 no 508]
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 1/306 no 508 dan Mu’jam Al Kabir 9/30 no 8311 dengan jalan dari Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif. Dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah 6/167 dengan jalan dari Ismail bin Syabib dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif. Kemudian diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah 6/168 dan Abdul Ghani Al Maqdisi dalam At Targhib fi Du’a no 61 dengan jalan dari Ahmad bin Syabib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif.
Kedudukan hadis ini adalah shahih. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dimana Syabib bin Sa’id seorang yang tsiqat dan telah meriwayatkan hadis ini darinya Abdullah bin Wahb seorang yang tsiqat dan kedua anaknya Ahmad bin Syabib yang tsiqat dan Ismail bin Syabib yang tidak dikenal kredibilitasnya. Berikut para perawi Thabrani
• Thahir bin Isa At Tamimi adalah syaikh Thabrani yang tsiqat dimana Ath Thabrani sendiri telah menshahihkan hadisnya dalam Mu’jam As Shaghir. Ibnu Makula menyatakan ia tsiqat [Al Ikmal 1/296]
• Asbagh bin Faraj adalah seorang yang tsiqat. Ia adalah perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Al Ijli berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu ‘Ali bin Sakan berkata “tsiqat tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 657]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/107]
• Abdullah bin Wahb bin Muslim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits, shaduq lebih saya sukai daripada Walid bin Muslim”. Abu Zur’ah menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata “tsiqat”. As Saji berkata “shaduq tsiqat”. Al Khalili berkata “disepakati tsiqat”. [At Tahdzib juz 6 no 141]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan hafizh [At Taqrib 1/545]
• Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah perawi Bukhari dan Abu Dawud yang tsiqat. Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Daruquthni menyatakan tsiqat. Adz Dzuhli menyatakan tsiqat. Ath Thabrani menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 534]. Al Hakim berkata “tsiqat ma’mun” [Al Mustadrak no 1929]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah pada hadisnya jika yang meriwayatkan darinya adalah anaknya Ahmad tetapi tidak untuk riwayatnya dari Ibnu Wahb” [At Taqrib 1/411]. Dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat kecuali riwayatnya dari Ibnu Wahb [Tahrir At Taqrib no 2739].
• Rawh bin Qasim At Tamimi adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 557]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/305]
• Abu Ja’far Al Khatami adalah Umair bin Yazid Al Anshari perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Numair, Al Ijli dan Ath Thabrani menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 8 no 628]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/756] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5190]
• Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Diperselisihkan apakah ia sahabat atau bukan. Ia dinyatakan hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi tidak mendengar hadis darinya. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat dan Abu Hatim berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 497]
Tidak diragukan lagi para perawi riwayat Thabrani di atas adalah para perawi tsiqat. Tetapi sanad tersebut mengandung illat [cacat] yaitu yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah Ibnu Wahb dan Ibnu Ady mengatakan kalau telah meriwayatkan Ibnu Wahb dari Syabib hadis-hadis munkar [Al Kamil Ibnu Ady 4/30]. Ibnu Ady membawakan hadis-hadis yang menjadi bukti bahwa riwayat Ibnu Wahb dari Syabib adalah mungkar tetapi setelah kami teliti hadis-hadis tersebut tidaklah tsabit untuk dikatakan mungkar. Tetapi kami tidak perlu membahas hal ini karena pada hadis ini perawi yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi tidak hanya Abdullah bin Wahb tetapi juga anaknya yaitu Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi.
Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah salah satu guru Bukhari yang tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 2/54-55 no 70]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12050]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/36] tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 46]
Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau kedudukan hadis ini shahih. Dan seperti biasa salafy yang mengingkari tawasul berusaha mencacatkan hadis ini dengan melemahkan Syabib bin Sa’id At Tamimi seperti yang dilakukan Syaikh Al Albani dan pengikutnya. Syaikh Al Albani dan pengikutnya mengatakan hadis Syabib bin Sa’id shahih jika memenuhi dua syarat yaitu pertama: yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Syabib dan kedua: Syabib meriwayatkan dari Yunus bin Yazid dan yang tidak memenuhi kedua persyaratan tersebut maka riwayatnya dhaif. Sudah jelas persyaratan yang mereka tetapkan itu ngawur dan tidak ada dasarnya sama sekali.
Syabib bin Sa’id telah mendapat predikat ta’dil dari para ulama terdahulu, tidak ada dari mereka ulama yang menta’dilkan Syabib mencacatkan hadisnya Syabib bin Sa’id atau membuat persyaratan-persyaratan aneh. Satu-satunya cacat yang ada padanya adalah apa yang dinukil dari Ibnu Ady bahwa hadisnya yang diriwayatkan dari Ibnu Wahb terdapat hadis-hadis mungkar. Tentu saja bukan berarti semua hadis Ibnu Wahb dari Syabib dinilai mungkar, jika perkataan Ibnu Ady ini dijadikan pegangan maka hadis Ibnu Wahb dari Syabib itu mengandung keraguan sehingga memerlukan pendukung dari yang lain. Nah hadis ini ternyata dikuatkan oleh Ahmad bin Syabib yang juga meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id. Jadi sudah jelas tidak ada lagi cacat yang bisa dipermasalahkan. Persyaratan yang diajukan salafy itu sudah jelas mengada-ada dan tentu saja mereka bersikeras mengada-ada daripada menerima keshahihan hadis yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
.
.
Penjelasan Hadis
Hadis di atas mengandung faedah bahwa tawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdoa atau memohon kepada Allah SWT adalah perkara yang dibolehkan dalam syariat Islam. Dan pembolehan ini tidak dibatasi baik saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup atau sudah wafat. Buktinya adalah pada hadis di atas dengan jelas Utsman bin Hunaif mengajarkan doa tawasul kepada seorang laki-laki di masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan. Sudah jelas pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat. Lafaz hadisnya pun sangat jelas menyebutkan tawasul kepada Nabi yaitu dengan lafaz doa “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku”. Jika lafaz doa seperti ini dikatakan syirik oleh salafiyun maka orang-orang seperti mereka tidak pantas mengaku-ngaku sebagai pengikut sunnah.
Bisa dikatakan salafiyun itu tidak mengerti apa yang dinamakan tawasul. Tawasul dalam islam adalah memohon kepada Allah SWT, menghadap kepada Allah SWT dengan perantara dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena kedudukan Beliau yang tinggi di sisi Allah SWT. Nah kalau mereka memahami ini dengan baik maka mereka tidak akan membedakan soal masih hidup atau sudah wafat. Baik ketika hidup ataupun sudah wafat kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetaplah tinggi di sisi Allah SWT. Bahkan dalam perkara doa pun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bisa berdoa kepada Allah SWT baik ketika masih hidup ataupun setelah wafat. Yang berkuasa dan memiliki kekuasaan hanyalah Allah SWT oleh karena itu tidak ada bedanya baik hidup maupun wafat.
Bagaimana mungkin ada orang yang mau mengatakan karena sudah wafat maka tidak bisa lagi diminta bantuan, meminta bantuan itu hanya kepada yang hidup. Ini sangat tidak benar, ketika seseorang berdoa memohon kepada Allah SWT maka disini hanya Allah SWT sebagai pemegang kuasa. Seorang muslim harus meyakini bahwa tiada daya dan upaya selain milik Allah SWT, tawasul berarti menganggap orang yang mulia tersebut sebagai wasilah atau perantara bukan sebagai yang punya kemampuan atau yang berkuasa mengabulkan doa. Kedudukan sebagai wasilah ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang mulia dan tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT dan ini sekali lagi tidak terkait hidup dan mati. Justru salafy yang meributkan atau membedakan soal hidup dan mati, seolah-olah mereka meyakini kalau orang yang hidup memiliki kuasa sedangkan yang mati tidak. Lha sudah jelas batil, apa perlu diingatkan bahwa tiada daya dan upaya selain milik Allah SWT yang Maha Agung.
Sungguh yang membuat perkara ini semakin aneh adalah salafy begitu bersemangat menjadikan ini sebagai masalah akidah dan tidak jarang mensesat-sesatkan dan menyatakan syirik kepada mereka yang melakukan tawasul. Tingkah salafy ini mengingatkan kami pada kaum yang disebut sebagai tidak memahami tetapi berbicara hal-hal besar seolah-olah mereka yang paling paham dan paling ahli. Pendapat yang kami yakini dalam perkara ini adalah seorang muslim diberikan pilihan dalam berdoa atau memohon kepada Allah SWT, boleh melakukannya dengan tawasul dan boleh juga tidak

Ayat Hanya BIsa DInaskh Dengan Ayat

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ ...نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Memahami Ayat-Ayat sebelum Ayat Tathir

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala dosa dari kamu ('an-kum) wahai Ahlu l-Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." Menurut tafsir-tafsir Syi'ah, ayat ini diturunkan secara khusus kepada Ahlu l-Bait AS saja. Sementara orang lain tidak termasuk di dalam ayat-ayat tersebut. Sedangkan tafsir-tafsir Ahl-Sunnah , ada yang mengakui bahwa ayat tersebut dikhususkan untuk Ahlu l-Bait AS saja, ada pula yang menyatakan ayat tersebut termasuk isteri-isteri Nabi Saw, dan ada yang mengatakan itu dikhususkan kepada isteri-isterinya Saw saja dan pendapat itu bertentangan dengan kaedah Bahasa Arab yang tidak menggunakan Dhamir Ta'nith (kata ganti perempuan) untuk perempuan di dalam ayat tersebut. Malah Allah SWT menggunakan Dhamir Tadhkir (kata ganti lelaki) yaitu perkataan 'an-kum (daripada kamu) dan perkataan yutahhira-kum membersihkan kamu (lelaki). Kaidah ini mudah diketahui bahkan oleh kebanyakan orang awam. jikalau Allah SWT di dalam ayat tadi menghendaki isteri-isteri Nabi Saw, niscaya Dia menggunakan dhamir Ta'nith, 'an-kunna (daripada kamu isteri-isteri) dan yutahhirakunna Dia membersihkan (kamu isteri-isteri) sebagaimana Dia menggunakan dhamir Ta'nith sebelumnya (Surah al-Ahzab (33):32. Lantaran itu Allah telah menggunakan dhamir tadhkir untuk mengeluarkan isteri-isteri daripada ayat tersebut. 'Ali bin Ibrahim di dalam Tafsirnya (1) daripada Zaid bin 'Ali AS dia berkata: Sesungguhnya orang-orang yang jahil mengatakan bahwa Allah menghendaki dengan ayat ini isteri-isteri Nabi Saw. Pada hakikatnya mereka berbohong dan mereka berdosa. Demi Allah sekiranya Dia maksudkan isteri-isteri Nabi SAW, nescaya Dia akan berkata: an kunna al-Rijs (daripada kalian isteri-isteri) dan yutahhira-kunna (membersihkan kalian isteri-isteri dengan sebersih-bersihnya. Dan Dia menggunakan perkataan muannathan (ganti nama perempuan) sebagaimana Dia berfirman: Wazkurna mayutla fibuyuti-kunna, wa la Tabarrajna, wa lastunna Kaahadin min l-Nisa.' Oleh itu ayat Tathir (Surah al-Ahzab (33):33) tidak harus pada isteri-isteri Nabi SAW sekalipun ianya ditafsirkan bersamaan dengan Ahlu l-Bait AS. Kerana Allah SWT telah mengancam mereka sebelum ayat Tathir dalam firmanNya (Surah al-Ahzab (33): 28-30). Dan Dia juga telah mengancam mereka dengan firmanNya (Surah al-Tahrim (66):4-5):"Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan." Inilah adalah menurut apa yang difirmankan-Nya (al-Mantuq). Adapun mafhumNya: Wahai isteri-isteri Nabi kalian tidaklah mukminat, qanitat, ta'ibat, sekiranya kalian masih menyakiti Rasululloh SAW. Dan Dan apa yang jelas terdapat di kalangan isteri-isteri tersebut yang telah memerangi Khalifah 'Ali, Hasan dan Husain AS. Memerangi mereka berarti memerangi Allah menurut hadith Rasulullah Saw.Kita tidak lupa bahwa 'Aisyah telah memimpin angkatan bersenjata ketika memprotes jenazah Imam Hasan sa yang hendak dikebumikan di samping datuknya Rasulullah SAW Jikalau 'Aisyah masih hidup di hari peperangan Husain AS di Karbala, kemungkinan dia akan memerangi Imam Husain di Karbala

Fatwa Nikah MIsyar

Menurut Asy-Syaikh Ibnu Baaz hukum pernikahan misyar adalah :

" لا حرج في ذلك إذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً ، وهي وجود الولي ورضا الزوجين ، وحضور شاهدين عدلين على إجراء العقد ، وسلامة الزوجين من الموانع ؛ لعموم قول النبي صلى الله عل...يه وسلم : ( أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ، فإذا اتفق الزوجان على أن المرأة تبقى عند أهلها ، أو على أن القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً ، أو في أيام معينة ، أو ليالي معينة : فلا بأس بذلك ، بشرط إعلان النكاح ، وعدم إخفائه " .

“Tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar’iy, yaitu adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki dan wanita) tersebut, adanya dua orang saksi yang ‘adil atas pelaksanaan akad, dan bersihnya calon istri dari larangan-larangan. Kebolehan hal itu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang dengannya kalian menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan juga sabda beliau yang lain : “Orang-orang muslim itu tergantung kepada syarat-syarat yang mereka sepakati”. Apabila kedua suami-istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu. Dengan syarat, pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan” [Koran Al-Jaziirah, no. 8768 – Senin, 18 Jumadal-Ula 1417 H – Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 450-451].


عقد الرجل زواجه على امرأة عقدًا شرعيّاً مستوفي شروطه وأركانه ، إلا أن المرأة تتنازل فيه - برضاها - عن بعض حقوقها على الزوج كالسكن والنفقة والمبيت عندها والقسم لها مع الزوجات ونحو ذلك

“Satu pernikahan dimana seorang laki-laki melakukan akad pernikahan terhadap seorang wanita dengan akad syar’iy yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya; namun si wanita mengugurkan sebagian haknya - dengan kerelaannya - seperti tempat tinggal, nafkah, giliran bermalam bersamanya, dan pembagian hak yang setara dengan istri-istri suaminya yang lain” [Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/158].

Imam Ali Melamar Putri Abu Jahal...??

Saat semua upaya untuk menyandingkan musuh-musuh Ahlul Bayt as sejajar dengan kedudukan dan keutamaan Ahlul Bayt as menemukan jalan buntu, maka, para penyembah Bani Umayyah berusaha keras menciptakan hadis-hadis palsu yang bisa mendiskreditkan kemuliaan Ahlul Bayt as.
Untuk itu, watak-watak yang tidak malu pada Tuhan dan tidak takut pada hari pembalasan amat diperlukan. Dengan menawarkan ganjaran duniawi dan nama yang harum di kalangan manusia, maka beraturlah sekelompok syaitan dalam tubuh-tubuh manusia, di halaman istana Bani Umayyah bagi mempersembahkan bakti mereka dan menjual imannya.
Antara tokoh andalan dalam kelompok ini, yang benar-benar berani adalah Miswar bin Makhramah, yang, tanpa punya sekelumit iman, menciptakan hadis “Niat pernikahan Imam Ali as dengan puteri Abu Jahal”, bagi mendapatkan syafaat dari tuannya, Bani Umayyah.
Hadis tentang niat pernikahan Imam Ali as dengan puteri Abu Jahal itu, diangkat menjadi kisah suci dan disahihkan oleh ulama-ulama hadis Sunni, yang berlumba-lumba meriwayatkannya di lembaran-lembaran kitab hadis mereka.
Kita lihat sekilas lalu riwayat tersebut:
Disebutkan bahwa Imam Ali as. berminat melamar dan dalam sebagaian riwayat telah meminang putri Abu Jahal untuk dijadikan istri kedua disamping sayyidah Fatimah as. kemudian berita tersebut terdengan oleh Fatimah as. dan beliaupun marah dan melaporkan perlakuan Imam Ali as. kepada Nabi; ayah Fatimah as., seraya berkata: Orang-orang berkata bahwa Anda tidak marah untuk membela putri Anda, Ini Ali ia akan mengwini putri Abu Jahal. Mendengan berita itu nabi marah kemudian mengumpulkan para sahabat beliau di masjid dan berpidato: Sesungguhnya Fatimah adalah dariku, dan saya khawatir ia terfitnah dalam agamanya…Saya tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, akan tetapi –demi Allah- tidak akan berkumpul putri seorang rasulullah dan putri musuh Allah pada seorang suami…. Saya tidak akan mengizinkan… kemudian saya tidak akan mengizinkan… kemudian saya tidak akan mengizinkan… kecuali jika Ali akan menceraikan putri saya dan mengawini putri mereka… Fatimah adalah penggalan dariku menyikitiku apa yang menyakitinya dan menggangguku apa yang mengganggunya”
Riwayat ini bisa anda temukan didalam Sahih Bukhari pada beberapa bab, antaranya:
1. Kitab al Khums ( dengan Syarah Ibnu Hajar:6\161-162).
2. Kitab an Nikah (dengan Syarah Ibnu Hajar 9\268-270)
3. Kitab al-Manaqib, bab Dzikr Ash-haar an-Nabi (tentang menantu-menatu Nabi) (dengan Syarah Ibnu Hajar 7\67)
4. Kitab ath-Thalaq, bab asy-Syiqaq ( Kitab perceraian, bab, pertengkaran suami-isteri (dengan Syarah Ibnu Hajar 8/152)
Bukhari telah memilih jalur Miswar saat meriwayatkan kisah ini, maka, marilah kita imbas, siapakah Miswar bin Makhramah, yang menjadi perawi hadis ini.
1.Ia lahir tahun kedua Hijrah. Jadi usianya ketika penyampaian pidato Nabi saww. bisa kita bayangkan, ia masih kanak-kanak. Lalu bagaimna ia mengatakan bahwa ketika itu ia sudah baligh? (Sahih Bukhari dengan Syarah Ibnu Hajar 6/161-162)
ولد بمكّة بعد الهجرة بسنتين فقدم به المدينة في عقب ذي الحجة سنة ثمان ومات سنة أربع وستين
تهذيب التهذيب: ج‏10 ص‏137 . وانظر: المزي، تهذيب الكمال: ج‏27 ص‏581 . الذهبي، سير أعلام النبلاء: ج‏3 ص 394

2. Padahal usianya ketika wafat Nabi saww. hanya delapan tahun. (Fath al-Bari:9\270. Kisah itu terjadi- kalau benar- enam atau tujuh tahun setelah kelahirannya)
وكان مولده بعد الهجرة بسنتين، وقدم المدينة في ذي الحجة بعد الفتح سنة ثمان، وهو غلام أيفع ابن ست سنين
ابن حجر، الإصابة: ج‏6ص 94


Ustaz Taufiq Abu ‘Ilm pembantu kanan Keadilan Mesir mempunyai kitab berjudul Fathimah Azzahra yang diterjemah oleh Dr Sadiqi. Inilah kitab yang cukup cantik, paling tepat, sungguh berilmiah dan penulisnya berdalil tentang Fathimah Zahra. Hingga kini susah ditemui buku sebagus ini. Dalam halaman 146 beliau berkata pinangan Ali terhadap puteri Abu Jahal berlaku dalam tahun kedua Hijrah.
Menurut pengkisahan yang ada pada Ustaz Abu Ilm, Miswar ini baru masuk ke Madinah setelah empat tahun peristiwa lamaran tersebut. Namun entah dari mana pula Ibnu Hajar Asqalani mendapat tahu bahawa peristiwa lamaran ini berlaku dalam tahun ke delapan Hijrah. Mungkin Ibnu Hajar boleh mengetahui peristiwa ghaib, atau melalui malaikat atau juga melalui perantara jin yang mengirim wahyu kepadanya. Beliau berkata Imam Ali melamar puteri Abu Jahal setelah tahun kedelapan Hijrah iaitu Miswar masih berusia enam tahun. Ketika itu Miswar sendiri berkata:
وانا محتلم…
“Saya telah bermimpi” -Tahzib al-Tahzib jilid 10 halaman 138.
Iaitu saya telah baligh. Ini juga bermaksud seseorang itu telah membesar dan mendapat mimpi; atau pun ia sudah siap untuk berkahwin. Apakah anak seusia enam tahun boleh berkata ‘Ana Muhtalam’?
Ibnu Hajar menyedari hal ini dan berkata: Muhtalam ini bukanlah bermaksud seseorang itu telah sampai ke usia baligh, akan tetapi dari sudut bahasa menyatakan ia telah berakal. Masyallah, apakah ada ribuan anak kecil sepintar ini?
Namun perkataan Muhtalam ini jauh bezanya dengan berakal dari sudut bahasa seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.
Apakah Miswar di usia begitu dapat duduk di tepian minbar dan menukilkan hadis? Marilah kita lihat dalam sahih Muslim meriwayatkan bahawa Miswar bin Mukhramah hanya memakai cawat dan hadir mengangkut batu untuk membina masjid, ikatan cawat tersebut terbuka dan mendedahkan bagian tubuhnya itu. Rasulullah bersabda:
ارجع إلى ثوبك فخذه ولا تمشوا عراة
صحيح مسلم، باب الاعتناء بحفظ العورة، ج 1 ص 268
Pulanglah memakai pakaianmu, dan janganlah berjalan dalam keadaan telanjang. – Sahih Muslim Bab I’tina bi hifz ‘aurat, jilid 1 hal 268.
Pertanyaan kita kepada Ibnu Hajar, apakah ini dikatakan pintar? Di usia enam tahun itu, ke manakah akalnya ketika ia bertelanjangan, berjalan di depan orang ramai dan Rasulullah, sehingga ditegur dan disuruh pulang memakai pakaian?
Hadis Miswar ternyata masih diragui di sudut lain kerana dia seorang sahaja yang meriwayatkan nabi datang ke masjid dan duduk di atas minbar sedangkan ramai lagi di kalangan ansar dan muhajirin tidak meriwayatkan hadis ini. Hendaklah kita katakan bahawa Miswar sahaja yang berada di dalam masjid ketika itu.

ASBABUNNUZUL AYAT 28-29 AL-AHZAB

Untuk meyakinkan mari kita lihat Asbabun Nuzul ayat sebelum Ayat Tathir yaitu Al Ahzab ayat 28 dan 29 “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28). Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar (29).
Dalam kitab Lubab An Nuqul Fi Asbabun Nuzul As Suyuthi, Beliau membawakan riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i yang berkenaan turunnya ayat ini, riwayat itu jelas berkaitan dengan peristiwa lain(bukan penyelimutan) dan ditujukan kepada istri-istri Nabi SAW.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu Bakar meminta izin berbicara kepada Rasulullah SAW akan tetapi ditolaknya. Demikian juga Umar yang juga ditolaknya. Tak lama kemudian keduanya diberi izin masuk di saat Rasulullah SAW duduk terdiam dikelilingi istri-istrinya(yang menuntut nafkah dan perhiasan). Umar bermaksud menggoda Rasulullah SAW agar bisa tertawa dengan berkata “ya Rasulullah SAW sekiranya putri Zaid, istriku minta belanja akan kupenggal lehernya”.

Maka tertawa lebarlah Rasulullah SAW dan bersabda “Mereka ini yang ada disekelilingku meminta nafkah kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar menghampiri Aisyah untuk memukulnya dan demikian juga Umar menghampiri Hafsah sambil keduanya berkata “Engkau meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28) sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW agar istr-istrinya menentukan sikap.
Beliau mulai bertanya kepada Aisyah tentang pilihannya dan menyuruh bermusyawarah lebih dahulu dengan kedua ibu bapaknya . Aisyah menjawab “Apa yang mesti kupilih?”. Rasulullah SAW membacakan ayat Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar (29). Dan Aisyah menjawab “Apakah soal yang berhubungan dengan tuan mesti kumusyawarahkan dengan Ibu Bapakku? Padahal aku sudah menetapkan pilihanku yaitu Aku memilih Allah dan RasulNya”.(diriwayatkan oleh Muslim, ahmad dan Nasa’i dari Abiz Zubair yang bersumber dari Jubir)

PERDEBATAN TENTANG HAL ITU
SOAL:
Lihatlah bahwasanya ayat-ayat sebelum (Q.S.Al-Ahzab 28-32) dan sesudah (Q.S.Al-Ahzab 34) dari ayat 33 bercerita tentang istri Nabi SAW, maka tidak mungkin secara logika ayat 33 tsb menyimpang topiknya (mengkhususkan tentang Ali, Fatimah, Hasan dan Husein) padahal ayat 33 tsb ada ditengah-tengah ayat-ayat yang bercerita tentang istri Nabi SAw. Juga salah jika dikatakan ayat 33 tsb hanya berlaku untuk istri nabi SAW padahal Ali, Fatimah, Hasan dan Husein juga termasuk didalamnya sebagaimana hadis shahih Muslim yang disebut diatas”.
Jawab :
Berdasarkan hadis Asbabun Nuzul yang shahih maka didapati bahwa Ayat Tathir turun berkaitan dengan peristiwa lain yang tidak berhubungan dengan istri-istri Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan ayat sebelumnya yang memang ditujukan terhadap istri-istri Nabi SAW.
Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi ”dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33)”. Telah jelas berdasarkan hadis Shahih Sunan Tirmidzi bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun khusus ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as dan bukan untuk istri-istri Nabi SAW. Jadi bisa disimpulkan kalau penggalan pertama Al Ahzab 33 memang ditujukan untuk Istri-istri Nabi SAW sedangkan penggalan terakhir berdasarkan dalil shahih turun sendiri dan ditujukan untuk pribadi-pribadi yang lain. Hal ini bisa saja terjadi jika ada dalil shahih yang berkata demikian.

Tahrif al-Quran

Syeikh Mufid dalam kitab ‘Awâil al Maqâlât:
وَ قَدْ قال جماعَةٌ مِنْ أهل الإمامة: إنَّه لم ينقص من كلمة، ولا آية ، ولا سورة، و لكن حُذِفَ ما كان مثبَتًا في مصحف أمير المؤمنين (عليه السلام) من تَأويليه، و تفسير معانيه على حقيقة تنزيله، و ذلك كان ثابتًا مُنَزَّلاً و إنْ لِمْ يكن من جملةِ كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجِز. و عندي أنَّ هذا أشبهُ من مقال من ادَّعى نُقْصان كلِمٍ من نفسِ القرآن على الحقيقة دون التأويل. ’ إليه أميلٌ، و الله أسأل توفيقه للصواب.
“Telah berkata sekelompok Ahli imamah (Syi’ah): bahwa Al Qur’an tidak berkurang walaupun hanya satu kata, atau satu ayat atau satu surah, akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang tetap dalam mush-haf Amirul Mukminin (Ali) as. berupa ta’wîl dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat tanzîlnya. Yang demikian (ta’wîl dan tafsir) adalah tetap, terbukti telah diturunkan (Allah) walaupun ini bukan dari bagian firman Allah sebagai Al Qur’an yang mu’jiz (mu’jizat). Dan menurut saya pendapat ini lebih tepat dari pada pendapat orang yang menganggap adanya pengurangan beberapa firman dari Al Qur’an itu sendiri bukan ta’wîl nya. Dan saya cenderung kepada pendapat ini. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (‘Awâil al Maqâlât fî al Madzâhib al Mukhtârât: 55-56.).

Syi’ah Dan Al Qur’an
Dalam kitab Mungkinkah SUNNAH- SYIAH DALAM UKHUWAH? yang ditulis Tim Penulis Sidogiri sebagai bantahan atas buku Dr. Sayyid Quraish Shihab Sunnah-Syiah Bergandeng Tangan! Mungkinkah? itu, sepertinya Tim Penulis terlalu bernafsu dalam menyerang Syi’ah Imâmiyah Ja’fariyah Itsnâ ’Asyariyah, sehingga pada akhirnya menyimpulkan bahwa tidak mungkin dirajut tali Ukhuwwah Islamiyah di antara kedua mazhab Islam itu! Berbeda dengan para ulama mushlihîn yang berjuang demi terwujudnya pendekatan dan ukhuwwah di antara berbagai elemen umat Islam dari beragam aliran dan mazhab, seperti yang diprakarsai oleh para pembesar dari kedua mazhab ini, di antara mereka adalah Syeikh Hasan al Bannâ (Pendiri Ikhwanul Muslimin), Syeikh Salîm Bishri (Rektor al Azhar), Syeikh Syaltut (Rektor al Azhar), Syeikh Muhaammad al Madani, Syeikh Yusuf Qardhawi, Fathi Yakkan, Sayyid Imam al Burjurdi (Pemimpin Tertinggi Syi’ah di zamannya), Syeikh Muhmmad Jawad Mughniah (ulama Syi’ah Lebanon), Imam Khumaini dan puluhan bahkan raatusan lainnya.
Ide dan kesimpulan tidak mungkin diwujudkannya persatuan dan ukhuwwah Islamiyah di antara kedua mazhab ini didasarkan pada beberapa asumsi, yang paling menonjol adalah asumsi adanya perbedaan yang mendasar dalam ushûluddin (pokok-pkok ajaran agama) dan tidak sekedar pada tataran furû’uddin (cabang-cabang agama/fikih) semata.
Di antara perbedaan mendasar itu adalah pandangan yang berbeda antara Syi’ah dan Ahlusunnah tentang Al Qur’an al Karîm….
Akan tetapi setelah diteliti adanya perbedaan yang mendasar dalam tataran ushûluddin hanya sebuah isu yang tidak bisa dipertahankan… ia dibangun di atas anggapan yang tidak berdasar!! Sebab pada dasar-dasar keyakinan yang menentukan islam tidaknya seseorang atau sebuah kelompok yaitu imam kepada keesaan Allah SWT, akan adanya hari akhir, dan kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebagai nabi penutup telah terpenuhi baik pada pihak Ahlusunnah sebaagaimana juga terpenuhi pada pihak Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsâ ‘Asyaariyah!
Dalam kesempatan ini saya tidak dalam rangka menjawab buku tersebut dan berbagai penyimpangan-penyimpangannya. Untuk sementara ini saya hanya akan menfokuskan sorotan saya atas tuduhan palsunya terhadap Syi’ah dalam keyakinannya tentang Al Qur’an al Karîm.
Namun sebelumnya saya perlu menyampaikan beberapa catatan tentang kesalahan metodologi banyak pihak yang meyerang Syi’ah dan ajarannya.
Pertama, Mereka mendasarkan serangan dan kecamannya atas akidah Syi’ah dari Kitab-kitab Hadis. Semantara itu, semestinya akidah sebuah mazhab dan aliran hendaknya diteliti dan dikaji dari kitab-kitab akidah mu’tabarah mazhab tersebut. Sebab bisa saja kitab-kitab hadis itu memuat hadis/riwayat yang tidak diterima oleh ulama mazhab tersebut atau paling tidak oleh jumhur mereka.
Kedua, Pendapat yang akan dinisbahkan kepada mazhab tertentu hendaknya merupakan pendapat manyoritas dan bukan sekedar pendapat individu atau segelintir dari mereka. Adalah hal tidak adil apabila kita menisbahkan pendapat tertentu kepada mazhab tertentu sementara pendapat itu tidak diakui oleh para ulama terkemuka mazhab tersebut!
Ketiga, Bagi seorang peneliti, hendaknya ia menjadikan buku-buku pemuka mazhab tersebut sebagai rujukan utama dan bukan buku-buku lawan mazhab itu!
Keempat, Hendaknya kita tidak mengecam sesuatu yang ada dalam mazhab lain yang sedang kita teliti sementara hal yng sama juga ada dalam mazhab kita, namun kita menutup mata, seakan hendak mengelabui kaum awam bahwa “borok” itu hanya ada di pihak lain!
Kelima, Dan yang tidak kalah pentingnya, adalah kejujuran dalam menukil hadis atau pendapat ulama mazhab tertentu yang sedang ia teliti.
Setelah memerhatikan lima poin mukaddimah di atas, mari kita perhatikan apa yang dilakukan oleh teman-teman Tim Penulis Sidogiri dalam hujtannya atas Syi’ah dan akidahnya, khususnya tentang Al Qur’an al Karîm.
Pertama-tama Tim Sidogiri menggambarkan keyakinan Ahlusunnah tentang Al Qur’an adalah sebagai kitab Allah SWT yang terpelihara, “Selain penjagaan secara intensif yang dilakukan umat Islam, al Qur’an al-Karim telah mendapat jaminan penjagaan langsung dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an al-Karim ditegaskan:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ.
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar- benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr[15]:9 (
Demikianlah keyakinan yang selalu dipedomi oleh Ahlusunnnah wal jama’ah. Al Qur’an yang dibaca hari ini, dalam keyakinan Ahlusunnah, adalah persis sama dengan apa yang dibaca oleh Rasulullah saw. Dan umat Islam generasi awal (para sahabat). Di dalamnya tidak terdapat pengurangan, penambahan ataupun disktorsi sedikit pun, sebab penyelewengan-penyelewengan itu dijamin tidak akan pernah menyentuh al-Qur’an al-Karim.” (Mungkinkah SUNNAH- SYIAH DALAM UKHUWAH? :299-300)
Setelahnya buku itu menyebutkan bahwa keyakinan Syi’ah tentang Al Qur’an al Karîm adalah bertolak belakang dengan kayakinan Ahlusunnah, “Sebagaimana telah dimaklumi sejak lama, bahwa sekte ini menganggap bahwa al-Qur’an al-Karim tak lagi orisinil dan telah mengalami perubahan-perubahan….
Pandangan orang-orang Syi’ah tersebut sudah umum diketahui, baik di kalangaan anti-Syiah maupun bukan… “ (Ibid.300-301)
Kemudian buku itu menghujat Dr. Quraish Shihab yang menyebut bahwa keyakinan Syi’ah tentang Al Qur’an adalah sama dengan keyakinan Ahlusunnah dan umat Islam lainnya!
Beberapa mana ulama besar dan tokoh Syi’ah, di antaranya Syeikh Mufid dan Syeikh al Faidh al Kâsyâni yang konon kata penulis buku Risalah jawâbiyah ‘ala Mudzakarat Ustadz Syi’i Istâ ‘Asyari; Prof. Dr. Ahmad bin Sa’d Hamdan al-Ghamidi meenegaskan keyakinan akan perubahan Al Qur’an!
Dan demi ilmiahnya sebuah penelitian, sudah seharusnya Tim Sidogiri menyertakan pernyataan para tokoh Syi’ah tersebut agar dapat dibaca langsung oleh para pemerhati dan peneliti dan bukan hanya bertaqlid buta kepada seorang penulis Wahhabi tanpa mengkomfirmasi akuransi tulisannya.
Di sini, ada kekhawatiran bahwa Tim Penulis Sidogiri tidak pernah membaca langsung buku-buku Syi’ah yang sedang ia serang ajarannya. Mereka justru berujuk dan menjadikan buku-buku yang ditulis oleh musuh-musuh Syi’ah dari kalangan sarjana-sarjana Wahhabi sebagai rujukan andalannya. Kekhawatiran itu dikuatkan oleh kutipan-kutipan yang disajikan. Namun terlepas dari itu, dan saya tidak terlalu peduli dengannya, terlihat jelas kenaifan dan kesalahan metodologi penulisan dan penelitian yang mereka lakukan….
Di sini sekedar untuk membuktikan kesalahan itu, kami akan sebutkan pernyataan Syeikh Mufid dalam kitab ‘Awâil al Maqâlât:
وَ قَدْ قال جماعَةٌ مِنْ أهل الإمامة: إنَّه لم ينقص من كلمة، ولا آية ، ولا سورة، و لكن حُذِفَ ما كان مثبَتًا في مصحف أمير المؤمنين (عليه السلام) من تَأويليه، و تفسير معانيه على حقيقة تنزيله، و ذلك كان ثابتًا مُنَزَّلاً و إنْ لِمْ يكن من جملةِ كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجِز. و عندي أنَّ هذا أشبهُ من مقال من ادَّعى نُقْصان كلِمٍ من نفسِ القرآن على الحقيقة دون التأويل. ’ إليه أميلٌ، و الله أسأل توفيقه للصواب.
“Telah berkata sekelompok Ahli imamah (Syi’ah): bahwa Al Qur’an tidak berkurang walaupun hanya satu kata, atau satu ayat atau satu surah, akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang tetap dalam mush-haf Amirul Mukminin (Ali) as. berupa ta’wîl dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat tanzîlnya. Yang demikian (ta’wîl dan tafsir) adalah tetap, terbukti telah diturunkan (Allah) walaupun ini bukan dari bagian firman Allah sebagai Al Qur’an yang mu’jiz (mu’jizat). Dan menurut saya pendapat ini lebih tepat dari pada pendapat orang yang menganggap adanya pengurangan beberapa firman dari Al Qur’an itu sendiri bukan ta’wîl nya. Dan saya cenderung kepada pendapat ini. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (‘Awâil al Maqâlât fî al Madzâhib al Mukhtârât: 55-56.).
Di sini saya tidak bermaksud untuk lebih membongkar ketidak ilmiahan kajian dan penelitian yang dilakukan Tim Penulis Sidogiri dengan menyebut pernyataan-pernyataan ulama Syi’ah yang mereka tuduh meyakini tahrîf, padahal tidak! Dan atas dasar contoh di atas; ketidak jujuran dan tidak terpenuhinya unsur-unsur ilmiah dalam sebuah penelitian, maka dapat Anda qiyaskan penukilan-penukilan lainnya. Belum lagi banyak nama yang disebut itu tidak pernah memberikan pernyataan sedikti pun tentang masalah ini, seperti nama Syeikh al Ayyasyi dan Furât al Kûfi (dua tokoh mufassir klasik Syi’ah), hanya dengan satu alasan bahwa beliau menyebutkan beberapa riwayat yang disinyalir menunjukkan adanya tahrîf pada Al Qur’an al Karîm!! Sebuah cara berpikir picik dan metode penyimpulan yang sangat tidak ilmiah. Sebab apabila hanya sekedar menyebutkan atau meriwayatkan riwayat yang menunjukkan adanya tahrîf seorang dapat dituduh meyakini tahrîr maka orang dapat menggolongkan Imam Bukhari, Imam Muslim, dan imam-imam hadis Ahlusunnah dan para mufassir lainnya, seperti Jalaluddin as Suyuthi, ar Razi, Ibnu Katsir dll. juga sebagai yang meyakini adanya tahrîf Al Qur’an, sebab mereka telah meriwayatkannya!!!
Tentang sikap al Faidh al Kâsyâni terhadap kesucian Al Qur’an, kami persilahkan Tim Penulis dan para Kiay Sidogiri untuk merujuk langsung pernyataan beliau dalam Mukaddimah keenam dalam tafsir ash Shâfi, tafsir bil ma’tsûr yang ditulis oleh al Faidh al Kâsyâni:1/40-55. Selain itu, kitab tafsir al Ashfâ karya beliau juga dapat dirujuk pada tafsir ayat:
وَ إِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ.
Beliau berkata menafsirkan:
من التحريف و التغيير و الزيادة و النقصان.
“Dari tahrîf, perubahan, penambahan dan pengurangan.” (Al Ashfâ Fî tafsîr al Qur’ân:348)
Dan juga diharap merujuk penegasan beliau dalam kitab al Wâfi,1/273-274.
Dan apabila Perpustakaan Sidogiri belum mengoleksi kitab-kitab para ulama Syi’ah maka akan lebih terhormat jika mereka tidak “cawe-cawe” bicara Syi’ah!! Sebab nanti pasti khathauhu aktsar min Shawabihi (kesalahannya akan lebih banyak dari benarnya).
Riwayat Tahrîf Dalam Kitab-kitab Syi’ah
Sementara saya cukupkan dalam tanggapan saya tentang sikap mazhab Syi’ah yang dituduh meyakini tahrîf Al Qur’an sampai di sini. Saya akan menyoroti kesalahan lain dalam metodologi penelitian dan pengkajian (ma’af bukan pengajian yang biasa digelar para Kiay di hadapan kaum awam), di mana Tim Penulis Sidogiri menyebut tiga riwayat yang dianggapnya mewakili keyakinan Syi’ah akan terjadinya tahrîf pada Al Qur’an al Karîm.
Buku Sidogiri menyebutkan, “Dengan demikian, pernyataan bahwa tahrîf al-Qur’ân merupakan ijmâ’ (konsensus) ulama Syiah bukanlah hal yang aneh. Terlebih, dalam kitab hadits induk yang mereka anggap paling shahih dengan riwayat mutawâtir, yakni al Kâfi, penjelasan tentang distorsi, penambahan dan pengurangan dalam Al-Qur’an memang sangat banyak.” (Hal:304)
Dalam paragraf yang singkat itu terdapat banyak kesalahan atau bahkan boleh jadi kepalsuan, seperti anggapan bahwa kitab Al Kâfi yang mereka anggap paling shahih dengan riwayat mutawâtir. Di sini saya meminta dengan hormat kepada mereka untuk menunjukkan di mana dapat ditemukan penegasan para ulama Syi’ah yang membenarkaan tuduha tersebut!
Selain itu, bahwa telah terjadi ijmâ’ akan terjadinya tahrîf, di mana dapat ditemukan?! Janganlah kebencian kepada Syi’ah mendorong kalian berkata palsu dan mengada-ngada serta mengucapkan yang tidak kalian ketahui. Allah SWT berfirman:
وَ لا تَقْفُ ما لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isrâ’ [17]:36)
Bersikap jujur dan adil-lah dalam bertindak dan berkata-kata, sebab yang demikian itu aqrabu lit taqwa.
Allah SWT. berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامينَ لِلَّهِ شُهَداءَ بِالْقِسْطِ وَ لا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلى‏ أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوى‏ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang- orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali- kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mâidah [5]:8 )
Tiga Hadis Al Kâfi Tentang Tahrîf
Setelah itu, mereka menyebutkan tiga hadis riwayat Tsiqatul Islam wal Muslimîn, Syeikh Al Kulaini (rahmatullah ‘alaihi).
Riwayat pertama:
محمد بن يحي عن أحمد بن محمد عن إبن محبوب عن عمرو بن أبي المِقدام عن جابر، قال: سمعت أبا جعفر (ع) يقول: ما ادَّعَى أَحدٌ من الناس أنَّهُ جمع القرآنَ كُلَّهُ كما أُنْزِلَ إِلاَّ كذاب، و ما جمعَهُ و حفِظهُ كما نَزَّله اللهُ تعالى إلاَّ علي بن أبي طالب (ع) و الأَئِمَّةُ من وُلْدِهِ (عليهم السلام).
…. Abu Ja’far (Imam al Baqir) as. berkata, “Tidak seorang pun yang mengaku telah mengumpulkan Al Qur’an sebagaimana yang telah diturunkan, melainakn ia adalah pembohong besar. Dan tidak ada yang mengumpulkan serta menghafalnya sebegaimana diturunkan kecuali Ali ibn Abi Thalib as. dan para imam dari keturunannya.”
Terlepas dari masalah yang terkait dengan sanad riwayat di atas, sebab ‘Amr ibn Abi al Miqdâm masih diperselisihkan para ulama Ahli Ilmu Rijal Syi’ah tentang ketsiqahannya…. Terlepas dari hal itu perlu diketahui bahwa dalam hadis tersebut tidak ada penegasan akan terjadinya pengurangan pada Al Qur’an Al Karîm. Sebab kata جمع disusul dengan kata حفظ hal mana memberikan makna bahwa yang dihafal dan dikumpulkan oleh Imam Ali dan para Imam suci Syi’ah as. adalah ilmu tentang seluruh teks ayat-ayat Al Qur’an beserta ta’wîl, tafsir dan kandungannya baik yan dzahir maupun yang bathin. Dan bukan sekedar menghafal teks ayat-ayat suci Al Qur’an.
Pengertian yang demikian itu gamblang dan tidak samar atas ulama Syi’ah. Selain itu, pemaknaan seperti itu sangat sejalan dengan keyakinan Al Kulaini yang memasukkan hadis di atas dalam bab khusus dengan judul:
إِنَّهُ لم يَجمعِ القرآنَ كلَّهُ إلاَّ الأئمة (ع) و أنهم يعلمون علمَهُ كلَّهُ.
Bahwa tidak adaa yang mengumpulkaan Al Qur’n seluruhnya keculi pra imam dan mereka mengethui seluruh ilmu Al Qur’an.
Dalam bab tersebut Al Kulaini meriwayatkan eman hadis, empat hadis terakhir berbicara tentang ilmu para Imam Ahlulbit as. Tentang apa yang terkandung dalam Al Qur’an. Sedangkan dua hadis pertama adalah yang telah dikutip oleh Tim Penulis Sidogiri.
Pada hadis di atas, terdapat dua masalah yang perlu didiskusikan, pertama, adanya mush-haf milik Imam Ali as. Kedua, bentuk dan hakikat mush-haf tersebut.
Tentang masalah pertama, tidak diragukan bahwa sepeninggal Rasulullah saw. Imam Ali as. telah meluangkan waktu beliau untuk mengumpulkan Al Qur’an. Berita tentangnya telah diterima kebenarannya oleh ulama Ahlusunnah. As Sijistani dalam kitab al Mashâhif-nya meriwayatkan dari Ibnu Sîrîn, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. wafat, Ali bersumpah untuk tidak mengenakan ridâ’ kecuali untuk shalat Jum’at sehingga ia selesai mengumpulkan Al Qur’an dalam sebuah mush-haf.” (Al Mashâhif:16.)
Berita tentangnya juga dapat dibaca dalam berbagai kitab Ahlusunnah seperti al Fahrasat; Ibnu Nadîm, al Itqân; as Suyuthi dll.
Kedua, tentang hakikat mush-haf Imam Ali as. Para ulama menyebutkn bahwa ia ditulis sesuai dengan urutan nuzûl-nya. Di samping disertakan keterangan tantang makna dan ta’wîl nya.
Ibnu Jaziy berkata, “Ketika Rasulullah saw. wafat, Ali ibn Abi Thaalib ra. duduk di rumahnya, ia mengumpulkan Al Qur’an sesuai urutan tnzîlnya. Andaai mush-haaf itu ditemukaan pasti di dalamnya terdapat banyaak ilmu pengetahuan, tetapi saying tidak ditemukan.” (At Tashîl Li ‘Ulûmi at Tanzîl; Imam Muhaammad ibn Ahmad ibn Jazzi al Kalbi,1/4 Muqaddimah ‘Ulâ/mukaddimah pertama).
As Suyuthi mengatakan, “Jumhur ulama berpendapat bahwa tertib urutan surh-surah ditetapkan berdasarkan ijtihad para sahabat. Ibnu Fâris berdalil dengan bahwa di antara para sahabat ada yang menyusun surah-surah Al Qur’an berdasarkan urutan tanzîl/turunnya, yaitu muhs-haaf Ali. Awal mush-hf itu adlh surh Iqra’ kemudian Nûn, kemudian al Muzammil, dan demikin seterusnya hingga aakhir surah-surah Makkiyah kemudian surh-surh Madaniyyah.” (Al Itqân,1/
Hadis kedua yang diriwyatkan al Kulaini dalam bab tersebut dan yang dikutip oleh Tim Sidogiri adalah:
محمد بن الحسين عن محمد بن سنان عن عمار بن مروان عن المُنَخَّل عن أبي جعفر (ع) أنَّه قال: ما يستطيع أحدٌ أن يَدَّعِيَ أنَّ عنده جميع القرآن كله، ظاهره و باطنه غير الأوصياء.
Dari Abu Ja;far as. Ia berkata, “Tidak adaa seoraang yang mengaku memiliki seluruh Al Qur’an, dzahir dan batinnya melainkan paaraa washi (imam).”
Terlepas dari kelemahan pada dua perawinya yang bernamaa Muhammd ibn Sinan dan al Munakhkal., seperti disebutkan paraa pakar Ilmu Rijâl Syi’ah, seperti an Najjâsyi dalam Rijâl-nya, ath Thûsi dalam Fihrasat, Tahdzîb al Ahkâm, ketika menyebut hadis dengan nomer1464 pada juz7/361, Al Istibshâr,3/224 katika menyebut hadis nomer 810, al Kasyi daalam Rijâl-nya, Al Allamah al Hilli daalam Rijâl-nya dll.
Terlepas dari itu semua, penyebutan kalimat: ظاهره و باطنه akan memperjelas makna hadis tersebut, bahwa yang dimiliki para imam dan tidak dimiliki selain mereka adalah ilmu seluruh Al Qur’an baik yang dzahir maupun yang batin. Jadi dalam usaha memahami hadis pertamaa tidak dapat dipisah dari hadis kedua dan juga daari penyebutan nama bab oleh Syeikh al Kulaaini (rahimahullahu).
Dermikianlah para ulama Syi’ah memahami hadis di atas. Baca Hasyiyah atas al Kafi oleh Sayyid ath Thabathaba’i,1/228 dan Syarah ash Shaihfah as Sajjadiyah oleh Sayyid Ali ibn Ma’shum al Madani:401. (semoga perpustakaan Sidogiri telah mengolekssinya).
Selain itu semua, apa yang aneh dari dua hadis di atas?? Andai hadis seperti itu dianggap cukup untuk menuduh Syi’ah meyakini tahrîf Al Qur’an, lalu apa sikap kalian jika ternyata hadis yang senada juga adaa dalam kitab-kitab kalian Ahlusunnh?!
Perhtikan riwayt Ahlusunnah di bawah ini:
Ibnu Umar, ia berkata:
لا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ : قَدْ أَخَذْتُ القُرْآنَ كُلَّهُ! و ما يُدْرِيْهِ ما كُلُّهُ؟ قَدْ ذَهَبَ مِنْهُ قُرْآنٌ كثِيْرٌ. و لكن لِيَقُلْ قدَ أخَذْتُ مِنْهُ ما ظَهَرَ.
“Jangan sekali-kali seorang dari kalian mengatakan, ‘Aku telah mengambil (menghafal) seluruh Al Qur’an!’ Tahukah dia apa ‘seluruh’ itu!
Telah banyak Al Qur’an yang hilang. Akan tetapi hendaknya ia berkata, ‘Aku mengambil (menghafal) yang tampak saja.’”
(Ad Durr al Mntsûr,1/106 Fadhâil Al Qur’ân; Abu Ubid al Qâsim ibn Sallâm:bab 51 hadis 1, hal.190.)
Adakah kesamaran pada kata-kata Ibnu Umar di atas bahwa “Telah banyak Al Qur’an yang hilang”? dalam menunjukkan adanya tahrîf pada Al Qur’an?!
Atau kalian akan meragukan kesahihan hadis di atas? Mungkinkah itu, sementara para ulama dan ahli hadis Ahlusunnah andaalan kalian telah menshahihkannya.
Perhaatikan sanad riwayat di atas dalam kitab Fadhâil Al Qur’an:
حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن نافع عن إبن عمرقال: … .
Ismail adalah seorang perawi yang hâfidz tsiqah dan wara’. Ayub adalah ibn Abi Tamimah, seorang yang tisqah, adid dan zâhid. Nâfi’ seorang yang tsiqah. Ibnu Umar seorng sahabat (dlm pandngan Ahlusunnah semua sahabat adlah udûl). Jadi hadis di atas berdasarkan kaidah ilmu hadis Ahlusunnah adalah shahih sanadnya! Aadapun maknnya sangat jelas menunjukkan danyaa tahrîf dengn hilangnya banyak Al Qur’an!! Lalu salahkah jika ada yang menuduh Ahlusunnah wal Jama’ah telah meyakini terjadinya tahrîf dengan sadar riwayat shahih di atas?!
Hadis ketiga yang disebutkan Tim Sidogiri adalah riwayat al Kafi:
علي بن الحكم عن هشام بن سالم عن أبي عبد الله (ع) قال: إِنَّ القرآنَ الذي جاء به جبريل (ع) إلى محمد (ص) سبعةَ عشر ألف آية.
“Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril as. kepada (Nabi) Muhammad saw. Adalah 17 ribu ayat.”
Hadis di atas diriwayatkan Syeikh al Kulaini (RH) dalam kitab al Kâfi pada Kitabu Fadhli al Qur’an, Bab an Nawâdir. Para perawi dalam sisilah riwayat di atas adalah tsiqâh seperti dinyatakan para Ahli Ilmu Rijâl Syi’ah. Karenanya sebagian orang menyerang Syi’ah bahwa hadis riwayat al Kâfi yang menunjukkn adanya tahrîf di atas adalah shahih, jadi berarti Syi’ah meyakini adanya tahrîf.
Sementara, seperti diketahui bersama, baik dalam disiplin Ilmu Hadis Ahlusunnah mupun Syi’ah, bahwa bisa jadi sebuah hadis itu shahih dari sisi sanadnya dalam arti para perawinya terpercaya/tsiqât, namun sebenarnya pada matannya terdapat masalah! Sebab keterpercayaan seorang perawi bukan segalanya dalam menentukan stastus sebuah hadis, kita harus membuka asumsi boleh jadi ia lupa, salah dalam menyampikan matan hadis atau… atau….
Selain itu, hadis di atas adalah hadis Âhâd (bukan mutawâtir) yang tidak akan pernah ditemukan baik dalam kitab al Kâfi maupun kitab-kitab hadis Syi’ah lainnya dengan sanad di atas. Di samping itu, perlu dimengerti bahwa al Kulaini (RH) memasukkan hadis di atas dalam bab an Nawâdir, dan seperti disebutkan Syeikh Mufîd bahwa para ulama Syi’ah telah menetapkan bahwa hadis-hadis nawâdir adalah tidak dapat dijadikan pijakan dalam amalan, sebagaimana istilah nadir (bentuk tunggal kata Nawâdir) sama dengan istilah Syâdz. Dan para Imam Syi’ah as. telah memberikan sebuah kaidah dalam menimbang sebuah riwayat yaitu hadis syâdz harus ditinggalkan dan kita harus kembali kepada yang disepakati al Mujma’ ‘Alaih.
Imam Ja’far as. bersabda:
يَنْظُرُ إلَى ما كان مِن رِوَايَتِهِم عَناّ فِي ذلك الذي حَكَمَا بِه الْمُجْمَع عليه مِن أصحابِك فَيُؤْخَذُ بِه من حُكْمِنَا وَ يُتْرَكُ الشَّاذُّ الذي ليْسَ بِمَشْهُوْرٍ عند أصحابِكَ، فإنَّ الْمُجْمَعَ عليه لاَ رَيْبَ فيه.
“Perhatikan apa yang di riwayatkan oleh mereka dari kami yang jadi dasar keputusan mereka. Diantara riwayt-riwayt itu, apa yang disepakati oleh sahabat-sahabatmu, ambillah! Adapun riwayat yang syâdz dan tidak masyhur di antara sahabat-sahabatmu tinggalkanlah! Karena riwayat yang sudah disepakati itu tidak mengandung keraguan….” (HR. al Kâfi, Kitab Fadhli al ‘Ilmi, Bab Ikhtilâf al Hadîts, hadis no. 1o.)
Sementara hadis di atas tidak meraih kemasyhuran dari sisi dijadikannya dasar amalan dan fatwa, tidak juga dari sisi berbilangnya jalur periwayatannya. Ia sebuah riwayat Syâdz Nâdirah dan bertentangan dengan ijmâ’ mazhab seperti yang dinukil dari para tokoh terkemukan Syi’ah di antaranya Syeikh Shadûq, Syeikh Mufîd, Sayyid al Murtadha ‘Almul Hudâ, Syeikh ath Thûsi, Allamah al Hilli, Syeikh ath Thabarsi dll.
Hadis di atas tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya sebuah riwayat dan kaidah-kaidah pemilahan antara hadis shahih dan selainnya yang telah ditetapkan Syeikh al Kulaini sendiri dalam al Kâfi.
Ini semua dengan asumsi bahwa penyebutan angka 17 ribu ayat itu telah tetap dalam kitab al Kâfi!
Jumlah 17 Ribu Ayat Belum Pasti Dalam Al Kâfi
Sementara itu terdapat ketidak-pastiaan tentang adanya bilangan angka 17 ribu ayat itu dalam al Kâfi, sebab dalam sebagian manuskrip kuno kitab al Kâfi angka yang disebut dalam riwayat itu adalah 7 ribu bukan 17 ribu! Dengan demikian belum dapat dipastikan angka tersebut dari riwayat al Kâfi! Bisa jadi kesalahan dilakukan oleh penulis sebagian manuskrip kuno kitab al Kâfi!
Sebutan angka 17 ribu ayat telah dinukil dari al Kâfi beberapa ulama Ahlusunnah ketika menyerang Syi’ah. Di antara mereka adalah:
1. Al Alûsi dalam Mukhtshar Tuhfah aal Itsâ ‘Asyriyah: 52.
2. Mandzûr an Nu’mâni dalam ats Tsawrah al Irâniyh Fî Mîzâni al Islâm:198.
3. Muhammad Mâlullah dalam asy Syi’ah wa Tahrîfu al Qur’ân: 63.
4. Dr. Muhmmad al Bandâri dalam at Tasyayyu’ Baina Mafhûmi al Aimmah wa al Mafhûm al Fârisi:95.
5. Dr. Shabir Abdurrahman Tha’imah dalam asy Syi’ah Mu’taqadan wa Madzhaban:103.
6. Ihsân Ilâi Dzahîr dalam asy Syi’ah wa as Sunnah:80 dan asy Syi’ah wa Al Qur’ân:31.
7. Dr. Umar Farîj dalam asy Syi’ah Fî at Tashawwur al Qur’âni:24.
8. Dr. Ahmad Muhammad Jali dalam Dirâsat ‘An al Firaq Fî Târîkh al Muslimîn:228.
Adapun di antara ulama Ahlusunnah yang menyebutkan hadis tersebut dari al Kâfi dengan angkan 7 ribu ayat adalah di antaranya:
1. Musa Jârullah dalam al Wasyî’ah:23.
2. Abdullah Ali al Qashîmi dalam ash Shirâ’ Baina al Islâm wa al Watsaniyah:71.
3. Syeikh Muhammad Abu Zuhrah dalam kitab al Imâm ash Shâdiq: 323.
4. Dr. Ahmad Muhammad Jali dalam Dirâsat ‘An al Firaq Fî Târîkh al Muslimîn: 228.
5. Ihsân Ilâi Dzahîr dalam asy Syi’ah wa Al Qur’ân:31.
Dalam Naskah Kuno al Faidh al Kâsyâni Hanya 7 Ribu Ayat!
Hadis riwayat al Kâfi di atas dalam naskah kuno yang dimiliki dan dijadikan pijakan al Faidh al Kâsyâni dalam penukilan hadis al Kâfi dalam insklopedia hadis berjudul al Wâfi yang beliau karang adalah 7 ribu ayat. Dan beliau tidak menyebut-nyebut adanya riwayat 17 ribu ayat! Hal mana membuktikan kepada kita bahwa naskah asli al Kâfi yang dimiliki al Faidh al Kâsyâni redaksinya adalah 7 ribu ayat bukan 17 ribu!
Lebih lanjut baca kitab Shiyânatu Al Qur’ân; Syeikh Allamah Muhammad Hadi Ma’rifah:223-224.
Jumlah 7 ribu itu disebut tentunya dengan menggenapkan angka pecahan yang biasa dilakukan orang-orang Arab dalam menyebut angka/bilangan ganjil! Demikian diterangkan oleh Allamah asy Sya’râni dalam Ta’lîqah-nya atas kitab al Wâfi.
Andai Shahih Riwayat 17 Ribu Ayat!
Andai redaksi riwayat al Kâfi yang benar adalah 17 ribu ayat, apa yang akan terjadi? Apakah hal itu dengn serta merta membuktikan bahwa mazhab Syi’ah adalah meyakini tahrîf Al Qur’an, seperti yang sering dituduhkan musuh-musuh Syi’ah?!
Apa komentar ulama Syi’ah tentangnya?
Para ulama Syi’ah meyakini bahwa disamping Al Qur’an, Jibril as. juga turun kepada Nabi Muhammad saw. dengan membawa selain Al Qur’an, yang andai ia dikumpulkan bersama Al Qur’an maka akan menjadi sekitar 17 ribu ayat!
Syeikh Shadûq (pimpinan tertinggi Syi’ah di masanya) menegaskan dalam kitab al I’tiqâdât-nya yang beliu tulis khusus menerangkan kayakinan akidah Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah. Beliau berkata:
إعتقادُنا أَنَّ القرآن الذي أنزلَهُ الله على نبينا (صلى الله عليه و آله و سلم) هُو ما بين الدفَّتين، و هو ما بِأَيدي الناس، ليس بِأَكثر من ذلك. و مبلغ سوره عند الناس مائة و أربع عشر سورةو عندنا أنَّ الضحى و ألم نشرح سورة واحدة، و لايلاف و ألم تر كيف سورة واحدة. و من نَسَبَ إلينا أنَّا نقول أنه أكثر من ذلك فهو كاذبٌ….
إنَّهُ قد نزلَ من الوحيِ الذي ليس من القرآن ما لو جُمِع إلى القرآن لكان مبلَغُهُ مِقْدار سبع عشرة ألف آية، و ذلك قول جبريل (ع) للنبي (صلى الله عليه و آله و سلم): إن الله تعالى يقول لك: يا محمد دارِ خلقِي. و مثل قوله: عشْ ما شئتَ فَإِنَّكَِ مَيِّتٌ و أحْبِبْ ما شئتَ فَإِنَّكَِ مفارقُه و اعمل ما شئتَ فَإِنَّكَِ ملآقيه. و شرفُ المؤمن صلاته بالليل….
و مثل هذا كثير، كله وحيٌ و ليس بقرآن، و لو كانقرآنا لكان مقرونا به و موصولا إليه غير مفصولٍ عنه….
“Keyakinan kami bahwa Al Qur’an yang diturunkan Allah kepada nabi-Ny; Muhammad saw. adalah apa yang termuat di antara dua sampul (mush-haf), yaitu yang sekarang beredar di kalangan manusia. Tidak lebih dari itu. Jumlah surahnya adalah 114 surah. Dan menurut kami surah Wa adh Dhuhâ dan Alam Nasyrah dihitung satu surah dan surah Li ilâfi dan Alam Tara Kaifa dihitung satu surah. Dan barang siapa menisbahkan kepada kami bahwa kami meyakini bahwa Al Qur’an lebih dari itu maka ia adalah pembohong! …
Sesungguhnya telah turun wahyu selain Al Qur’an yang jika dikumpulkan bersama Al Qur’an jumlahnya mencapai sekitar 17 ribu ayat. Yaitu seperti ucapan Jibril as. kepada Nabi saw., “Sesungguhnya Allah berfirman kepadamu, ‘Hai Muhammad bergaullah dengan baik kepada hamba-hamba-Ku.’. “Hiduplah sesukamu, kerena engkau pasti akan mati. Cintailah apa yang engkau mau, karena engkau pasti berpisah dengannya. Berbuatlah sekehendakmu karena engkau pasti akan berjumpa dengannya!” Kemuliaan seorang Mukmin adalah shalatnya di waktu malam”…
Dan yang seperti ini banyak sekali. Semuanya adalah wahyu selain Al Qur’an. Andai ia bagian dari Al Qur’an pastilah digandengkan dengannya, bersambung dan tidak terpisah darinya… “. (al I’tiqâdât:93, dicetak dipinggir kitab al Bâb al Hâdi ‘Asyar)
Dengan penafsiran seperti itu para ulama Syi’ah memahami riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa ayat/kalimat ini atau itu demikian diturunkan, maksudnya bahwa ia diturunkan bukan sebagai bagian dari ayat Al Qur’an, seperti akan dijelaskan nanti, insyâ Allah.
Para penulis Wahabi, demikian juga mereka yang terinfeksi “Virus Wahhabisme” seperti adik-adik Tim Penulis Sidogiri yang begitu bersemangat menyerang Syi’ah, boleh jadi tidak sependapat dengan tafsiran ulama dan pembesar Syi’ah di atas. Akan tetapi, yang pasti mereka telah menyaksikan bagaimana ulama Syi’ah tidak berhujjah dengan hadis di atas sebagai bukti adanya tahrîr Al Qur’an!! Lalu apa alasannya mereka memaksakan tuduhan tahrîf melalui riwayat di atas?!
v Riwayat Yang Serupa Ada Di Kitab-kitab Ahlusunnah, Lalu Apa Komentar Mereka?
Menurut Umar ibn al Khaththab Al Qur’an Telah Hilang Dua Pertiganya!
Dalam kitab tafsir ad Durr al Mantsur-nya, Jalaluddin as Suyuthi menyebutkan riwayat Ibnu Mardawaih dari Umar ibn al Khaththab, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
القرْآنُ أَلْفُ أَلْفِ حَرْفٍ وَ سَبْعَةٌ و عِشْرُونَ ألفِ حَرْفٍ، فَمَنْ قَرَأَهُ مُحْتَسِبًا فَلَهُ بِكُلِّ حرفٍ زَوْجَةٌ مِنَ الْحُوْرِ العِينِْ.
“Al Qur’an itu adalah terdiri dari sejuta dua puluh tujuh ribu huruf, barang siapa membacanya dengan niat mengharap pahala maka baginya untuk setiap hurufnya seorang istri dari bidadari.” [1]
Dalam kitab Al Itqân-nya ia kembali menyebutkan riwayat di atas dalam pasal, Naw’ (macam) ke 19: Bilangan surah, ayat, kata-kata dan hurufnya dari riwayat ath Thabarâni, dan setelahnya ia mengomentari dengan mengatakan, “Hadis ini, seluruh perawinya terpercaya, kecuali guru ath Thabarâni; Muhammad ibn Ubaid ibn Adam ibn Abi Iyâs. Adz Dzahabi mempermasalahkannya karena riwayat hadis di atas.”[2] Artinya pada dasarnya ia juga jujur terpercaya, hanya saja dicacat karena ia meriwayatkan hadis di atas. As Sututhi sendiri menerima keshahihan dan kemu’tabaran hadis di atas, terbukti ia mengatakan, “Dan di antara hadis-hadis yang mengi’tibarkan masalah huruf-huruf Al Qur’an adalah apa yang di riwayatkan at Turmudzi (lalu ia menyebutkannya) dan apa yang diriwayatkan ath Thabarâni… .” yaitu hadis di atas.
Hadis riwayat Umar di atas telah diterima para ulama Ahlusunnah, bahkan ada yang menyebutnya ketika menghitung jumlah huruf-huruf Al Qur’an seperti yang dilakukan Doktor Muhammad Salim Muhaisin dalam kitabnya Rihâbul Qur’an al Karîm:132.
Dari riwayat di atas terlihat jelas bahwa Al Qur’an yang beredar di tengah-tengah umat Islam hingga sekarang hanya sekitar sepertiga dari Al Qur’an yang telah diterima oleh Nabi Muhammad saw.! Itu artinya dua pertiga darinya telah musnah!
Az Zarkasyi dalam kitab al Burhân-nya[3] menyebut beberapa hasil penghitungan para pakar Al Qur’an tentang bilangan huruf Al Qur’an, seperti di bawah ini:
1. Dalam penghitungan Abu Bakar Ahmad bin Hasan bin Mihrân: 323015 huruf.
2. Dalam penghitungan Mujahid:321000 huruf.
3. Dalam Penghitungan para ulama atas perintah Hajjaj bin Yusuf:340740 huruf.
Inilah pendapat-pendapat yang disebutkan az Zarkasyi, sengaja saya sebutkan dengan beragam perbedaannya, agar dapat dilihat langsung bahwa jumlah tertinggi yang disebutkan di atas tidak melebihi tiga ratus empat puluh satu ribu huruf. Itu artinya jumlah ayat Al Qur’an yang hilang sebanyak lebih dari 686260 huruf.
As Suyuthi mengakui bahwa Al Qur’an yang ada sekarang kurang dari jumlah itu, yaitu yang pernah diterima Nabi saw. ….
Sepertinya Umar hendak memperkuat apa yang ia riwayatkan dalam hadis di atas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Umar memerintah agar umat Islam berkumpul, setelah berkumpul ia berpidato, setelah memuji Allah, ia berkata:
أَيُّها الناس! لا يَجْزِعَن مِنْ آيَةِ الرَجْمِ، فَإِنَها أيَةٌ نزلَتْ في كتابِ اللهِ و قَرَأْناها، و لَكِنَّها ذَهَبَتْ في قُرْآنٍ كَثِيْرٍ ذهَبَ معَ محَمَّدٍ.
“Hai sekalian manusia! Jangan ada orang yang sedih atas ayat Rajam. Sesungguhnya ia adalah ayat yang diturunkan dalam Kitab Allah, kami semua membacanya, akan tetapi ia hilang bersama banyak ayat Al Qur’an yang hilang bersama (kematian) Muhammad.”[4]
Jadi menurut Umar bahwa banyak ayat Al Qur’an yang hilang bersama kematian Muhammad (!) dan tidak seorang pun dari pengikutnya yang sempat menghafalnya!
Karenanya sahabat Ibnu Umar seperti dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya, melarang kita mengklaim bahwa kita dapat merangkum seluruh ayat Al Qur’an! Sebab, menurutnya telah banyak yang hilang!
Lalu, jika ada orang yang menuduh Ahlusunnah mayakini telah terjadinya tahrîf Al Qur’an berdasarkan hadis di atas, salahkah dia?
Apa jawaban ulama Wahhabi dan sebagian Ahlusunnah yang terinfeksi “Virus Wahhabisme” yang bisanya hanya “mengorek-ngorek” riwayat-riwayat Syi’ah dengan tanpa pemahaman yang utuh atasnya?
Mengapa mereka menutup-nutupi “borok” dalam kitab-kitab mu’tabarah dan riwayat-riwayat shahihah mereka yang tegas-tegas menunjukkan adanya tahrîf Al Qur’an, dan hanya pandai membodohi kaum awam dengan menyitir, memelintir hadis-hadis dan keterangan ulama Syi’ah?
Sampai kapankah penulis-penulis bayaran Wahhabi dan santri serta Kyai Ahlusunnah yang terinfeksi “Virus Wahhabisme” menjalankan Proyek Pemecah-belahan Umat Islam dengan kepalsuan?!
Mengapakah merekaa tidak pernah jujur dan bersikp obyektif dalam mendiskusikan dan atau membicarakan ajaran Syi’ah?!
Apakah “Kejujuran dan Obyektifits” telah terhapus dari kamus Etika Islami mereka?
Setau saya yang bermental seperti itu hanya kaum Wahhabisme, bukan saudara-saudara kami Ahlusunnah! Lalu mengapakah sekarang mental licik dan sikap picik itu menjangkiti sebagian santri-santri, para Kyai dan “Setengan Kyai” dari saudara-saudara kita dari Ahlusunnah?!
Ya, kami berharap Tim Sidogiri mampu memberikan jawaban ilmiah atasnya, kami yakin Sidogiri dengan tradisi keilmuan yang telah diwarisinya sejak lama akan mampu memberikn jawaban memuskan itu…. Kami akan menantinya dan kami siap mendiskusikannya di sini, insyâ Allah!
[1] Ad Durr al Mantsur,6/422.[2]Al Itqân,2/93, cet. Al Halabi-Mesir.
[3] Al Burhân Fî ‘Ulûmil Qur’ân,1/314-315. cet. Dâr al Kotob al Ilmiah. Lebanon. Thn.1988.
[4] Mushannaf; ash Shan’âni,7/345, hadis no.13329
—————————————————————————————————-
Dua Lagi Kesalahan Metodologi Tim Sidogiri Dalam meneliti akidah Syi’ah tentang Al Qur’an al Karîm, Tim Penulis Sidogiri terjatuh dalam dua kesalahan manhaji/metodologi yang fatal, yang karenanya, penelitiannya jauh dari kesimpulan ilmiah yang bertanggung jawab! Atau jangan-jangan mereka sengaja menempuh jalan itu, agar dapat sampai kepada kesimpulan yang telah dibangun sebelumnya!!
Kesalahan pertama, ketika mereka membangun sebuah asumsi adanya Syi’ah klasik dan Syi’ah kontenporer. Kesalahan kedua, mereka memaksakan bahwa apapun yang termaktub dalam kitab-kitab hadis Syi’ah, khususnya al Kâfi, Man Lâ Yahdhuruhu al Faqîh, al Istibshâr dan at Tahdzîb adalah harus diakui Syi’ah sebagai akidah mereka!
Antara Syi’ah Kontemporer dan Syi’ah Klasik
Setelah membangun asumsi di atas, Tim Penulis Sidogiri, menyimpulkan bahwa adalah naïf untuk menolak kenyataan bahwa Syi’ah memang meyakini bahwa yang dibaca umat Islam hari ini bukanlah Al Qur’an yang sebenarnya, karena terdapat banyak pembuangan dan distorsi. Maka upaya yang dilakukan oleh Syi’ah kontemporer dengan menolak keyakinan adanya tahrîf, seperti Syeikh Muhammad Husain al-Kâsyif al-Ghithâ’ (1876H-1954H) atau Muhammad Husain ath Thabathaba’i (penulis tafsir al-Mizân) masih terlalu jauh untuk dikatakan dapat menentang suara Syi’ah mayoritas (Ijmâ’ ulama Syiah).
Dengan menyebut dua sampai tiga saja dari pernyataan ulama Syiah kontemporer, lalu menyimpulkaan bahwa Syi’ah tidak berpendapat dan tidak pula meyakini adanya tahrîf dalam al-Qur’an, sebetulnya merupakan pengkaburan dan cacat secara ilmah. Suara minoritas dan berstatus sebagai pengikut atau muqallid (Syiah kontemporer) tidak akan dapat mewakili apalagi mengganti suara mayoritas dan pendahulu yang diikuti (Syiah klasik dan para pengikutnya yang mayoritas)… (Baca: Mungkinkah SUNNAH- SYIAH DALAM UKHUWAH?:306)
Ibnu Jakfari berkata:
Pada uraian di atas terdapat banyak cela dan cacat ilmiah, di antaranya:
A) Anggapan adanya ijmâ’ Syi’ah akan terjadinya tahrîf dalam Al Qur’an!
Dimanakah kami dapat menemukan penegasan adanya ijmâ’ yang dikatakan itu?
Apakah Tim Penulis Sidogiri tidak pernah membaca pernyataan dan penegasan ulama dan tokoh terkemuka Syi’ah sejak zaman Syeikh Shadûq -Rahmatullah ‘Alaih- (W.381H) hingga zaman sekarang yang ditegaskan oleh tidak kurang dari lima puluh ulama besar dan para mujtahidin Syi’ah dalam berbagai buku karangan mereka baik dalam tafsir, hadis, ushul fikih, fikih dll.?! Semogaa kami tidak salah ketika mengatakan bahwa Perpus Sidogirri terlalu miskin dari kitab-kitab Syi’ah…. Terbukti Tim Penulis hanya bertumpu pada tulisan-tulisan kaum Wahhabi dalam hujatannya atas Syi’ah!
Kami harap Tim Penulis mau membaca (tentunya kalau mereka memiliki kitab-kitab tersebut di bawah ini atau memiliki keberanian intelektual, asy syajâ’ah al ilmiyah untuk membacanya) kitab-kitab di bawah ini:
1) I’tiqâdât: ash Shadûq (W.381H)
2) AWâil al Maqâlâl Fî al Madzâhib al Mukhtârât: Syeikh Mufid (W.413H)
3) Al Masâil ath Tharablusiyah; Sayyid Murtadha yang bergelar ‘Alamul Huda (W.436H)
4) At Tibyân Fi Tafsîr Al Qur’an; Syeikh ath Thûsi yang bergelar Syeikh ath Thâifah (W.460H).
5) Tafsir Majma’ al Bayân: Ath Thabarsi yang bergelar Aminul Islam (W.548H).
6) Sa’du as Su’ûd; Sayyid Abul Qasim Ali Ibu Thâwûs al Hilli (W.664H).
7) Ajwibah al Masâil al Mihnâwiyah; Allamah al Hilli (W.726H).
8] Ash Shirâth al Mustaqîm; Zainuddin al Bayadhi al Amili (W.877H).
9) Tafsir Manhaj ash Shâdiqîn; Syeikh Fathullah al Kâsyâni (W. 988H).
10) Al Wâfi; al Faidh al Kâsyâni (W.1019H).
11) Bihar al Anwâr, jilid 92; Syeikh Muhammad Baqir Al Majlisi (W.1111H).
12) Kasyfu al Ghithâ’; Syeikh Akbar Ja’far yang dikenal dengan gelar Kâsyif al Ghithâ’ (W.1228H).
13) Tafsir ‘Âlâu ar Rahmân; Syeikh Muhammad Jawad al Balâghi (W.1352H).
14) A’yân asy Syi’ah; Sayyid al Mujtahid al Akbar Muhsin al Amin al ‘Âmili (W.1371H)
15) Al Fushûl al Muhimmah Fi Ta’lîf al Ummah dan Ajwibah Masâil Jârullah; Sayyid al Imam Syarafuddin al Musawi (W.1381H).
16) Al Bayân Fî Tafsîr Al Qur’ân; Sayyid al Marja’ al A’la Abul Qâsim al Khûi.
17) Tahdzîb al Ushul dan Anwâr al Hidâyah; Imam Rûhullah al Musawi al Khumaini (W.1409 H).
Serta puluhan kibat lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan di sini. Kami benar-benar berharap adik-adik Tim Penulis Sidogiri mau membacanya agar mngetahui dengan pasti bahwa ijmâ’ mauhûm, ijmâ’ yang dikhayalkan itu ternyata sebuah kepalsuan belaka yang sengaja dilontarkan oleh para penulis Wahhabi al ma’jûrûnn!
Jadi benar, berdasar kaidah yang kalian bangun sendiri di atas bahwa dengan menyebut dua sampai tiga pernyataan ulama belum cukup untuk menarik sebuah kesimpulan!
Kesalahan Metodologi Kedua:
Kesalahan fatal lainnya yang dialami Tim Penulis Sidogiri adalah mereka memaksakan bahwa apapun yang termaktub dalam kitab-kitab hadis Syi’ah, utamanya empat kitab hadis dan wabil khushush kitab al Kâfi harus diakui sebagai akidah Syi’ah!
Dalam banyak kali, para penulis “Kontra Syi’ah” berusaha membangun opini bahwa kedudukan kitab al Kâfi di kalangan Syi’ah seperti kitab Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah! Opini itu sengaja dibangun untuk konsumsi awam agar kemudian dapat diprovokasi dengan provokasi murahan.
Secara ringkas ingin saya katakan bahwa pandangan Syi’ah terhadap kitab Al Kâfi adalah kebalikan pandangan Ahlusunnah terhadap Shahih Bukhari. Di mana mayoritas ulama Syi’ah (kecuali sekelompok kecil yang dinekal dengan nama kelompok Akhbaiyah) memandang bahwa kitab al Kâfi seperti kitab hadis lainnya, tidak semua hadisnya dihukumi shahih. Sementara itu, Shahih Bukhari, di mata jumhûr, mayoritas ulama Ahlusunnah adalah shahih seluruh hadis yang dimuat di dalamnya. Jadi menyebut-nyebut bahwa seluruh hadis dalam al Kâfi itu shahih di mata ulama Syi’ah, seluruh ulama Syi’ah adalah sebuah kesalahan, kalau bukan kesengajaan untuk mengelabui kaum awam, yang biasanya menjadi mangsa buku-buku kontra Wahdah Islamiah”!! Apalagi memaksa Syi’ah untuk mayakini seluruh hadis di dalamnya! terlebih lagi dengan pemahaman mereka di luar Syi’ah!!
Taqiyyah Senjata Pamungkas!
Para ulama Syi’ah ketika menegaskan keterjagaan Al Qur’an al Kârim berangkat dari iman dan keyakinan mereka yang mendalam akan janji Allah SWT bahwa kitab suci terakhir-Nya akan selalu Ia jaga dan pelihara! Tidak ada kekuatan apapun yang mampu merubah Al Qur’an!
Tetapi para penulis Wahhabi, dan tentunya juga Tim Penulis Sidogiri yang telah terpengaruh berat dengan propaganda Wahabisme mengatakan dan terus mengatakan bahwa ulama Syi’ah yang menolak adanya tahrîf Al Qur’an hanya bertaqiyyah!
Subhanallah! Sungguh naïf cara perpikir mereka! Akankah ulama Syi’ah bertaqiyyah dalam masalah ini, jika memang benar para imam suci mereka menegaskannya?!
Bukankan banyak masalah khilafiyah serius yang terjadi antara Syi’ah dan Ahlusunnah, seperti masalah imamah, raj’ah dll. Dalam kesemua masalah di atas, para ulama Syi’ah tidak bertameng dengan taqqiyyah agar tidak berbenturan dengan pandangan Ahlusunnah!! Ketika memang terbukti para imam suci Ahlulbait as. mengajarkan sebuah prinsip agama, maka para ulama Syi’ah tidak pernah ragu-ragu untuk menegaskannya. Betapa pun resiko yang mereka hadapi! Namun karena dalam masalah ini, para ulama meyakini keterjagaan Al Qur’an berdasarkan sabda-sabda para imam suci Ahlulbait as. Maka mereka mengatakannya…. Dan terus membelanya di hadapan siapapun yang menyalahinya!
Kedangkalan Dalam Berarugumentasi
Hal lain yang harus dibenahi oleh Tim Penulis Sidogiri adalah penggunaan standar ganda dalam menilai dan membaca sebuah teks!
Mereka membawakan beberapa riwayat dari Al Kâfi yang mereka pastikan sebagai bukti adanya penambahan-penambahan dalam Al Qur’an Syi’ah dengan satu alasan “lugu” bahwa tambahan-tambahan itu bukan sebagai penafsiran, sebab setiap ada tambahan untuk suatu ayat, dalam riwayat hadistnya selalu dibubuhi penegasan dengan “hâkadza nazala” (demikianlah ayat tersebut diturunkan).” (Baca: Mungkinkah SUNNAH- SYIAH DALAM UKHUWAH?:307).
Dan kesebelas contoh yang mereka bawakan itu hanya akan memambah daftar panjang ketidak-jujuran mereka dalam meneliti dan juga membuktikan kedangkalan pamahaman dan penguasaan mereka terhadap kitab-kitab Ahlusunnah sendiri apalagi kitab-kitab Syi’ah, yang tentunya relatif lebih asing di alam pikiran para “Konsumen Setia Kitab-kitab Kuning”!
Mafhûm Tanzîl
Untuk kesempurnaan penelitian dan demi mengusir ketidak-tahuan akan rahasia-rahasia sabda-sabda para imam suci Ahlulbait as. yang sangat asing bagi sebagian saudara-saudara kita; Ahlusunnah (terbukti dengan kesalah-pahaman yang dialami Tim Penulis), maka saya perlu mengajak pembaca mengkaji walau barang sekilas tentang konsep tanzîl dalam sabda-sabda para imam suci as. sebegaimana dipahami dan diyakini para ulama Syi’ah (para pengikut setia mereka as.), bukan berdasar pemahaman yang dipaksakan oleh musuh-musuh atau orang-orang di luar Syi’ah.
Kata tanzîl adalah bentuk mashdar mazîd fîhi. Ia berasal dari kata mashdar nuzûl. Kata tersebut terkadang digunakan untuk menunjukkan makna turun secara mutlak; tidak terbatas hanya pada apa yang dipahami sebagian orang sekarang ini, bahwa nuzûl dan tanzîl selalu identik dengan penurunan Al Qur’an.
Pengertian di atas telah dibuktikan oleh berbagai riwayat, khususnya dari Ahlulbait as. Maka atas dasar itu, ungkapan yang ditemukan dalam banyak hadis hâkadza tanziluha, atau hâkadza nazala maksudnya adalah demikianlah sebenarnya tafsir, makna dan kandungannya yang diturunkan Allah SWT atas nabi-Nya. Baik makna dan tafsir itu berupa ayat Al Qur’an atau bukan! Sebab menafsirkn Al Qur’an adalah tanggung jawab Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ * إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ * فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ .
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat- cepat (menguasai)nya.* Sesungguhnya atas tanggungan Kami- lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.* Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.* Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (QS. Al Qiyâmah[75];16-19)
Jadi dalam ayat di atas ditegaskan bahwa “Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” dan itu tentunya ditanzîlkan juga! Maka dengan demikian tanzîl itu tidak terbatas dengan teks ayat Al Qur’an semata, tetapi tafsir dan bayân Al Qur’an itu juga ditanzîlkan.
Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa semua tafsir ayat Al Qur’an yang disabdakan Nabi saw. adalah dari Allah SWT yang telah ditanzîlkan kepada beliau.
Komentar Para Ulama dan Tokoh Syi’ah Tentang Tanzîl
Demikianlah para ulama Syi’ah memahaminya dan demikianlah mereka meyakininya. Dan di bawah ini mari kita simak keterangan mereka.
1) Syeikh Shadûq
إنَّهُ قد نزلَ من الوحيِ الذي ليس من القرآن ما لو جُمِع إلى القرآن لكان مبلَغُهُ مِقْدار سبع عشرة ألف آية، و ذلك قول جبريل (ع) للنبي (صلى الله عليه و آله و سلم): إن الله تعالى يقول لك: يا محمد دارِ خلقِي. و مثل قوله: عشْ ما شئتَ فَإِنَّكَِ مَيِّتٌ و أحْبِبْ ما شئتَ فَإِنَّكَِ مفارقُه و اعمل ما شئتَ فَإِنَّكَِ ملآقيه. و شرفُ المؤمن صلاته بالليل….
و مثل هذا كثير، كله وحيٌ و ليس بقرآن، و لو كانقرآنا لكان مقرونا به و موصولا إليه غير مفصولٍ عنه….
“Sesungguhnya telah turun wahyu selain Al Qur’an yang jika dikumpulkan bersama Al Qur’an jumlahnya mencapai sekitar 17 ribu ayat. Yaitu seperti ucapan Jibril as. kepada Nabi saw., “Sesungguhnya Allah berfirman kepadamu, ‘Hai Muhammad bergaullah dengan baik kepada hamba-hamba-Ku.’. “Hiduplah sesukamu, kerena engkau pasti akan mati. Cintailah apa yang engkau mau, karena engkau pasti berpisah dengannya. Berbuatlah sekehendakmu karena engkau pasti akan berjumpa dengannya!” Kemuliaan seorang Mukmin adalah shalatnya di waktu malam”…
Dan yang seperti ini banyak sekali. Semuanya adalah wahyu selain Al Qur’an. Andai ia bagian dari Al Qur’an pastilah digandengkan dengannya, bersambung dan tidak terpisah darinya… “. (al I’tiqâdât:93, dicetak dipinggir kitab al Bâb al Hâdi ‘Asyar)
2) Syeikh Mufid
وَ قَدْ قال جماعَةٌ مِنْ أهل الإمامة: إنَّه لم ينقص من كلمة، ولا آية ، ولا سورة، و لكن حُذِفَ ما كان مثبَتًا في مصحف أمير المؤمنين (عليه السلام) من تَأويليه، و تفسير معانيه على حقيقة تنزيله، و ذلك كان ثابتًا مُنَزَّلاً و إنْ لِمْ يكن من جملةِ كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجِز. و عندي أنَّ هذا أشبهُ من مقال من ادَّعى نُقْصان كلِمٍ من نفسِ القرآن على الحقيقة دون التأويل. ’ إليه أميلٌ، و الله أسأل توفيقه للصواب.
“Telah berkata sekelompok Ahli imamah (Syi’ah): bahwa Al Qur’an tidak berkurang walaupun hanya satu kata, atau satu ayat atau satu surah, akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang tetap dalam mush-haf Amirul Mukminin (Ali) as. berupa ta’wîl dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat tanzîlnya. Yang demikian (ta’wîl dan tafsir) adalah tetap, terbukti telah diturunkan (Allah) walaupun ini bukan dari bagian firman Allah sebagai Al Qur’an yang mu’jiz (mu’jizat). Dan menurut saya pendapat ini lebih tepat dari pada pendapat orang yang menganggap adanya pengurangan beberapa firman dari Al Qur’an itu sendiri bukan ta’wîl nya. Dan saya cenderung kepada pendapat ini. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (‘Awâil al Maqâlât fî al Madzâhib al Mukhtârât: 55-56.).
3) Maula Shâleh al Mâzandarâni
قوله: “كذا أُنزلت” لاَ يَدُلُّ هذا على أنَّ ما ذكره عليه السلام قُرآنٌ، لأَنّ ما أنزل إليه عليه السلام عند الوحي يجوز أن يكون بعضهُ قرآنًا و بعضهُ تَأويلاً و تفسيرًا.
“Sabda Imam: ‘demikianlah ia diturunkan’ tidak menunjukkan bahwa apa yang beliau sebut adalah teks Al Qur’an, sebab apa yang diturunkan kepada beliua ketika menerima wahyu, sebagiannya adalah Al Qur’an sementara sebagian lainnya adalah ta’wil dan tafsir.”
Dalam kesempataan lain beliau berkata:
قوله: “هكذا و الله نزل به جبريل على محمد (صلى الله عليه و آله و سلم)” لاَ يَدُلُّ على أنَّ قوله: (بِولايةِ علِيٍّ) من القرآن، لما عرفت سابِقًا.
“Sabda Imam ‘Demi Allah, demikianlah Jibril turun membawanya kepada Muhammad saw.’ tidak menunjukkan bahwa kalimat “dengan wilayah Ali” adalah bagian dari Al Qur’an, berdasarkan apa yang telah Anda ketahui sebelumnya.”
Dalam kesempatan lain lagi beliau berkata:
قوله عليه السلام: (قلتُ: هذا تنزيلٌ؟ قال: نعم.) لعل هذا إشارة إلى ما ذكره في تفسير قوله تعالى: {ليُظْهِرَه على الدين كُلِّهِ}. و قد عرفت مِما نقلنا عن صاحب الطرائف أنَّ المراد بالتنزيل :ما جاء به جبريل (ع) لِتبْليغ الوحي، و أنَّه أَعَمُّ من أن يكون قرآنا و جزءً و أن لا يكون. فكل قرآنٍ تنويلٌ دون العكس.
“Adapun sabda beliau, ‘Aku –perawi- berkata, ‘Apakah ini tanîlnya?’ beliau as. menjawab, Ya, benar.’ Bisa jadi isyarat kepada apa yang disebutkan dalam tafsir ayat “Untuk Ia menagkan di atas seluruh agama”. Dan telah Anda ketahui dari apa yang telah kami nukil sebelumnya dari penulis kitab ath Tharâif bahwa yang dimaksud dengan tanzîl adalah apa-apa yang dibawa Jibril as. kepada Nabi untuk menyampaikan wahyu. Ia lebih umum (pengertiannya) dari sebagai bagian dari Al Qur’an atau bukan. Maka setiap Al Qur’an pasti tanzîl tidak sebaliknya…. “[1]
4) Maula Muhsin Al Faidh al Kâsyâni:
Ketika menerangkan riwayat al Bizanthi di bawah ini:
“Abul Hasan menyerahkan sebuah mush-haf kepadaku, lalu beliau berkata, ‘Jangan engkau menyaksikan isi di dalamnya!’ kemudian aku membukanya dan aku membaca di dalamnya ayat:
لَمْ يَكُنِ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ وَ الْمُشْرِكينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ .
“Orang- orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa mereka (tidak akan meninggalkan) agamanya (sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al bayyinah [98];1)
di dalamnya aku menemukan nama tujuh puluh orang dari suku Quraisy lengkap dengan nama dan nama-nama ayah mereka.
Kemudian Imam mengutus seseorang menemuiku dan memintai agar muhs-haf itu aku kembalikan.
Al Faidh al Kâsyâni mengatakan:
لعلَّ المراد أنَّه وجد تلك الآسماء مكتوبة في ذلك المصحف تفسيرأ ل”الذين كفروا و المشركين” مأخوذةٌ من الوحي، لا أنها كانت من أجزاء القرآن و عليه يُحمل ما في الخبرين السابقين أيضا من إستماع الحروف من القرآن على خلاف ما يقرأه الناس، يعني إستماع حروفٍ نُفَسِّرألفاظ القرآن و تبين المراد منهاعُلِمَتْ بالوحي، و كذلك كُلّث ما ورد من هذا القبيل عنهم (عليهم السلام)، و قد مضى في كتاب الحجة نُبَذٌ منه، فَإِنَّه محمولٌ على ما قلناه، لأنَّه لو تطرق التحريف و التغيير في ألفاظ القرآن لم يبْقَ لنا إعتماد على شيئٍ منه، إذْ على هذا يحتمل كل آيةٍ منه أن تكون محرَّفَةً و مغيَّرةً، و تكون على خلاف ما أنزلَه اللهُ، فلا يكون القرآن حجَّةً لنا، و تنتفي فائِدته وفائِدة الأمر بإتباعه و الوصية به و عرض الأخبار المتعارضة عليه….
“Mungkin yang dimaksud dengannya ialah ia mendapatkan nama-nama itu tertulis dalam mush-haf sebagai tafsir dari kata “Orang- orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik” yang diambil dari wahyu, bukan bagian dari teks Al Qur’an. Dan dengan pengertian seperti itu dua riwayat sebelumnya yang menyebutkan adanya huruf-huruf/qira’ah yang berbeda dengan yang berlaku di kalangan banyak orang, maksudnya membaca tafsiran teks Al Qur’an dan menejlaskan maksud darinya yang diambil dari wahyu. Demikian pula dengan semua riwayat dari para imam as. yang sejenis dengan ini, dan sebagiannya telah lewat pada Kitabul Hujjah, riwayat-riwayat itu semuanya harus dimaknai seperti yang saya sebutkan, sebab apabila teks-teks Al Qur’an mengalami tahrîf dan perubahan niscaya kita tidak dapat lagi bersandar kepada satu ayat pun darinya, karena dengan demikian setiap ayat dimungkinkan mengalami tahrîf dan perubahan dan berdasarkan demikian ia berbeda dengan yang diturunkan Allah, maka ia tidak lagi menjadi hujjah bagi kita, hilanglah manfaatnya dan manfaat perintah untuk mengikutinya, berpegang dengannya dan perintah untuk menyodorkan riwayat-riwayat yang saling bertentangan kepadanya.”[2]
Setelahnya beliau menyebutkan komentar Syeikh ash Shudûq dan beberapa hadis tentang keterjagaan Al Qur’an.
Dalam kitab al Mahajjah al Baidhâ Fi Tahdzîb al Ihyâ’, beliau kembali menegaskan keyakinan tersebut.[3]
Namun yang sangat mengherankan adalah Tim Sidogiri memasukkan nama Al Faidh al Kâsyâni dalam nama-nama ulama Syi’ah yang meyakini tahrîf Al Qur’an! Adakah kebohongan yang lebih nyata dari ini?! Demikian juga dengan nama-nama lain yang mereka sebutkan!
Allah SWT berfirman:
وَ مَنْ يَكْسِبْ خَطيئَةً أَوْ إِثْماً ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَريئاً فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتاناً وَ إِثْماً مُبيناً.
“Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. An Nisâ’ [4];112)
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْواهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلاَّ كَذِباً.
“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.(QS. Al Kahfi [18]; 5 )
وَيْلٌ لِكُلِّ أَفَّاكٍ أَثيمٍ .
“Kecelakaan yang besarlah bagi tiap- tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa.” (QS. Al Jâtsiah [45];7(
5) Syeikh al Mudzaffar
Ketika menerangkan hadis riwayat al Bizanthi di atas, Syeikh al Mudzaffar juga menerangkan keterangan yang sama dengan yang disampaikan al Faidh al Kâsyâni. Baca asy Syâfi Fî Syarhi Ushûl al Kâfi,7/223-224, syarah hadis no.3585.
6) Al Imam as Sayyid Abu al Qâsim al Khûi
Dalam tafsir al Bayân-nya, al Marja’ al A’la Sayyid Abu al Qâsim al Khûi menandaskan:
أنَّا قد أوضَحْنا فيما تقدم أن بعض التنزيل كان من قبيل التفسير للقرآن و ليس من القرآن نفسه، فلابد من حمل هذه الروايات على أن ذكر أسماء الأئمة (عليهم السلام) في التنزيل من هذا القبيل، و إذا لم يتمَّ هذا الحمل فلابد من طرح هذه الروايات لِمخالفتها للكتاب و السنة و الأدلة المتقدمة على نفي التحريف. و قد دلَّت الأخبار المتواترة على وجوب عرََض الروايات على الكتاب و السنة، و أن ما خالف الكتابَ منها يجب طرحه و ضربه على الجدار.
“Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa sebagian tanzîl itu berupa tafsir untuk Al Qur’an, dan ia bukan bagian dari Al Qur’an. Maka adalah kewajiban untuk memaknai riwayat-riwayat yang menyebut nama-nama para imam as. dalam tanzîl bahwa maksudnya adalah dari bagian ini (tanzîl). Dan apabila ia tidak bisa dimaknai demikian maka adalah kewajiban untuk membuang (menolak) riwayat-riwayat itu sebab ia bertentangan dengan Al Qur’an dan as Sunnah serta berbagai bukti tidak adanya tahrîf yang telah lewat disebutkan. Dan berbagai riwayat yang mutawatir telah menunjukkan keharusan menyorodorkan riwayat-riwayat kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan yaang bertentangan dengan keduanya harus dibuang.”[4]
7) Muhammad Husain Thabathaba’i.
Keterangan yang sama juga ditegaskan oleh al Mufassir al Kabîr wa al Mujtaahid al Jalîl Sayyid Muhammad Husain ath Thabathabai al Hasani (RH) dalam tafsir mulia beliau al Mîzân[5]. Saya berharap Tim Penulis Sidogiri mau meluangkan waktu mereka untuk membacanya langsung agar tidak mudah terprovokasi oleh bisikan waswâsil Khannâs dari penulis-penulis Wahhabi Arab!!
Bukti Tambahan
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri ialah bahwa ayat-ayat dengaqn tambahan kata tertentu seperti: بولاية علي atau آل محمد dan semisalnya yang datang dalam riwayat-riwayat yang memuat sabda para imam itu, ternyata telah dikutip para ulama dan ahli hadis Syi’ah, khususnya al Kulaini dalam al Kâfinya dengan tanpa adaanya tambahan tersebut, hal mana menguatkan pemaknaan bahwa ketika menyebut dengan tambahan itu para imam as. sedang membacanya dengan membumbuinya dengan tafsir yang diambilnya dari wahyu melalui Rasulullah saw.! Kenyataan ini tidaklah asing bagi Anda yang rajin membuka langsung kitab-kitab Syi’ah, dan bukan bagi Anda yang hanya kenyang dengan tulisan-tulisan beracun kaum penghasut yang hanya bermaksud menabur benih-benih perpecahan di antara umat Islam.
Dalam kesempatan ini saya hanyaa akan menyebut satu bukti saja demi ringkasnya kajian.
Diriwayatkan dari Imam Muhammad al Baqir as. beliau bersabda:
نزل جبريل (ع) بهذه الآية: {و قل الحق من ربكم} في ولاية علِيٍّ {فمن شاء فليُؤمن و من شاء فليَكْفر}.
Jibril as. datang dengan membawa ayat ini demikian: Katakan kebenaran telah datang dari Tuhanmu tentang wilayah/kepempinan Ali, maka baraang siapa mau hendaknya ia beriman dn barang siiapa yang mau hendaknya ia ingkar/kafir.” (HR. al Kâfi,1/425 hadis no.63)
Dengan tambahan kalimat: في ولاية علِيٍّ . Dan status tambahan ini, apakah ia bagian dari teks Al Qur’an atau sebagai tafsir, akan jelas bagi kita dengan memperhatikan riwayat berikutnya dari Imam Ja’far as.:
“Ayat ini turun demikian:
{و قل الحق من ربكم} يعني: في ولاية علِيٍّ عليه السلام.
“Katakan kebenaran telah datang dari Tuhanmu”
Yakni tentang wilayah/kepempinan Ali as.[6]
Maka dengan menggabungkan antara dua riwayat di atas dapat dimengerti bahwa tambahan itu adalah tafsir yang dibawa langsung oleh Jibril as. Hal itu terbukti bahwa daalaam riwayat kedua digunakan kata: يعني.
Setelah ini, mari kita melihat langsung riwayat-riwayat yang dituduhkan Tim Penulis Sidogiri sebagai memuat Al Qur’an Syi’ah!
v Ayat Pertama:
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَ لا نَبِيٍّ ولا مُحَدَّثٍ ….
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, dan seorang muhaddats.”(QS. Al Hajj [22];52)
Dengan tambahan kata: ولا مُحَدَّث. Dalam keterangannya Tim menyebut demikianlah bunyi Al Qur’an Syi’ahٍ berdasarkan hadis Al Kâfi,1/176 hadis no.1.
Ibnu Jakfari berkata:
Saya tidak menyangka bahwa kejahilan Tim Sidogiri mencapai tingkat serendah ini… dengan tanpa rasa tanggung jawab menuduh Al Qur’an Syi’ah memuat tambahan teks di atas dengan satu alasan “lugu” bahwa demikianlah termaktub dalam kitab Al Kâfi!
Terlepas dari apa komentar ulama dan para mujtahid Syi’ah tentangnya…. Kami ingin bertanya kepada adik-adik para “Kyai Muda” yang dibanggakan Bapak Pengasuh Ponpes; Kyai Nawawi Abd’ Djalil dalam kata pengantarnya, “Apa tanggapan kalian jika riwayat serupa juga terdapat dalam kitab-kitab ulama Ahlusunnah? Apakah kalian akan mengatakan bahwa Al Qur’an Ahlusunnah demikian bunyi teksnya?! Bahwa Al Qur’an Ahlusunnah mengalami tahrîf/perubahan dengan ditambahkannya kata tersebut?!”
Saya tidak terlalu yakin, apabila Tim Penulis itu, yang tentunya dikontrol oleh Kyai-kyai sepuh dan sarjana-sarjana berbakat, tidak pernah menemukan dan membaca hadis riwayat Ahlusunnah yang memuat tambahan yang sama dengan yang disebutkan dalam riwayat Al Kâfi?!
Jika mereka tidak pernah membacanya, itu artinya, terhadap kitab-kitab warisan intelektual ulama Ahlusunnah sendiri mereka buta, lalu bagaimana mereka mampu “melek” memandang kitab-kitab Syi’ah?!
Saya pikir mungkin akan lebih baik kalian mendalami dahulu kitab-kitab ulama kalian baru setelahnya kalian boleh “membuang waktu berharga kalian” untuk mengotak-atik kitab-kitab Syi’ah. Sebab rasanya agak riskan jika rumah kalian terbuat dari kaca tipis yang rawan pecah, tetapi kalian berani-benari melempari rumah orang lain yang berdindingkan tembok tebal! Itu sekedar nasihat tulus dari saya. Semoga kalian tidak angkuh menerimanya!
Dan apabila kalian telah mengetahui keberadaan hadis serupa dalam kitab-kitab Ahlusunnah; ulama kalian, tetapi kalian sengaja mengelabui kaum awam yang menjadi sasaran buku kalian, maka itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَ الرَّسُولَ وَ تَخُونُوا أَماناتِكُمْ وَ أَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasulullah (Muhammad) da (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfâl [8]; 27)
Menerangkan kebenaran adalah kewajiban yang telah dibebankan Allah SWT di atas pundak-pundak para ulama. Dan Allah akan memintai pertanggungan-jawabnya kelak di hari akhir! Lalu apa jawaban yang kalian persiapkan untuk kelak menghadap Allah SWT di hari hisâb, di mana semua orang akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia katakan dan apa yang ia tulis!
Allah SWT berfiman:
وَ إِذْ أَخَذَ اللَّهُ ميثاقَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَ لا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَراءَ ظُهُورِهِمْ وَ اشْتَرَوْا بِهِ ثَمَناً قَليلاً فَبِئْسَ ما يَشْتَرُونَ .
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS. Âlu ‘Imrân [3];187)
وَ لاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَ مَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ.
”…Janganlah kalian menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka hatinya telah berdosa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”(QS. Al baqarah [2];283)
Mengapa harus bermain curang? Kecurangan tidak akan membawa kemenangan dan ia adalah tanda kelemahan dan ciri para penulis Wahhabi “Bayaran”, bukan ciri orang-orang Ahlusunnah…. karenanya berulang kali saya nasihatkan jangan kalian termakan provokasi kaum Wahhabi dan bermesraan dengan mereka, sebab akhlak buruk mereka akan menjangkit kepada kalian lalu kalian mulai berakhlak dengan akhlak mereka!
Allah SWT berfiman:
وَ لاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَ تَكْتُمُوا الْحَقَّ وَ أَنتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Dan janganlah kalian campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kalian tutupi kebenaran itu, sedangkan kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2];42)
Bukankah kalia membaca ancaman Allah SWT atas mereka yang merahasiakan dan memutar balikkan kebenaran!
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَ الْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلعَنُهُمُ اللهُ وَ يَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُوْنَ* إِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا وَ أَصْلَحُوْا وَ بَيَّنُوْا فَأُولَئِكَ أَتُوْبُ عَلَيْهِمْ وَ أَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan tanda-tanda (kebesaran Kami) yang jelas dan petunjuk apa yang telah Kami turunkan setelah Kami menjelaskannya kepada umat manusia dalam al-Kitab, mereka akan dilaknat oleh Allah dan para pelaknat,* kecuali mereka yang bertaubat, memperbaiki (kelakuan buruk mereka dengan perilaku baik), dan menjelaskan (kembali apa yang selama ini disembunyikan). Maka, Aku akan mengampuni mereka, dan Aku Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2];159-160)
Atau dalam hemat kalian bahwa larangan dan ancaman itu hanya berlaku untuk para pendeta Ahli Kitab; Yahudi dan Nashrani, tidak untuk kita umat Islam!
Atau kalian berangggapan bahwa ayat-ayat tersebut di atas telah dimansukhkan hukumnya!
Atau…. Atau…. Atau….
Coba kalian baca riwayat-riwayat yang diriwayatkan ulama kalian seputar ayat surah al Hajj di atas! Baca ad Durr al Mantsûr! Baca tafsir Fathu al Qadîr!
Jalaluddin as Suyuthi membuka tafsir ayat 52 surah al Hajj:
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَ لا نَبِيٍّ….
Dengan menyebutkan riwayat Abdu ibn Humaid dan Ibnu al Anbâri dalam kitab al Mashâhif dari ‘Amr ibn Dînâr, ia berkata, “Adalah Ibun Abbas ra. Membaca ayat itu demikian:
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَ لا نَبِيٍّ ولا مُحَدَّثٍ ….
Dengan tambahan kata ولا مُحَدَّثٍ!
Hadis lain juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hâtim dari Sa’ad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn ‘Auf, ia berkata:
“Sesungguhnya termasuk yang diturunkan Allah adalah:
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَ لا نَبِيٍّ ولا مُحَدَّثٍ ….
…. .“[7]
Dan apapun yang akan kalian jawabkan untuk kami tentangnya, maka itulah jawaban kami untuk kalian! Sawâan bisawâin!
(Bersambung)
[1] Syarah Ushûl al Kâfi,7/80 dan 82. cet. Ihyâ’ ath Thurats al ‘Arabi.[2] Al Wâfi,1/273-274.
[3] Al Mahajjah al Baidhâ Fi Tahdzîb al Ihyâ’,2/264. cet.Mathba’ah al A’lami.
[4] Al Bayân Fî Tafsîr Al Qur’an:230-231.
[5] Al Mîzân Fî Tafsir Al Qur’an,14/112-113.
[6] Syarah Ushûl al Kâfi oleh al Mâzandarâni,7/91-92.
[7] Ad Durr al Mantsûr,4/661. cet Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. Beirut-Lebanon. Dan Fathu al Qadîr,3/463. Dar Al-Fikr. Beirut-Lebanon.
————————————————————————————————–
v Ayat Kedua: Diriwayatkan dari Abu Bashîr dari Imam Ja’far as. beliau berkata tentang firman Allah SWT.:
وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ (في ولايَةِ علِيٍّ و ولايَةِ الأئمَّةِ من بَعْدِهِ) فَقَدْ فازَ فَوْزاً عَظيماً.
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya [dalam wilayah/kepemimpinan Ali dan para imam setelahnya], maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzâb [33];71). Demikianlah ia turun.”
(HR. Al Kâfi, Kitâbul Hujja, Bab Fîhi Nukat wa Nutaf Min at Tanzîl Fî all Wilâyah,1/414 hadis no.8 dengan ta’lîq Ali Akbar al Ghiffâri dan,1/342 tanpa ta’lîq).
Dengan tamabahan kalimat: في ولايَةِ علِيٍّ و ولايَةِ الأئمَّةِ من بَعْدِهِ.
Ibnu Jakfari berkata:
Sebelum Tim Sidogiri menuduhnya sebagai hadis yang memuat adanya tambahan dalam Al Qura’n versi Syi’ah, tuduhan tidak berdasar itu telah dilontarkan para penulis Wahhabi bayaran, -dan ada kekhawatiran bahwa adik-adik, para penulis muda penuh semangat andalan Kyai Nawawi Abd. Djalil itu menelannya mentah-mentah dari muntahan kedengkian para penulis Wahhabi itu-, di antara mereka:
1) Ihsân Ilâhi Dzahîr dalam Asy Syi’ah wa Al Qur’ân:703. cet. Ke VI, terbitan Idârah Tujumân Al Qur’an. Lahor-Pakistan.
2) Shâbir ibn Abdurrahman Thu’aimah dalam Asy Syi’ah Mu’taqadan wa Madzhaban:103. Cet I, terbitan al Maktabah ats Tsaqafiyah. Beirut.
3) Ali Umar Furaij dalam Asy Syi’ah Fî at Tashawwur al Islami:16-17. Cet. I, terbitan Dar Ammâr Li an Nasyri wa at Tawzî’. Yordan.
4) Muhammad Mandzûr Nu’mâni:196 dalam ats Tsawrah Al Iraniyah Fî Mîzân al Islam, dengan pengantar Abul Hasan Ali an Nadawi dan Muhammad Ibrahim Syaqrah. Cet. I, terbitan Dar Ammâr Li an Nasyri wa at Tawzî’. Yordan.
5) Ahmad Muhammad Ahmad Jali:277. Cet.II, terbitan Markaz al Malik Faishal. Saudi Arabiah.
Tentang Hadis di Atas
Selain adanya dhu’f pada sanadnya dikarenakan dua perawi yang menjadi perantara periwayat sabda Imam Ja’far as. di atas, yaitu Al Mu’alla dan al Bathâini. Yang karenanya al Majlisi dalam Mirât al ‘Uqûl (syarah al Kâfi) melemahkannya..[1]
Selain hal itu, adalah penting bagi kita sebelum mengkaji lebih lanjut hadis-hadis para imam suci Ahlulbait as. yang menyebut adanya tambahan tertentu yang disisipkan di antara kalimat-kalimat suci Al Qur’an al Majîd, untuk menyimak dan memperhatikan mukaddimah di bawah ini dan kemudian kita jadikan pijakan dalam memahami hadis-hadis para imam suci Ahlulbait as. yang diisukan memuat adanya tambahan penyebutan nama-nama para imam as. dalam Al Qur’an!
Tidak Ada Sebutan Nama Imam Ali as. Dalam Ayat Al Qur’an!
Adalah keyakinan yang tidak dapat ditawar dalam akidah Syi’ah bahwa di dalam Al Qur’an al Karîm telah ditegaskan hak imamah Ali dan para imam suci dari keturunan beliau as., akan tetapi keyakinan demikian tidak berarti Syi’ah meyakini bahwa nama terang Imam Ali dan para imam suci Ahlulbait as. telah disebutkan dalam teks ayat-ayat Al Qur’an! Bahkan dapat dipastikan di sini bahwa para ulama Syi’ah –berdasarkan hadis-hadis shahihah- tegas-tegas mengatakan bahwa nama terang Imam Ali dan para imam dari keturunan beliau as. tidak pernah disebut dalam ayat-ayat Al Qur’an!
Al Kulaini telah meriwayatkan dalam kitab al Kâfi-nya dengan sanad shahih melalui dua jalur yang bersambung kepada Abu Bashîr (perawi yang sama dengan hadis al Kâfi di atas), ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ja’far) as. tentang firman Allah:
أَطيعُوا اللَّهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“… taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…. “
maka beliau bersabda, “Ia turun untuk Ali, Hasan da Husain.”
Aku kembali bertanya, “Orang-orang berkata, lalu mengapakah nama Ali dan Ahlubaitnya tidak disebut dalam Kitabullah (Al Qur’an)?!
Imam menjawab, “Katakan kepada mereka, ‘Telah turun kepada Rasulullah saw. perintah shalat, tetapi tidak disebutkan berapa raka’atnya, tiga atau empat, sehingga Rasulullah-lah yang menafsirkannya kepada mereka hal itu.’”
(HR. Al Kâfi,1/226 hadis no.1, Kitabul Hujjah, Bab Mâ Nashsha Allahu wa Rasululuhu ‘Ala al Aimmah wâhidan fawâhidan.)
Sayyid Imam Abul Qâsim al Khûi (RH) berkata menjelaskan hadis di atas, “Riwayat ini adalah hâkimah/ penentu makna dari seluruh riwayat dan penjelas maksud bahwa disebutnya nama para imam as. dalam Al Qur’an adalah dengan menyebut kreteria dan sifat, bukan dengan menyebut nama terang.”[2]
Ibnu Jakfari berkata:
Coba Anda renungkan baik-baik, Imam Ja’far as. dalam hadis di atas memastikan kepada Abu Bashîr bahwa nama Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain as. tidak disebutkan dalam Al Qur’an, akan tetapi, Rasulullah-lah yang menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan mengaitkannya dengan para imam suci Ahlulbait as. atas dasar wahyu Allah SWT. Lalu kemudian beliau as, juga mengatakan kepada Abu Bashîr bahwa nama Ali disebut dalam ayat:
وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ (في ولايَةِ علِيٍّ و ولايَةِ الأئمَّةِ من بَعْدِهِ) فَقَدْ فازَ فَوْزاً عَظيماً .
Mungkinkah itu?!
Selain itu, perlu diketahui bahwa Abu Bashîr adalah sahabat dan murid khusus Imam Ja’far as., jadi jika memang nama Imam Ali dan para imam as. itu disebutkan dalam Al Qur’an, pastilah Imam Ja’far as. akan menegaskan hal itu kepadanya dan mengatakan, misalnya ‘sebenarnya nama Ali, Hasan dan Husain telah disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an hanya saja kaum Muslimin membuangnya!! Ini yang pertama.
Kedua, seperti telah saya katakan sebelumya bahwa ayat-ayat yang dalam riwayat-riwayat tertentu Al Kâfi dibaca Imam as. dengan tambahan menyebut nama Ali dan para imam as., ternyata ayat itu pula dalam riwayat al Kulaini lainnya dalam al Kâfi-nya telah dibaca Imam as. dengan tanpa tambahan tersebut! Hal mana mengarahkan kita untuk berkeyakinan bahwa tambahan itu sebenarnya dibaca sebagai tafsir dan penjelasan makna ayat tersebut bukan bagian dari teks ayat!!
Al Kulaini meriwayatkan dalam al Kâfi dengan sanad bersambung kepada Yunus, ia berkata, “Abu Abdillah (Imam Ja’far) as. bersabda kepada Abbâd ibn Katsîr al Bashri ash Shûfi, ‘waihak, hai Abbâd, engkau tertipu oleh terpeliharanya perut dan farjimu (dari dosa). Sesungguhnya Allah berfirman dalam Kitab suci-Nya:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ قُولُوا قَوْلاً سَديداً *يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمالَكُمْ…
“Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,* niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan- amalanmu….
ketahuilah bahwa Allah tidak akan menerima amal apapun darimu sehingga engkau berkata dangan kata yang adil …
وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ فازَ فَوْزاً عَظيماً.
Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(HR. Al Kulaini dalam Rawdhah al Kâfi,8/107 hadis no.81).[3]
v Ayat Ketiga:
Di antara tuduhan palsu ialah bahwa ayat 87 dalam Al Qur’an Syi’ah telah disisipkan tambahan yang tidak ada dalam Al Qur’an kaum Muslimin sehingga ayat tersebut berbunyi demikian:
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ (مُحَمَّدٌ) بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ (بِموالاةِ عَلِيٍّ) اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيْقاً (مِنْ آلِ محمدٍ) كَذَّبْتُمْ وَ فَرِيْقاً تَقْتُلُوْنَ.
“Apakah setiap Muhammad datang kepada kalian dengan membawa misi yang tidak sesuai dengan keinginan kalian tentang kepemimpinan, wilayah Ali lalu kalian bertindak angkuh; sebagian dari keluarga suci Muhammad kalian dustakan dan sebagian (yang lain) kalian bunuh?” (HR. Al Kâfi,1/418 no.21)
Sementara redaksi ayat tersebut dalam Al Qur’an yang beredar adalah demikian:
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيْقاً كَذَّبْتُمْ وَ فَرِيْقاً تَقْتُلُوْنَ
“…. Apakah setiap rasul datang kepada kalian dengan membawa misi yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian bertindak angkuh; sebagian dari (para rasul itu) kalian dustakan dan sebagian (yang lain) kalian bunuh?”
Ibnu Jakfari berkata:
Hadis tersebut dalam al Kâfi diriwayatkan dengan sanad sebagai berikut[4]: Dari Ahmad ibn Idris dari Muhammad ibn Hassân dari Muhammad ibn Ali dari Ammâr ibn Marwân dari Munakhkhal dari Jabir dari Abu Ja’far (Imam al Baqir) as., “Sesungguhnya beliau bersabda:
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ (مُحَمَّدٌ) بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ (بِموالاةِ عَلِيٍّ) اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيْقاً (مِنْ آلِ محمدٍ) كَذَّبْتُمْ وَ فَرِيْقاً تَقْتُلُوْنَ.
Pertama-tama yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa dalam riwayat tersebut tidak terdapat penegasan kalimat: hâkadza nazala/demikianlh ayat itu diturunkan! Yang oleh Tim Penulis Sidogiri dijadikan ujung tombak serangan dan tuduhan bahwa tambahan itu tidak mungkin dimaksud sebagai tafsiran, seperti telah kami singgung sebelumnya.
Kenyataannya, dalam hadis di atas Imam Muhammad al Baqir as. (Imam kelima Syi’ah Ja’fariyah) pernyataan itu tidak ada. Maka dengan demikian runtuhlah pilar tuduhan mereka!
Semoga kesalahan itu tidak diakibatkan karena mereka hanya percaya kepada nukilan provokatif para penulis Wahhabi bayaran itu!
Kedua, seperti telah disinggung, bahwa tambahan-tambahan semacam itu adalah dalam rangka menafsirkan makna ayat yang mungkin terlewatkan atau terabaikan.
Perhatikan riwayat dari Imam Muhammad al Baqir as. di bawah ini:
Imam al Baqir as. bersabda, “Ini adalah percontohan untuk Muas dan para rasul setelahnya dan juga Isa –semoga shalawat Allah tercurahkan untuk mereka semua- yang Allah jadikan percontohan bagi umat Muhammad saw., maka Alllah berfirman kepada mereka:
فَإِنْ جاءكم مُحَمَّد صلى الله عليه و آله و سلم بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ بِموالاةِ عَلِيٍّ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيْقاً مِنْ آلِ محمدٍ كَذَّبْتُمْ وَ فَرِيْقاً تَقْتُلُوْنَ.
“…. Apakah jika Muhammad datang kepada kalian dengan membawa misi yang tidak sesuai dengan keinginan kalian berupa kepemimpinan Ali, maka kalian bertindak angkuh; sebagian dari keluarga suci Muhammad kalian dustakan dan sebagian (yang lain) kalian bunuh?”
Imam al Baqir as. bersabdda:
فَذلِكَ تفسيرُها في الباطِن.
“Demikianlah tafsir ayat itu dalam makna batin (yang tersimpang/dalam).”[5]
Maka dengan demikian jelaslah bagi Anda yang mau merenung bahwa maksud kata-kata Imam as. , ‘Allah berfirman kepada mereka” bukanlah bahwa kalimat itu semata memuat teks murni Al Qur’an, akan tetapi ia sedang membacakan ayat suci yang disertai dengan tafsir batin ayat tersebut!
Lalu jika demikian kenyataannya… Dan demikian penegasan Imam al Baqir as. apa alasan Tim Penulis Sidogiri memasukkannya sebagai bukti perubahan Al Qur’an Syi’ah? Apa motivasi memprovokasi awam dengan menyebut contoh di atas?
Dalam kesempatan ini izinkan kami mengingatkan Tim Sidogiri dengan sabda suci Imam kami as. ketika beliau menasihati Abbad al Bashri ash Shufi, “ketahuilah bahwa Allah tidak akan menerima amal apapun darimu sehingga engkau berkata dangan kata yang adil ….”
Apa yang sedang kalian lakukan sekarang ini adalah meruntuhkan pilar-pilar kedamaian, keharmonisan dan persaudaraan di antara umatt Sayyiduna Muhammad saw.
Aktifitas terbaik yang dapat dilakukan seorang Muslim adalah apa yang digariskan Allah SWT dalam Al Qur’an:
لا خَيْرَ في‏ كَثيرٍ مِنْ نَجْواهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ ابْتِغاءَ مَرْضاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتيهِ أَجْراً عَظيماً.
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. ( QS. An Nisâ’ [4];114 )
Lakukanlah langkah-langkah ishlâh positif untuk mencari titik temu seperti apa yang dilakukan DR. Quraisy Syihab dan para Tokoh Pemersatu Umat dengan menghadirkan nuansa sejuk nun santun. Sebab bergerak pada poros ruhâ ishlâh akan mendatangkan rahmat Allah dan menjadikan kita digolonggkan sebagai orang-orang Muhsinîn demikian itu lebih baik.
Allah SWT berfirman:
وَ لا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِها وَ ادْعُوهُ خَوْفاً وَ طَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَريبٌ مِنَ الْمُحْسِنينَ .
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’râf [7];56)
Dan tidak mendorong saya menggerakkan jari jemari saya untuk menuliskan tanggapn ini melainkan mencari ishlâh di antara umat Rasulullah saw., berqudwah dengan cucu tercinta Rasulullah al Husain as. ketika bangkit melawan kezaliman dan ketidak adilan serta pemutar-balikan fakta agama atas nama agama. Slogan beliau as. hanya satu:
إنَّما خَرَجْتُ لِطَلَبِ الإصلاح في أُمَّةِ جَدِّي وَ أسيرُ بِسيرَة علِيٍ (ع).
Aku bangkit demi mencari ishlâh di tengah-tengah umat kakekku (rasulullah) dan menipak tilasi jalan Ali.
Kendati Yazid putra Mu’awiyah yang merampas kepemimpinan dan menduduki kursi kekhalifahan Rasulullah serta membantai anggota keluarga Nabi saw. di padang Karbala, membantai penduduk kota suci Madimah dari kalangan putra-putra para sahabat dan kemudian mengizinkan pasukannya berbuat apa saja sekehendak mereka terhadap penduduk kota suci tersebut; membantai warga sipil, memperkosa putri-putri sahabat Nabi saw., dan menghancurkan al Ka’bah al Musyarrafah, Yazid yang melakukan itu semua kejahatan dan kedurjanaan itu juga mengaku sedang berbuat ishlâh untuk umat Islam dan menuduh Husain –cucu tercinta Nabi- sebagai yang sedang memecah belah kesatuan umat dan menebar kerusakan di muka bumi!! Menuduh penduduk kota Madinah sebagai pembaangkang yang harus ditundukkan dan memberikan bai’at kepada “Amirul Mu’imîn dan Khalifatu Rasuli Rabbil ‘Alâmiîn” Yazid ibn Mu’awiyah.
إِنْ أُريدُ إِلاَّ الْإِصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَ ما تَوْفيقي‏ إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَ إِلَيْهِ أُنيبُ.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan ( pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada- ya- lah aku kembali.” (QS. Hûd [11];88 (
Dan saya yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan upaya orang yang mencari ishlâh.
Allah SWT berifman:
إِنَّا لا نُضيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحينَ.
“…. sesungguhnya Kami (Allah) tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al A’râf [7];170)
Dan Allah SWT. Maha Mengetahui siapa dari hambah-hamba-Nya yang melakukan perbaikan dan siapa yang bekerja siang malam untuk merusak.
Allah SWT berfirman:
وَ اللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ.
“Dan Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan.”
Dan apabila ada niatan baik di antara umat Islam, khususnya para ulama, para Kyai, dan para penulis untuk mencari titik temu di antara dua golongan dari umat Sayyiduna Muhammad saw. pastilah Allah SWT akan memudahkan jalan untuk itu! Yang penting ada niatan baik untuk mencari mufakat dan ishlâh!
إِنْ يُريدا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُما إِنَّ اللَّهَ كانَ عَليماً خَبيراً.
“Jika kedua orang hakam (negoisator) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An Nisâ’ [4];35)[6]
Untuk sementara ini saya cukupkan dengan mengupas tiga contoh “tiga ayat Al Qur’an Syi’ah” dalam pandangan Tim Penlis Sidogiri, sebab kedalapan contoh lainnya dapat dimenegrti keadaannya dan maksudnya dengan kembali kepada kaidah dasar dan pemaknaan umum yang diyakini ulama dan tokoh pembesar Syi’ah mulai dari Syeikh ash Shadûq, Syeikh Mufîd hingga Imam Khumaini (RH).
Kini pembaca saya ajak menyimak hadis/riwayat Ahlulsunnah yang bernada serupa yaitu adanya tambahan teks pada ayat Al Qur’an yang tidak dapat kita temukan dalam Al Qur’an umat Muslim yang beredar sekarang, sementara itu juga ditegaskan bahwa demikianlah dahulu Allah menurunkannya!
(Bersambung)
________________________________________
[1] Mirât al ‘Uqûl,5/14. Tentang al Mu’alla an Najjâsyi berkata, “Ia mudhtharibul hadis wal madzhab, wa kutubuhu qarîbah.” (Rijâl an Najjâsyi,418/1117) Sedangkan mengenai al Bathâini, Ibnu adh Dhaghâiri berkata, “Yu’rafu hadîtsuhu wa ynkaru, wa yarwi ‘an adh dhu’afâ’, wa yajûzi an yukhraj syâhidan.” (Rijâl al Allâmah,1/259 dan Majma’ ar Rijâl,1/113)
[2] Tafsir al Bayân:231.
[3] Hadis ini dan hadis yang dituduh memuat tambahan oleh Tim Sidogiri, keduanya dapat Anda baca dalam banyak kitab Syi’ah, di antaranya: tafsir Kanz ad Daqâiq; Mirza Muhammad al Masyhadi (W.1152H) ,8/232, cet. Muassasah an Nasyri al Islami. Qom-Iran dan tafsir ash Shâfi; Al Faidh al Kâsyâni,(W.1191H),4/206, cet Muassasah al A’lami, Beirut-Lebanons.
[4] Al Kâfi,1/429 baca juga Ta’wîl al Âyât adh Dhâhirah:80.
[5] HR. al Ayyâsyi dalam tafsirnya,1/48 hadis no.68.
[6] Kendati ayat di atas beerkaitan dengan persengketaan dalam rumah tangga antara seorang suami dengan istrinya, akan tetapi semangat yang diajarkan ayat tersebut pastilah sangat relevan untuk diterapkan dalam kasus sengketa dan kesalah-pahaman antara dua puak besar dari umat Islam; Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah dan Ahlusunnah wal Jama’ah!
Allah